Tetanus 13 Rssa
Tetanus 13 Rssa
A. DEFENISI
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium
Tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksismal dan diikuti dengan
kekakuan otot seleruh badan (Batticaca, 2008).
Tetanus adalah penyakit yang ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali akibat
kerja neurotoksin kuat, yaitu tetanospasmin yang dihasilakan bakteri ini (Muliawan,
2009). Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
Klostridium Tetani dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksismal dan diikuti
dengan kekakuan otot seleruh badan. Kekuatan tonus otot ini selalu tanpak pada otot
masester dan otot rangka (Musttaqim, 2008) Jadi dapat disimpulkan penyakit tetanus
adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Clostridium Tetani yang
ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali.
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang
menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf
dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus otot sehingga terjadi kekakuan otot
baik lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin banyak, selain otot bergaris, otot polos dan
saraf otak juga terpengaruh.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel,
maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
- Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada orang
dewasa sirkulasi otak mencapai 15 % dari seluruh tubuh. Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi
kejang. Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,
hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat
yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat.
Menurut Siska (2012) patofisioogi terjadinya tetanus yaitu:
1. Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti; luka tertusuk paku,
pecahan kaca atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi
dapat melalui pemotongan tali pusat.
2. Organisme multipel membentuk dua toksin yaitu tetanopasmin yang merupakan
toksin kuat dan atau neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme
3. otot dan mempengaruhi sistem syaraf pusat. Kemudian tetanolysin yang tampaknya
tidak signifikan.
4. Exotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem syaraf pusat dengan melewati
akson neuron atau sistem vaskular. Kuman ini menjadi terikatpada sel syaraf atau
jaringan syaraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun
toxin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh arititosin.
5. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toxin; adalah pertama toxin diabsorbsi pada
ujung syaraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa kekornu anterior susunan
syaraf pusat. Kedua toxin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kesusunan syaraf pusat.
6. Toxin bereaksi pada myoneural junktion yang menghasilkan otot menjadi kejang dan
mudah sekali terangsang.
7. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. Kasus yang sering terjadi
adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonatus biasanya 5 sampai 14 hari.
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama : regiditas, spasme otot. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2
minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4
minggu. (Sudoyo, Aru 2009).
Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul :
1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran membuka mulut
(trismus)
2. Pembemkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot :
a. Otot leher
b. Otot dada
c. Merambat ke otot perut
d. Otot lengan dan paha
e. Otot punggung, seringnya epistotonus.
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas
5. Demam
Gejala penyerta lainnya :
1. Keringat berlebihan
2. Sakit menelan
3. Spasme tangan dan kaki
4. Produksi air liur
5. BAB dan BAK tidak terkontrol
6. Terganggunya pernafasan karena otot laring terserang
E. MENIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 5-10 hari setelah infeksi, tetapi bisa juga
timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah infeksi.Gejala yang sering ditemukan
adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trismus) karena yang pertama kali terserang
adalah otot rahang. Selanjutnya muncul gejala lain seperti gelisah, gangguan memelan,
sakit kepala, demam, nyeri tenggorokan, mengigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan
serta tungkai. Kejang pada otot-otot wajah menyebabkan expresi wajah seperti
menyeringai (risus sardonikus), dengan dua alis yang terangkat. Kekakuan atau kejang
otot-otot perut, leher dan punggung bisa menyebabkan kepala dan tumit penderita
tertarik kebelakang sedangkan badannya melengkung ke depan yang disebut epitotonus.
Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi urine dan
konstipasi (Siska, 2012).
Tanda dan gejala yang timbul ketika terjadi tetanus Siska (2012):
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200
mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit: K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
EEG :Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal
G. KLASIFIKASI
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari
tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah.
b. Tetanus Sefalika (Cephalic tetanus)
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –
2 hari, yang berasal dari otitis media kronik. Cephalic tetanus adalah bentuk yang
jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media
kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk
adanya benda asing dalam rongga hidung.
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.
Biasanya disebabkan infeksi C.tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi
spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Waktu tali pusat yang telah
terkontaminas. Biasanya disebabkan infeksi C.tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Waktu tali pusat
yang telah terkontaminas, (Gilroy, John MD, 2008).
