Anda di halaman 1dari 6

KOMUNITARIANISME

Bukan Aku tapi Kita

PEMERINTAHAN KOMUNITAS, DPP, FISIPOL UGM

September 27, 2017


Authored by: Anak Agung Istri Tatik Rismayanti 14/364874/SP/26243
KOMUNITARIANISME
Bukan Aku tapi Kita

Konsep komunitas merupakan sebuah konsep yang diperkenalkan oleh para sosiolog
yang kemuudian digunakan untuk mengkaji dan menganalisa kajian sosiologis. Namun dalam
perkembangnya, konsep tersebut menuai banyak kritikan, tak terkecuali tulisan Steven Brint
“Gemeinshaft Revisited: A Critique and Reconstruction of the Community Concept”. Dalam
tulisan tersebut, Brint mengungkapkan bahwa komunitas kini hanya tinggal simbol dan aspirasi
dalam kehidupan politik dan intelektual, padahal sebelumnya konsep tersebut banyak digunakan
dalam menganalisis kajian sosiologis. Sehingga menurut Brint perlu adanya tipologi baru yang
dapat membangkitkan konsep tersebut dan merekonstruksi keberadaannya hingga dapat
digunakan kembali. Dalam mengidentifikasi dari struktur yang membedakan subtipe komunitas,
Brint membaginya menjadi empat, yakni konteks interaksi, motivasi dalam berinteraksi, tingkat
interaksi dan lokasi anggota, jumlah interaksi langsung (tatap muka) tanpa menggunakan
mediator (komputer).

Tipologi komunitas dalam paper tersebut berusaha menawarkan solusi dalam


memecahkan perdebatan antara liberal klasik dan komunitarian. Ada dua hal yang relevan
muncul dalam paper tersebut, yakni pertama, komunitas yang sering melakukan interaksi
langsung (tatap muka) dan terkontrol serta termonitoring pada kesesuaian pada norma dan nilai
dalam kelompok tersebut berjalan lebih efektif dan mampu bertahan atau memperkuat komunitas
tersebut daripada komunitas dimana elemennya absen. Artinya, dalam sebuah komunitas
diperlukan interaksi yang intensif dalam memperkuat relasi antar anggota serta keutuhan
komunitas tersebut. Pada level ini dukungan satu sama lain sangatlah besar, sehingga potensi
munculnya illiberalisme dan intoleransi pun semakin besar. Karena membatasi hak- hak individu
demi menguatkan anggota- anggota yang membutuhkan. Seperti kritik liberal atas komunitas,
bahwa paham persaudaraan (fraternalism) dan illiberalisme sesungguhnya saling berhubungan.

Fraternalisme dan illiberalisme saling berhubungan dibuktikan dari komunitas


KOMUNITARIANISME | 9/27/2017

berdasarkan geografis menunjukan bahwa fraternalisme dan illiberalisme saling berhubungan.


Karena satu permasalahan yang dialami oleh salah satu anggotanya menjadi masalah bersama,
seperti misalnya kematian, pernikahan, dll. Maka sebagai bentuk solidaritas, anggota yang lain
juga turut dalam rituanya. Namun hubungan antara fraternalisme dan illiberalisme tidak bisa
dibuktikan dari komunitas yang terbentuk berdasarkan aktivitas pemilihan, komunitas yang
terbentuk secara virtual, dan komunitas yang terbentuk karena kecintaan atau kesukaan.
Komunitas- komunitas tersebut memperkuat tali persaudaraan hanya ketika melibatkan
kepentingan bersama, namun tidak mengikat dan membatasi gerakan individu anggotanya.

1
Temuan kedua dari paper tersebut adalah stratifikasi dan kekuasaan menjadi bagian
terpenting seluruh komunitas yang sering melakukan interaksi langsung (tatap muka) atau tidak
penting bagi komunitas yang terbentuk secara virtual dan basis kecintaan (fans club). Tulisan
Stevan Brint tersebut menggambarkan betapa kompleksnya komunitas tersebut. Komunitas
bukan hanya entitas fisik, teritorial, struktur keanggotaan, melainkan juga bagaimana
menghargai anggotanya sebagai individu yang otonom. Menarik untuk kita kaji lebih dalam nilai
liberal yang diadopsi oleh dua bentuk atau tipe komunitas, yakni komunitas virtual dan
berbasiskan kecintaan (imagery). Sebelum membahas nilai liberal yang ada dalam komunitas,
perlu kita ketahui perdebatan liberalisme dan komunitarianisme.

