Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Bani Umayah menjadi dua,
yaitu pertama, Dinasti Bani Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah bin
Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu
abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada
sistem mamlakat (kerajaan atau monarki) dan kedua, Dinasti Bani Umayah di
Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah di
bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid bin Abdul Al-Malik,
kemudian diubah menjadi kerajaan terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas
setelah berhasil menaklukkan Dinasti Bani Umayah di Damaskus.1
Di dalam makalah ini akan membahas lebih rinci mengenai Dinasti Bani
Umayah mulai dari latar belakang berdirinya Dinasti Bani Umayah, perkembangan
dan kemajuan, sistem pemerintahan, hingga faktor-faktor kemunduran Dinasti Bani
Umayah.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan :
1. Bagaimana latar Perkembangan dan latar belakang Berdirinya Dinasti Bani
Umayah?

C. Tujuan
1. Mengetahui latar Perkembangan dan latar belakang Berdirinya Dinasti Bani
Umayah?

1 Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: SPI
Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002). h.79

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Bani Umayah


Nama Dinasti Bani Umayah diambil dari Umayah bin Abd Al-Syam, kakek
Abu Sufyan. Umayah segenerasi dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad
Saw dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib segenerasi pula
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani
Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umayah. Kedua
keturunan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.2
Setting cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat
sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu
kebijakan awal dan Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara
yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubemur-
gubemur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan
jabatannya, namun Muawiyyah Gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus
tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang
kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas
kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah
bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah
dalam perang Shiffin.3
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan
pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar
pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka,
pertanda seruan untuk damai dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali
dengan strategi politik yang sangat menguntungkan Mu’awiyah.4
Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak
menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu

2 Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), jilid 1, Cet ke-2, h. 83
3 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995), h.62
4 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 103

2
yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak
peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan
Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi
peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya
8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke
Amman, Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.5
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak
khawarij (kelompok yang membangkang/ keluar dari kelompok Ali) membunuh
khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya
Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya
Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian
bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam.
Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am
jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan politik. 6
Setelah terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali dengan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan pada tahun 41 H/ 661 M, maka secara resmi Mu’awiyah diangkat
menjadi khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam
dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus. Pemerintahan Mu’awiyah
berubah bentuk dari theo-demokrasi menjadi monarchi (kerajaan/dinasti) yang
berbasiskan Islam, ini terjadi sejak dia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra
mahkota. Sejak itulah sistem pemerintahan mamakai sistem monarchi hingga pada
khalifah terakhir Marwan bin Muhammad, yang tewas dalam pertempuran
melawan pasukan Abul Abbas As-Safah dari Bani Abbas pada tahun 750 M.
Dengan tewasnya Marwan bin Muhammad berakhir Dinasti Bani Umayah dan
digantikan oleh Dinasti Bani Abbas.7

5 Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003), h.176.
6 Dedi Supriyadi, loc.cit
7 Maidir Harun dan Firdaus, loc.cit

3
B. Perkembangan Dinasti Bani Umayyah
Meskipun ummat Islam telah bersatu dalam satu kepemimpinan,
kekhalifahan Muawiyah yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu
daya, dan tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak telah melahirkan golongan-
golongan oposisi yang pada akhirnya nanti akan menjadi sebab kehancuran Dinasti
tersebut.
Adik laki-laki al-Hasan, Husein yang pada masa pemerintahan Muawiyah
hidup tenang di Madinah tidak mau mengakui pengganti Muawiyah yaitu Yazid. Ia
pergi ke Kuffah untuk memenuhi seruan penduduk Irak yang akan menobatkannya
sebagai khalifah pada tahun 680 M. Namun pada 10 Muharram 61 H (10 oktober
680) seorang jenderal terkenal dengan nama Sa’ad bin Abi Waqqas membawa 4000
pasukan mengepung al-Husein yang hanya didampingi 200 orang. Al-Hasan pun
tidak selamat dalam pembantaian tersebut.
Adapun Khalifah-khalifah Bani Umayah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4. Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
6. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
7. Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
8. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
9. Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
10. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
11. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
12. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
13. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
14. Marwan II bin Muhammad, 127-133 H / 744-750 M

Adapun khalifah-khalifah besar Bani Umayah adalah Muawiyah I bin Abu


Sufyan, Abdul-Malik bin Marwan, Al-Walid I bin Abdul-Malik, Umar II bin
Abdul-Aziz, Hisyam bin Abdul-Malik. Puncak kejayaan Dinasti Bani Umayah ini

4
pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, setelah itu merupakan masa
kemundurannya.8

C. Kemajuan Dinasti Bani Umayah


Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat
Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang
berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama
lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya
sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin)
tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual
dan peradaban.9
1. Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa
politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke
Damaskus.10 Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi
dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih
dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-
serangan dari rival politiknya.
1) Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka
pada masa Bani Umayah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan
terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:11
a) Syiria dan Palestina;
b) Kuffah dan Irak;
c) Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah;
d) Arenia;
e) Hijaz;
f) Karman dan India;
g) Egypt (Mesir);
h) Ifriqiyah (Afrika Utara);

8 Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 84


9 Siti Maryam, loc.cit
10 Ibid, h.79
11 Ibid, h. 86

5
i) Yaman dan Arab selatan, dan
j) Andalusia.
2) Bidang Administrasi Pemerintahan. Dibidang pemerintahan, dinasti
membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah)
yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al
Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.12
3) Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut,
menimbulkan ambisi penguasa dinasti ini untuk mempersatukan
masyarakat dengan politik Arabisme,13 yaitu membangun bangsa
Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin.
4) Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya
perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin
Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota
Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore
di Pakistan.
5) Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka
sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah Sbin Muslim, Muhammad bin al
Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke mencapai
keberhasilan.
2. Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu,
menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan
menjadi tuan-tuan tanah. 14 Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti
Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada
penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk
Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian
dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta

12 A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975) h.151


13 Siti Maryam, op.cit, h. 88
14 Siti Maryam, loc.cit

6
wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti
ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.15
Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan
aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke
Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan
wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari
rempah-rempah, bumbu. kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.16
Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas
perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang
dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak
pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya
kemakmuran Dinasti Umayyah.
3. Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa
Arab mendapatkan posisi terhormat daiam masyarakat. Pada umumnya, bangsa
Arab merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok
masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab,
berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama
Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan
pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
4. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan
dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih
bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab
sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian
dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya
ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam
soal tata bahasa Arab.

15 Ibid, h. 92
16 Ibid, h. 91

7
C. Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam
bidang temporal sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda
dengan Khulafa al-Rasydun yang menguasai keduanya. Dan pada masa ini khalifah
diangkat secara turun temurun dari keluarga Umayah.17

D. Sistem Fiskal18
Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayah, pada umumnya seperti di
zaman permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-
Dharaaib yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-
pajak istimewa. Adapun saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam,
seperti gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan
pertanian termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang
hukuman dan tawanan perang, perlengkapan perang, serta hadiah-hadiah kepada
para pujangga dan para Ulama.
Pada masa Umayah di cetak mata uang muslimin secara teratur dan
pembayaran dengan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah
dicetak mata uang kaum muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah
Abdul Malik bin Marwan.

E. Sistem Peradilan19
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas,
yaitu pertama, qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan
Nas. Kedua, kehakiman belum terpengaruh dengan politik.

F. Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayah orang masuk tentara kebanyakan
dengan dipaksa atau setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini

17 Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 90


18 Ibid, h. 98
19 Maidir Harun dan Firdaus, op.cit, h. 102

8
dikeluarkan semacam undang-undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut
Tajnidil Ijbary.
Politik ketentaraan dari Bani Umayah, yaitu politik Arab, dimana
anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari
itu mereka terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari untuk menjadi tentara
karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.

G. Prestasi Dinasti Umayyah


1. Bidang Fisik
Beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik adalah
sebagai berikut:
a. Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya.
b. Membangun jalan raya.
c. Mencetak mata uang.
d. Membangun panti asuhan.
e. Membangun gedung pemerintahan.
f. Memblingun mesjid.
g. Membangun rumah sakit.
h. Membangun sekolah studi kedokteran.20

2. Perluasan Wilayah Kekuasaan.


Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi
sebagai berikut:
a. Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi'.
b. Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur.
c. Menguasai Bizantium.
d. Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani.
e. Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan
Maroko.
f. Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni
Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova.
g. Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica.
h. Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand.
i. Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.21

20 Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.236


21 A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951), h.99.

9
H. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Bani Umayah
Dinasti yeng didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa
khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap
berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin
Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul
Aziz dan Hisyam bin Abdul Maiik, selain mereKa itu merupakan khalifah yang
lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan
kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah
pada tahun 750 M.22
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan
Ibrahim Hasan adalah :
1. Pengkatan Dua Putera Mahkota
2. Munculnya Fanatisme Suku
3. Terlena Dalam Kemewahan
4. Fanatik Arab

22 Harun Nasution, op.cit, h.62

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn
‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa
kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil
dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh
rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh
kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat
muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun
jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
2. Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka
pemerintahan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang
cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem
turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika
menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang
dipimpinnya pada tahun 679 M.
3. Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai
banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang
mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan
kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang
administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan,
organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri
dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang

11
sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang
arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
4. Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh
banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga
kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan
Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan,
ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan
kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani
Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan
golongan Mawali.

B. Saran

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah dan seluruh pembaca.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu saya mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kemajuan dan kesempurnaan di masa
mendatang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2012), cet ke-5
Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad
XX, (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003)
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975)
A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah (Jakarta: Widjaya, 1951)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press,
1978), jilid 1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn
Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995)
Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press,
2002), jilid 1, Cet ke-2
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2010)
Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P
Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tt)
Siti Maryam (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga
Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002)
W. Montgomary Watt, Pergolakan Pemikiran politik Islam, (Jakarta: Bennabi
Cipta, 1985)

13
14

Anda mungkin juga menyukai