Anda di halaman 1dari 21

TEHNIK EVAKUASI DAN REHABILITASI MENTAL

PADA KORBAN BENCANA ALAM

Oleh kelompok XIII :


 Pormina tambunan
 Fitri simanjuntak
 Aritha ginting

STIKes SANTA ELISABETH MEDAN


T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Tehnik Evakuasi Dan
Rehabilitasi Mental pada Korban Bencana Alam”

Makalah ini dapat dijadikan bahan sumber bacaan untuk menambah pengetahan.tugas
ini juga merupakan sarana untuk kami sebagai menambah syarat untuk melengkapi tugas
dalam mata kuliah keperawatan gawat darurat dan emergency yang telah ditugaskan.

Dalam makalah kami ini mendiskusikan sejumlah pokok bahasan seperti tentang
cara-cara mengevakuasi korban bencana alam pada kondisi tertentu baik menggunakan alat
maupun tidak menggunakan alat serta cara merehabilitasi mental korba pasca bencana alam .

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca maupun bagi kami, saran
serta kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini kami harapkan.

Medan, februari 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................

Daftar Isi.....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................

1.2 Tujuan Penulis......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Evakuasi korban bencana alam............................................................................

2.1.1 Pengertian Evakuasi......................................................................................

2.1.2 Syarat Korban Untuk Dapat Dievakuasi.......................................................

2.1.3 Hal Penting Bagi Penolong Saat Memindahkan Dan Mengangkat Korban..

2.1.4 Pedoman Tata Tertib Pengangkutan Beregu..................................................

2.1.5 Teknik Evakuasi............................................................................................

2.2 Rehabilitasi Post Disaster (Pasca Bencana).........................................................

2.2.1 Pengertian Rehabilitasi...................................................................................

2.2.2 Kondisi Psikologis Korban Pasca Bencana....................................................

2.2.3 Pemulihan Korban Pasca Bencana.................................................................

2.2.4 Terapi Psiko-Spiritual.....................................................................................

2.2.6 Pemulihan Sosial Psikologis..........................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................

3.2 saran.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Menurut International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) bencana adalah Suatu
gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian
yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan
melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumber daya mereka sendiri (PNPM, 2008).

Frekuensi bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti
mulai dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung
meletus. Yasuhiro Otomo (2013) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk bencana yaitu:
bencana yang diakibatkan oleh alam, bencana oleh manusia dan complex humanitarian
emergency (CHE). Bencana meninggalkan dampak bagi korbannya baik dari segi fisik,
psikologis, sosial , spiritual dan material serta ekonomi (Ilyas,2008).
Bencana maupun kecelakaan dapat mengenai siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Terkadang musibah ini dapat menimpa seseorang di tempat yang tidak diperkirakan dimana
keadaannya sama sekali tidak memungkinkan untuk pemberian pertolongan sehingga
pemindahan korban ke tempat yang lebih kondusif sangat diperlukan. Sebagai contoh korban
tabrakan yang masih berada di dalam mobilnya, korban yang terjatuh ke jurang, atau korban
dalam keadaan perang.

Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut, penyelenggaraan penanggulangan
bencana mencakup serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Selain itu pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan tentang tahap
rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana (BNPB,2010).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
rehabilitasi post disaster baik secara fisik, psikologis, dan komunitas pada bencana di
Indonesia.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Menganalisa kebijakan tentang peraturan pemerintah tentang penanggulangan
bencana tahap rehabilitasi.
2. Menaganalisa instansi yang bertanggung jawab terhadap rehabilitasi post
disaster di Indonesia.
3. Menganalisa rehabilitasi post disaster di Indonesia.
4. Menganalisa solusi dalam proses rehabilitasi post disaster di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Evakuasi Korban Bencana Alam

2.1.1 pengertian evakuasi


Istilah evaluasi dapat diartikan luas atau sempit.Evaluasi korban diartikan
sebagai upaya memindahkan korban ke pusat pelayanan kesehatan atau tempat
rujukan lainnya agar korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih
lanjut.Evaluasi korban merupakan kegiatan memindahkan korban dari lokasi
kejadian menuju ketempat yang aman,sehingga akhirnya korban mendapatkan
perawatan dan pengobatan lebih lanjut.

Upaya ini dalam situasi dan keadaaan tertentu sangat penting,misalnyasaat


evaluasi korban gawatdarurat,ketika korban harus mendapatkan perawatan dan
pengobatan dirumahsakit sehingga evakuasi korban ini dilakukan secara cepat dan
waspada serta diusahakan tidak memperburuk keadaan korban atau menambah
cedera baru.

2.1.2 Syarat korban untuk dapat dievakusi

1. Penilaian awal harus sudah dilakukan lengkap,dan keadaan umum korna


dipantau terus.
2. Denyut nadi dan nafas korban stabil dan dalam batas normal.
3. Perdarahan yang ada sudah diatasi dan di kendalikan
4. Patah tulang yang ada sudah ditangani.
5. Mutlak tidak ada cedera spina.
6. Rute yang dilalui memungkinkan dan tidak membahayakan penolong dan
korban.

Kenyamanan dan kondisi cedera harus menjadi pertimbangan utama dalam


memindahkan korban. Hal Ada dua hal penting,yaitu:

1. Lebih baik memindahkan barang-barang yang membahayakan korban.jika


hal ini tidak mungkin untuk dilakukan,baru dilakukan usaha memindahkan
korban.
2. Jangan memindahkan sendiri korban jika ada orang lain yang dapat
membantu.

Agar cedera korban tidak tambah parah,tunggu sampai orang yang ahli
datang karena penanganan yang ceroboh dapat memperparah
cedera.misalnya,tulang yang patah dapat merobek pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan hebat.Pilihlah teknik pengangkatan dan pemindahan
korban yang sesuai dengan kondisi cedera,jumlah tenaga penolong,ukuran tubuh
korba dan rute yang akan dilewati.
Penggunaan tubuh penolong dalam melakukan pengangkatan dan
pemindahan korban perlu mendapatkan perhatian yang serius.Jangan sampai
akibat cara melakukan yang salah cedera atau korban bertambah parah,atau
bahkan penolong mengalami cedera.

2.1.3 Hal penting bagi penolong saat memindahkan dan mengangkat korban

1. Memikirkan kesulitan memindahkan sebelum mencobanya.


2. Jangan mencoba mengangkat dan menurunkan korban jika tidak dapat
mengendalikannya.
3. Selalu memulai dari posisi seimbang dan tetap jaga keseimbangan.
4. Merencanakan pergerakan sebelum mengangkat.
5. Berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang
6. Menggunkan tumpuan kaki(paha)untuk mengangkat.
7. Mengupayakan untuk memindahkan beban serapat mungkin dengan tubuh
penolong.
8. Melakukan gerakan secara menyeluruh,serentak dan mengupayakan agar
bagian tubuh saling menopang.
9. Mengurangi jarak atau tinggi yang harus dilalu korban jika dapat dilakukan
10. Memperbaiki pososo dan mengangkat secara bertahap
11. Menjaga punggung tetap tegak waktu mengangkat korban atau menjaga
keselurusan tulang belakang dan membengkokkaan lutut untuk menopang
berat badan saat mengangkat korban
12. Berkoordinasi dan komunikasi antar-penolong dan juga persiapan fisik
penolong.

Pada pemindahan korban,jika perlu memperhatikan berbagai pertanyaan


berikut:kapan saatnya korban harus dipindahkan ,apakah penilaian dan pemeriksaan
korban harus selesai sebelum pemindahan,dan berapa lama waktu yang diperlukan
untuk menjaga tulang belakang,yang semua itu bergantung pada keadaaan.Tidak
perlu memindahkan korban yang tidak ada bahaya luar yang mengancam sebelum
korban ditangani.

Pemindahan darurat dilakukan apabila:

1. Ada bahaya langsung terhadap korban,seperti:kebakaran/bahaya


ledakan,bangunan yang tidak stabil,mobil terbalik yang mungkin akan
terbakar,kerumunan massa yang resah,ada material berbahaya,tumpahan
minyak,cuaca ekstrem dan sebagainya.
2. Memperoleh jalan masuk menuju korban lainnya.
3. Tindakan penyelamatan nyawa seperti RJP perlu memindahkan dan
mereposisi korban(kasus henti jantung)

Bahaya yang mungkin terjadi akibat proses pemindahan ini adalah memicu
terjadinya cedera spinal,yang dapat dikurangi dengan melakukan gerakan searah
dengan sumbu panjang badan dan menjaga kepala dan leher tetap ekstensi.pada
keadaan yang tidak darurat,pemindahan korban dilakukan apabila semuanya telah
siap dan korban selesai ditangani.
Pada korban luka berat atau terhimpit oleh benda berat atau bangunan,sangat
memerlukan resusitasi secepatnya.oleh karena itu,dalam mengevaluasikan
korban,tim penolong harus memiliki keterampilan melakukan resusitasi sebagai life
saving yang dilakukan bersamaan dengan pembebesan korban dari himpitan benda
berat dan membawa korban yang terisolasi disuatu tempat reruntuhan(mis:akibat
gempa)harus selalu dibarengi dengan prosedur resusitasi,tetapi prosedur ini
mengalami beberapa kesulitan seperti posisi korban dan ruangan yang sangat
terbatas untuk melakukan manuver oksigenasi.oleh karena itu,tim harus mempunyai
keterampilan dan alat khusus untuk membebeskannya.

Selama pembebasan(evakuasi)korban dari himpitan,tim penolong harus dapat


menstabilkan tulang belakang,mengibolisasi korban untuk memungkinkan adanya
fraktur tulang panjang,mengontrol rasa nyeri,dan mencegah kematian mendadak
akibat hiperkalemia atau hipotermia.Secara umum,ada berbagai contoh cara
memindahkan korban yaitu menarik(drag),mengangkat(carry)dan menopang(crutch).

2.1.4 Pedoman tata tertib pengangkutan beregu

Dalam sebuah operasi pertolongan,kita sering ditugaskan sebagai satu


kesatuan kelompok atau sebuah regu sehingga untuk menyeragamkan sikap dan
tindakan dalam pelaksanaan pertolongan pertama dalam pengangkutan beregu
maka perlu diperhatikan pedoman pelaksanaan angkutan beregu sebagai berikut:

1. Tiap regu terdiri dari sekurang-kurangnya 6 orang


2. Pembagian masing-masing anggota regu :
Ketua regu
Tugas:memberi komando dan mengatur pembagian tugas.melakukan RJP
Tempat saat mengangkat:berhadapan dengan anggota 3(membantu)
Tempat saat mengangkat:kanan-Belakang.
Wakil ketua regu
Tugas:membantu no.1 melakukan RJP,melakukan pengobatan dan pembalutan,serta
pembidaian anggota tubuh bagian atas.
Tempat saat mengangkat:bagian kepala dan dada korban.
Tempat saat mengangkat:kiri-Belakang.
Anggota A
Tugas:melakukan pengobatan dan pembalutan serta pembidaian anggota tubuh bagian
bawah
Tempat saat mengangkat:bagian dada dan pinggul
Tempat saat mengkaji:Kanan-depan.
Anggota B
Tugas:membantu anggota A
Tempat saat mengangkat:Bagian ektremitas bawah.
Tempat saat mengkaji:kiri-depan
Anggota c
Tugas:mempersiapkan dan membereskan peralatan/obat-obatan yang akan atau sudah
dipakai.bertindak sebagai penunjuk jalan.melakukan survei rintangan.
Tempat saat mengangkat:membenahi tandu dan peralatan/obat-obatan.
Tempat saat mengkaji:sebagai logistik didepan sebagai penunjuk jalan,membawa
bendera dan tas P3K
Anggota lain(jika ada)
Tugas:membantu anggota lain saat pertolongan.membawa tas,perlatan atau barang-
barang lain saat pengangkutan.siap mengganti anggota lain melakukan
pengangkutan.
Tempat saat mengangkat:-
Tempat saat mengkaji:berjalan paling akhir

3. Posisi korban saat diangkut adalah berbaringdiatas tandu atau posisi lainsesuai
kondisi dan indikasi korban dengan kaki menghadap kedepan,kecuali saat:
a. Melewati pagar/tembok penghalang.
b. Melewati gorong-gorong.
c. Naik tebing (jalan naik)
d. Melewati sungai yang arusnya berlawanan.
e. Melewati jalan sempit dengan angkutan tanpa alat (ATA)
f. Memasukkan korban ke ambulans.
4. Saat berjalan sebaiknya langkah penolong disamakan sehingga teratur dan
ritmis.Untuk itu,dalam mengawali setiap perjalanan langkah harus seragam dan
bersamaan.

 Pengangkatan korban,
Harus secara efektif dan efisien dengan dua langkah pokok; gunakan alat
tubuh (paha, bahu, panggul), dan beban serapat mungkin dengan tubuh
korban.
 Sikap mengangkat.
Usahakan dalam posisi rapi dan seimbang untuk menghindari cedera.
 Posisi siap angkat dan jalan.
Biasanya posisi kaki korban berada di depan dan kepala lebih tinggi dari kaki,
kecuali;
− menaik, bila tungkai tidak cedera,
− menurun, bila tungkai luka atau hipotermia,
− mengangkut ke samping,
− memasukan ke ambulan kecuali dalam keadaan tertentu
− kaki lebih tinggi dalam keadaan shock.
2.1.5 Teknik Evakuasi
Terdapat berbagai macam teknik dalam melakukan evakuasi dimana tekniknya
disesuaikan dan dikembangan menurut kondisi yang ada. Secara umum, teknik
dalam melakukan evakuasi dibagi sebagai berikut :
 Dengan alat
Dalam mengangkut korban dengan menggunakan tandu, biasanya 1 regu
penolong terdiri dari enam sampai tujuh orang, dengan tugas masing-masing:
 Pimpinan/ Komandan Regu : memberi komando, mengatur pembagian
kerja pada saat mengangkat berhadapan dengan wakil dan anggotanya,
tempat waktu mengusung : kanan depan tandu
 Wakil pimpinan regu : membantu pimpinan dan mengobati pasien,
waktu mengangkat : bagian bawah kaki, tempat mengusung : kiri depan
tandu.
 Anggota A : Mengobati dan membalut, waktu mengangkat : bagian
badan dan punggung, tempat waktu mengusung : kanan belakang tandu.
 Anggota B : Membantu anggota C mengatur tandu dan membalut,
waktu mengangkat : bagian kepala dan dada, tempat waktu mengusung :
kiri belakang tandu.
 Anggota C : Mengatur tandu dan menyiapkan obat dan alat yang
digunakan, waktu mengangkat : mengumpulkan alat-alat P3K dan
barang milik pasien, memantau kondisi pasien selama proses evakuasi.
 Angggota D : Menjadi Pemandu atau pembuka jalur dan memeriksa
situasi dan kondisi jalur yang akan atau sedang dilewati, mencatat hal-
hal penting.
 Tanpa alat
o 1 orang penolong
 Korban anak-anak
Cradle (membopong)
Penolong jongkok atau melutut disamping
anak/korban . Satu lengan ditempatkan di bawah
paha korban dan lengan lainnya melingkari
punggung. Korban dipegang dengan mantap dan
didekapkan ke tubuh, penolong berdiri dengan
meluruskan lutut dan pinggul. Tangan penolong
harus kuat dalam melakukan teknik ini.
Pick a back (menggendong)
Digunakan untuk korban sadar .Penolong
pertama jongkok atau melutut perintahkan
anak/korban untuk meletakkan lengannya
dengan longgar di atas pundak penolong.
Genggam masing-masing tungkai korban.
Berdiri dengan meluruskan lutut dan pinggul.

 Korban Dewasa
 Pick a back (menggendong)
Korban digendong dan berada dibelakang penolong dan igunakan untuk
korban sadar. Teknik ini sama seperti yang dilakukan pada anak.
Memapah (one rescuer assist)
Tindakan yang aman untuk korban yang adar
dan dapat dengan jalan memapahnya. Caranya
dengan berdiri disampingnya pada bagian yang
sakit ( kecuali pada cederaekstremitas atas)
dengan melingkarkan tangan pada pinggang
korban dan memegang pakaiannya pada bagian
pinggul dan lingkarkan tangan korban di leher
penolong dan memegangnya dengan tangan yang lain.

Menyeret (One Rescuer Drags)

Dapat digunakan untuk korban yang sadar maupun tidak sadar, pada jalan
yang licin (aman dari benda yang membahayakan) seperti lantai rumah,
semak padang rumput, dlla. Caranya dengan mengangkangi korban dengan
wajah menghadap ke wajah korban dan tautkan (ikatkan bila korban tidak
sadar) kedua pergelangan korban dan lingkarkan di leher. Merangkak
secara perlahan-lahan.
Kontraindaksinya adalah patah
atau cedera ekstemitas atas dan
pundak (scapula).
Fireman Lift

Merupakan tindakan yang aman


bagi korban baik dalam keadaan
sadar ataupun tidak sadar tetapi tidak
terjadi fraktur pada ekstremitas atas
atau vertebra. Biasanya digunakan pada korban dengan berat badan ringan.
Lebih dari 1 orang penolong
Membopong
Teknik pengangkutan yang teraman dari
semua teknik yang ada baik bagi korban
maupun penolong. Teknik ini tidak dapat
digunakan untuk korban yang tidak dapat
membengkokkan tulang belakang (cedera
cervical) dan cedera dinding dada. Caranya :
penolong jongkok/melutut di kedua sisi korban dengan pinggul menghadap
korban. Korban diangkat dalam posisi duduk dalam rangkain tangan penolong
dan instruksikan untuk meletakkan lengan-lengannya di atas pundak para
penolong, para penolong menggenggam tangan kuat-kuat di bawah paha
korban sedangkan tangan yang bebas digunakan untuk menopang tubuh
korban dan diletakkan di punggung korban.
Memapah
Korban berada ditengah-tengah penolong dan cocok
untuk korban sadar maupun tidak sadar dan tidak
mengalami cedera leher

Mengangkat
Cara paling aman untuk melakukan evakuasi pada korban yang tidak sadar
dan mengalami cidera multipel. Penolong lebih dari 2 orang dimana tiga/dua
penolong mengangkat badan dan salah seorang dari anggota tim memfiksasi
kepala korban. Pengangkatan ini dilakukan secara sistematis dan terkoordinir
untuk menghindari cidera yang lainnya.
Evakuasi tanpa menggunakan
tandu dilakukan untuk
memindahkan korban dalam
jarak dekat atau
menghindarkan korban dari
bahaya yang mengancam.
Untuk evakuasi dengan jarak
jauh seringan apapun cedera
korban usahakan untuk mengangkutnya dengan menggunakan tandu.
2.2 Rehabilitasi Post Disaster (pasca bencana)

2.2.1 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan bagian dari tahapan recovery dalam manajemen


bencana. Peraturan tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (BNPB, 2010).
Pasal 1 dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 17 tahun 2010 meyebutkan rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
(BNPB, 2010).
Peraturan tersebut juga menyebutkan instansi yang terkait yang berperan yang
saling berkordinasi dalam penanggulangan bencana pada tahap rehabilitasi dan
rekontruksi bencana yaitu lembaga BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di
Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah. Tujuan dari proses rehabilitasi dan rekontruksi
untuk membangun kesepahaman dan komitmen semua pihak dan menyelaraskan
seluruh kegiatan perencanaan pascabencana yang disusun oleh pemerintah pusat, dan
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang terkena
bencana. Rencana rehabilitasi dan rekontruksi, terdapat dalam substansi Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RENAKSI) yang disusun dalam kelompok meliputi
aspek – aspek seperti yang terdapat pada pasal 3 ayat (3) dalam peraturan tersebut yang
meliputi pembangunan manusia, perumahan dan permukiman, infrastruktur,
perekonomian, sosial dan lintas sektor. Pendanaan untuk proses rehabilitasi dan
rekontruksi pasca bencana berasal dari APBD Kabupaten/Kota untuk bencana skala
Kabupaten/Kota, APBD Provinsi untuk bencana skala Provinsi dan APBN untuk
bencana skala Nasional (BNPB, 2010).

2.2.2 Kondisi Psikologis Korban Pasca Bencana


Pasca-bencana memang terasa menyesakkan dada. Peristiwa memilukan
tersebut menyisakan berbagai kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selain
menderita luka fisik, para korban yang selamat juga mengalami gangguan psikologis
yang berdampak pada kondisi psikis pun spiritual mereka. Banyak analisis telah
memaparkan berbagai hal tentang realitas bencana yang terjadi hingga rencana ke
depan dalam membangun kembali daerah gempa dari keterpurukan. Untuk
rehabilitasi tersebut tentunya tak lepas dari pemahaman yang kongkrit mengenai
kondisi wilayah dan masyarakat yang meliputi kondisi pra-bencana dan pasca-
bencana. Dalam hal ini, tentunya penting pula diperhatikan bagaimana kondisi psikis
dan spiritual masyarakat, terutama mereka yang secara langsung menjadi korban
bencana.
Dalam banyak kejadian, rehabilitasi fisik relatif lebih kelihatan dan jelas pola
penanganannya, walaupun juga tidak mudah karena memerlukan mobilitas dana dan
prasarana yang tidak sedikit. Namun berbeda halnya dengan rehabilitasi psikis.
Kondisi katastropik tersebut telah meninggalkan luka psikis yang mendalam dalam
bentuk gejaka psikologis yang disebut gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic
stress disorder).
Gejala-gejalanya, seperti seolah-olah mengalami lagi peristiwa traumatik
tersebut (reexpriencing) yang sering menjelma dalam mimpi-mimpi buruk. Ada pula
gejala penghindaran (avoidance/numbing) yang mewujud dalam bentuk perilaku
ketakutan dan menghindar dari stimulus-stimulus yang mirip dengan pengalaman
traumatik. Boleh jadi dengan meningkatnya intensitas emosi (arousal) yang dapat
dilihat dari sering marah-marah, mudah tersinggung, gangguan tidur, rasa was-was,
dan kecurigaan yang tinggi.
Salah satu bencana tersebut adalah erupsi gunung Merapi, Tim Crisis and
Recovery Center (CRC), Fakultas Psikologi UGM melaporkan bahwa 2,5 % dari
populasi yang mengalami beban mental pasca bencana tersebut akan mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri pada jangka menengah dan panjang. Artinya,
kurang lebih 30 ribu korban selamat akan memerlukan bantuan psikologis mulai
minggu ketiga sampai kurang lebih tiga bulan kemudian. Selanjutnya yang perlu
diantisipasi adalah 1% dari populasi, atau kurang lebih 12 ribu orang yang
mengalami masalah psikologis pada masa yang lebih lama.
Dijelaskan bahwa prevalensi permasalahan psikologis akan lebih tinggi pada
kelompok rentan, yaitu korban yang mengalami luka-luka atau patah tulang.. Beban
psikologis yang dirasakan akan menurunkan daya tahan tubuh yang berdampak pada
proses pemulihan yang lebih lama atau bahkan memperparah kondisi penyakit.
Kelompok rentan yang lain adalah mereka yang telah memiliki masalah-masalah
psikologis sebelum bencana terjadi. Selain itu adalah ibu-ibu hamil dan bayi, serta
anak-anak di bawah usia sekolah. Demikian halnya dengan lansia yang selalu
menjadi kelompok rentan, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.

2.2.3 Pemulihan Korban Pasca Bencana.


Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah. Pengalaman
traumatis karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan
individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi
kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing korban
tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki
masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering
membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para
korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan
menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang
mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi
semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah
secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman
yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka
memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami.
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan.
Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk
menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau
kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di
mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan
akibat dari masalah yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun,
semua bermuara pada perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa
aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada
Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini
diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan
memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Ekspresi sikap pasrah itu gampang dijumpai
di lokasi bencana, “Matur nuwun, Gusti, kawula tasih dipunparingi keselametan...”
(Terima kasih, Tuhan, saya masih diberi keselamatan).
Mereka bersyukur masih diberi keselamatan. Pengalaman tersebut menjadikan
mereka semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus memaknai bencana
sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan
sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam
dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-
galanya. Bencana dapat diubah menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-
siaan apalagi keterkutukan.
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka
senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai
aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan
semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat
dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan
menjadikannya kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat
mengambil hikmah atas musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan
menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-bencana sebagai tantangan
untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir
dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif yang
memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas
pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna
luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu
untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut
memungkinkan individu untuk memaknai kembali hidupnya dengan membuat
perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi setelah mengalami musibah untuk
mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas bermanfaat
dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan.
Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan (reprioritization of goals).
Terlebih lagi, pribadi yang spiritual lebih mudah menyesuaikan diri pada saat
menangani kejadian-kejadian traumatis. Mereka pun lebih bisa menemukan makna
dalam krisis traumatis dan memperoleh panduan untuk memutuskan hal-hal tepat
apa saja yang harus dilakukan .

2.2.4Terapi Psiko-Spiritual

Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan,


manusia memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia
seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan
mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial
(jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-
sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual).

Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai


rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku
individu. Sementara itu, Susan Folkman, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas
sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan
hidup, yang terungkap dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan
hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order).
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan bahwa
kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah
spiritual yang dilakukan melalui beberapa tahapan.

 Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi,


seseorang dapat memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam
kondisi terpusat serta tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang
belajar dan berlatih untuk menguasai dirinya.
 Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran.
Artinya, setelah seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka
ia harus berani mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam
ungkapan-ungkapan yang sederhana melalui kekuatan pikiran.
Kekuatan pikiran ini nantinya akan mempengaruhi kekuatan perasaan
yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan adalah ruh
pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan. Karena itu,
konsentrasi merupakan hal penting untuk mengembangkan kekuatan
psikis seseorang.
 Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus
memiliki kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat
umumnya memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan
lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan mengekspresikan
dirinya.
 Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir.
Artinya, seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-
kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir, cemas, takut, atau
ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan dalam
mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata
yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan manajemen diri di
sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata beliau, “Pikiranmu
adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu.
Kebiasaanmu adalah awal dari karaktermu. Karaktermu adalah
takdirmu.”
 Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya
digunakan untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan
psikis yang dimiliki seseorang harus ditunda sebelum betul-betul
terkumpul dan berkembang melimpah. Saat itulah kekuatan psikis
mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri maupun orang lain.
Kekuatan psikis yang timbul dari energi spiritual bagaikan mata air
yang tercurah, melimpah secara konstan dan stabil. Karna itu, tinggal
pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan kemauan seseorang
untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang
bersifat menyembuhkan (terapeutik).

Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress”


yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu,
menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin
besar kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini
menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam
mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang
nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di
dalam hidup.

Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas


para korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara
spiritualitas dengan proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat
spiritualitas, semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh korban.
Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut
merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di
mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri
dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran
diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification),
dan tahapan pengembangan diri (self development). Pada fase penyadaran diri,
para korban akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang
menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri, penginsyafan diri, dan
pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian
yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap
peristiwa tersebut.

Selanjutnya, pada fase pengenalan diri, para korban akan dibimbing kepada
pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai
ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-
potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, pelbagai potensi itu perlu
segera dimunculkan. Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut
agar terus berkembang dan dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat
yang menyebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal
Tuhannya.”

Terakhir, pada fase pengembangan diri, para korban akan didampingi dan
difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual.
Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya. Adapun kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam
hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan kedamaian,
dan merasakan hubungan dengan alam semesta.

Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus


atas musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula
mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam
menemukan makna yang positif

2.2.6 Pemulihan Sosial Psikologis

Pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat


yang terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal.
Sedangkan kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen
masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan
ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih.
Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan
tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak
psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
pengertian evakuasi
Istilah evaluasi dapat diartikan luas atau sempit.Evaluasi korban diartikan
sebagai upaya memindahkan korban ke pusat pelayanan kesehatan atau tempat
rujukan lainnya agar korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih
lanjut.Evaluasi korban merupakan kegiatan memindahkan korban dari lokasi
kejadian menuju ketempat yang aman,sehingga akhirnya korban mendapatkan
perawatan dan pengobatan lebih lanjut.

Teknik Evakuasi Terdapat berbagai macam teknik dalam melakukan evakuasi dimana
tekniknya disesuaikan dan dikembangan menurut kondisi yang ada. Secara umum, teknik
dalam melakukan evakuasi dapat menggunakan alat dan tanpa alat.

Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan bagian dari tahapan recovery dalam manajemen
bencana. Peraturan tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (BNPB, 2010).
3.2 saran

Setelah pembaca memahami makalah ini di sarankan agar saat melakukan tindakan
evakuasi pada korban bencana sesuai dengan prosedur dan memperhatikan hal-hal
penting saat pengevakuasian korban tersebut dan juga memperhatikan fisik maupun psikis
dari korban.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Peraturan Kepala Badan


Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana.

Budiarto, Eko Kusumo. (2010). Kesehatan Mental di Aceh Pasca Tsunami. Jurnal Sosiologi
Dilema. ISSN; 0215-9635, Vol 21 No. 2 Tahun 2009

Cut Husna. (2010). Clinical Skills for Tsunami Care and Its Relating Factors Perceived by
Nurses in Indonesia. The 2nd International Conference on Humanities and Social Sciences
April 10th, 2010 Faculty of Liberal Arts, Prince of Songkla University Health –
Development_008

Hendro. Wartatmo.(2011). Seminar Strategi Untuk Menyusun Hospital Disaster Plan (HDP).
Di akses dari http://www.bencana-kesehatan.net tanggal 13 februari 2017

Ilyas Tommy. (2008). Mitigasi Gempa dan Tsunami di Daerah Perkotaan. Seminar Bidang
Kerekayasaan Fakultas Teknik-Unsrat.

Joshi, Madhavi., Ravindranath, Shailaja., Jain, Gopal Kumar & Nazareth, Keren. (2007).
Understanding disasters. Internship Series, Volume-III. ISBN: 978-81-89587-24-6.

Kumiko. Activities of Japanese Nursing Association in The Great east Japan Earthquake.
Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 13 februari 2017
Ishii. Mieko. (2013). Disaster Nursing 2. Institute for Graduate Nurses, Japanese Nursing
Association Senior Lecturer in Emergency Nursing at the Department of Courses for
Certified Nurses. Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.

Anda mungkin juga menyukai