A. Liberalisme dan Komunitarianisme


Gambaran klasik dunia politik dibagi atas dua paham yang besar yakni liberalisme dan
sosialisme. Liberalisme menggaungkan kebebasan, sedangkan sosialisme datang dengan ide
kesetaraan dan kesamaan. Sosialisme dianut oleh Uni Soviet. Ketika Uni Soviet runtuh,
sosialisme semakin ditinggalkan, menjadikan liberalisme sebagai salah satu paham yang mampu
menyelesaikan permasalahan kenegaraan. Namun, pada tahun 1970-an muncul
komunitarianisme sebagai bentuk kritik paham liberal. Perdebatan kedua paham ini menjadi
sangat menarik untuk dikaji. Begitupula dengan tulisan Brint yang merupakan kritik terhadap
konsep komunitarianisme dan rekonstruksi konsep tersebut. Sehingga ada baiknya kita
mengetahui paham lama yang menjadi salah satu pilihan terbaik dalam mengatur kehidupan
masyarakat maupun negaranya -Liberalisme-.

Munculnya paham liberal merupakan respon atas keterbelengguan masyarakat pada


kekuasaan gereja (ortodoksi religius) pada zaman Renaissance. Masyarakat menuntut otonomi
individu yang merupakan kebebasan masyarakat dalam mengambil tindakan dan menentukan
pilihan hidup mereka tanpa adanya intervensi eksternal baik pemaksaan, pelarangan, ancaman,
dan pembatasan. Liberalisme memandang bahwa individu merupakan penanggungjawab atas
sebagala bentuk tindakan dan pilihan hidup mereka. Di Indonesia, Gus Dur merupakan salah
tokoh yang menjunjung nilai- nilai pluralis, yakni menerima perbedaan yang ada, sehingga tak
sedikit masyarakat mengkategorikan pemikiran beliau masuk dalam pemikiran liberalis. Hal
tersebut dapat dilihat dari seluruh tindakan yang diambilnya ketika menjadi presiden RI.
Pemikiran Gusdur yang menjunjung multikulturalisme merupakan salah satu bentuk KOMUNITARIANISME | 9/27/2017
pengaplikasian terhadap nilai- nilai liberal. Dimana tiap oraang atau individu memiliiki hak yang
sama dalam menentukan pilihan mereka. Adanya kebebasan dalam melakukan apapun tanpa
merugikan dan mengambil kebebasan individu lainnya menjadikan paham ini tampak inklusif
dan egalitarian, karena tidak ada bentuk pembatasan ataupun intervensi lainnya dan semua
individu memiliki hak yang sama atas kebebasan mereka.

Paham liberalisme telah dikaji oleh banyak ahli seperti John Locke, Tocqville, Rousseau,
maupun John Rawls. Walaupun individu bebas melakukan semua tindakan dan menentukan
setiap pilihan hidup mereka, kehadiran negara menjadi sangat penting untuk menjamin keadilan

2
dan menjaga kebebasan individu agar tidak muncul konflik. Paham liberal ini menempatkan
individu sebagai makhluk yang tidak terikat, sehingga mereka tidak terikat akan sebuah
komunitas. Mereka berhak menetukan untuk keluar maupun tetap menjadi anggota sebuah
komunitas. Lalu bagaimana dengan adanya kelompok etnis, agama yang ada di tengah- tengah
negara yang liberal?. Adanya kelompok- kelompok yang menyuarakan solidaritas dan paham
fraternalis yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan menjadi sangat kontras dengan liberalisme.
Kritik-kritik yang dilayangkan oleh kelompok- kelompok tersebut yang kemudian memunculkan
paham komunitarian atau disebut komunitarianisme.

Di negara yang memiliki keberagaman baik etnis, budaya, bahasa, meupun agama sangat
sulit untuk menerapkan paham liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Karena hal
terpenting dalam sebuah komunitas yang berbasis pada kultural adalah upaya menyatukan
kepentingan masing- masing individu membagi sama rata beban komunitas tersebut. sehingga
individu tidak hanya bertanggung jawab atas diri mereka maupun pilihan mereka, tetapi juga
kebaikan pada komunitas yang ikut membenntuk identitas individu tersebut. paham
komunitarian merupakan paham yang sangat tepat bagi kelompok- kelompok kultural tersebut.
komunitarian memandang kelompok telah ada dalam berbagai bentuk praktek sosial maupun
tradisi- tradisi kultural yang kemudian sangat penting untuk dilindungi dan diakui dengan cara
mengharggai semua hak- hak anggota kelompoknya. Michael Sadel merupakan salah satu ahli
yang mengkaji terkait komunitarianisme.

Komunitas yang digambar Brint dalam papernya menyebutkan bahwa komunitas dapat
dipahami sebagi sebuah wadah atau kelompok orang yang saling berbagi aktivitas ataupun
believe secara turun temurun dan telah berlangsung lama. Kelompok- kelompok orang tersebut
membentuk nilai- nilai dan norma- norma yang mengatur perilaku atau tindakan para
anggotanya. Relasi loyalitas antar anggota terhadap komunitas tersebut menjadi catatan penting
bagi keberlangsungan dan keajeggan suatu komunitas. Sehingga munculah pertanyaan, “apakah
komunitarianisme yang dijunjung oleh komunitas- komunitas tersebut justru mengekang
otonomi individu?”. Subbab dibawah ini akan memaparkan secara singkat terkait otonomi
individu di dalam sebuah komunitas.
KOMUNITARIANISME | 9/27/2017

B. Komunitarianisme Mengekang Otonomi Individu?


Komunitas yang digambarkan dalam tulisan Steven Brint merupakan perkembangan
konsep komunitas pada tatanan masyarakat yang lebih modern. Dimana komunitas tidak hanya
dapat dipahami dari segi geografis, melainkan juga relasional yang terbentuk dari adanya
perkembangan teknologi. Adanya aktivitas dan komunitas virtual dan imagined (yang saya sebut
sebagai kecintaan) menjadikan komunitas tersebut lebih inklusif. Sangat berbeda dengan konsep
awal komunitarianisme yang menolak dan mendiskreditkan paham liberalisme, konsep baru ini
justru mengadopsi nilai- nilai dan prinsip liberalisme, yakni individu yang otonom.

3
Komunitas virtual dan imagined tersebut merupakan upaya memberikan hak- hak
kepadamasing- masing individu dalam menggunakan hak mereka untuk memilih komunitas yang
sesuai dengan kriteria mereka. Seperti misalnya klub pecinta sepak bola. Individu- individu yang
menyukai Arsenal akan bergabung dengan klub pecinta Arsenal, tetapi individu- individu yang
menyukai Chelsea akan bergabung dengan klub pecinta Chelsea. Mereka yang tergabung
kedalam klub tersebut bukan didasarkan atas asal usul mereka, dimana mereka lahir, darimana
asal mereka, berapa umur mereka, apa agama yang dianut, atau lainnya. Mereka berkumpul
karena “kecintaan” atau yang sering disebut dengan fans club. Klub- klub atau kelompok-
kelompok tersebut tidak memaksakan seseorang untuk ikut bergabung menjadi bagian dari
mereka. Mereka adalah kumpulan orang yang tertarik terhadap sesuatu, sehingga tidak bersifat
memaksa dan mengikat. Artinya, jikalaupun mereka yang sudah bergabung dan hendak keluar,
maka anggota yang lainnya tidak dapat memaksakan kehendak mereka untuk mencegahnya.
Fenomena diatas merupakan konsep komunitas baru yang mengadopsi nilai- nilai liberal.
Dimana individu dianggap sebagai individu yang otonom yang bebas memilih apa yang mereka
sukai dan tidak disukai. Komunitas tersebut memiliki ikatan emosional yang cukup rendah
terhadap masing- masing anggotanya dibandingkan dengan komunitas yang terbentuk atas dasar
geografis. Hal ini dikarenakan, intensitas interaksi yang dilakukan lebih jarang dan anggota-
anggota yang tergabung tersebut belum tentu mengenal satu sama lain. Sehingga upaya yang
dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kmunitas tersebut adalah memperbanyak jumlah
follower. Semakin banyak jumlah follower suatu klub atau komunitas virtual, maka semakin
eksis komunitas tersebut.