1. Derajad 1 (ringan): trismus ( kekauan otot mengunyah) ringan sampai sedang, spasitas
general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang tampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang RR> 30X/menit, disfagia ringan.
3. Derajat IV (sangat berat) : derajat empat dengan otomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan dengan hipotensi
dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
H. PENATALAKSANAAN
I. KOMPLIKASI
1. Hipertensi
2. Kelelahan
3. Asfiksia
4. Aspirasi pneumonia
5. Fraktur dan robrkan otot
Pencegahan
1. Imunisasi tetanus
Dipertimbangkan proteksi terhadap tetanus selama 10 tahun setelah suntikan;
a. DPT vaksin pada bayi dan anak-anak
b. Td vaksin digunakan pada booster untuk remaja dan dewasa.
I. Pengkajian
b. Analisa
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti tentang masalah
pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan
keperawatan.
depresi pernafasan
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi sekret yang berlebihan
pada ajalan nafas atas.
4. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya berhubungan
dengan keterbatasan informasi yang ditandai
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan reaksi eksotoksin
II. Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan, bagaimana,
kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan kegiatan tersebut. Rencana
keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160)
Kriteria hasil :
5. Kesadaran composmentis
Rencana Tindakan :
INTERVENSI RASIONAL
1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus 1. Penemuan faktor
2. tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman pencetus untuk
di ruang yang tenang dan nyaman memutuskan rantai
3. anjurkan klien istirahat penyebaran toksin
4. sediakan disamping tempat tidur tongue spatel dan gudel tetanus.
untuk mencegah lidah jatuh ke belakng apabila klien kejang
5. lindungi klien pada saat kejang dengan : 2. Tempat yang nyaman
dan tenang dapat
- longgarakn pakaian mengurangi stimuli atau
rangsangan yang dapat
- posisi miring ke satu sisi menimbulkan kejang
- jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya 3. efektivitas energi
- kencangkan pengaman tempat tidur yang dibutuhkan untuk
metabolisme.
- lakukan suction bila banyak secret
4. lidah jatung dapat
6. catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya menimbulkan obstruksi
sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala jalan nafas.
lainnya yang timbul.
7. sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan 5. tindakan untuk
obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari mengurangi atau
kejang mencegah terjadinya
8. observasi efek samping dan keefektifan obat cedera fisik.
9. observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama 6. dokumentasi untuk
jantung pedoman dalam
10. lakukan pemeriksaan neurologis setelah kejang penaganan berikutnya.
11. kerja sama dengan tim :
7. tanda-tanda vital
- pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi indikator terhadap
- pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital) perkembangan
penyakitnya dan
- pemberian oksigen tambahan gambaran status umum
klien.
- pemberian cairan parenteral
8. efek samping dan
- pembuatan CT scan
efektifnya obat
diperlukan motitoring
untuk tindakan lanjut.
9 dan 10 kompliksi
kejang dapat terjadi
depresi pernafasan dan
kelainan irama jantung.
11. untuk
mengantisipasi kejang,
kejang berulang dengan
menggunakan obat
antikonvulsan baik
berupa bolus, syringe
pump.
Kriteria Hasil :
INTERVENSI RASIONAL
2. Hindari proteksi yang berlebihan 2. tidak memanipulasi klien sehingga ada proses
terhadap klien , biarkan klien kemandirian yang terbatas.
melakukan aktivitas sesuai dengan
kemampuannya.
3. ajarkan pada klein dan keluarga 3. kerja sama yang baik akanmembantu dalam
tentang peraawatan yang harus proses penyembuhannnya
dilakukan sema kejang
6. jaga kebersihan mulut dan gigi 6. Kebersihan mulut dan gigi yang baik
secara teratur merupakan dasar salah satu pencegahan
terjadinya infeksi berulang.
c. Pelaksanaan
d. Evaluasi
Asmadi. 2008. Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika.
Herlman, T. Heather.2012.
Price, sylvia and Wilson, lorraine. (2011). Konsep klinik proses penyakit. Jakarta: EGC
Suyono, Slamet, (2010), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Underwood, J.C.E, (2010), Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, EGC, Jakarta.