Anda di halaman 1dari 17

TETANUS

A. DEFENISI

Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium
Tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksismal dan diikuti dengan
kekakuan otot seleruh badan (Batticaca, 2008).

Tetanus adalah penyakit yang ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali akibat
kerja neurotoksin kuat, yaitu tetanospasmin yang dihasilakan bakteri ini (Muliawan,
2009). Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
Klostridium Tetani dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksismal dan diikuti
dengan kekakuan otot seleruh badan. Kekuatan tonus otot ini selalu tanpak pada otot
masester dan otot rangka (Musttaqim, 2008) Jadi dapat disimpulkan penyakit tetanus
adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Clostridium Tetani yang
ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali.

B. ETIOLOGI

Clostridium Tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob,


membentuk spora (tahan panas), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang besifat
neurotoksin (yang efekya mengurangi aktivitas kendali SSP), pathogenesis bersimbiosis
dengan mikroorganisme piogenik(Batticaca, 2008). Basil ini banyal ditemukan pada
kotoran kuda, usus kuda, dan tanak yang dipupuk kotoran kuda.Penyakit tetanus banyak
terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena
merupakan kondisi yang baik untuk ploriferasi kuman anaerob.Luka dengan infeksi
piogenik dimana bakteri piogenik mengkonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana
menjadi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus (Batticaca, 2008).
Clostridium Tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5
milimikron yang berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob.
Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-
mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada
pemanasan, pada suhu 65 C akan hancur dalam lima menit. Disamping itu dikenal pula
tetanolysin yang 4 bersifat hemolisis (memecah), yang peranannya kurang berarti dalam
proses penyakit (Maharani, 2012).

C. PATOFISIOLOGI

Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang
menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf
dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus otot sehingga terjadi kekakuan otot
baik lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin banyak, selain otot bergaris, otot polos dan
saraf otak juga terpengaruh.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel,
maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
- Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada orang
dewasa sirkulasi otak mencapai 15 % dari seluruh tubuh. Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,
hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat
yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat.
Menurut Siska (2012) patofisioogi terjadinya tetanus yaitu:
1. Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti; luka tertusuk paku,
pecahan kaca atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi
dapat melalui pemotongan tali pusat.
2. Organisme multipel membentuk dua toksin yaitu tetanopasmin yang merupakan
toksin kuat dan atau neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme
3. otot dan mempengaruhi sistem syaraf pusat. Kemudian tetanolysin yang tampaknya
tidak signifikan.
4. Exotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem syaraf pusat dengan melewati
akson neuron atau sistem vaskular. Kuman ini menjadi terikatpada sel syaraf atau
jaringan syaraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun
toxin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh arititosin.
5. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toxin; adalah pertama toxin diabsorbsi pada
ujung syaraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa kekornu anterior susunan
syaraf pusat. Kedua toxin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kesusunan syaraf pusat.
6. Toxin bereaksi pada myoneural junktion yang menghasilkan otot menjadi kejang dan
mudah sekali terangsang.
7. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. Kasus yang sering terjadi
adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonatus biasanya 5 sampai 14 hari.

D. TANDA DAN GEJALA

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama : regiditas, spasme otot. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2
minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4
minggu. (Sudoyo, Aru 2009).
Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul :
1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran membuka mulut
(trismus)
2. Pembemkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot :
a. Otot leher
b. Otot dada
c. Merambat ke otot perut
d. Otot lengan dan paha
e. Otot punggung, seringnya epistotonus.
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas
5. Demam
Gejala penyerta lainnya :
1. Keringat berlebihan
2. Sakit menelan
3. Spasme tangan dan kaki
4. Produksi air liur
5. BAB dan BAK tidak terkontrol
6. Terganggunya pernafasan karena otot laring terserang

E. MENIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 5-10 hari setelah infeksi, tetapi bisa juga
timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah infeksi.Gejala yang sering ditemukan
adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trismus) karena yang pertama kali terserang
adalah otot rahang. Selanjutnya muncul gejala lain seperti gelisah, gangguan memelan,
sakit kepala, demam, nyeri tenggorokan, mengigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan
serta tungkai. Kejang pada otot-otot wajah menyebabkan expresi wajah seperti
menyeringai (risus sardonikus), dengan dua alis yang terangkat. Kekakuan atau kejang
otot-otot perut, leher dan punggung bisa menyebabkan kepala dan tumit penderita
tertarik kebelakang sedangkan badannya melengkung ke depan yang disebut epitotonus.
Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi urine dan
konstipasi (Siska, 2012).

Menurut Siska (2012) faktor predisposisi pada penyakit tetanus yaitu:

1. Umur tua atau anak-anak


2. Luka yang dalam dan kotor
3. Belum terimunisasi

Tanda dan gejala yang timbul ketika terjadi tetanus Siska (2012):

1. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari.


2. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak).
3. Kesukaran membuka mulut (trismus).
4. Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang.
5. Saat kejang tonik tampak risus sardonic.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :

1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200
mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit: K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
EEG :Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal

G. KLASIFIKASI

a. Tetanus lokal (lokalited Tetanus)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari
tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah.
b. Tetanus Sefalika (Cephalic tetanus)

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –
2 hari, yang berasal dari otitis media kronik. Cephalic tetanus adalah bentuk yang
jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media
kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk
adanya benda asing dalam rongga hidung.

c. Tetanus generalisata (Generalized Tetanus)

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.

d. Tetanus Neonatorum (Neotal tetanus)

Biasanya disebabkan infeksi C.tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi
spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Waktu tali pusat yang telah
terkontaminas. Biasanya disebabkan infeksi C.tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Waktu tali pusat
yang telah terkontaminas, (Gilroy, John MD, 2008).

Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert (Sudooyo Aru, 2009) :

1. Derajad 1 (ringan): trismus ( kekauan otot mengunyah) ringan sampai sedang, spasitas
general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang tampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang RR> 30X/menit, disfagia ringan.
3. Derajat IV (sangat berat) : derajat empat dengan otomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan dengan hipotensi
dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

H. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya , penatalaksanaan tetanus bertujuan :


a. eliminasi kuman
1. debridement
untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang jaringan yang rusak,
membuang benda asing, merawat luka/infeksi, membersihkan liang telinga/otitis
media, caires gigi.
2. antibiotika
penisilna prokain 50.000-100.000 ju/kg/hari IM, 1-2 hari, minimal 10 hari.
Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
b. netralisasi toksin
toksin yang dapat dinetralisir adalah toksin yang belum melekat di jaringan.
Dapat diberikan ATS 5000-100.000 KI
c. perawatan suporatif
perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional :
1. nutrisi dan cairan
- pemberian cairan IV sesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita,
seperti sering kejang, hiperpireksia dan sebagainya.
- beri nutrisi tinggi kalori, bil a perlu dengan nutrisi parenteral
- bila sounde naso gastrik telah dapat dipasang (tanpa memperberat kejang)
pemberian makanan peroral hendaknya segera dilaksanakan.
2. menjaga agar nafas tetap efisien
- pemebrsihan jalan nafas dari lendir
- pemberian xat asam tambahan
- bila perlu , lakukan trakeostomi (tetanus berat)
3. mengurangi kekakuan dan mengatasi kejang
- antikonvulsan diberikan secara tetrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan respon
klinis.
- pada penderita yang cepat memburuk (serangan makin sering dan makin lama),
pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi yaitu mulai lagi dengan
pemberian bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan.
Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari pertama,
kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya
- bila dosis maksimal telah tercapai namun kejang belum teratasi , harus dilakukan
pelumpuhan obat secara totoal dan dibantu denga pernafasan maknaik (ventilator)
4. Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
1. Semua pakaian ketat dibuka
2. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3. Usahakan agar jalan napas bebasu ntuk menjamin kebutuhan oksigen
4. Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen

I. KOMPLIKASI
1. Hipertensi
2. Kelelahan
3. Asfiksia
4. Aspirasi pneumonia
5. Fraktur dan robrkan otot
Pencegahan

1. Imunisasi tetanus
Dipertimbangkan proteksi terhadap tetanus selama 10 tahun setelah suntikan;
a. DPT vaksin pada bayi dan anak-anak
b. Td vaksin digunakan pada booster untuk remaja dan dewasa.

