Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Partum Sectio Caesarea

1. Definisi Post Partum Sectio Caesarea

Post partum merupakan masa setelah melahirkan bayi, keluarnya

plasenta, dan selaput janin serta berakhir ketika alat-alat kandungan kembali

seperti keadaan sebelum hamil kira-kira sampai 6 minggu atau 40 hari

(Astutik, 2015). Post partum sectio caesarea adalah periode wanita setelah

melakukan persalinan secara sectio caesarea, yaitu suatu persalinan buatan

dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan

dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di

atas 500 gram (Prawirohardjo, 2009). Adapun menurut Dewi (2007) bahwa

sectio caesarea adalah salah satu operasi bedah yang paling umum

dilakukan di dunia saat ini sebagai salah satu cara untuk membantu proses

kelahiran janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan

dinding rahim (histerektotmi).

Jadi, berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa post

partum sectio caesarea adalah suatu periode setelah wanita melahirkan

janinnya melalui tindakan pembedahan dengan membuka dinding perut dan

dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di

atas 500 gram.

6
7

2. Pemulihan pada Post Partum Sectio Caesarea

Menurut Priyono (2012) mengungkapkan bahwa pemulihan akibat

pembedahan sectio caesarea akan membutuhkan waktu pemulihan yang

lebih lama sekitar 2-3 bulan dibanding dengan persalinan secara normal dan

pasien akan mengalami nyeri disekitar sayatan bedah, ketika efek anastesi

hilang, luka akan terasa nyeri. Adapun menurut Astutik (2015), pada

umumnya penyembuhan luka bekas operasi caesar akan berlangsung

selama ± 4-6 minggu setelah operasi caesar. Namun untuk sembuh total

atau pulih 100%, maka akan dibutuhkan waktu ± 3 bulan (12 minggu).

Setelah 3 bulan, luka sayatan bekas operasi caesar (dari kulit hingga ke

rahim) akan menyembuh 100%.

3. Kebutuhan Nutrisi bagi Ibu Post Partum Sectio Caesarea

Menurut Manuaba (2012) Ibu post partum sectio caesarea memerlukan

nutrisi dan cairan untuk pemulihan kondisi kesehatan setelah melahirkan

terutama dalam proses penyembuhan luka post op sectio caesarea,

cadangan tenaga serta untuk memenuhi produksi air susu. Ibu post partum

sectio caesarea dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan akan gizi sebagai

berikut:

a. Mengkonsumsi makanan tambahan, kurang lebih 500 kalori setiap hari.

b. Makan dengan gizi seimbang untuk memenuhi kebutuhan

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.

c. Minum sedikitnya 3 liter setiap hari.


8

d. Mengkonsumsi tablet besi selama 40 hari post partum.

e. Mengkonsumsi vitamin A 200.000 intra unit.

5. Perubahan Fisiologis pada Post Partum Sectio Caesarea

Menurut Astutik (2015) mengungkapkan bahwa perubahan fisiologis

yang terjadi berkaitan dengan pengaruh hormon selama kehamilan masa

nifas dapat di capai kondisi seperti sebelum hamil pulih lebih cepat dari

yang lainnya. Perubahan fisiologis yang terjadi selama masa nifas

khususnya pada ibu post partum sectio caesarea meliputi:

a. Perubahan pada Sistem Reproduksi

1) Uterus

Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi)

sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Menurut Kenneth

(2009), proses penurunan TFU dikatakan cepat jika pada hari

pertama nifas TFU lebih dari 1 jari dibahwa pusat dan pada hari

ketiga berada lebih dari 3 jari dibawah pusat. Masih banyak

fenomena di lapangan ditemukan ibu nifas hari ketiga dengan TFU

masih 1 jari dibawah pusat, padahal seharusnya sudah tiga jari

dibawah pusat, dan ini ditemukan pada ibu post partum sectio

caesarea yang mengalami keterlambatan dalam penurunan TFU. Hal

ini di dukung oleh penelitian yang di lakukan oleh Dwi &

Ikhtiarinawati (2012) di dapatkan hasil bahwa pada ibu post partum

sectio caesarea sebagian besar (60,6%) mengalami penurunan TFU

yang tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, dan hanya sebagian
9

kecil (39,4%) mengalami penurunan TFU sesuai dengan waktu yang

ditentukan. Keterlambatan penurunan TFU disebabkan oleh faktor

gizi, karena pada ibu post partum sectio caesarea tidak boleh

langsung makan dan harus diet makanan terlebih dahulu, menyusui

pada masa nifas sangat penting karena jika tidak ada proses

menyusui maka tidak terdapat rangsangan puting susu pada ibu

sehingga refleks pengeluaran hormon oksitosin tidak terjadi dan

akan berdampak pada proses penurunan TFU dan perdarahan, serta

tidak dilakukannya mobilisasi dini (Kenneth, 2009).

2) Lochea

Pada ibu post partum sectio caesarea biasanya pengeluaran lochea

terjadi pada hari ke-2 pasca persalinan, dan dapat berlangsung selama

beberapa minggu setelah kelahiran. Mobilisasi dini berpengaruh

terhadap pengeluaran lochea, karena jika otot-otot tidak berkontraksi

dan beretraksi dengan baik setelah bayi lahir, maka tidak dapat

menjepit pembuluh darah yang pecah karena adanya pelepasan

plasenta dan berguna untuk mengeluarkan isi uterus. Sehingga

pengeluaran lochea menjadi tidak lancar, hal ini biasanya terjadi pada

ibu post partum sectio caesarea yang mengalami keterbatasan dalam

melakukan mobilisasi dini dikarenakan rasa nyeri yang timbul akibat

luka jahitan pada abdomen (Kenneth, 2009).


10

3) Payudara

Secara vertikal payudara terletak diantara kosta II dan IV, secara

horisontal mulai dari pinggir sternum sampai linea aksilaris medialis,

kelenjar susu berada di jaringan subkutan, tepatnya di antara jaringan

subkutan superfisial dan profundus, yang menutupi muskulus

pectoralis mayor. Ukuran normal 10-12 cm, pada masa laktasi sekitar

600-800 gram. Ada 3 bagian utama payudara, yaitu korpus (badan),

areola, papilla atau puting (Kristiyanasari, 2009). Ada perbedaan

payudara pada ibu menyusui dan tidak menyusui, sebagai berikut:

a) Ibu menyusui

Selama 24 jam pertama setelah melahirkan, terjadi sedikit

perubahan di jaringan payudara. Kolostrum, cairan kuning jernih,

dapat keluar dari payudara. Payudara perlahan akan menjadi lebih

penuh dan berat ketika kolostrum berubah menjadi susu 72 sampai

96 jam setelah melahirkan. Perubahan ini sering kali dikatakan

sebagai kehadiran air susu. Payudara akan terasa hangat, keras, dan

agak nyeri. Air susu putih kebiruan yang terlihat seperti susu-skim

akan keluar dari payudara. Ketika kelenjar air susu dan salurannya

penuh dengan susu, jaringan payudara akan terasa bernodul dan

berbenjol. Beberapa ibu akan mengalami pembengkakan, namun

dengan menyusui secara teratur dan perawatan yang tepat, kondisi

ini bersifat sementara dan biasanya hanya berlangsung selama 24

sampai 48 jam.
11

b) Ibu tidak menyusui

Payudara secara umum akan teraba bernodul dibandingkan

dengan pada wanita tidak hamil yang biasanya teraba bergranul.

Nodularitas akan bersifat bilateral dan menyebar, kadar prolaktin

akan turun dengan cepat. Kolostrum akan keluar pada hari-hari

pertama setelah melahirkan. Jika payudara di palpasi pada hari

kedua atau ketiga, saat susu mulai diproduksi, beberapa wanita

akan merasakan nyeri. Pada hari ketiga atau keempat, dapat terjadi

pembengkakan pada payudara yang akan terdistensi nyeri bila

dipegang, dan teraba hangat. Susu ada namun tidak keluar.

Pembekakan akan menghilang spontan, dan rasa tidak nyaman

akan berkurang biasanya dalam 24 sampai 36 jam. Stimulasi puting

harus dihindari. Jika air susu tidak pernah diisap atau dihentikan,

laktasi akan berhenti dalam beberapa hari sampai minggu.

b. Perubahan pada Sistem Perkemihan

Menurut Prawirohardjo (2009) mengemukakan bahwa pada pasca

operasi caesar diuresis agak berkurang tetapi beberapa hari akan menjadi

normal kembali. Selama beberapa hari diuresis harus selalu di awasi

secara terus-menerus karena pada waktu operasi pasien akan kehilangan

sejumlah cairan. Maka khususnya pasien pasca operasi caesar minum air

perlu diawasi, keseimbangan cairan infus yang masuk dengan infus dan

cairan yang keluar. Perlu dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi ataupun

kelebihan cairan. Dalam 24 jam sedikitnya 3 liter cairan harus


12

dimasukkan untuk mengganti cairan yang keluar. Biasanya pada ibu

pasca operasi caesar dianjurkan untuk dipasang kateter agar output urin

dapat mengalir keluar dengan lancar sehingga kandung kencing selalu

dalam kondisi kosong atau kempis. Hal ini dapat memperkuat kontraksi

rahim sehingga rahim dapat lebih cepat mengecil dan oleh karenanya

volume perdarahan yang keluar pun berkurang. Bila keadaan umum

pasien baik dan sudah dapat minum, maka kateter dilepas setelah 12 jam

post operasi atau pada keesokan paginya setelah operasi.

c. Perubahan pada Sistem Pencernaan

Diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal.

Pada kasus sectio caesarea ibu dapat minum satu jam setelah melahirkan

dan makan sesegera mungkin setelah merasa lapar, jika tidak ada

komplikasi. Pada hari ke-1 mungkin ibu akan diberikan makanan lunak

terlebih dahulu yang mudah dicerna, dan selanjutnya akan diberikan

makanan biasa. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama

setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih terdengar lemah dan

usus baru aktif kembali pada hari ketiga, maka BAB menggunakan pispot

(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012).

d. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler

Pasien yang menjalani pembedahan caesar tanpa penyulit akan

terjadi perdarahan sekitar 400-500 ml, dan dapat diganti dengan cairan

kristaloid, misalnya NaCl dengan volume 3 kali jumlah perdarahan. Hal ini

dapat ditoleransi dengan baik pada pasien usia muda, akan tetapi kelebihan
13

cairan sangat tidak diinginkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler

yang membutuhkan retriksi cairan (Prawirohardjo, 2009). Adapun menurut

Sulistiyawati (2009) mengemukakan bahwa pada persalinan normal

kehilangan darah sekitar 200-500 ml, sedangkan pada persalinan caesar

kehilangan darah akan terjadi dua kali lipatnya. Perubahan terdiri dari

volume darah dan kadar hemotokrit. Setelah persalinan, shunt akan hilang

dengan tiba-tiba. Volume darah itu relatif akan bertambah. Keadaan ini akan

meningkatkan beban jantung dan menimbulkan decompensatio cordis pada

pasien dengan vitum cardio.

e. Perubahan pada Sistem Endokrin

Menurut (Astutik, 2015) terdapat beberapa hormon-hormon yang

mengalami perubahan pada masa nifas yaitu:

1) Hormon plasenta

Human Chorionik Gonadotropin (hCG) menurun dengan cepat dan

menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke-7 masa nifas.

(Blackburn, 2007 dalam Lowdermilk, Perry. et.al. 2013).

2) Hormon oksitosin

Oksitosin dikeluarkan dari hipotalamus posterior, untuk merangsang

kontraksi otot uterus berkontraksi dari pada payudara untuk pengeluaran

air susu. Kadar estrogen dan progesteron akan berkurang segera setelah

keluarnya plasenta dan mencapai kadar terendahnya satu minggu setelah

melahirkan. Kadar estrogen yang berkurang berhubungan dengan

pembesaran payudara dan diuresis cairan ekstrasel yang berlebihan yang


14

terakumulasi selama kehamilan. Pada ibu yang tidak menyusui, kadar

estrogen mulai meningkat 2 minggu setelah melahirkan dan pada hari ke-

17 post partum akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu

yang menyusui (Kartz, 2007 dalam Lowdermilk, Perry. et.al. 2013).

3) Hormon pituatari

Prolaktin dalam darah meningkat dengan cepat, pada yang tidak

menyusui menurun dalam waktu 2 minggu. FSH dan LH meningkat pada

fase konsentrasi folikuler pada minggu ke-3 dan LH tetap rendah hingga

ovulasi terjadi.

4) Hipotalamik pituatari ovarium

Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan

mempengaruhi lamanya mendapatkan menstruasi.

f. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Pada masa nifas awal, ligamen masih dalam kondisi terpanjang dari

sendi-sendi berada dalam kondisi kurang stabil (Astutik, 2015). Meskipun

semua sendi lainnya kembali ke keadaan sebelum hamil, sendi di kaki tidak

akan kembali. Ibu mungkin akan mendapatkan bahwa ukuran sepatunya

membesar (Lowdermilk, Perry. et.al. 2013).

g. Perubahan pada Sistem Integumen

Kloasma kehamilan (topeng kehamilan) biasanya menghilang pada

akhir kehamilan. Hiperpigmentasi areola dan linea nigra mungkin tidak akan

menghilang sepenuhnya setelah melahirkan. Beberapa wanita akan

mempunyai warna yang lebih gelap secara permanen pada area tersebut.
15

Striae gravidarum (strech marks) di payudara, abdomen, panggul, dan paha

akan memudar tapi biasanya tidak menghilang. Abnormalitas pembuluh

darah seperti spider angioma (nevi), eritema palmar dan epulis secara

umum akan menghilang sebagai respons terhadap penurunan estrogen yang

cepat setelah melahirkan (Lowdermilk, Perry. et.al. 2013).

h. Perubahan TTV

Menurut Astutik (2015), perubahan tanda-tanda vital pada ibu post

partum sectio caesarea diantaranya :

1) Suhu badan

Menurut Ambarwati & Wulandari (2010) mengemukakan bahwa

dalam 24 jam post sectio caesarea suhu badan akan naik sedikit 37,5ₒ C–

38ₒ C sebagai akibat keras waktu melahirkan, kehilangan cairan dan

kelelahan, apabila keadaan normal suhu badan akan biasa lagi.

2) Denyut nadi

Menurut Ambarwati & Wulandari (2010) menyatakan bahwa denyut

nadi pada ibu post partum sectio caesarea adalah 50-90x/menit.

3) Tekanan darah

Tekanan darah <140 mmHg, dan bisa meningkat dari sebelum

persalinan sampai 1-3 hari masa nifas. Tekanan darah pada ibu post

partum sectio caesarea rata-rata berkisar antara 110/70-130/80 mmHg

(Prawirohardjo, 2010).

4) Respirasi
16

Respirasi atau pernafasan umumnya lambat atau normal, karena ibu

dalam keadaan pemulihan atau keadaan istirahat. Pernafasan pada ibu

post partum sectio caesarea cenderung lebih cepat yaitu 16-26x/menit

(Prawirohardjo, 2010).

i. Perubahan pada Sistem Hematologi

Kadar hemoglobin akan tampak sedikit menurun dari angka

normalnya sekitar 11-12 gr%. Selama minggu-minggu terakhir, kadar

fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat.

Penurunan volume dari peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari

ke 3-7 masa nifas dan akan kembali normal dalam 4-5 minggu masa nifas

(Astutik, 2015). Pada ibu post partum sectio caesarea pemeriksaan

hemoglobin perlu diukur sebab biasanya setelah dioperasi terjadi penurunan

hemoglobin sebanyak 2 gr% (Saifudin, 2006).

6. Perubahan Adapatasi Psikologis Pada Post Partum

Menurut Astutik (2015), perubahan adaptasi psikologis pada ibu post

partum berbeda antara individu satu dengan yang lainnya. Periode ini

memasuki peran menjadi seorang ibu, seorang wanita mengalami masa

adaptasi psikologis yang terbagi dalam fase-fase berikut :

a. Fase Taking In

Fase taking in merupakan fase ketergantungan yang berlangsung dari

hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada fase ini ibu sedang

berfokus terutama pada dirinya sendiri. Pada fase ini ciri-ciri yang bisa

diperlihatkan adalah :
17

1) Ibu nifas masih pasif dan sangat tergantung.

2) Fokus perhatian ibu adalah pada dirinya sendiri.

3) Ibu nifas lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang

dialami sehingga lebih sering diceritakan secara berulang-ulang dan lebih

suka didengarkan.

4) Kebutuhan tidur meningkat.

5) Nafsu makan meningkat.

6) Ibu nifas menjadi lebih mudah tersinggung dan pasif terhadap

lingkungan.

7) Gangguan fisiologis yang mungkin dirasakan ibu adalah:

a) Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang

bayinya misal jenis kelamin tertentu, warna kulit, jenis rambut dan

lainnya.

b) Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisik yang dialami

ibu misal payudara bengkak, nyeri luka jahitan.

c) Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.

d) Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayi

dan cenderung melihat saja tanpa membantu ibu akan merasakan tidak

nyaman.

(Walyani & Purwoastuti, 2015).

b. Fase Taking Hold

Fase taking hold berlangsung mulai hari ketiga sampai kesepuluh masa

nifas. Pada fase ini ibu timbul rasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
18

tanggung jawabnya dalam merawat bayi (Walyani & Purwoastuti, 2015).

Adapun ciri-ciri fase taking hold antara lain :

1) Ibu nifas sudah bisa menikmati peran sebagai seorang ibu.

2) Ibu nifas mulai belajar merawat bayi tetapi masih membutuhkan orang

lain untuk membantu.

3) Ibu nifas lebih berkonsentrasi pada kemampuannya menerima

tanggungjawab terhadap perawatan bayi.

4) Ibu nifas merasa khawatir akan ketidakmampuan serta tanggungjawab

dalam merawat bayi.

5) Perasaan ibu nifas sangat sensitif sehingga mudah tersinggung, maka

diperlukan komunikasi dan dukungan yang positif dari keluarga selain

bimbingan dan dorongan tenaga kesehatan.

c. Fase Letting Go

Fase ini terjadi setelah hari kesepuluh masa nifas atau pada saat ibu

nifas sudah berada dirumah. Pada fase ini ibu nifas sudah bisa menikmati

dan menyesuaikan diri dengan tanggung jawab peran barunya. Selain itu

keinginan untuk merawat bayi secara mandiri serta bertanggungjawab

terhadap diri dan bayinya sudah meningkat.

7. Komplikasi pada Post Partum Sectio Caesarea

Menurut Kasdu (2008) bagi ibu yang melahirkan dengan tindakan

sectio caesarea tidak saja menimbulkan resiko medis tapi juga resiko

psikologis. Resiko persalinan secara sectio caesarea, antara lain:


19

a. Resiko medis

1) Infeksi rahim dan bekas jahitan

2) Perdarahan

3) Resiko obat bius

b. Resiko psikologis

1) Baby blues

2) Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD)

3) Sulit pendekatan kepada bayi

Sehingga ibu biasanya jarang menyusui bayi pada hari-hari pertama

setelah melahirkan dan mengalami gangguan laktasi yang diakibatkan

ibu menunda dalam pemberian ASI sejak awal, hal ini di sebabkan oleh

beberapa faktor di antaranya:

a) Waktu penyembuhan yang lebih lama, sekitar satu sampai 2 hari.

b) Kecenderungan waktu recovery yang lebih lama, membuat sebuah

permulaan hubungan lekat antara ibu dan bayi tidak maksimal.

c) Efek anastesi menyebabkan ibu mengantuk dalam waktu yang cukup

lama serta rasa sakit pada luka bekas operasi bisa jadi membuat

perhatian ibu lebih diarahkan untuk pemulihan diri sendiri ketimbang

pada bayi mungilnya. Ada juga yang melaporkan bahwa ASI baru

keluar setelah tiga atau lima hari karena adanya keterpisahan antara

ibu dan bayi.

d) Mobilisasi atau aktivitas terbatas hal ini dikarenakan luka bekas

operasi juga dapat menyebabkan ibu tidak leluasa menggendong dan


20

menyusui bayi meskipun rasa sakitnya berangsur akan hilang, tetapi

masih diperlukan obat anti sakit untuk itu. Ibu juga tidak di

perbolehkan mengangkat benda-benda yang terlalu berat selama

periode waktu tertentu.

e) Semakin tinggi nyeri yang dialami ibu post partum sectio caesarea

maka semakin lambat pengeluaran ASI.

B. Endorphine Massage

Endorphine berasal dari kata endogenous dan morphine, endogenous

yang berarti golongan dan morphine yang berarti morfin. Endorphine

merupakan salah satu hormon kebahagiaan yang terdiri dari molekul-molekul

protein di produksi oleh sel di dalam susunan sistem saraf dan bagian tubuh

lainnya (Widayanti, 2014). Selama ini endophrin sudah dikenal sebagai zat

yang banyak manfaatnya, beberapa di antaranya adalah mengatur produksi

hormon pertumbuhan dan seks, mengendalikan easa nyeri serta sakit yang

menetap, mengendalikan rasa stres, serta meningkatkan sistem kekebalana

tubuh. Endorphine dalam tubuh bisa dipicu munculnya melalui berbagai

kegiatan, seperti pernapasan yang dalam, relaksasi, serta meditasi (Kuswandi,

2011).

Endorphine juga dapat menciptakan perasaan nyaman dan enak

sehingga mengurangi kecemasan yang ibu rasakan, Selain pijat endorphin

adalah teknik sentuhan dan pemijatan ringan ini sangat penting bagi ibu hamil

untuk membantu memberikan rasa tenang dan nyaman. Sentuhan ringan ini

mencakup pemijatan yang sangat ringan yang bisa membuat bulu-bulu halus
21

pada permukaan kulit berdiri. Pijat ini biasanya dilakukan pada ibu bersalin,

riset membuktikan bahwa teknik ini meningkatkan pelepasan hormon

endorphine (memberikan rasa nyaman dan tenang) dan hormon oksitosin.

Sehingga bila mana pijat endorphine diberikan kepada ibu dapat memberikan

rasa nyaman dan tenang selama masa laktasi sehingga meningkatkan respon

hipofisis posterior untuk memproduksi hormon oksitosin yang dapat

meningkatkan let down reflex.

C. Fisiologi Laktasi Pada Ibu Post Partum Sectio Caesarea

Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi

ASI biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang

tinggi. Pada hari kedua atau ketiga pasca persalinan, kadar estrogen dan

progesteron turun drastis, sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada

saat inilah mulai terjadi sekresi ASI. Dengan menyusukan lebih dini terjadi

perangsangan puting susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga

sekresi ASI semakin lancar. Apabila bayi disusui, gerakan hisap yang berirama

akan merangsang saraf yang terdapat didalam glandula pituatari posterior.

Rangsangan reflkes ini mengeluarkan hormon oksitosin dan pituatari posterior.

Hal ini akan menyebabkan sel-sel mioepitel disekitar alveoli akan berkontraksi

dan mendorong air susu masuk kedalam pembuluh darah (Kristiyanasari,

2009). Secara biologis persalinan normal memicu kelenjar susu memproduksi

kolostrum untuk menghasilkan air susu. Sedangkan persalinan caesar yang

menggunakan obat analgesik pada persalinan berpengaruh pada gangguan

laktogenesis. Pemberian analgesik akan mempengaruhi perilaku bayi setelah


22

lahir sehingga lebih banyak tidur dan jarang menyusui, hal ini berakibat

penurunan stimulasi ke payudara sehingga produksi ASI terhambat dan

pembentukan reptor prolaktin tidak optimal. Ibu yang melahirkan secara caesar

memiliki kecenderungan mengalami gangguan produksi ASI yang disebabkan

oleh sulitnya pelaksanaan inisiasi menyusui dini (IMD) dan mengakibatkan

berkurangnya stimulasi let down dari hisapan bayi saat menyusui pertama serta

kadar prolaktin kurang optimal (Zamzara, et.al, 2015). Berkurangnya stimulasi

let down reflex menyebabkan terjadinya penurunan hormon okstosin pada ibu

post partum sectio caesarea sehingga akan menghambat proses pengeluaran

ASI. Maka dari itu, waktu pengeluaran ASI pada ibu persalinan sectio

caesarea lebih lambat dibandingkan dengan ibu post partum normal ibu yang

menjalani bedah cesar mungkin belum mengeluarkan ASI nya dalam 24 jam

pertama setelah melahirkan, kadangkala perlu waktu hingga 48 jam walaupun

demikian bayi tetap dianjurkan untuk diletakkan pada payudara ibu untuk

membantu merangsang pengeluaran ASI pertama (Kause, et.al, 2016).

Menurut Walyani & Purwoastuti (2015) terdapat dua refleks pada ibu

yang sangat penting dalam proses laktasi, yaitu refleks prolaktin dan refleks

aliran yang timbul akibat rangsangan puting susu dikarenakan isapan bayi.

1. Refleks Prolaktin

Sewaktu bayi menyusui, ujung saraf peraba yang terdapat pada puting

susu terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke

hipotalamus di dasar otak, lalu memacu hipofise anterior untuk

mengeluarkan hormon prolaktin ke dalam darah. Melalui sirkulasi prolaktin


23

memacu sel kelenjar (alveoli) untuk memproduksi air susu. Jumlah

prolaktin yang di sekresi dan jumlah susu yang di produksi berkaitan dengan

stimulus isapan, yaitu frekuensi, intensitas, dan lamanya bayi menghisap.

2. Refleks Aliran (Let Down Reflex)

Rangsangan yang ditimbulkan oleh bayi saat menyusui selain

mempengaruhi hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin juga

mempengaruhi hipofise posterior untuk mengeluarkan hormon oksitosin.

Dimana setelah oksitosin dilepas kedalam darah akan mengacu otot-otot

polos yang mengelilingi alveoli dan duktulus berkontraksi sehingga

memeras air susu dari alveoli, duktulus, dan sinus menuju puting susu.

Refleks let down dapat dirasakan sebagai sensasi kesemutan atau dapat juga

ibu merasakan sensasi apapun. Tanda-tanda lain dari let down adalah tetesan

pada payudara lain yang sedang dihisap oleh bayi. Refleks ini dipengaruhi

oleh kejiwaan ibu. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan let down di

antaranya adalah melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi,

memikirkan untuk menyusui bayi. Sedangkan faktor-faktor yang

menghambat reflek let down adalah keadaan stres, keadaan bingung atau

pikiran kacau, ketakutan tidak bisa menyusui bayi serta kecemasan (Astutik,

2015).

Anda mungkin juga menyukai