Anda di halaman 1dari 14

I.

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Sindrom nefrotik ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,

hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat

hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ( Ngastiyah, 1997).

Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa

oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat

proteinuria berat (Mansjoer Arif, dkk. 1999). Nephrotic Syndrome

merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury

glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik :

proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan

edema (Suryadi, 2001).


Behrman (2001) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Kesehatan

Anak bahwa “pada anak karena mempunyai kelainan pembentukan

glomerulus”. Menurut tinjauan dari Robson, dari 1400 kasus, beberapa

jenis glomerulonefritis merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik

pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak (Price, 1995).


Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas sindrom nefrotik pada

anak masih tinggi yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas

mencapai 23%. Menurut Raja Sheh angka kejadian kasus sindrom

nefrotik di asia tercatat sebanyak 2 kasus tiap 10.000 penduduk

(Republika, 2005). Sedangkan angka kejadian di Indonesia pada

sindrom nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia

kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002). Mortalitas dan prognosis anak

dengan sindroma nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas

1
kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan responnya

terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).


B. Etiologi
Penyebab sindroma nefrotik ini belum diketahui, namun akhir-

akhir ini dianggap sebagai penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen-

antibodi. Dimana 80% anak dengan sindroma nefrotik yang dilakukan

biopsi ginjal menunjukkan hanya sedikit keabnormalannya, sementara

sisanya 20 % biopsi ginjal menunjukkan keabnormalan seperti

glomerulonefritis (Novak & Broom, 1999). Patogenesis mungkin

karena gangguan metabolisme, biokimia dan fisiokimia yang

menyebabkan permeabilitas membran glomerulus meningkat terhadap

protein (Whalley and Wong, 1998).


Behrman (2001), kebanyakan (90%) anak yang menderita nefrosis

mempunyai beberapa bentuk sindroma nefrotik idiopatik, penyakit lesi

minimal ditemukan pada sekitar 85%. Sindroma nefrotik sebagian besar

diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis.


Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Primer/ Idiopatik
a) Yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengn

sebab tidak diketahui.


b) Banyak terjadi pada usia sekolah (74% pada usia 2 – 7 tahun)
c) Pria dan wanita 2 : 1. Diawali dengan infeksi virus pada saluran

nafas atas.
2) Sekunder
a) Disebabkan oleh kerusakan glomerulus (akut/kronik) karena

penyakit tertentu.
b) Karena infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan

jaringan ikat, reaksi alergi, bahan kimia, penyakit metabolik,

penyakit kolagen, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena

2
renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif, glomerulonefritis

akut/kronis.
c) Banyak terjadi pada anak dengan penurunan daya tahan tubuh/

gangguan imunitas, respon alergi, glomerulonefritis. Dikaitkan

dengan respon imun (abnormal immunoglobulin).


d) Pada orang dewasa SN skunder terbanyak disebabkan oleh

dibetes mellitus.

3) Kongenital

a) Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi

fetomaternal.

b) Herediter Resisten gen.

c) Tidak resisten terhadap terapi malalui Transplantasi Ginjal.

C. Klasifikasi Nefrotik Syndrom


Menurut Whaley dan Wong (1999) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik

menjadi beberapa bagian yakni:

1) Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephritic

syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia

sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya

terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

2) Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus

eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis,

3
infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma

limfoproliferatif.

3) Sindrom Nefrotik Kongenital

Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif

autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya

pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit

ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi

pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan

dialysis.

D. Pathways Sindoma Nefrotik

4
E. Manifestasi Klinik
Menurut Suriadi ( 2001) tanda dan gejala dari syndrome nefrotik adalah

Gejala utama yang ditemukan adalah :

a) Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari

pada anak-anak. b) Hipoalbuminemia < 30 g/l. c) Edema

5
generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat

ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura. d) Anorexia.

e) Fatique. f) Nyeri abdomen. g) Berat badan meningkat. h)

Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. i)

Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis

vena dan arteri.

Betz, Cecily L (2002), tanda dan gejala syndrome nefrotik adalah

sebagai berikut:

a) Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema

biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka).

Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan

umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut

ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah. b)

Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa. c) Pucat

Hematuri, azotemeia hipertensi ringan. d) Anoreksia dan diare

disebabkan karena edema mukosa usus. e) Sakit kepala, malaise,

nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya

terjadi. f) Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa

usus. g) Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).

F. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi (2001), penatalaksanaan terapeutik sindrom nefrotik

yakni:

6
1. Diit tinggi protein

2. Pembatasan sodium jika anak hipertensi

3. Antibiotic untuk mencegah infeksi

4. Terapi deuritik sesuai program

5. Terapi albumin jika intake oral dan output urine kurang

6. Terapi predinson dengan dosis 2 mg/kg/per hari sesuai program

Sedangkan penatalaksanaan medis untuk sindroma nefrotik mencakup

komponen perawatan berikut ini :

a. Pemberian kortikosteroid (prednison).

b. Penggantian protein (dari makanan atau 25 % albumin).

c. Pengurangan edema : diuretic dan restriksi natrium (diuretika

hendaknya digunakan secara cermat untuk mencegah terjadinya

penurunan volume intravaskuler, pembentukan trombus dan

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit).

d. Inhibitor enzim pengkonversi-angiotensin (menurunkan

banyaknya proteinuria pada glomerulonefritis membranosa).

e. Klorambusil dan siklofosfamid (untuk sindroma nefrotik

tergantung steroid dan pasien yang sering mengalami

kekambuhan).

f. Obat nyeri untuk mengatasi ketidaknyamanan berhubungan

dengan edema dan terapi infasive.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan antara lain
1. Urine

7
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria).

Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya

darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.


2. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
3. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio

protein /kreatini urin pertama pagi hari.


4. Pemeriksaan darah.
5. Darah tepi (HB,Leukosit,hitung jenis,trombosit,

hematokrit,LED )
6. Kadar albumin dan kolesterol plasma klasik atau dengan rumus

Schwartz
7. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria

mikroskopis persisten.
8. Bila curiga lupus eritematosus sistemik pemeriksaan dilengkapi

dengan pemeriksaan kadar komplemen C4,ANA (anti nuclear

antibody),dan anti –dsDNA.


9. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian
(a) Pengumpulan data.
(b) Identitas klien.
(c) Identitas keluarga.
(d) Riwayat Kesehatan.
(e) Pemeriksaan Fisik.
1) Antropometri
2) Biokimia
3) Clinical sign
4) Diit
(f) Pola Aktivitas sehari-hari.
(g) Pemeriksaan penunjang.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan terjadinya

akumulasi cairan dalam jaringan karena proses penyakitnya,

retensi sodium.

8
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya edema

dan menurunnya sirkulasi.

C. Rencana Tindakan
Dari diagnosa keperawatan yang telah disusun, maka rencana tindakan

keperawatan menurut Suriadi (2001) adalah :


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi sodium dan

air.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan kelebihan cairan dalam tubuh pasien dapat dikurangi


Kriteria hasil :
a. Balance cairan negatif
b. Edema berkurang

No INTERVENSI RASIONAL

.
1. Buat catatan asupan dan keluaran Memberikan informasi tentang

yang akurat. Catat karakteristik status anak.

keluaran urine
2. Kaji adanya edema dengan untuk mengetahui perubahan

mengukur perubahan edema edema


3. Pantau berat jenis urine, albumin Mengetahui perubahan nilai

albumin, berat jenis urine guna

intervensi selanjutnya.
4. Pertahankan pembatasan cairan manajemen cairan, untuk

9
untuk pasien mengurangi kelebihan cairan
5. Berikan kortikosteroid untuk mengurangi protein dalam urine

menurunkan protein urine


6. Timbang berat badan anak setiap Kenaikan berat badan secara

hari dengan timbangan yang sama tiba-tiba dapat mengindikasikan

pada waktu yang sama setiap hari. kelebihan cairan ekstravaskular

Catat hasilnya dan bandingkan dan dapat menyebabkan

dengan berat badan sebelumnya. penurunan curah jantung.


7. Kolaborasi dengan tim medis meningkatkan volume urine

dalam pemberian terapi diuretik adekuat

sesuai indikasi

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi tanpa terjadi

perubahan pola makan pasien.

Kriteria hasil :

a. Pasien makan tepat waktu sesuai dengan kebiasaan makan

sehari-hari.

b. Porsi makanan yang disediakan habis dimakan

c. Pasien tidak mengalami mual dan muntah

No INTERVENSI RASIONAL

.
1. Kaji kebiasaan diet, masukan mengetahui atau mengambarkan

10
makanan saat ini perbedaan atau perubahan

sebelum sakit terhadap

kebiasaan diet.
2. Berikan makan sedikit demi meningkatkan proese

sedikit dan makanan kecil pencernaan dan toleransi

tambahan yang tepat tetapi sering terhadap nutrisi yang diberikan

dan mengurangi terjadinya

mual.
3. Buat pilihan menu yang ada dan variasi sediaan makanan akan

ijinkan pasien untuk mengontrol meningkatkan pasien untuk

pilihan sebanyak mungkin mempunyai pilihan terhadap

makanan yang dinikmati.


4. Anjurkan pada pasien untuk mulut yang bersih dapat

melakukan oral hygiene meningkatkan rasa makanan


5. Timbang berat setiap hari dan mengevaluasi keefektifan atau

bandingkan dengan berat badan kebutuhan dalam mengubah

sebelum sakit pemberian nutrisi


6. Catat masukan dan perubahan memberikan rasa kontrol pada

simptom yang berhubugan pasien dan kesempatan untuk

dengan pencernaan : anoreksia, memilih makanan yang

mual, muntah. diinginkan/dinikmati, dapat

meningkatkan masukan

makanan.
7. Konsultasikan dengan ahli gizi merupakan sumber yang efektif

untuk mengidentifikasi

kebutuhan nutrisi sesuai dengan

11
usia, berat badan, ukuran tubuh,

keadaan penyakit sekarang

3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya

edema dan imobilitas.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperatwan selama 3x24 jam

diharapkan mampu mempertahankan integritas kulit, menunjukan

penyembuhan luka.

Kriteria hasil :

Terdapat resolusi pada daerah sekitar luka

No INTERVENSI RASIONAL

.
1. Bantu anak mengubah posisi Pengubahan posisi yang sering

tubuhnya setiap 2 jam dapat mencegah kerusakan

kulit, dengan cara meniadakan

tekanan permukaan tubuh.


2. Lakukan perawatan kulit yang Perawatan kulit yang baik dapat

tepat, termasuk mandi harian menjagakulit bebas dari bahan

dengan menggunakan sabun pengiritasi dan membantu

pelembab, masase, pengubahan mencegah kerusakan kulit.

posisi dan penggantian linen serta

pakaian kotor.
3. Kaji kulit anak untuk melihat Pengkajian yang sering

bukti iritasi dan kerusakan keperti memungkinkan deteksi dini dan

12
kemerahan, edema, dan abrasi, intervensi yang tepat ketika

setiap 4-8 jam. dibutuhkan.


4. Topang atau tinggikan area-area Meninggikan atau menopang

yang mengalami edema, seperti daerah yang edema dapat

lengan, tungkai, dan skrotum, mengurangi edema.

dengan menggunakan bantal atau Menggunkan bedak dapat

linen tempat tidur. Gunakan bedak mengurangi kelembapan dan

pada area ini. gesekan yang di timbulkan

ketika permukaan tubuh saling

bergesek.
5. Tingkatkan jumlah aktivitas anak, Peningkatan aktivitas

seiring edema mereda. membantu mencegah kerusakan

kulit akibat tirah baring yang

lama.

Daftar Pustaka

http://asuhankeperawatan4u.blogspot.com/2012/12/asuhan-keperawatan-anak-

dengan-sindrom.html. diunduh 2015-11-24.

Mansjoer, Arif, dkk, (1999), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1,

Media Aesculapius: Jakarta

13
Ngastiyah. (1997), Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta

Suryadi dan Yuliani, Rita, (2001), Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada

Anak. Sagung Seto: Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai