Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis
tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu
terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit,
proses tersebut tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang
harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga
tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih

1
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua
yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan
(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine
maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada
pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh


pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan
pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati.
Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan
kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan
pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi
dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada

2
pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi
pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Inkontinensia alvi adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan/atau sosial.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan tinja
pada waktu dan tempat yang tepat.

Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang
dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai
kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar

B. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami mengenai anatomi fisiologi sistem perkemihan


pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai inkontinesia fekal pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai konstipasi pada lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan pada lanjut usia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan


1. Perubahan Aliran Darah Ginjal Pada Lanjut Usia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit darah
dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari
plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari.
Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali
meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setelah
usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran
darah ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran
darah ginjal terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai
hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta
dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.

2. Perubahan Fungsi Ginjal Pada Lanjut Usia


Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan
predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa
penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun
dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena berkurangnya
jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan
dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr dkk, 1985)
1. Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2. Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia
muda.
3. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun.
Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang berkurang. Maka

4
yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa
Creatinine Clearance.
4. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 tahun.

3. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia

Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR).
Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total aliran darah
ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang
menggunakan bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia
remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin)
menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.
Untuk menilai GFR/creatinine clearance rumus di bawah ini cukup akurat bila digunakan
pada usia lanjut.

4. Perubahan Fungsi Tubulus Pada Lanjut Usia


Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari usia 40 ke
90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang tetapi tidak terlalu
banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH
(paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR.
Penemuan ini mendukung hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih
berfungsi, misalnya hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan
gangguan pada transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas
total untuk transpor menurun.
Transpor glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock pada kelompok
usia antara 20-90 tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance.
Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap pada beberapa
dekade.
Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron yang masih berfungsi, kapasitas total
untuk transpor menurun sejalan dengan atrofi nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang
ginjal untuk glukosa meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak
dapat dijelaskan tetapi mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.

5. Perubahan Pengaturan Keseimbangan Air Pada Lanjut Usia

5
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka
pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah
total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti
pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena
terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah
urin atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan
penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang
mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di
hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila dibandingkan dengan usia
muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok
lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif.
Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam
5 jam.

2.2 Inkontinesia Urine


1. Definisi
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada
pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah.
Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi
tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.

2. Klasifikasi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urin diklasifikasikan :
1) Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga
akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya

6
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis)
mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia
akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin,
seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal.
Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium
Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan
diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat
akronim di bawah ini :
o Delirium
o Restriksi mobilitas, retensi urin
o Infeksi, inflamasi, Impaksi
o Poliuria, pharmasi
2) Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress :
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat
batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra
setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat
tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia urin urgensi :


Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali

7
(detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia
urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu.
Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama
sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin
tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
c. Inkontinensia urin overflow :
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau
tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional :
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-
faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah
muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar
mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran
urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan
identifikasi semua komponen.

2. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :


1) Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.

8
2) Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.
Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar
searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan
baik.

3) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

9
4) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin,
dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak
berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah
air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat
kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

Alat bantu toilet


Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu
bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari
jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

4. Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin


1) Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi
kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :

10
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
kandung kemih tidak adekuat.
-Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi.
Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
Imaging à tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

2) Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin
pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang
diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.
Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak
adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

3) Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal
dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

4) Catatan berkemih (voiding record)


Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk
mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia
urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi

11
dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-
faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

2.3 Inkontinesia Fekal


1) Definisi
Inkontinensia alvi adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan/atau sosial.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan
tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar,
menyebabkan feses bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia alvi juga disebut
inkontinensia usus. Inkontinensia alvi berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai
benar-benar kehilangan kendali.
Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan dari
proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak disadari,atau hilangnya
kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui spingter akibat
kerusakan sfingter.

2) Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Inkontinensia Alvi


1. Usia
Pada usia lanjut control defekasi menurun
2. Diet
Makanan berserat dapat mempercepat produksi feses,banyaknya makanan yang masuk ke
dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi
3. Aktivitas
Tonus oto abdomen,pelvis dan diafragma akan sangat membantu proses defekasi, gerakan
peristaltic akan memudahkan bahan feses bergerak sepanjang kolon
4. Fisiologis
Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltic sehingga meningkatkan
inkontenensia.
5. Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatik buang air besar, fasilitas bab dan kebiasaan menahan bab
mempengaruhi inkontenensia
6. Proses diagnosis

12
Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostic biasanya dipuasakan atau dilakukan klisma
dahulu agar tidak dapat bab kecuali setelah makan.
7. Kerusakan sensorik dan motorik
Kerusakan spinal kord dan injuri kepala akan menimbulkan kerusaka stimulus sensori untuk
bab.
3) Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar
yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan kolorektum
seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk, 1987;
Kane dkk,1989):
a) intra abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya
Inkontinensia alvi akibat konstipasi.
1). Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari massa feses
yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah
dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor
menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang
cair akan merembes keluar (broklehurst dkk, 1987).
2). Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi
cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari feses yang impaksi akan keluar dan
terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).
b) Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam – macam
kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan
adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada
fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam
membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk, 1987)
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan, antara lain yang
mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert –
Thomson)
c) Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia
neurogenik)
inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari korteks serebri
saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-

13
kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan
pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi
sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum
pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri
(broklehurst dkk, 1987).
d) Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot
seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst dkk, 1987),
menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik pada otot – otot daerah sfingter
dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada
anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada
peningkatan tekanan diserahkan pada ahli progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk,
1987).
4) Gambaran klinis
1. Klinis inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan:
1) Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes
2) Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian atau ditempat
tidur.
2. Gejalanya antara lain:
1) Tidak dapat mengendalikan gas atau kotoran, yang mungkin cair atau padat, dari perut
2) Tidak sempat ke toilet untuk tidak berak di celana.
3) Berkuragnya pengontrolan oleh usus
4) Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki
Inkontinensia alvi bisa disertai dengan masalah usus lainnya, seperti:
1). Diare
2). Sembelit
3). Kentut dan kembung
4). Kram perut
5) Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat
menghindari kejadian inkontinensia alvi.Langkah utama dalam penanganan sembelit pada
pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya
sembelit.

14
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkontinensia alvi adalah dengan
mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang
melakukan buang air besardi toilet.
Pada inkontinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan saraf, terapi latihan otot dasar
panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatri dengan dimensia
tidak dapat menjalani terapi tersebut.
Penatalaksanaan inkontinence tergantung pada jenis inkontinensia yang telah diuraikan di
atas:
Pada overflow inkontinence yang disebabkan konstipasi, perlu diberikan obat pencahar, dan
perlu pula dibantu dengan pemberian makanan yang mengandung banyak serat (buah-buahan
dan sayur-sayuran, tahu, tempe dan lain-lain), minum yang cukup serta perlu gerakan tubuh
yang cukup.
Pada inkontinensia simtomatik, perlu diketahui terlebih dahulu penyakit yang
menyebabkannya dan memberikan pengobatan.
Pada neurogenic inkontinence, pengobatannya sulit. Hal yang paling penting adalah melatih
penderita untuk memasuki kamar kecil (WC) setiap kali setelah makan dan berjalan di pagi
hari ataupun setelah minum air panas. Latihan ini saja dapat memadai pada sebagian penderita.
Jika perlu, dapat diberikan obat pencahar setelah makan dan dua puluh menit kemudian,
penderita harus telah berada di kamra kecil. Jika tidak menolong dapat dilakukan dengan
memompa kotoran tadi dengan alat dan melatih pola buang air besar yang teratur.