Ada juga yang menganjurkan dilakukan imunisasi setiap interval 5 tahun.

2. Memebersihkan semua jenis luka setelah injuri terjadi, sekecil apapun


3. Melahirkan ditempat yang terjaga kebersihannya..
Patwhay
.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TETANUS

I. Pengkajian

Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan menganalisa,


sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data
serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan
dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan
lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan
lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data
melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara
(yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa
catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi,
buku-buku, masalah dan surat kabar).
Pengumpulan data pada kasus tetenus ini meliputi :
a. Data subyektif
1. Biodata/Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
2.Keluhan utama,
2. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui
apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak
antara timbulnya kejang dengan demam..
Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama.
Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap
prognosa dan pengobatan.
Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah
bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi
mioklonik ?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti
epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik
sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah rangsangan tertentu yang dapat
menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain.
Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu
ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise,
dan sebagainya ?
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita
epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita
pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk
pertama kali ?
Apakah ada riwayat trauma kepala, luka tusuk, lukakotor, adanya benda asing dalam
luka yang menyembuh , otitis media, dan cairies gigi, menunjang berkembang
biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
4. Riwayat kesehatan keluarga.
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang aseptik.
5. Riwayat sosial
Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekrjaannya
6. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan,
pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang
diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan
pertolongan pertama.
Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi Ditanyakan bagaimana kualitas dan
kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ?
Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
Pola Eliminasi :
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan
bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai
nyeri saat kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana
konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
Pola aktivitas dan latihan
Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ?
Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
b. Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi,
respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi
sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang
tanpa kelainan neurologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan
malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut
jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus
cranial ?
Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman
penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti
pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga,
berkurangnya pendengaran.
Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ? Apakah
keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah?
Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi ?
Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan
eksudat ?
Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran
vena jugulans ?
Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya,
irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan
? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor
kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan
hepar ?
Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat
oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana
suhunya pada daerah akral ?
Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi ?

b. Analisa

Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi,


menyeleksi, mengelompokkan, mengaitkan data, menentukan kesenjangan informasi,
melihat pola data, membandingakan dengan standar, menginterpretasi dan akhirnya
membuat kesimpulan. Hasil analisa data adalah pernyataan masalah keperawatan atau
yang disebut diagnosa keperawatan.

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti tentang masalah
pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan
keperawatan.

I. Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :

1. Risiko terjadinya cedera fisik berhubungan dengan serangan kejang berulang.

2. Risiko terjadinya ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan sekunder dar

depresi pernafasan

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi sekret yang berlebihan
pada ajalan nafas atas.
4. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya berhubungan
dengan keterbatasan informasi yang ditandai
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan reaksi eksotoksin

II. Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan, bagaimana,
kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan kegiatan tersebut. Rencana
keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160)

a. Diagnosa Keperawatan : Risiko terjadinya cedera fisik berhubungan dengan kejang


berulang

Tujuan :Klien tidak mengalami cedera selama perawatan

Kriteria hasil :

1. Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang

2. klien tidur dengan tempat tidur pengaman

3. Tidak terjadi serangan kejang ulang.

4. Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit (bayi), Respirasi 16-20 x/menit

5. Kesadaran composmentis

Rencana Tindakan :

INTERVENSI RASIONAL
1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus 1. Penemuan faktor
2. tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman pencetus untuk
di ruang yang tenang dan nyaman memutuskan rantai
3. anjurkan klien istirahat penyebaran toksin
4. sediakan disamping tempat tidur tongue spatel dan gudel tetanus.
untuk mencegah lidah jatuh ke belakng apabila klien kejang
5. lindungi klien pada saat kejang dengan : 2. Tempat yang nyaman
dan tenang dapat
- longgarakn pakaian mengurangi stimuli atau
rangsangan yang dapat
- posisi miring ke satu sisi menimbulkan kejang
- jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya 3. efektivitas energi
- kencangkan pengaman tempat tidur yang dibutuhkan untuk
metabolisme.
- lakukan suction bila banyak secret
4. lidah jatung dapat
6. catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya menimbulkan obstruksi
sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala jalan nafas.
lainnya yang timbul.
7. sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan 5. tindakan untuk
obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari mengurangi atau
kejang mencegah terjadinya
8. observasi efek samping dan keefektifan obat cedera fisik.
9. observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama 6. dokumentasi untuk
jantung pedoman dalam
10. lakukan pemeriksaan neurologis setelah kejang penaganan berikutnya.
11. kerja sama dengan tim :
7. tanda-tanda vital
- pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi indikator terhadap
- pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital) perkembangan
penyakitnya dan
- pemberian oksigen tambahan gambaran status umum
klien.
- pemberian cairan parenteral
8. efek samping dan
- pembuatan CT scan
efektifnya obat
diperlukan motitoring
untuk tindakan lanjut.

9 dan 10 kompliksi
kejang dapat terjadi
depresi pernafasan dan
kelainan irama jantung.

11. untuk
mengantisipasi kejang,
kejang berulang dengan
menggunakan obat
antikonvulsan baik
berupa bolus, syringe
pump.

b. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan klien dan keluarga tentang penanganan


penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan : Pengetahuan klien dan keluarga tentang penanganan penyakitnya dapat


meningkat.

Kriteria Hasil :

1. Klien dan keluarga dapat mengerti proses penyakit dan penanganannya

2. klien dapat diajak kerja sama dalam program terapi

3. klien dan keluarga dapat menyatakan melaksanakan penejlasan dna pendidikan


kesehatan yang diberikan.

INTERVENSI RASIONAL

1. Identifikasi tingkat pengetahuan 1. Tingkat pengetahuan penting untuk modifikasi


klien dan keluarga proses pembelajaran orang dewasa.

2. Hindari proteksi yang berlebihan 2. tidak memanipulasi klien sehingga ada proses
terhadap klien , biarkan klien kemandirian yang terbatas.
melakukan aktivitas sesuai dengan
kemampuannya.

3. ajarkan pada klein dan keluarga 3. kerja sama yang baik akanmembantu dalam
tentang peraawatan yang harus proses penyembuhannnya
dilakukan sema kejang

4. jelaskan pentingnya 4. status kesehatan yang baik membawa


mempertahankan status kesehatan damapak pertahanan tubuh baik sehingga tidak
yang optimal dengan diit, istirahat,
dan aktivitas yang dapat timbul penyakit penyerta/penyulit.
menimbulkan kelelahan.

5. jelasakan tentang efek samping


obat (gangguan penglihatan, 5. efek samping yang ditemukan secara dini
nausea, vomiting, kemerahan pada lebih aman dalam penaganannya.
kulit, synkope dan konvusion)

6. jaga kebersihan mulut dan gigi 6. Kebersihan mulut dan gigi yang baik
secara teratur merupakan dasar salah satu pencegahan
terjadinya infeksi berulang.

c. Pelaksanaan

Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan


rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan
kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien ( Santosa. NI, 1989;162 )

d. Evaluasi

Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data


subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan
sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari
identifikasi dan analisa masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162).
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika.

Herlman, T. Heather.2012.

NANDA International Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta


: EGC

Price, sylvia and Wilson, lorraine. (2011). Konsep klinik proses penyakit. Jakarta: EGC

Suyono, Slamet, (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.

Underwood, J.C.E, (2010), Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai