Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Atresia koana pertama kali dikemukakan oleh Roederer pada tahun 1775.
Kelainan ini merupakan suatu obstruksi menyeluruh atau sebagian koana posterior
(nares interna) yang menetap, dapat terjadi unilateral atau bilateral. Sebanyak 90%
kelainan obstruksi ini terdiri dari tulang, sedangkan 10% berupa selaput dengan
ketebalan 1-10 mm, dan merupakan kelainan bawaan atau didapat. Angka kejadian
kelainan ini sekitar 1 diantara 7000-8000 kelahiran hidup. Perbandingan perempuan
dan laki-laki adalah 2:1, dan kelainan unilateral dan bilateral adalah 2:1.2
Atresia koana merupakan kelainan tersendiri, tetapi sekitar 20-50% disertai
dengan kelainan lain. Ada beberapa kelainan yang dihubungkan dengan atresia
koana, yaitu koloboma retina, kelainan jantung, hipoplasia alat kelamin pada laki laki,
keterbelakangan pertumbuhan atau mental termasuk sistem saraf pusat, dan kelainan
telingan termasuk tuli, yang kesemuanya disebut sindrom CHARGE dan kelainan
kongenital lainnya adalah Crouzon syndrome, Pfeiffer syndrome dan Antley-Bixler
syndrome (75% kasus)2
Gejala yang paling khas pada atresia koana adalah tidak adanya atau tidak
adekuatnya jalan napas hidung. Pada bayi baru lahir yang hanya bisa bernapas
melalui hidung, kondisi ini merupakan keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan
yang cepat pada jalan napas atas untuk menyelamatkan hidupnya. Obstruksi koana
unilateral kadang-kadang tidak menimbulkan gejala pada saat lahir tapi kemudian
akan menyebabkan gangguan drainase nasal kronis unilateral pada masa anak-anak
sedangkan atresia koana bilateral menyebabkan keadaan darurat pada saat kelahiran.2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa


pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri atas ostium
nasalis, prosesus frontalis ostium maksila dan prosesus nasalis ostium frontal.
Sedangkan tulang rawan terdiri atas sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar
mayor dan terakhir tepi anterior kartilago septum. 1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan hingga ke
belakang yang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengah yang membagi antara
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior.1
Dinding medial hidungialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3)
krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah
1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh

2
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.1
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfeniod.1
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk ole hos
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,
tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut
saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1

3
Gambar 1: susunan tulang pada hidung

Gambar 2: Bagian-bagian hidung dalam pemotongan lateral

4
2.1.2 Pendarahan Hidung

Pendarahan hidung dibagi atas pendarahan bagian atas, bawah, depan dan
pada bagian septum. Pada bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis interna. 1
Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung diperdarahi oleh
cabang-cabang dari arteri facialis. 1
Pada bagian septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Little’s area). 1

2.1.3 Persarafan Hidung

Otot-otot hidung bagian luar dipersarafi oleh nerws fasialis, yang


merupakan nervus motorik. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari nerws etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
nasosiliaris yang berasal dari nervus optalmikus. Rongga hidung lainnya sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenoplatina.1
Ganglion sfenopalatina selain memberikan perasarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut-serabut sensoris dari maksila, serabut parasimpatis dari
nervus petrosus prafundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit
diatas ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
kribrosa dari. permukaan bawah bulbus olfaktori dan kemudian berakhir pada sel -
sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepetiga atas hidung. 1

5
2.1.4 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan fungsi fungsionalis, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. 2) fungsi penghidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulis
penghidu. 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran udara sendiri melalui konduksi tulang. 4) fungsi static
dan mekanik untuk meringankan baban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas. 5) refleks nasal.1

2.1.5 Embriologi Hidung


Hidung dibentuk oleh nasal pacode saat minggu ketiga dan keempat dalam
kehidupan intrauterine. Setiap nasal placode merupakan permukaan ektoderm
lokal yang kental dan merupakan daerah lateral dari kepala saat menjadi embrio,
saat itu dinamakan oral stoma. Nasal placode ini akan masuk kemesenkim dan
akan dibentuk yang selanjutnya menjadi lubang hidung. Hipertrofi dari jaringan
akan melingkupi nasal placode dan membentuk medial dan lateral nasal yang
menonlol.
Lubang hidung akan bermigrasi secara medial dan jaringan lunak bersatu
dan melingkar dan mejadi awal dari migrasi bagian medial. Bagian nasal medial
akan mem,proses pembentukan dari septum nasal anterior, tengah atas bibir dan
bagian keras dari palatum aterior. Proses nasofrontal yang mula-mula membentuk
dasar dan bagian anterior. Fossa cranialis menjadi bagian dari prosencephalon.
Proses dari nasofrontal akan membentuk bagian dari septum nasal posterior dan
ethmoid, nasal dan tulang premaksilaris.
Nasal posterior dan kavitas oral akan terpisah oleh membran oronasal
setelah minggu keenam dan ketujuh dalam masa intrauterine, jika membran
oronasal ini diresorbsi akan membentuk koana yang primitif. Ruang pada
paranasal yang terletak antara nasal dan bagian frontal pada masa embriogenesis.

6
Ini akan memperluas bentuk dari kulit hidung menjadi foramen cecum, area dari
anterior fossa kranial dimana akan turun setelah dua terbentuk. Foramen cecum
selanjutnya menyatu dengan frontalis fonticutus untuk membentuk palatum
kribrosum
2.2 Atresia Koana
2.2.1 Definisi Atresia Koana

Atresia koana adalah penutupan satu atau kedua koana posterior oleh
membran abnormal atau tulang. Penutupan dapat parsial atau total, kongenital atau
didapat. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan berkembang atau ruptur
membrana oronasalis yang tidak lengkap, yang memisahkan hidung dari
tenggorokan pada masa embrional. 3,4

2.2.2 Epidemiologi Atresia Koana

Angka kejadian kelainan ini sekitar 1 diantara 7000-8000 kelahiran hidup.


Perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 2:1, dan kelainan unilateral dan
bilateral adalah 2:1. 2
Berdasarkan penelitian lain menyebutkan sekitar 0,82 kasus dari 10.000
kasus adalah atresia koana. Adanya kelainan kromosom ditemukan pada bayi baru
lahir sekitar 6% menderita atresia koana. Dengan setiap ras memiliki frekuensi
yang sama, dan 50% anak dengan CHARGE menderita atresia koana hampir
seluruhnya.5

Sekitar 30% atresia koana murni tipe tulang, sedangkan 70% adalah
campuran tulang dan membran plat atresia biasanya berlokasi didepan ujung
posterior dari septum hidung. Pada cacat anatomi termasuk rongga hidung sempit,
obstruksi tulang lateral oleh plat pterygoidus lateral, obstruksi medial yang
disebabkan oleh penebalan vomer, dan obstruksi membran.5

7
2.2.3 Etiologi Atresia Koana

Lokasi atresia kongenital adalah di koana posterior, sedangkan yang


didapat sering ditemukan lebih ke belakang, kearah orofaring. Kemungkinan
besar, kelainan kongenital ini terjadi karena mukosa nasofaring atau bukofaringeal
yang menetap, meskipun kadang-kadang penyebabnya adalah peradangan intra
uteri. Tipe atresia didapat merupakan akibat dari infeksi berat yang tidak teratasi
(sifilis, difteri, dll.) dengan hasil akhir berupa stenosis sikatriks atau akibat
tindakan bedah yang buruk di daerah tersebut. 1

2.2.4 Patofisiologi Atresia Koana

Rongga hidung memanjang kearah posterior selama perkembangan


prosesus palatum. Penebalan membran akan memisahkan rongga hidung dengan
rongga mulut. Pada hari ke-38 perkembangan embrio, kedua membran terdiri dri
epitel hidung dan mulut akan ruptur dan berpisah membentuk koana (nares
posterior). Kegagalan Vemisahan ini mengakibatkan atresia koana. Pada sejumlah
besar kasus, terdapat oklusi tulang pada atresia koana, dan pada kasus yang
jarang, sumbatan tersebut berupa struktur membran. Malformasi ini dapat timbul
unilateral atau bilateral. (1,8)
Beberapa teori menerangkan tentang embriogenesis abnormal terjadinya
atresia koana, diantaranya adalah:
1. Membran bukofaringeal yang persisten
2. Kegagalan pemisahan membran bukonasal
3. Medial outgrowth dari peroses vertikal dan horizontal tulang palatum
4. Abnormalitas penyatuan mesodermal yang membentuk area koana2

8
2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala yang paling khas pada aresia koana adalah tidak adanya atau tidak
adekuatnya jalan nafas hidung. Pada bayi baru lahir, yang hanya bisa bernafas
melalui hidung, kondisi ini merupakan keadaan gawat darurat dan pertolongan
yang cepat pada jalan nafas hidung dan dapat menyelamatkan hidupnya. Obstruksi
unilateral mungkin tidak menimbulkan gejala pada waktu kelahiran tetapi
kemudian akan menyebabkan drainase nasal atau sumbatan pada salah satu lubang
hidung unilateral pada masa anak-anak. Neonatus atresia koana bilateral akan
tampak sianosis dan dispnea dalam keadaan tenang dan kembali normal bila
menangis. Hal ini disebut "sianosis paradoksal", karena perangsang,an pada anak
memperbaiki dengan sinaosis kardial.3,4
Pada atresia koana perlu dicari kelainan lain yang berhubungan dengan
sindrom CHARGE, yang terdiri dari:
- Coloboma iris, koroid, dan/atau mikroftalmia (80%)
- Heart defect seperti ASD dan/atau lesi conotruncal (58%)
- Atresia choanae (100%)
- Retarded growth and development (retardasi mental 94%, gangguan
pertumbuhan 87%)
- Genitourinary abnormalities seperti kriptorkismus, mikrofalus, dan/tanpa
hidronefrosis (hipoplasia genital pada laki-la.dci 75% )
Ear defect yang berhubungan dengan ketulian, dapat disertai defek telinga luar,
tengan dan dalam (88%) 2

2.2.6 Diagnosis Atresia Koanal


Tes untuk mendeteksi atresia koanal
1. Mencoba memasukkan kateter plastic French ukuran 68 melalui hidung.
Jika tidak ada atresia, maka kateter tersebut akan bebas melewati kavum
nasi ke nasofaring. Jika terdapat atresia koanal maka akan terasa adanya
tahanan kira-kira 3-3,5 cm dari pinggir alar. Jika obstruksi kira-kira 1-2cm

9
dari nares anterior, maka bisa jadi itu disebabkan oleh defleksi traumatic
dari septum nasi akibat trauma
2. Meletakkan kapas atau kaca di depan hidung. Bila terdapat udara, maka
kapas akan bergerak dan kaca akan berembun.
3. Meneteskan metilen blue ke dalam kavum nasi anterior hidung dan lihat
keberadaannya melalui mulut. Jika tidak ada obstruksi, maka metilen blue
akan tampak dimulut karena melewati nasofaring, namun jika adanya
obstruksi akibat atresia koana, maka metilen blue tidak tampak dari mulut
karena tidak bisa melewati nasofaring. 6
Diagnosis ditegakan berdasarkan berdasarkan anamnesis,
manifestasi klinis, dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi Minis yang
sering ditemukan adalah bayi tampak sianosis bila bibir terkatup, dan
kembali memerah bila menangis atau keadaan mulut terbuka. Gejala
tersebut cepat dapat diketahui pada atresia koana bilateral. Pada atresia
koana unilateral gejala baru tampak setelah bayi berumur beberapa tahun
berupa sekret hidung yang menumpuk dan keluar terus menerus dari salah
satu lubang hidung. 2,7
Pada uji pipa nasogastrik terdapat tahanan pada lubang hidung eara
lain adalah dengan memastikan udara yang berhembus lewat lubang
hidung. Pada pemeriksaan radiologi di daerah hidung dengan
menggunakan pipa nasogastrik yang diisi zat kontras, akan terlihat zat
kontras tertahan pada daerah koana. Dengan CT-scan yang dilakukan di
daerah sinus dapat dideteksi kelainan obstruksi yang terdiri dari tulang atau
membran, atau dapat diketahui ketebalannya, dan dapat diketahui pula
adanya kelainan di daerah dasar tengkorak. 2,7

10
2.2.7 Differensial Diagnosa Atresia Koana
Differential diagnosa dari atresia koana adalah:
- Deviasi septum
Gejala utama: sumbatan pada satu atau kedua rongga hidung, sumbatan ini
dapat terjadi unilateral atau bilateral, sebab pada sisi yang mengalami konka
hipotrofi dan pada sisi sebelahnya terjadi konka hipertrofi. Rasa nyeri kepala
dan sekitar mata, gangguan penciuman, kongesti nasal, epistaksis, infeksi
sinus berulang dan nafas yang berbunyi sewaktu tidur.
- Hematom septum nasi
Hematom septum adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
pembengkakan, memar atau perdarahan di dalam septum nasi. Gejala utama:
hidung tersumbat, kesulitan bernafas, dan pembengkakan pada sekat hidung
yang menyakitkan.
- Hipertrofi konka (Rhinitis Hipertrofi)
Istilah hiperirofi digunakan untuk menunjukan perubahan rnukasa hidung pada
konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang
disebabkan aleh infeksi bakteri primer atau sekunder. Gejala utama: sumbatan
pada hidung atau gejala diluar hidung akibat hidung
tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala, dan gangguan tidur, sekret
biasanya banyak dan mukopurulen.
- Polip hidung
Gejala utama: hidung tersumbat dari ringan sampai berat, rhinorrhea yang
jernih sampai kental, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersinbersin,
rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala daerah frontal. 1

11
2.2.8 Terapi Atresia Koana

Penatalaksanaan atresia koana dibagi menjadi penatalaksanaan darurat dan


efektif. Atresia unulateral jarang bersifat emergensi dan operasi dapat ditunda
hingga usia 1 tahun dan memungkinkan daerah yang akan dioperasi untuk
berkembang menjadi lebih besar sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya
stenosis pascaoperasi. Penatalaksaan pada atresia koana bilateral yang bersifat
darurat bertujuan untuk menjamin jalan nafas, misalnya dengan menggunakan
McGorven nipdle atau alat bantu nafas orofaring atau melalui pembedahan
(koanoplasti). McGorven nipple merupakan dot yang biasa digunakan pada botol
susu yang dimodifikasi dengan membuat lubang yang lebih besar agpr bayi bisa
bernafas dan di beri makan. (8,9,10)
Oklusi membran dapat dihilangkan dengan tindakan bedah, atau dapat
dilubangi dengan sonde atau alat lain, kemudian lubang di , perlebar dengan
serangkaian tindakan dilatasi dengan memasang selang sintetik, biasanya hasilnya
akan baik. Pada tipe membran, destruksi membran dilakukan dengan elektro-
koagulasi, atau lebih baik dengan vaporasi laser CO2, dan biasanya berhasil
dengan baik. Pada prinsipnya ada 4 pendekatan prosedur operasi, yaitu: secara
transnasal, transpalatal, transseptal dan transentral. ( 1,2)
Transnasal dilakukan apabila atresia terdiri dari membran atau tulang yang
tipis. Prosedur yang sederhana adalah dengan melakukan perforasi didaerah
atresia yang dilanjutkan dilatasi. Cara lain adalah deng,an melakukan prosedur
transnasal yaitu bedah mikro dengan teknik endoskopi. Prosedur transplatal
(11)
dilakukan bila atresia tersebut mempunyai dinding yang tebal.

Pada oklusi tulang, yang merupakan 90% kasus kongenital, perlu


dilakukan perforasi dan pemecahan dinding pemisah dengan pahat, bor, kuret.
"trephines", dan lain-lain. Seluruh tulang yang menutup harus di angkat, demikian
pula bagian belakang septum nasi. Prosedur terakhir ini perlu untuk menghindari
penutupan oleh sikatriks di kemudian hari.

12
Saat menghilangkan oklusi ini, harus berhati-hati jangan sampai melukai
kanalis pterigopalatina, yang terletak di belakang muara koana di dinding
lateral.11,1
Beinfield telah mendeskripsikan suatu pembedahan untuk atresia koana
membranosa atau tulang yang dapat dilakukan pada 24 jam pertama setelah lahir.
Tahap pertama adalah mempertahankan agar mulut bayi tetap terbuka dengan
memasukkan gudel sampai pembedahan selesai. Untuk menghilangkan oklusi
tulang atau membran, dapat digunakan kuret Lempert no 2 atau kuret serupa.
Kuret ini dimasukkan menyusuri dasar hidung sampai mengenai membran yang
menutup, biasanya 1 3/a inici dari pinggir lubang hidung. Bienfield menegaskan
b®hwa kuret tidak boleh dimasukkan menyusuri dasar hidung lebih dari 1 3/a inci
dari pinggir lubang hidung karena bahaya melukai vertebra yang terletak di
belakangnya. Saat kuret digerakkan ke atas, daerah yang aman lebih berkurang. 1,11
Kuret yang telah dimasukkan menyusuri dasar hidung, ditekankan pada
daerah obstruksi sampai tulang tertembus. Mukosa hidung di depan daerah
obstruksi juga dikorbankan bersama dengan tulangnya. Perforasi tulang ini
kemudian diperbesar sampai selebar pembukaan yang normal. Mukosa faring
yang melapisi permukaan posterior tulang yang menyebabkan atresia masih
tertinggal, dan kemudian diinsisi di dekat dasar hidung dengan pisau no. 7 yang
panjang. Insisi kemudian diperlebar, berbentuk bintang sehingga kateter no. 12
atau yang lebih besar dapat masuk. Insisi mukosa faring didaerah yang atresia
harus dilakukan dengan hati-hati. Jari pelindung metal dapat dimasukkan di
nasofaring untuk melindungi dinding posterior. 1,11
Jalan napas hidung sekarang sudah dibuat, tahap akhir adalah
mempertahankannya agar tetap permanen. Pertama-tama, kateter karet no. 12
dimasukkan melalui hidung ke dalam faring, di keluarkan melalui mulut, dan
dilekatkan ke sebuah pipa polivinil yang panjangnya kurang sedikit dari 1¾ inci.
Diameter pipa sama dengan diameter koana posterior, agak lebih besar dari katup
anterior hidung.

13
Ujungnya anteriornya dipotong miring, dan ditempatkan di dalam
vestibulum nasi dan tentu saja ujung posteriornya berada di nasofaring, sehingga
mempertahankan potensi daerah atresia selama penyembuhan. Saat pipa plastik di
tarik melalui daerah yang atresia, mukosa juga akan tertarik ke depan, sehingga
akan menutupi permukaan tulang yang terbuka. Jika oklusinya bilatreal, prosedur
yang sama dilakukan juga pada sisi sebelumnya. (3)
Pendekatan melalui palatum pada lempeng atresia memberikan perbaikan
yang lebih pasti. Tindakan ini lebih disukai oleh beberapa ahli bedah, khususnya
jika atresia unilateral atau jika lubang melalui hidung yang dibuat segera setelah
(11)
lahir kemudian menutup.
Pendekatan transpalatal ke nasofaring telah di analisis oleh Wilson.
Dengan pendekatan ini, harus diperhatikan agar tidak melukai kanalis
pterigopalatina dan kanalis palatina posterior. Pada atresia koana unilateral,
Wilson menganjurkan penggunaan insisi bercabang bentuk Y di palatum dengan
garis tegak lurusnya berjalan menuju gigi insisivus dan garis lateral yang miring
berjalan dari pertengahan palatum ke bawah, ke titik di sebelah medial kanalis
pterigopalatnia. Mukosa palatum sekarang dielevasi, dan palatum diangkat mulai
di posterior, mukosa di permukaan di superior disisihkan, kalau mungkin untuk
menutup tulang telanjang. Tulang diangkat secukupnya sehingga mukosa hidung
di anterior daerah atresia dapat kelihatan, sebagian kecil palatum durum diangkat
pada sisi yang sehat untuk memudahkan pengangkatan bagian posterior tulang
septum nasi.3
Tulang dari bagian belakang septum dikeluarkan secara reseksi
submukosa, untuk mempertahankan mukosa agar dapat dipakai menutupi tulang
yang telanjang, dengan cara serupa, mukosa yang melapisi permukaan posterior
dan anterior atresia di pertahankan. Jabir-jabir mukosa ini digunakan untuk hal
yang paling penting, yaitu melapisi permukaan yang terbuka pada koana yang
baru dibentuk, yaitu atap, dasar dan lateral. Karet spons atau materi yang sejenis
dapat digunakan untuk menahan jabir jabir tersebut ditempatnya selama 24 jam.
Pembedahan selesai setelah menutup insisi awal di palatum. 3

14
Pada kasus atresia koana bilateral, mukosa yang dapat digunakan untuk
jabir menjadi lebih sedikit, karenanya harus menggunakan tandur alih kulit
sebagian.(3)
2.2.9 Komplikasi Atresia Koana
Komplikasi yang mungkin daoat terjadi adalah sebagai berikut:
- Aspirasi saat menyusu dan mencoba bernafas lewat mulut
- Henti nafas (Respiratory Arrest)
- Penyempitan kembali pada daerah atresia koana setelah pembedahan 10

2.2.10 Prognosis Atresia Koana


Prognosa bergantung pada banyaknya kelainan yang terjadi.
Deteksi dini pada periode perinatal penting untuk menemukan kelainan ini lebih
awal, karena atresia koana bilateral masih merupakan penyebab kematian pada
periode neonatus yang sering terjadi tetapi tidak diketahui.

Jika bayi berhasil diresusitasi begitu saat lahir dan kondisinya telah
terdeteksi sebelum masalah yang lain dijumpai, maka tidak akan terjadi masalah
jangka panjang pada perkembangan bayi. Meskipun hampir separuh dari anak
anak akan mempunyai defek pada hidung atau palatumnya, jadi kemungkinan
beberapa pembedahan akan menyebabkan ketidaknyamanan dan mempengaruhi
penampilan si anak.

Atresia koana berkisar dari yang sangat ringan sampai yang sangat berat.
Bisa jadi tidak mungkin mendeteksi apakah jalan nafas hidung telah diperbaiki
dengan pembedahan, atau dalam kasus lain, hal ini dapat mempengaruhi
penampilan wajah yang dapat menyebabkan anak menjadi minder. (12)

15
BAB III

KESIMPULAN

Atresia koana adalah penutupan satu atau kedua koana posterior oleh
membran abnormal atau tulang. Penutupan dapat parsial atau total, kongenital atau
didapat. Keadaan ini disebabka» oleh kegagalan berkembang atau ruptur
membrana oronasalis yang tidak lengkap, yang memisahkan hidung dari
tenggorokan pada masa embrional.
Frekuensi atresia koana unilateral jauh lebih banyak (75%) daripada atresia
koana bilateral. Atresia koana merupakan keiainan tersendiri, tetapi sekitar 20 -
50% disertai dengan kelainan lain. Ada beberapa kelainan yang dihubungkan
dengan atresia koana, yaitu koloboma retina, kelainan jantung, hipoplasia alat
kelamin pada laki-laki, keterbelakangan pertumbuhan atau mental termasuk sistem
saraf pusat, dan kelainan telingan termasuk tuli, yang kesemuanya disebut
sindrom CHARGE.
Diagnosis ditegakan berdasarkan berdasarlcan anamnesis, manifestasi
klinis, dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis yang sering ditemukan
adalah bayi tarnpak sianosis bila bib'vr terkatup, dan kembali memerah bila
menangis atau keadaan mulut terbuka. Gejala tersebut cepat dapat diketahui pada
atresia koana bilateral. Pada atresia koana unilateral gejala baru tampak setelah
bayi berumur beberapa tahun berupa sekret hidung yang menumpuk dan keluar
terus menerus dari salah satu lubang hidung. Pada pemeriksaan fisik dengan u ji
pipa nasogastrik terdapat tahanan pada lubang hidung atau cara lain adalah dengan
memastikan udara yang berhembus lewat lubang hidung. Pada pemeriksaan
radiologi di daerxli hidung dengan menggunakan pipa nasogastrik yang diisi zat
kontras, akan terlihat zat kontras tertahan pada daerah koana. Dengan CT-scan
yang dilakukan di daerah sinus dapat dideteksi kelainan obstruksi yang terdiri dari
tulang atau membran, atau dapat diketahui ketebalannya

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Endang Mangunkusumo, dan RetnoSW. 2007. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi: 6. Jakarta:
FKUI.
2. Widodo, E & Retno Widyaningsih. Atresia Koana. 2012. Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: IDAI.
3. Ballenger, JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid:
1. Tanggerang: BINARUPA AKSARA Publisher.
4. Nagel, P & Robert Gurkov. 2012. Dasar-Dasar Ihnu THT. Ed. 2. Jakarta:
EGC.
5. Tewfik TL, Atresia Choanal. 2014. Di unduh dari
http:/emedicine.medscape.com/article/82409-overall#showall.
6. Majalah kedokteran andalas vol 2. Penatalaksanaan atresia koana bilateral
kongenital. Jakarta
7. Sjamsuhidajat, S. 2010. BUKU AJAR ILMU BEDAH. Ed. 3. Jakarta: EGC.
8. Perkasa MF. Penanganan Meningosil dan Atresia Koana Bilateral. Dalam
ORLI Vol. 43 No. 1 Tahun 2013. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar.
9. Yantis M. 2014. Choanal Atresia: Diagnosis, Management adn Association
with CHARGE Syndrome, Grand Round Presentation. Departement Of
Otolaryngology The Univertsity of Texas Medical Branch.(
www.utmb.edu>otorefyGRNDS>choanal.atresia). (di akses 18 mei 2016 )
10. Thiagarajan B. 2012. Choanal Atresia. Ent Scholar. /
(httpa/.entscholar.wordpress.com/article/choanal-atresia-3) . (di akses 18 mei
2016)
11. Adams, George L.1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Ed. 6. Jakarta:
EGC.

17
12. Kelvin M, Kwong 2015. Current Update on Choanal Atresia. US National
Library Of Medicine.

18

Anda mungkin juga menyukai