6) Perawatan Inkontinensia Alvi Pada Lansia


1. Melatih kebiasaan defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan menghasilkan bentuk
feses yang normal
2. Pada waktu tertentu setiap 2 sampai 3 jam letakkan pispot dibawah pasien
3. Kalau inkontenensia berat diperlukan pakaian dalam yang tahan lembab.
4. Pakailah laken yang dapat dibuang dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
5. Mengurangi rasa malu perlu dilakukan dukungan semangat dalam perawatan.
6. Mengubah pola makan, berupa penambahan jumlah serat
7. Jika hal-hal tersebut tidak membantu, diberikan obat yang memperlambat kontraksi usus,
misalnya loperamid
8. Melatih otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan kekuatannya dan
membantu mencegah kekambuhan

15
9. Dengan biofeedback, penderita kembali melatih sfingternya dan meningkatkan kepekaan
rektum terhadap keberadaan tinja
10. Jika keadaan ini menetap, pembedahan dapat membantu proses penyembuhan. Misalnya jika
penyebabnya adalah cedera pada anus atau kelainan anatomi di anus.
11. Pilihan terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding perut yang dihubungkan
dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan penderita membuang fesesnya ke dalam kantong
plastik yang ditempelkan pada lubang tersebut.

2.4 Konstipasi
1) Definisi
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang
dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai
kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada
umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat
variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru
dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984).
Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah
feses pada kolon, rektum atau keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar,
kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi
epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama
berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira
dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara
dokter dan penderita tentang arti konstipasi (cheskin dkk, 1990).
2) Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak
sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi.
Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang
aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik, golongan
diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium,
penyalahgunaan pencahar.

16
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan
dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable
bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang olahraga, bepergian
jauh, paska tindakan bedah parut
3) Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat
lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang baik dan
kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi
sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks
kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot
dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot
elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses ini.
Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya
usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna.
Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik
akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos
sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar
plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen
di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan
relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat
kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia
khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih
lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.
4) Manifestasi Klinis
17
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS, 2002)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

5) Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi,
orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml
cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari
sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik
tetapi kondisi jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit (transit time).
Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga
yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-
bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan
usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga
menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek
yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang
cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon.
Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar
tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan
obat.
c) Bowel training

18
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air besar. Hal
tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan feses.
Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk
dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang
mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar
pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien
yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air
besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi
orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan
cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan
atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut
yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali
dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja
pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod
dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat
pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk mengeliminasi,
mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat
antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan konstipasi. Obat
yang mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat anti
hipertensi (antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan
yang sering pula menyebabkan konstipasi.

2. Tatalaksana farmakologik
a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan
bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik
seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam
meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi

19
atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk
terbukti menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama
halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar
dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan
tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak feses. Docusate
sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi
pada situasi dimana mangedan harus dicegah.
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan
peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang
lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun
tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi
tinja 8-12 jam setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih
lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur.
Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis
juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki
absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia
lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka
efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar
pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon keduanya
di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan
karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan
cairan intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar
terbukti memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya
dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya
diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar
yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang
efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.

20
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang kurang baik
biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada
usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan enema
secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat
mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling
aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang
berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.

21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

3.1.1. Identitas klien

Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas
65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-
laki juga beresiko mengalaminya.

3.1.2. Riwayat kesehatan

- Riwayat kesehatan sekarang


Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah
frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,
ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

- Riwayat kesehatan masa lalu


Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat
urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

- Riwayat kesehatan keluarga


Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan
apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3.1.3 Pola Fungsional Gordon

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

1) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan kandung kemih, trauma kandung kemih,
infeksi saluran kemih berulang

2) Personal hygiene yang salah

22
3) Kebiasaan menahan BAK

4) Riwayat penyakit DM

b. Pola Nutrisi Metabolik

1) Intake minum yang kurang

2) Mual, Muntah

3) Anoreksia

4) Demam, peningkatan suhu

c. Pola Eliminasi

1) Sering berkemih

2) Warna urine keruh

3) Ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih

4) Hematuri (urine bercampur darah)

5) Diare

d. Pola Aktivitas dan Latihan

1) Bekerja di ruang ber AC

2) Banyak duduk

3) Kurang beraktivitas

4) Malaise

e. Pola Tidur dan Istirahat

1) Tidur terganggu karena nocturia

23
f. Pola Persepsi dan Kognitif

1) Nyeri Supra pubik

2) Dysuria

3) Rasa terbakar saat berkemih

4) Spasme kandung kemih

5) Low back pain

g. Pola Persepsi dan Konsep Diri

1) Merasa rendah diri

h. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama.

