Anda di halaman 1dari 5

KETIGA

Aku dibangunkan nyanyian kecil di bawah jendela kamarku.Mas Joko masih tidur.Aku tidak tahu
jam berapa ia tidur semalam.Setelah habis bicara bicara dengan paman, Mas Joko masih membaca dan
menulis.Aku merasa pasti suara itu suara Sri. Buru-buru aku bangun. Cuci muka dan sisiran.
“Bagus benar bunga-bungamu Sri,” tegurku. Sri Bayuni agak kaget. Aku menegurnya hanya dua
langkah di belakangnya dengan sengaja.
“Saya senang pada bunga Mir, bunga-bungaan yang ada di seluruh pekarangan, sayalah yang
menanam dan merawatnya. Bagaimana tidurmu,enak? Bunga-bunga di Medan tentu lebih bagus!”
jawab Sri kembali meneruskan pekerjaannya.
Sri Bayuni masih memakai pakaian tidur. Ia sebaya denganku. Ku taksir umurnya paling jauh 17
tahun. Ia kelihatan cantik mirip Bibi. Badannya padat mengambil badan paman Hamzah. Rambutnya
panjang di biarkan terurai. Ia kelihatan seperti sekuntum bunga yang sangat elok di siram embun pagi
yang sejuk. Entah perasaan apa yang timbul dalam hatiku terhadap Sri. Cuma aku hanya dapat
mengatakan, bahwa aku merasa sangat senang dan berbahagia.
“Bunga-bunga apa maksudmu Sri,” tanyaku seperti mencoba menerka isi hatinya.
“Ya bunga. Bunga-bunga seperti yang kusiram tentunya,” jawab Sri menoleh dan menatap persis
pada mataku. Aku tertegun melihat mata Sri yang bening.
Sejenak kami berpandangan. Sri tersenyum manis. Aku tersenyum, cuma aku tidak tahu
bagaimana senyumanku dilihat oleh Sri. Sri tertawa aku pun tertawa.
“Kak Amir sudah pintar , ya?
“Pintar bagaimana Sri!”
“Pintar seperti itulah. Ditanya bunga, di jawab bunga yang bagaimana. Berarti ada bunga yang
lain, selain dari bunga yang biasa bukan?”
Sri tertawa , Aku tertawa. Sri tersenyum , aku tersenyum. Kubantu ia menyiram bunganya.
“Bunga-bungamu bagus-bagus. Segar dan manis-manis Sri. Tapi masih lebih manis yang punya ,”
kataku makin berani menggodanya. Dengan sengaja kucripatkan air ke kakinya yang putih. Sri meloncat,
menjerit. Kemudian mencubitku. Dicubit begitu tentu aku semakin senang, Aku tertawa.
Tawaku terhenti, ketika Bibi muncul dari jendela kamar depan.
“Bi, lihat Bi Sri nakal. Orang nyiram bunga malah dicubit!” kataku sambil tertawa, Bibi juga
tertawa.
“Bohong Bu, kak Amir yang nakal, saya menyiram bunga digodain terus,” Sri membela diri
dengan suara yang manja.
“He laki-laki menyiram bunga namanya banci!” tukas Farida menjulurkan separo badannya dari
jendela kamar tengah. Kupercikkan air kemukanya, dengan cepat ia menarik mukanya di dalam kamar.
“Hati-hati Sri, baru sehari, naga-naganya ada udang di balik batu. !”
kata Farida menjulurkan badannya kembali ke luar jendela. Dengan cepat air kupercikkan ke mukanya.
Dan kena!
“Tapi Sri dengat cepat merampas menyiram bunga dari tanganku. Setelah menyiram celana
tidurku, ia berlari ke dapur. Kukejar dari belakang. Aku menghentikan kejaranku, ketika kakiku memijak
kaki anak kucing. Anak kucing menjerit kesakitan. Aku kaget.
“Aduh , Bibi rasanya sangat berbahagia pagi ini,” kata Bibi dating dari kamar tengah.
“Kenapa Bi”
“Karena pagi ini tawa banyak berderai. Kalau sebuah rumah terdengar banyak tertawa di
dalamnya, adalah suatu tanda pasti bahwa penghuninya diliputi rasa bahagia!”
“Karena kak Amir , ternyata seorang Arjuna yang pintar menggoda!” sela Sri yang kemudian
berlari ke ruang depan.
Dari dapur kulihat paman sudah berpakaian rapi siap ke kantor.Paman minum kopi sambil
membawa koran yang beliau terima sendiri dari pengantar koran.
“Daerah ini namanya Matraman, suatu peringatan sejarah terhadap laskar Mataram yang
mengepung Betawi dulu, dalam usaha Sultan Agung untuk mengusir Belanda dari Indonesia.,” Mas Joko
menjelaskan ketika mobil kami melewati sebuah masjid. Seperti kemarin Mas Joko yang menyetir
mobil. Farida duduk di depan bersama Mas Joko, aku di belakang bersama Sri.
“Kalian tentu sudah mempelajarinya dalam sejarah bukan? Tapi mengetahui persis dimana
peristiwa sejarah itu berlaku adalah suatu hal yang menyenangkan. Jakarta kota tua, tapi sangat cepat
berkembang. Jakarta menyimpan nilai sejarah yang sangat besar artinya bagi rakyat Indonesia. Dari
Jakarta-lah Belanda mulai penjajahannya, tapi di Jakarta pulalah Sukarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Proklamasi itu mengakhiri masa masa penjajahan 3 abad lebih,
yang telah menciptakan penderitaan dan kerusakan yang tiada taranya bagi bansa Indonesia.”
Sejak aku masih duduk di Sekolah Dasar, aku sangat menyenangi mata pelajaran sejarah. Sejak
kami mempelajari sejarah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, aku hapal betul teks proklamasi
itu. Dan aku selalu diliputi kebanggaan terhadap tokoh-tokoh proklamasi dan pejuang-pejuang
kemerdekaan itu. Bahkan bukan hanya rasa bangga, aku mengagumi dan memuja mereka dalam hatiku.
Dan hari ini aku menginjakkan kaki di tanah di mana peristiwa sejarah itu dulu berlaku. Ada
perasaan gembira dan senang yang sukar untuk dikatakan dengan kata-kata dalam hatiku, benarlah kata
Mas Joko. Mengetahui persis tempat dimana suatu peristiwa sejarah yang sejak lama kita dengar adalah
sangat menyenangkan.
“Di sinilah dulu Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan itu,” kata Mas Joko beberapa
detik kemudian, setelah mobil kami membelok kekiri dan masuk ke pekarangan luas sebuah gedung.
“Pegangsaan Timur 56,” kataku dengan hafal.
“Sekarang namanya sudah Jalan Proklamasi ,” Sri menambahkan. “ Sayang rumah kediaman
Bung Karno sendiri sudah di bongkar, Gedung itu adalah gedung Pola sebagai gantinya.”
Kami turun dari mobil. Pekarangan gedung Pola cukup luas, ditumbuhi rumputan yang
dipelihara, indah dipandang mata di bawah rindangnya pepohonan. Di tengah pekarangan terdapat
sebuah tugu.
Mas Joko menjelaskan, tugu itulah tugu pertama di Indonesia yang mengabadikan Hari
Proklamasi Kemerdekaan yang bersejarah itu. Sekalipun tidak begitu besar, tapi nilainya sangat besar.
Tugu itu pulalah sebagai bukti nyata sumbangan kaum wanita Indonesia dalam perjuangan
Kemerdekaan. Didirikan oleh kaum wanita replubiken, dan diresmikan oleh Perdana Menteri Sutan
Sjahrir pada hari ulang tahun Republik Indonesia yang pertama 17 Agustus 1946.
“Tapi tugu yang kita lihat sekarang ini , bukanlah tugu yang diresmikan oleh Perdana Menteri
Sutan Sjahrir itu,” kata Mas Joko ketika kami berempat sudah berada di dekat tugu itu.
“Lantas, tugu ini tugu apa?” kataku tak mengerti.
“Tugu Proklamasi yang diresmikan oleh Sutan Sjahrir dulu pernah dibongkar menjelang
perayaan 17 Agustus ditahun 60-an, kata orang atas perintah Presiden Sukarno almarhum sendiri. PKI
yang waktu itu semakin menjadi-jadi kekuasaannya mencap tugu itu sebagai Tugu Linggarjati yang
kompromi terhadap Belanda dimasa perjuangan bersenjata. Alasan mereka sudah tentu karena selain
Persetujuan Linggarjati diadakan berdasarkan kebijaksanaan yang diambil oleh Kabinet Sutan
Sjahrir,tentu karena Sutan Sjahrir sendirilah yang meresmikannya. “
“Kalau begitu tugu ini, palsu dong!” , sela Firda
“Dikatakan palsu, saya kira pendapat yang keliru,” kata Mas Joko seperti mau membela tugu
proklamasi yang dihadapan kami “Setelah meletusnya pemberontakan G 30 S yang didalangi PKI, orang
mulai sadar dan merindukan kehadiran tugu itu kembali. Banyak saran dari masyarakat agar tugu
proklamasi dapat direkontruksi kembali. Akhirnya Gubernur DKI Jakarta Raya turun tangan ,
dikeluarkanlah surat keputusan tentang pemugaran dan pembangunan kembali tugu peringatan
proklamasi itu. Karena tokoh-tokoh pendiri tugu itu masih hidup, lagi pula Biri Teknik yang
mendirikannya dulu juga masih ada, dapatlah dipastikan tugu itu hampir taka ada bedanya dengan tugu
yang dibongkar dulu.”
Pada tugu proklamasi itu terdapat teks asli proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung
Karno pada jam 10.00 tanggal 17 Agustus 1945., dalam suasana emosi perjuangan yang tidak
memperdulikan bayonet Jepang. Terdapat pula gambar kepulauan Indonesia.
Ketika kami menuju gedung Pola, tergetar seluruh perasaanku. Terbayang di depan mataku
muka-muka yang tegang dari para pejuang,dan hiruk pikuknya sekitar Pegangsaan Timur 56 menjelang
saat proklamasi itu. Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, tentulah tidak akan merasakan lagi seperti apa
yang kurasakan saat itu. Sejak di bangku Sekolah Dasar aku sudah mempunyai gambaran tersendiri di
mata angan-anganku tentang peristiwa itu.
Sekarang aku sadar betapa ibu-kota Jakarta ini , sarat akan peristiwa sejarah. Daerah dimana
tentar Sultan Agung mengkonsolidir diri di tahun 1628, untuk menghancurkan kompeni yang memulai
kekuasaannya di muara Sungai Ciliwung, telah dijadikan tempat pengumuman proklamasi kemerdekaan
rakyat Indonesia 317 tahun kemudian.
Suatu jarak sejarah yang mengagumkan!
Dari gedung megah yang menggantikan gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 , kami
meneruskan perjalanan lewat Jalan Diponegoro menuju Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya
No. 106.
Ketika keluar dari pekarangan Gedung Proklamasi , yang sekarang rupanya umum dikenal oleh
masyarakat Jakarta sebagai Gedung Pola,hatiku kecewa. Gedung Pegangsaan Timur 56, sejak dulu sudah
kukenal melalui gambar-gambar. Sekarang sudah tidak ada lagi. Penamaan Gedung Pola terhadap
gedung itu , rupanya karena pada masa pemerintahan Orde lama gedung itu dipakai untuk ruang
pameran Pola Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Demikian dikatakan salah seorang
penjaga gedung yang memang megah itu padaku.
Berlainan dengan gedung tempat kediaman Bung Karno , Gedung Pegangsaan Timur 56 yang
sudah lenyap itu , gedung Sumpah Pemuda masih utuh. Baru dipugar oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
“Kau tentu tidak merasa apa- apa memasuki gedung bersejarah ini Sri, karena tiap hari kau bisa
melewati atau melihatnya. Tapi bagiku lain halnya. Aku merasakan kebesaran arti gedung ini. Kebesaran
Sejarah dalam arti pentingnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bagi bangsa Indonesia,” kataku pada
Sri ketika kami berdua berada di ruang tengah gedung itu. Sementara Farida dan Mas Joko duduk di
bagian belakang gedung.
“Itu pendapat kak Amir pribadi tentunya. Saya kira setiap putera bangsa Indonesia yang
mengerti sejarah bangsanya , yang cinta kepada tumpah darah , bangsa dan bahasa Indonesia pastilah
akan tergetar hatinya jika memasuki gedung ini. Karena dari gedung Sumpah Pemuda inilah, putra-putri
Indonesia yang bersal dari berbagai suku dan berbagai organisasi pemuda kedaerahan mencetuskan
ikrarnya. Ikrar 28 Oktober 1928 itu, telah mempersatukan seluruh pemuda dan rakyat Indonesia dalam
satu sikap dan pengakuan akan tumpah darah, bangsa dan bahasa yang satu. Ikrar itu kemudian
menjadi suluh bagi pejuang-pejuang kita untuk mencapai kemerdekaan,” jawab Sri.
Jawaban itu benar –benar di luar dugaanku. Tidak kuduga bahwa Sri yang kelihatan selalu riang
seperti tak kenal susah itu mempunyai pengertian yang demikian dalam. Rasa kagum dalam diriku
terhadap Sri tanpa kusadari telah bersemi.
“Gedung ini terjadi adalah merupakan asrama mahasiswa yang datang ke Jakarta dari berbagai
daerah untuk belajar. Karena umumnya keadaan ekonomi mereka tidak begitu kuat, meka itu
memondok dalam gedung ini. Mereka menyewa pada seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liang.
Sebagai mahasiswa Nasional yang semangat kebangsaan dan persatuan sudah muncul di kalangan
mereka, akhirnya asrama itu berubah menjadi semacam perkumpulan politik. Tempat arena diskusi bagi
para pemuda dan tokoh- tokoh politik. Mereka dengan berani menulis Gedung Perkumpulan Indonesia
atau Indonesische Clubhuis di depan gedung ini. Di sinilah pemuda- pemuda Indonesia itu
menggembleng dirinya untuk menjadi pemimpin bangsa,” kata salah seorang pegawai Gedung Sumpah
Pemuda itu kepada kami.
Ia kemudian menyebutkan sejumlah nama-nama pemuda yang pernah tinggal dalam gedung itu,
seperti Moh. Yamin, Amir Syariffudin, Surjadi,Asaat, Abu Hanifah , A.K. Gani, Tamzil, Sumanang dan lain
–lainnya. Pemuda oemuda itu ternyata hampir keseluruhannya menjadi tokoh-tokoh yang terkemuka
dalam pemerintahan dan berbagai bidang kemudiannya.
Ternyata Gedung Sumpah Pemuda itu juga pernah hampir mengalami nasib yang sama seperti
Gedung Proklamasi. Untung dapat segera diselamatkan. Menurut penjaga gedung itu, para pemuda
nasional yang tinggal dalam gedung itu pernah terpaksa meninggalkan gedung itu karena tidak dapat
membayar sewanya. Hal mana menyebabkan mereka terpaksa berurusan dengan pengadilan Belanda.
Sejak itu gedung bersejarah itu menjalani berbagai riwayat yang tidak ada hubungannya dengan
perjuangan. Pernah jadi hotel , kemudian menjadi Kantor Inspeksi Bea Cukai . Beruntunglah bangsa
Indonesia karena Gubernur Jakarta Raya cepat turun tangan. Memugar dan menetapkan gedung itu
sebagai Gedung Sumpah Pemuda , gedung monument yang dilindungi undng-undang.
Ketika keluar dari gedung itu , seperti terngiang di telingaku suara rapat yang gemuruh dari para
pemuda, muka- muka tegang dan serius dalam perdebatan. Bagaimana Moh.Yamin sekretaris Panitia
Kongres Pemuda II yang bersejarah itu, sebagi pemuda berumur 25 tahun dengan penuh semangat
mengucapkan pidatonya yang berjudul “ Persatuan dan Kebangsaan Indonesia. “ Bagaimana mahasiswa
Sekolah Tinggi Hukum yang masih tingkat I itu, merumuskan putusan-putusan Kongres yang kemudian
terkenal menjadi isi Sumpah Pemuda itu.
Pemuda asal Sumatera itu kemudian lalu memberikan naskah perumusannya itu unyuk di
bacakan oleh Ketua Kongres Sugondo Djoyopuspito di muka para peserta Kongres, lewat tengah malam.
Lalu seluruh hadirin yang tadinya gemuruh , tiba-tiba jadi hening mendengarkan suara Ketua:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Para hadirin dengan penuh semangat yang meluap lalu menyanyikan lagu “Indonesia Raya,“
ciptaan komponis nasional Wege Rudolf Supratman . Lagu mana kemudian hari ditetapkan sebagai Lagu
Kebangsaan . Dinyanyikan dengan penuh khidmat oleh setiap putra-putri Indonesia sampai sekarang,
pada setiap upacara kenegaraan, pada pemakaman para pahlawan, pada peringatan hari-hari
bersejarah. Diikuti pengibaran bendera kebangsaan,Sang Merah Putih.
Bendera Merah Putih , lagu kebangsaan Indonesia Raya , burung Garuda Pancasila, pada
Sumpah Pemuda yang bersejarah itu juga telah diakui sebagai lambing kesatuan dan persatuan, tanah
air, bangsa dan bahasa. Pengakuan mana kemudian menjadi ketetapan setelah kemerdekaan, dalam
negara Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai