Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas sebuah
tulang sebagai akibat dari cedera (Hinchliff, 2002). Fraktur adalah terputusnya
kesinambungan sebagian atau seluruh tulang/bahkan tulang rawan (Pusponegoro, 2012).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Smeltzer, 2002). Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Helmi, 2012).
Fraktur Femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis
bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).
Kesimpulan dari fraktur femur adalah patah tulang yang mengenai daerah tulang
paha yang dikarenakan tekanan, benturan, pukulan akibat dari kecelakaan serta kelainan
patologik pada tulang seperti adanya tumor, infeksi, pada pendertia penyakit paget) yang
mengakibatkan kerusakan jaringan tulang paha.
1.2 Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara
spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
ulit diatasnya.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
1.2 Patofisiologi
Patofisiologi Fraktur Femur Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan
dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini
merupakan dasar penyembuhan tulang.
1. Proses Fraktur
Trauma muskuluskeletal bisa menjadi fraktur dapat dibagi menjadi trauma langsung
dan trauma tidak langsung.
a) Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi pada daerah
tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan.
b) Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung merupakan suatu kondisi trauma dihantarkan ke daerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya, jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh.
2. Penyembuhan Tulang Normal
Ketika mengalami cedera fragmen. Tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan
parut, tetapi juga akan mengalami regenerasi secara bertahap. Ada beberapa tahapan dalam
penyembuhan tulang :
a) Fase 1 : Inflamasi
Respon tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respon apabila ada cedera di
bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan yang cedera dan pembentukan
hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena
terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel
darah putih besar) yang akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat
ini terjadi inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa
hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.

b) Fase 2 : Proliferasi sel


Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-
benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta invasi
fibroblast dan osteoblas.
Fibroblas dan osteoblas (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan sel periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan
tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut di rangsang oleh
gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Namun, gerakan yang berlebihan
akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukan potensial.
c) Fase 3 : Pembentukan dan Penulangan kalus (osifikasi)
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain
sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan dan serat tulang imatur. Bentuk kalus dan volume yang
dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan
jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar
fragmen tulang terhubung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis,
fragmen tulang tak bisa lagi digerakan.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu
patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus-menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang
panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat
bulan.

. Fase 3: Pembentukan dan Penulangan kalus


d) Fase 4 : Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan
reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan
waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun pada beratnya modifikasi tulang yang
dibutuhkan, fungsi tulang dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang
melibatkan tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan
dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik
kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan patah tulang
tidak lagi negatif.

Fase 4: Remodeling
Korteks mengalami revitalisasi

1.3 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala fraktur femur umumnya antara lain (Helmi, 2012) :
a) Nyeri.
b) Kehilangan fungsi.
c) Deformitas.
d) Pemendekan ekstermitas karena kontraksi otot.
e) Krepitasi.
f) Pembengkakan.
g) Perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur.
1.4 Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur dapat dibagi dalam klasifikasi penyebab, klasifikasi jenis, klasifikasi
klinis, klasifikasi radiologis (Helmi, 2012).
2. Klasifikasi Penyebab
a. Fraktur traumatik
Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang
besar. Tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi fraktur.
b. Fraktur patologis
Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam
tulang. Fraktur patologis terjadi di dalam tulang yang telah menjadi lemah karena
tumor atau proses patologis lainnya. Tulang seringkali menunjukan penurunan
densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur semacam ini adalah tumor, baik
primer maupun metastasis.
c. Fraktur stres
Disebabkan oleh trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.
3. Klasifikasi Jenis Fraktur
Berbagai jenis fraktur tersebut adalah sebagai berikut:
a. Fraktur terbuka.
b. Fraktur tertutup.
c. Fraktur kompresi.
d. Fraktur stress.
e. Fraktur avulsi.
f. Greenstick fraktur (fraktur lentuk/salah satu tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok).
g. Fraktur tranversal.
Fraktur tranversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah di
reposisi atau di reduksi kembali ketempatnya semula, maka segmen-segmen itu
akan stabil, dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
h. Fraktur kominutif (tulang pecah menjadi beberapa fragmen).
Fraktur kominutif adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan
dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang.
i. Fraktur impaksi (sebagian fragmen tulang masuk ke fragmen lainnya).
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi. Fraktur kompersi terjadi apabila dua tulang
menumbuk tulang yang berada di antaranya, seperti satu vertebra dengan dua
vertebra lainnya (sering disebut dengan brust fracture). Fraktur pada korpus
vertebra ini dapat di diagnosis dengan radiogram. Pandangan lateral dari tulang
punggung menunjukan pengurangan tinggi vertikal dan sedikit membentuk sudut
pada satu atau beberapa vertebra.

Klasifikasi jenis fraktur yang umum digunakan dalam konsep fraktur


(Sumber : Helmi, 2012)
4. Klasifikasi klinis
Manifestasi dari kelainan akibat trauma pada tulang bervariasi. Klinis yang
didapatkan akan memberikan gambaran pada kelainan tulang. Secara umum keadaan
patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Fraktur tertutup (closed fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana keadaan kulit tidak ditembus oleh fragmen
tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open fracture)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam (from
within) atau dari luar (from without).
c. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi
misalnya mal-union, delayed union, serta infeksi tulang.
1.5 Faktor-faktor Penyembuhan Fraktur
1) Umur penderita.
2) Lokalisasi dan konfigurasi fraktur.
3) Pergeseran awal fraktur.
4) Vaskularisasi pada kedua fragmen.
5) Reduksi serta imobilisasi.
6) Waktu imobilisasi.
7) Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak.
8) Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal.
9) Cairan sinovia.
10) Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak.
11) Nutrisi.
12) Vitamin D.
1.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologi
pada diagnosis fraktur, pemeriksaan yang penting adalah menggunakan sinar rontgen
(X-ray). Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam membaca gambaran
radiologis adalah 6A, yaitu sebagai berikut :
a. Anatomi (misalnya proksimal tibia).
b. Artikular (misalnya intra-Vs ekstra-artikular).
c. Alignment (misalnya : first plane).
d. Angulation.
e. Apeks (maksudnya fragmen distal fraktur).
f. Apposition.
CT scan biasanya dilakukan hanya dilakukan pada beberapa kondisi fraktur yang
mana pemeriksaan radiografi tidak mencapai kebutuhan diagnosis.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan untuk mengetahui lebih jauh
kelainan yang terjadi seperti berikut :
a. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
b. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH -5), Asparat
Amino Transferase (AST), aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lainnya
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas: Dilakukan pada kondisi
fraktur dengan komplikasi, pada kondisi infeksi, maka biasanya didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsy tulang dan otot : Diindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromiografi : Terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopi : Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e. Indium imaging : Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi.
f. MRI : Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
1.7 Komplikasi Fraktur
Secara umum komplikasi fraktur meliputi :
1. komplikasi awal
a. Syok.
b. Kerusakan Arteri.
c. Sindrom Kompartemen.
d. Infeksi.
e. Avaskular Nekrosis.
f. Fat Embolism Syndrome.
2. komplikasi lama
a. Delayed union.
b. Non-union.
c. Mal-union.
1.8 Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan fraktur di antaranya :
Pada fraktur femur tertutup, untuk sementara dilakukan traksi kulit dengan metode ekstensi
Buck, atau didahului pemakaian Thomas splint, tungkai ditraksi dalam keadaan ekstensi.
Tujuan traksi kulit tersebut untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan jaringan
lunak lebih lanjut di sekitar daerah yang patah.
Setelah dilakukan traksi kulit dapat dipilih pengobatan non-operatif atau operatif. Fraktur
batang femur pada anak-anak umumnya dengan terapi non-operatif, karena akan
menyambung baik. Perpendekan kurang dari 2 cm masih dapat diterima karena di kemudian
hari akan sama panjangnya dengan tungkai yang normal. Hal ini dimungkinkan karena daya
proses remodelling anak-anak.
a. Pengobatan non-operatif
Dilakukan traksi skeletal, yang sering metode perkin dan metode balance skeletal traction,
pada anak di bawah 3 tahun digunakan traksi kulit Bryant, sedangkan anak usia 3-13 tahun
dengan traksi Russell.
1. Metode perkin.
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibia dibor dengan
Steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan 3-4 bantal. Tarikan
dipertahankan sampai 12 minggu lebih sampai terbentuk kalus yang cukup kuat.
Sementara itu tungkai bawah dapat dilatih untuk gerakan ekstensi dan fleksi.
2. Metode balance skeletal traction.
Pasien tidur terlentang dan satu jari di bawah tuberositas tibia dibor dengan Steinman
pin. Paha ditopang dengan Thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang oleh
pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 12 minggu atau lebih sampai
tulangnya membentuk kalus yang cukup. Kadang-kadang untuk mempersingkat
waktu rawat, setelah ditraksi 8 minggu dipasang gips hemispica atau cast bracing.
3. Traksi kulit Bryant.
Anak tidur terlentang di tempat tidur. Kedua tulang dipasang traksi kulit,
kemudian ditegakan ke atas, ditarik dengan tali yang diberikan beban 1-2 kg sampai
kedua bokong anak tersebut terangkat dari tempat tidur.
4. Traksi russel.
Anak tidur terlentang, di pasang plester dari batas lutut. Dipasang sling di
daerah popliteal, sling dihubungkan dengan tali yang dihubungkan dengan beban
penarik. Untuk mempersingkat waktu rawat, setelah 4 minggu ditraksi, dipasang gips
hemispica karena kalus yang terbentuk belum kuat benar.
b. Operatif
Indikasi operasi antara lain :
a. Penanggulangan non-operatif gagal.
b. Fraktur multipel.
c. Robeknya arteri femoralis.
d. Fraktur patologik.
e. Fraktur pada orang-orang tua.
Operasi dapat dilakukan dengan cara terbuka atau cara tertutup. Cara terbuka yaitu
dengan menyayat kulit-fasia sampai ke tulang yang patah. Pen dipasang secara retrograde.
Cara interlocking nail dilakukan tanpa menyayat di daerah yang patah. Pen dimasukan
melalui ujung trokhanter mayor dengan bantuan image intersifier. Tulang dapat direposisi
dan pen dapat masuk ke dalam fragmen bagian distal melalui guide tube. Keuntungan cara ini
tidak menimbulkan bekas sayatan lebar dan perdarahan terbatas.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

Keterampilan dokumentasi proses keperawatan adalah keterampilan Proses


keperawatan sebagai proses yang terdiri atas 3 tahap : pengkajian, perencanaan dan evaluasi
yang di dasarkan pada metode ilmiah pengamatan, pengukuran, pengumpulan data dan
penganalisaan temuan (Doenges, 2000).
Dalam proses keperawatan mencakup pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
I. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar pengidentifikasian kebutuhan, respon dan masalah individu
(Doenges, 2000).
Menurut Hidayat (2001) pengkajian merupakan langkah pertama dari proses
keperawatan melalui kegiatan pengumpulan data atau perolehan data dari pasien guna
mengetahui berbagai permasalahan yang ada.
Data dasar pengkajian klien dengan Fraktur menurut Doenges (2000) adalah:
a) Aktivitas/istirahat
Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri, terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b) Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas) atau
hipotensi (kehilangan darah). Takikardi (respon stres, hipovolemia). Penurunan/tak ada
nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler lambat,
pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada
sisi cedera.
c) Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan/sensasi, spasme otot, parestesis.
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal dan pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin
berhubungan dengan nyeri ansietas atau trauma lain).
d) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera. (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan atau kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri
akibat kerusakan saraf. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi).
e) Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan
lokal (dapat meningkat secara bertahap/tiba-tiba).
f) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera.
Pertimbangkan rencana pemulangan : DRG menunjukan rerata lama dirawat: femur
7,8 hari; panggul/pelvis, 6,7 hari; lainnya 4,4 hari bila memerlukan perawatan di
rumah sakit.
Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri dan tugas
pemeliharaan/perawatan rumah.
B Diagnosa keperawatan
Menurut Doenges (2000), diagnosa yang muncul pada fraktur antara lain :
1. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
2. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot; gerakan fragmen tulang, edema, dan
cedera pada jaringan lunak; alat traksi/imobilisasi; stress, ansietas.
3. Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler berhubungan dengan
penurunan/interupsi aliran darah: cedera vascular langsung, edema berlebihan,
pembentukan thrombus; hipovolemia.
4. Risiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran;
darah/emboli lemak; perubahan membrane alveolar/kapiler; interstisial, edema paru,
kongesti.
C. Perencanaan
Dari diagnosa keperawatan yang telah disusun, maka rencana tindakan keperawatan
klien dengan fraktur menurut Doenges (2000) adalah:
1. Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur)
Tujuan : Meminimalkan terjadinya trauma.
Kriteria hasil : Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur; menunjukan mekanika tubuh
yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
Intervensi :
a. Mandiri
1) Pertahankan tirah baring/ekstermitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi di
atas dan di bawah fraktur bila bergerak atau membalik.
Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi
atau penyembuhan.
2) Letakan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur
ortopedik.
Rasional : Tempat tidur lentur atau lembut dapat membuat deformasi gips yang
masih basah, mematahkan gips yang sudah kering atau mempengaruhi dengan
penarikan traksi.
3) Sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut. Pertahankan posisi netral
pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, gulungan trokanter, papan
kaki.
Rasional : Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi. Posisi yang
tepat dari bantal juga dapat mencegah tekanan deformitas pada gips yang kering.
4) Tugaskan petugas yang cukup untuk membalik pasien. Hindari menggunakan
papan abduksi untuk membalik pasien dengan gips spika.
Rasional : Gips panggul, tubuh atau multipel dapat membuat berat dan tidak
praktis secara ekstrem. Kegagalan untuk menyokong ekstermitas yang di gips
dapat menyebabkan gips patah.
5) Evaluasi pembebat ekstermitas terhadap resolusi edema.
Rasional : Pembebat koaptasi (contoh jepitan jones-sugar) mungkin diberikan
untuk memberikan imobilisasi fraktur di mana pembengkakan
jaringan berlebihan. Seiring dengan berkurangnya edema, penilaian kembali
pembelat atau penggunaan gips plester mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kesejajaran fraktur.
Traksi
6) Pertahankan posisi/integritas traksi (contoh Buck, Dunlop, pearson, Russel).
Rasional : Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan
mengatasi tegangan otot atau pemendekan untuk memudahkan posisi atau
penyatuan. Traksi tulang (pen, kawat, jepitan) memungkinkan penggunaan berat
lebih besar untuk penarikan traksi daripada digunakan untuk jaringan kulit.
7) Yakinkan bahwa semua klem berfungsi. Minyaki katrol dan periksa tali terhadap
tegangan. Amankan dan tutup ikatan dengan plester perekat.
Rasional : Yakinkan bahwa susunan traksi berfungsi dengan tepat untuk
menghindari interupsi penyambungan fraktur.
8) Pertahankan katrol tidak terhambat dengan beban bebas menggantung, hindari
menghilangkan berat.
Rasional : Jumlah beban traksi optimal dipertahankan. Catatan : Memastikan
gerakan bebas selama mengganti posisi pasien menghindari penarikan berlebihan
tiba-tiba pada fraktur yang menimbulkan nyeri dan spasme otot.
9) Bantu meletakan beban di bawah roda tempat tidur bila diindikasikan.
Rasional : Membantu posisi tepat pasien dan fungsi traksi dengan memberikan
keseimbangan timbal balik.
10) Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul akibat terapi, contoh pergelangan tidak
menekuk/duduk dengan traksi Buck atau tidak memutar di bawah pergelangan
dengan traksi Russell.
Rasional : Mempertahankan integritas tarikan traksi.
11) Kaji integritas alat fiksasi eksterbal.
Rasional : Traksi Hoffman memberikan stabilisasi dan sokongan kaku untuk
tulang fraktur tanpa menggunakan katrol, tali/beban, memungkinkan
mobilitas/kenyamanan pasien lebih besar dan memudahkan perawatan luka.
Kurang atau berlebihannya keketatan klem atau ikatan dapat mengubah tekanan
kerangka, menyebabkan kesalahan posisi.
b. Kolaborasi
12) Kaji ulang evaluasi/foto.
Rasional : Memberikan bukti visual mulainya pembentukan kalus atau proses
penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan atau
tambahan terapi.
13) Berikan/pertahankan stimulasi listrik bila digunakan.
Rasional : Mungkin diindikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan tulang pada
keterlambatan penyembuhan atau tidak menyatu.
2. Nyeri Akut berhubungan dengan spasme otot; gerakan fragmen tulang, edema dan cedera
pada jaringan lunak; alat traksi atau imobilisasi; stress, ansietas.
Tujuan : Keadaan nyeri teratasi atau berkurang.
Kriteria hasil : Klien tampak rileks, klien mampu tidur atau istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a. Mandiri
1) Pertahankan imobilisasi yang bagian sakit dengan tirah baring, gips, pembebat,
traksi.
Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang atau
tegangan jaringan yang cedera.
2) Tinggikan dan dukung ekstermitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan menurunkan
nyeri.
3) Hindari penggunaan sprei atau bantal plastik dibawah ekstermitas dalam gips.
Rasional : Dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat peningkatan produksi
panas dalam gips yang kering.
4) Tinggikan penutup tempat tidur; pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.
Rasional : Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa ketidaknyamanan karena
tekanan selimut pada bagian yang sakit.
5) Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan
karaterisktik, termasuk intensitas (skala0-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal
(perubahan pada tanda vital dan emosi/perilaku).
Rasional : Mempengaruhi pilihan atau pengawasan keefektifan intervensi.
Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi atau reaksi terhadap nyeri.
6) Dorong pasien mendiskusikan masalah sehubungan dengan cedera.
Rasional : Membantu untuk menghilangkan ansietas. Pasien dapat merasakan
kebutuhan untuk menghilangkan pengalaman kecelakaan.
7) Jelaskan prosedur sebelum memulai.
Rasional : Memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga
berpartisipasi dalam mengontrol tingkat ketidaknyamanan.
8) Beri obat sebelum perawatan aktivitas.
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot dan meningkatkan partisipasi.
9) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit dan
memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
10) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, perubahan
posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
11) Dorong menggunakan teknik manajemen stress, contoh napas dalam, imajinasi,
visualisasi. Sentuhan terapeutik.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin
menetap untuk periode lebih lama.
12) Identifikasi aktivitas terpeutik yang tepat untuk usia pasien, kemampuan fisik, dan
penampilan pribadi.
Rasional : Mencegah kebosanan, menurunkan tegangan dan dapat meningkatkan
kekuatan otot; dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan koping.
13) Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa/tiba-tiba/dalam, lokasi
progresif/buruk tidak hilang dengan analgesik.
Rasional : Dapat menandakan terjadinya komplikasi, contoh infeksi, iskemia
jaringan, sindrom kompartemen.
b. Kolaborasi
14) Lakukan kompres dingin/es 24-48 jam pertama dan sesuei keperluan.
Rasional : Menurunkan edema/pembentukan hematoma, menurunkan sensasi
nyeri.
15) Berikan obat sesuai indikasi : Narkotik dan analgesik non narkotik; NSAID
injeksi contoh ketorolac (toradol); dan relaksan otot, contoh siklobenzaprin
(flekseril), hidroksin (vistaril). Berikan narkotik sekitar pada jamnya selama 3-5
hari.
Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan spasme otot. Penelitian toradol
telah diperbaiki menjadi lebih efektif dalam menghilangkan nyeri tulang, dengan
masa kerja lebih lama dan sedikit efek samping bila dibandingkan dengan agen
narkotik.
16) Berikan/awasi analgesik yang dikontrol pasien (ADP) bila indikasi.
Rasional : Pemberian rutin ADP mempertahankan kadar analgesik darah adekuat,
mencegah fluktuasi dalam penghilangan nyeri sehubungan dengan tegangan
otot/spasme.
3. Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
penurunan/interupsi aliran darah: cedera vaskular langsung, edema berlebihan, pembentukan
thrombus; hipovolemia.
Tujuan : Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer.
Kriteria hasil : Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat
atau kering, sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat
untuk situasi individu.
Intervensi :
a. Mandiri
1) Lepaskan hiasan dari ekstermitas yang sakit.
Rasional : Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
2) Evaluasi adanya/kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi atau
doopler. Bandingkan dengan ekstermitas yang sakit.
Rasional : Penurunan atau tak adanya nadi menggambarkan cedera vaskuler dan
perlunya evaluasi medik segera terhadap status sirkulasi. Waspadai bahwa
kadang-kadang nadi dapat terhambat oleh bekuan halus di mana pulsasi mungkin
teraba. Selain itu, perfusi melalui arteri lebih besar dapat berlanjut setelah
meningkatnya tekanan kompartemen yang telah mengempiskan sirkulasi
arteriol/venula otot.
3) Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : Kembalinya warna harus cepat (3-5 detik). Warna kulit putih
menunjukan gangguan arterial. Sianosis diduga ada gangguan vena.
4) Lakukan pengkajian neuromuskuler. Perhatikan perubahan fungsi motorik/sensori.
Minta pasien untuk melokalisasi nyeri atau ketidaknyamanan.
Rasional : Gangguan perasaan kebas, kesemutan peningkatan atau penyebaran
nyeri terjadi bila sirkulasi pada saraf tidak adekuat atau saraf rusak.
5) Tes sensasi saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari
pertama dan kaji kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari bila diindikasikan.
Rasional : Panjang dan posisi saraf perineal meningkatkan risiko cedera pada
adanya fraktur kaki, edema atau malposisi alat traksi.
6) Kaji jaringan sekitar akhir gips untuk titik yang kasar atau tekanan.
Rasional : Faktor ini mengindikasikan tekanan jaringan atau iskemia,
menimbulkan kerusakan atau nekrosis.
7) Awasi posisi atau luka cincin penyokong bebat.
Rasional : Alat traksi dapat menyebabkan tekanan pada pembuluh darah/saraf,
terutama pada aksila dan lipat paha, mengakibatkan iskemia dan kerusakan saraf
permanen.
8) Pertahankan peninggian ekstermitas cedera kecuali dikontraindikasikan dengan
menyakinkan pasien adanya sindrom kompartemen.
Rasional : Meningkatkan drainase vena atau menurunkan edema.
9) Kaji keseluruhan panjang ekstermitas yang cedera untuk
pembengkakan/pembentukan edema.
Rasional : Peningkatan lingkar ekstermitas yang cedera dapat di duga ada
pembengkakan jaringan atau edema umum tetapi dapat menunjukan perdarahan.
10) Perhatikan keluhan nyeri ekstrem untuk tipe cedera atau peningkatan nyeri pada
gerakan pasif ekstermitas, terjadinya parestesia, tegangan otot/nyeri tekan dengan
eritema dan perubahan nadi distal.
Rasional : Perdarahan edema berlanjut dalam otot tertutup dengan fasia ketat
dapat menyebabkan gangguan aliran darah dan iskemia miositis/sindrom
kompartemen, perlu intervensi darurat untuk menghilangkan
tekanan/memperbaiki sirkulasi.
11) Selidiki tanda iskemia ekstermitas tiba-tiba, contoh penurunan suhu kulit dan
peningkatan nyeri.
Rasional : Dislokasi fraktur sendi (khususnya lutut) dapat menyebutkan kerusakan
arteri yang berdekatan, dengan akibat hilangnya darah ke distal.
12) Dorong secara rutin latihan jari/sendi distal cedera. Ambulasi sesegera mungkin.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah
khususnya pada ekstermitas bawah.
13) Selidiki nyeri tekan, pembengkakan pada dorsofleksi kaki (tanda human positif).
Rasional : Terdapat peningkatan potensial untuk tromboflebitis dan emboli paru
pada pasien imobilisasi selama 5 hari atau lebih.
14) Awasi tanda-tanda vital. Perhatikan tanda-tanda pucat/sianosis umum, kulit
dingin, perubahan mental.
Rasional : Ketidakadekuatan volume sirkulasi
akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
15) Tes feses atau aspirasi gaster terhadap darah nyata. Perhatikan perdarahan lanjut
pada sisi trauma atau injeksi dan perdarahan terus-menerus dari membrane
mukosa.
Rasional : Peningkatan insiden perdarahan gaster menyertai fraktur/trauma dan
dapat berhubungan dengan stress dan kadang-kadang menunjukan gangguan
pembekuan yang memerlukan intervensi lanjut.
b. Kolaborasi
16) Berikan kompres es pada sekitar fraktur sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan edema/pembentukan hematoma yang dapat mengganggu
sirkulasi.
17) Bebat/buat spalk sesuai kebutuhan.
Rasional : Mungkin dilakukan pada keadaan darurat untuk menghilangkan
restriksi sirkulasi yang diakibatkan oleh pembentukan edema pada ekstermitas
yang cedera.
18) Kaji/awasi tekanan intrakompartemen.
Rasional : Peninggian tekanan (biasanya sampai 30 mm Hg atau lebih)
menunjukan kebutuhan evaluasi segera dan intervensi.
19) Siapkan untuk intervensi bedah (contoh, fibulektomi atau fasiotomi) sesuei
indikasi.
Rasional : Kegagalan untuk menghilangkan tekanan atau memperbaiki sindrom
kompartemen dalam 4 sampai 6 jam dari timbulnya dapat mengakibatkan
kontraktur berat/kehilangan fungsi dan kecacatan ekstermitas distal cedera atau
perlu amputasi.
20) Awasi Hb atau Ht, pemeriksaan koagulasi, contoh kadar protrombin.
Rasional : Membantu dalam kalkulasi hilangnya darah dan
membutuhkan keefektifan terapi pergantian.
21) Berikan warfarin natrium (Coumadin) bila diindikasikan.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik untuk menurunkan thrombus
vena dalam.
22) Berikan kaus kaki antiembolitik/tekanan berurutan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan pengumpulan vena dan dapat meningkatkan aliran balik
vena, sehingga menurunkan risiko pembentukan thrombus.
4. Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran;
darah/emboli lemak; perubahan membran alveolar/kapiler; interstisial, edema paru, kongesti.
Tujuan : Kerusakan pertukaran gas membaik.
Kriteria hasil : Fungsi pernapasan adekuat dibuktikan oleh adanya dispnea/sianosis:
frekuensi pernapasan dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
a. Mandiri
1) Awasi frekuensi pernapasan dan upayanya. Perhatikan stridor, penggunaan otot
bantu,retraksi, terjadinya sianosis sentral.
Rasional : Takipnea, dispnea, dan perubahan dalam mental dan tanda dini
insufiensi pernapasan dan mungkin hanya indikator terjadinya emboli paru ada
tahap awal.
2) Auskultasi bunyi napas perhatikan terjadinya ketidaksamaan, bunyi hiperesonan,
juga adanya gemericik/ronkhi/mengi dan inspirasi mengorok atau bunyi sesak
napas.
Rasional : Perubahan dalam atau adanya bunyi adventisius menunjukan
terjadinya komplikasi pernapasan, contoh atelekstatis, pneumonia, emboli, SDPD.
3) Atasi jaringan cedera tulang dengan lembut, khususnya selama beberapa hari
pertama.
Rasional : Ini dapat mencegah terjadinya emboli lemak (biasanya terlihat pada 12-
72 jam pertama), yang erat berhubungan dengan fraktur, khususnya tulang
panjang dan pelvis.
4) Instruksikan dan bantu dalam latihan napas dalam dan batuk, reposisi dengan
sering.
Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi, reposisi meningkatkan
drainase secret dan menurunkan kongesti pada area paru dependen.
5) Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, letargi, stupor.
Rasional : Gangguan pertukaran gas atau adanya emboli paru dapat menyebabkan
penyimpangan pada tingkat kesadaran pasien seperti terjadinya
hipoksemia/asidosis.
6) Observasi sputum atau tanda adanya darah.
Rasional : Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru.
7) Inspeksi kulit untuk petekie di atas garis putting; pada aksila, meluas ke
abdomen atau tubuh; mukosa mulut, palatum keras; kantung konjungtiva dan
retina.
Rasional : Ini adalah karateristik paling nyata dari tanda emboli lemak, yang
tampak 2-3 hari setelah cedera.
b. Kolaborasi
8) Bantu dalam spirometri insentif.
Rasional : Memaksimalkan ventilasi atau oksigenasi dan meminimalkan
atelekstatis.
9) Berikan O2 tambahan bila diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan sediaan O2 untuk oksigenasi optimal Jaringan.
10) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh seri GDA.
Rasional : Menurunkan PaO2 dan peningkatan PaCO2 menunjukan gangguan
pertukaran gas atau terjadinya kegagalan.
11) Berikan obat sesuai indikasi :
Heparin dosis rendah
Rasional : Blok siklus pembekuan dan mencegah bertambahnya pembekuan pada
adanya trombofebitis.
Kortikosteroid
Rasional : Steroid telah digunakan dengan beberapa keberhasilan untuk mencegah
atau mengatasi emboli lemak.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, Dkk., ( 2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
Fkui, Jakarta.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Egc : Jakarta
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : Agc. Monica
Ester. Egc. Jakarta
Anderson, Sylvia Price. 1985. Pathofisiologi Konsep Klinisk Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Egc.
Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Egc.

Anda mungkin juga menyukai