Sle 1 Jadi
Sle 1 Jadi
Pembimbing :
Disusun oleh :
Tresnanda Bellawana
110170066
SEMARANG
2017
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan nikmat
islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan baik.
Shalawat serta salam kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita ke zaman yang terang benderang ini. Terima kasih saya ucapkan kepada
1. dr. Sri Windayati, Sp.KK
2. dr.Agnes Sri Widayati, Sp.KK
3. dr. Irma Yasmin, Sp.KK
Yang telah memberi kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing
dalam menyelesaikan referat ini. Saya menyadari bahwa referat ini masih banyak
kekurangan. Kritik dan saran yang membangun saya harapkan dari semua pihak demi
kesempurnaan referat ini. Demikian semoga referat “Lupus Eritematosus Sistemik” ini
dapat bermanfaat.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………4
2.1 Definisi……………..……………………………………………………...5
2.2 Epidemiologi……..………………………………………………………..5
2.3 Etiologi…..………………………………………..……………………….7
2.4 Patogenesis……….………………………………………………..…......10
2.5 Patofisiologi…………………………………..…………………….…….14
2.7 Diagnosis………………………………………………………………….21
2.11 Pengelolaan……………………………………………………………...26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..34
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah
gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen
sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis,
nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik,
lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala
5
konstitusional lainnya. Sedangkan menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES
adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap
komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
1
luas. Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
6
tenang dan eksaserbasi.
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
4
rash.
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali
lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis
1,7
LES melalui kriteria ACR. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3
kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi
tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki
4
insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.
4
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
1
ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990. Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun
2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien
3
yang berobat ke poliklinik Reumatologi.
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia
16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan
usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa
1,7 3
reproduksi. Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan
prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk
dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0
4
kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana
angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
3
populasi umum. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah
3
88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-
3
20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Hasil
studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
4
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu
30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan
4
kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES
tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),
5
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival
4
rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.
2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
8
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.
6
pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.
7
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan
prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai
gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien
LES akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan
meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks
imun DNA / anti-DNA yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik
yang akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam
amino yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan
menstimulus respon autoimun pada LES.
9
d) Faktor Imunologis
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B
pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda
member petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan
acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B
oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh,
antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan
antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah
anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.
e) Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal
ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis
antibodi. Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat
kandungan estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy
8
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada
reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit
B tersebut.
2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
9
yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
8
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
9
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler
10
Menimbulkan gejala inflamasi atau
8
kerusakan jaringan.
12
11
yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi
di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang
diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi
2
jaringan.
13
12
2.5 Patofisiologi
13
Gambar 2.6 Patofisiologi LES
Sumber : Harrison, 2011
14
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5
tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak
12
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling sering
adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati
13
dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat
terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa
sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada
tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang
berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah
13
dalam pengobatan kortikosteroid.
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.
15
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
13
bekas.
Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
16
5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
14
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.
17
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
14
penyakit tenang secara klinis dan serologis.
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus
nefritis adalah:
i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
iii. Kelas III: focal lupus nephritis
iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis
v. Kelas V: membranous lupus nephritis
vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.
Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
2,13
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
18
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
13
mendapat pengobatan yang adekuat.
H. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau
13
kembali normal.
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar
13
parotis membesar pada 60% kasus LES.
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
15
Biasanya bersifat sementara.
K. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi
untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem
lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala
10
khas kelainan organik otak. Kejang-kejang yang timbul biasanya
termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah
korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis,
pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global,
melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
19
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor
yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin
15
di pleksus koroideus.
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
13
trombositopenia, dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh
13
darah dan aktivasi komplemen lokal.
N. Kardiovaskuler
2.7 Diagnosis
20
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
3
tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.
21
rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya
protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya
komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut
pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
3
LES :
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan
pemeriksaan kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
4. PT dan aPTT
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)
3
Rekomendasi
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
23
22
13
bawah lampu ultraviolet. Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular,
peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S
ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum
16
terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.
Lupus band test
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C 3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen diambil
dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan 90-95%
16
kasus L.E.D.
Anti-ds-DNA
Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
16
proteinuria.
Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
16
penyakit lain.
3
2.9 Diagnosis Banding
Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
24
23
h. Vaskulitis
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala
yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
12
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,
bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
14
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
12
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.
Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama
pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-
kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-
otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang
menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke
leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan
atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi,
12
hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.
Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom
Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa
ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
15
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.
2.10 Derajat Berat Ringannya LES
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
24
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan
keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,
2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
3
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).
26
25
3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
Obat-obatan
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter:
20 mg / hari prednison atau yang setara.
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
3
sebagaimana tercantum pada bagan .
26
Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.
Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE
27
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
2
mg/m keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.
28
Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,
A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.
Kortikortikosteroid
29
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
17
Pencegahan
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang
sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:
Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah
Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.
Istirahat
Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.
Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
oksidatif
Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan
aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.
30
2.12 LES dan Kehamilan3
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya
ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum
konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk
mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan
nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid
(APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca persalinan
sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6
bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada
lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini
dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
2. Medikamentosa:
a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5
mg/hari prednison.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh kehati-
hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat.
Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES
Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini:
- Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau
simptomatik)
- Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)
- Gagal jantung
- Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)
- Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP
(Hemolitic anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah
diterapi dengan aspirin dan heparin
- Stroke dalam 6 bulan terakhir
- Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.
31
BAB III
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
th
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7 ed. Jakarta:
EGC; 2009.
10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.
12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.34
33
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape;
2014 [cited 2015 Mei 19]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin
Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
th
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5 edition.
2005. h 384-7.
18. Siregar RS, Hartanto H, editors. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Ed.2.
Jakarta : EGC, 2004.
35
34