1) Perasaan terasing

2) Gangguan interaksi sosial

i. Pola Reproduksi dan Seksualitas

1) Menopause

j. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress.

1) Stress tergantung individu

k. Pola Sistem Kepercayaan.

1) Keyakinan yang dianut oleh pasien

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

24
a Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia

b Pemeriksaan Sistem

- B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun.
kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

- B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

- B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh

- B4 (bladder)

Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah
apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak
kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

- B5 (bowel)

25
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

- B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah
nyeri pada persendian.

3.1.5 Data penunjang

a Urinalisis

b Hematuria.

c Poliuria

d Bakteriuria.

3.1.6 Pemeriksaan Radiografi

a IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.

b VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU,


melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding
Residual).

3.1.7 Kultur Urine

a Steril.

b Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).

c Organisme.

26
3.2 Rencana Asuhan keperawatan

No NANDA NOC NIC


.
1. Gangguan eliminasi urine 1. Eliminasi urine 1. Manajemen urine
Defenisi: disfungsi dalam Definisi : Definisi : Mengatur
eliminasi urine Kemampuan sistem keseimbangan cairan dan
Batasan karekteristik: urinarius untuk mencegah komplikasi
 Disuria menyaring sampah, akibat jumlah cairan
 Retensi mengumpulkan, dan abnormal
 Inkontinensia mengubah urin Aktivitas :
 Nokturia menjadi pola yang
 Timbang BB tiap hari
 Urgensi sehat
 Hitung haluaran
 Hesitancy(keragu Indikator :
 Pertahankan intake
-raguan)  Pola eliminasi in
yang akurat
expected range
 Pasang kateter urin
 Bau urin in
 Monitor status hidrasi
expected range
(seperti :kelebapan mukosa
 Jumlah urin in
membrane, nadi)
expected range
 Monitor status
 Warna urin in
hemodinamik termasuk
expected range
CVP,MAP, PAP
 Partikel urin yang  Monitor hasil lab.
bebas terkait retensi cairan
 Kejernihan urin (peningkatan BUN, Ht ↓)
 Pencernaan cairan  Monitor TTV
yang adekuat  Monitor adanya
 Keseimbangan indikasi retensi/overload
intake dan output cairan (seperti : edem,
dalam 24 jam asites, distensi vena leher)
 Urin yang keluar  Monitor perubahan
disertai nyeri BB klien sebelum dan
sesudah dialisa

27
 Urin yang tak  Monitor status nutrisi
lancar keluar  Monitor respon pasien
 Urin yang keluar untuk meresepkan terapi
dengan tergesa- elektrolit
gesa  Kaji lokasi dan luas
 Pengawasan urin edem

 Pengosongan  Anjurkan klien untuk

kandung kemih intake oral

dengan lengkap  Distribusikan cairan >


24 jam
 Tawarkan
snack(seperti : jus buah)
 Konsultasi dengan
dokter, jika gejala dan tanda
kehilangan cairan makin
buruk
 Kaji ketersediaan
produk darah untuk
trsanfusi
 Persiapkan untuk
administrasi produk darah
 Berikan terapi IV
 Berikan cairan
 Berikan diuretic
 Berikan cairan IV
 Nasogastrik untuk
mengganti kehilangan
cairan
 Produk darah

2. Resiko infeksi 1. Respon 1. Pengontrolan infeksi


pengobatan Definisi : Meminimalisir /
mengurangi perpindahan

28
Definisi : Meningkatnya Defenisi: Efek agen-agen penyebab
resiko terinvasi oleh teraupetik dan infeksi (bakteri, mikroba
organisme patogen merugikan dari dan lain-lain).
pengobatan yang Aktivitas :
Faktor Resiko: ditentukan.  Ciptakan lingkungan (
 Penyakit kronis alat-alat, berbeden dan
 Ketidakadekuatan Indikator : lainnya) yang nyaman
imunitas yang  Adanya efek dan bersih terutama
spesifik/dibutuhkan. terapeutik setelah digunakan oleh
 Pertahanan primer  Perubahan pasien
tidak adekuat blood  Gunakan alat-alat yang
(misalnya: kerusakan chemistries baru dan berbeda
kulit, kerusakan  Harapan setiap akan melakukan
jaringan, penurunan perubahan tindakan keperawatan
aksi silia, stasis gejala ke pasien
cairan tubuh,  Terapi  Isolasikan pasien yang
perubahan sekresi pengaturan terkena penyakit
pH, gangguan kadar darah menular
peristaltik)  Tidak ada reaksi  Tempatkan pasien
 Pertahanan sekunder alergi yang harus diisolasi
tidak adekuat (  Tidak ada efek yang sesuai dengan
misalnya: penurunan merugikan kondisi pasien
kadar hemoglobin,  Tidak ada  Batasi jumlah
leukopenia, interaksi obat pengunjung sesuai
penekanan respon  Toleransi obat- kondisi pasien
imun) obatan  Ajari klien untuk
 Meningkatnya  Dapat diterima mencuci tangan
pemaparan oleh pasien sebagai gaya hidup
lingkungan terhadap sehat pribadi
patogen 2. Status nutrisi  Instruksikan klien
 Penurunan kekebalan Defenisi : Tingkat zat untuk mencuci tangan
tubuh gizi yang tersedia yang benar sesuai
 Prosedur invasif

29
 Pengetahuan yang untuk memenuhi dengan yang telah
kurang dalam kebutuhan metabolik. diajarkan
mencegah Indikator :  Instruksikan kepada
pemaparan terhadap  Asupan zat gizi pengunjung untuk
patogen  Asupan makanan selalu mencuci tanagn
 Malnutrisi dan cairan sebelum dan sesudah
 Agen obat-obatan  Energi memasuki ruangan
(misalnya:  Indeks masa tubuh pasien
imunosupresan)  Berat badan  Gunakan sabun
 Ruptur prematur dari  Biochemical antimikroba untuk
membran amnion measures proses cuci tangan
 Rupturberkepanjang 3. Kontrol resiko  Cuci tangan sebelum
an dari membran Defenisi: Tindakan dan sesudah
amnion untuk mengurangi melakukan tindakan
 Trauma atau menurunkan kepada pasien

 Kerusakan jaringan resiko ancaman


kesehatan yang 2. Manajemen nutrisi
aktual, personal dan Defenisi : Pengurangan
dapat dimodifikasi. rasa nyeri serta
Indikator : peningkatan kenyamanan

 Menyatakan yang bisa diterima oleh

resiko pasien.

 Memantau faktor Aktivitas :

resiko  Lakukan penilaian

lingkungan nyeri secara

 Memantau faktor komprehensif dimulai

resiko perilaku dari lokasi,

pribadi karakteristik, durasi,

 Mengembangkan frekuensi, kualitas,

strategi kontrol intensitas dan

risiko yg efektif penyebab.

 Menyesuaikan  Kaji ketidaknyamanan

strategi kontrol secara nonverbal,

30
risiko yg terutama untuk pasien
dibutuhkan yang tidak bisa
 Melakukan mengkomunikasikann
strategi kontrol ya secara efektif
risiko  Pastikan pasien
 Mengikuti mendapatkan
strategi kontrol perawatan dengan
risiko yg dipilih analgesic
 Modifikasi gaya  Gunakan komunikasi
hidup untuk yang terapeutik agar
menurunkan pasien dapat
resiko menyatakan
 Menghindari pengalamannya
paparan ancaman terhadap nyeri serta
kesehatan dukungan dalam
 Berpartisipasi merespon nyeri
dalam skrining  Pertimbangkan
masalah pengaruh budaya
kesehatan yang terhadap respon nyeri
berhubungan  Tentukan dampak
nyeri terhadap
kehidupan sehari-hari
(tidur, nafsu makan,
aktivitas, kesadaran,
mood, hubungan
sosial, performance
kerja dan melakukan
tanggung jawab
sehari-hari)
 Evaluasi pengalaman
pasien atau keluarga
terhadap nyeri kronik

31
atau yang
mengakibatkan cacat
 Evaluasi bersama
pasien dan tenaga
kesehatan lainnya
dalam menilai
efektifitas
pengontrolan nyeri
yang pernah dilakukan
 Bantu pasien dan
keluarga mencari dan
menyediakan
dukungan.
 Gunakan metoda
penilaian yang
berkembang untuk
memonitor perubahan
nyeri serta
mengidentifikasi
faktor aktual dan
potensial dalam
mempercepat
penyembuhan

3. Kerusakan integritas 1. Penyembuhan 1. Perlindungan daerah


kulit luka primer insisi
Definisi : Perubahan Defenisi : tingkat Definisi : Membersihkan,
epidermis atau dermis regenerasi sel dan memonitor, dan
Batasan Karakteristik : jaringan secara meningkatkan
 Kerusakan alami penyembuhan lilitan luka
lapisan kulit Indikator : yang tertutup oleh jahitan

32
 Kerusakan  Skin pada luka, jepitan/ klips,
permukaan kulit approximation atau kawat/ staples.
 Gangguan  Pengeringan
struktur tubuh Purulensi Aktivitas :
 Pengeringan  jelaskan prosedur pada
serosa dari luka pasien
 Pengurangan  inspeksi daerah insis,
drainase dari adanya kemerahan,
luka bengkak atau tanda
 Pengeringan eviscerasi
seroanginosa  catat karakteristik
dari luka sejumlah drainase
 Pengurangan  monitor proses
area yang penyembuhan pada
kemerahan daerah insisi
 Penguranagn  bersihkan daerah
edema luka sekitar insisi dengan
 Tingginya larutan pembersih
temperatur kulit yang tepat

 Bau luka  seka dari daerah bersih


kearah daerah kurang
bersih
 monitor insisi untuk
tanda dan gejala
2. Penyembuhan
infeksi
luka sekunder
 gunakan teknik steril,
Defenisi : tingkat
aplikator dengan ujung
regenerasi sel dan
katun, lilitan dalam
jaringan pada luka
dan tipis
terbuka
 bersihkan area
Indikator :
disekitar tempat
 Granulasi
saluran atau pipa
 Epitelisasi
drainase

33
 Pengeringan  pertahankan posisi
purulensi pipa drainase
 Pengeringan
serosa 2. Perawatan luka
 Pengurangan Definisi : Pencegahan
drainase komplikasi pada luka dan
 Pengeringan mengajarkan perawatan
Seroanginosa luka.

 Pengurangan
area kuit Aktivitas :
kemerahan  Bersihkan balutan

 Edema yang melekat dan

 Pengurangan debris

area kulit yang  Cukur rambut sekitar

abnormal area yang rusak

 Pelepuhan kulit  Catat karakteristik

 Maserasi kulit luka

 Nekrosis  Catat karakteristik

 Pengelupasan drainase

 Bau Luka  Bersihkan dengan


sabun antibakterial
 Ukuran Luka
 Bersihkan area yang
rusak pada air
mengalir
 Rendam pada larutan
saline
 Berikan perawatan
pada tempat IV
 Berikan perawatan
Hickman
 Berikan perawatan
pada venus sentral

34
 Berikan perawatan
pada tempat insisi
 Berikan perawatan
ulkus pada kulit

4. Ketidakefektifan 1. Fungsi keluarga 1. Keterlibatan keluarga


manajemen regimen Definisi : Definisi : Fasilitasi
terapeutik keluarga Kemampuan partisipasi keluarga dalam
Definisi: Program untuk keluarga untuk merawat pasien baik
mengatur dan memenuhi secara emosional dan
menghubungkan proses kebutuhan fisik.
keluarga dalam mencegah anggotanya selama Aktivitas :
penyakit dan hal lain yang transisi  Identifikasi
menyebabkan perkembangan. kemampuan keluarga
ketidakpuasan dalam dalam merawat pasien
menemukan tujuan Indikator :  Tentukan sumber fisik
kesehatan secara spesifik.  Merawat emosi dan
anggota pendidikannya
Batasan karakteristik : keluarga yang  Identifikasi penurunan
 Percepatan gejala tergantung perawatan diri pada
penyakit yang dialami  Mengatur pasien
anggota keluarga prilaku anggota  Identifikasi keinginan
 Ketidaktepatan keluarga keluarga dalam
tindakan keluarga dalam  Menunjukkan merawat pasien
menemukan tujuan peran yang  Identifikasi harapan
kesehatan diharapkan keluarga terhadap
 Gagalnya  Menerima pasien
tindakan keluarga dalam perubahan dan  Monitor struktur dan
mengurangi faktor resiko ide baru peran keluarga
 Kurangnya  Beradaptasi  Berikan informasi
perhatian terhadap dengan transisi kepada keluarga
penyakit perkembangan tentang pasien

mental

35
 Menyatakan  Beradaptasi  Fasiliatasi pemahaman
kesulitan dalam memberi dengan krisis keluarga tentang aspek
obat yang tidak medis penyakit
diharapkan  Identifikasi persepsi
 Mengikutsertak anggota keluarga
an anggota secara individu tentang
keluarga dalam situasi dan kejadian
proses pencetus
pemecahan  Identifikasi
masalah pemahaman dan
keyakinan keluarga
tentang situasi
2. Status kesehatan
keluarga
2. Mobilisasi keluarga
Definisi : Status
Definisi : Memanfaatkan
kesehatan secara
keluarga untuk
keseluruhan dan
meningkatkan status
kompetensi dari unit
kesehatan klien secara
keluarga.
positif.
Aktivitas :
Indikator:
 Jadilah pendengar
 Status imunisasi
keluarga
anggota
 Bina hubungan
keluarga
saling percaya
 Akses ke yankes
dengan keluarga
 Kesehatan fisik
 Diskusikan
anggota
kekuatan dan
 Perkembangan sumber daya
fisik anggota keluarga dengan
keluarga anggota keluarga
 Akses ke  Tentukan pengaruh
sumber yang budaya keluarga
adekuat

36
 Penggunaan  Identifikasi peran
yankes keluarga
 Tentukan kesiapan
dan kemampuan
anggota keluarga
 Monitor situasi
terkini dari
keluarga
 Berikan informasi
kepada keluarga
tentang kemajuan
pasien
 Ajarkan cara
merawat pasien
dirumah
 Jelaskan bagaimana
prilaku keluarga
mempengaruhi
pasien

37
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
 Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pria.
 Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
 Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar,
biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras
dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar
(NIDDK, 2000).

38
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia Anderson, Patofisiologi konsep klinis proses penyakit, Jakarta : EGC, 2005
Sudoyo, Aru W, dkk. 2005. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi Ke Empat Jilid I. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universita Indonesia.

Smeltzer, Suzzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC, 2001
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih,
Jakarta : EGC, 2002.
Ramali, Ahmad, Kamus Kedokteran, Jakarta : Djambatan, 2003
Arif Muttaqin.2010.Gangguan Gastrointestinal.Jakarta.Salemba Medika. (Hal 660)
Gale, Danielle & Charette, Jane, Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, EGC, Jakarta, 2000.
Syaifudin. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : Salemba Medika

Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Vol. 2, Edisi 8, EGC, Jakarta,
2002
Tambayong,Jan. (2002),Patofisiologi.Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC

Syaifudin. Anatomi Fisiologi. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal
15 Mei 2021

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

39

Anda mungkin juga menyukai