Berdasarkan penjelasan- penjelasan diatas, dapat saya sampaikan bahwa kritik liberal
yang mengatakan bahwa komunitas membatasi hak- hak individu serta ruang berekspresi tidak
sepenuhnya salah. Semua komunitas yang berbasiskan pada geografis memang mengusung
upaya mempertahankan tradisi yang sudah turun temurun serta tatanan yang sudah lama
terbentuk. Sehingga tradisi- tradisi tersebut sangat sulit untuk ditolak oleh individu atau anggota
yang tergabung didalam komunitas tersebut, serta tidak dapat ditampikkan bahwa tradisi- tradisi,
nilai- nilai, dan norma- norma yang berlaku didalamnya telah membentuk identitas, loyalitas,
dan ikatan emosional yang kuat pada masing- masing individunya. Usaha untuk
mempertahankan eksistensi dan menjaga tradisi yang sudah mendarah daging menjadi sangat KOMUNITARIANISME | 9/27/2017
tinggi. Disisi lain, kritik liberalis tidak dapat dibuktikan dari komunitas- komunitas virtual.
Karna didalam komunitas virtual tersebut, stratifikasi dan intervensi tidak berlaku. Komunitas ini
justru menjunjung otonomi individunya.

C. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat saya simpulkan bahwa perkembangan konsep
komunitas yang tidak hanya sebatas masalah geografis, tetapi juga hak individu anggotanya.
Komunitas virtual dan didasarkan atas kecintaan terhhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk
pelampauan terhadap letak geografis itu sendiri. setiap individu berhak bergabung kedalam
sebuah komunitas yang mereka sukai tanpa melihat asal- usul individu tersebut. Begitupula jika

4
individu tersebut hendak terlepas atau keluar dari komunitas tersebut, tidak ada sanksi sosial
yang mengikuti. Konsep komunitas ini saya pahami sebagai bentuk pengakuan terhadap hak- hak
anggota sebagai individu yang otonom. Walaupun mengusung paham komunitarianisme, tetapi
prinsip liberalisme juga tak luput dari perkembangan konsep komunitas itu sendiri.
Tanggapan saya terhadap tulisan tersebut yakni:

1. Ikatan emosional dan loyalitas yang dibawa oleh konsep komunitarianisme mulai
memudar pada praktik komunitas virtual. Karena interaksi yang terbangun didalam
komunitas tersebut bersifat tidak langsung. Walaupun sudah berkembang dengan
adanya interaksi dalam bentuk video call, skype, dll, tetapi penyelesaian masalah
internal anggotanya sulit untuk dilakukan. Alternatifnya adalah komunitas itu ditutup,
individu atau anggota yang bermasalah di blok, atau keluar jika sudah tidak sesuai
dengan keinginan individu.
2. Keberadaannya komunitas virtual tidak bertahan lama, kecuali memiliki banyak
pengikut yang belum tentu mengikuti secara penuh apa yang dibangun komunitas
yang diikutinya tersebut.
3. The Power of emotional menentukan keberhasilan suatu komunitas untuk
mempertahankan eksistensinya.

Sesuai dengan judul tulisan saya ini, pesan yang ingin saya sampaikan adalah komunitarian
berbalut prinsip liberal tidak selalu berhasil dalam mempertahankan eksistensi suatu komunitas
itu sendiri, karena komunitas yang kuat bukan sekedar jumlah pengikut yang banyak, melainkan
juga adanya ikatan emosional, loyalitas, ketergantungan antara satu dengan lainnya dengan
melakukan interaksi langsung secara rutin. Oleh karena itu, komunitas bukanlah “Aku”, tapi
“Kita”

Daftar Pustaka
Aida, R. (2005). Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu dan Komunitas. Demokrasi Vol. IV
No.2.
KOMUNITARIANISME | 9/27/2017

Brint, S. (2001). Gemeinschaft Revisited: A Critique and Reconstruction of the Community Concept. Sociological
Theory.

Khalid, A. S. (2012, Januari 9). Gus Dur Bukan Pemikir Liberal. Dipetik September 28, 2017, dari Suuara Nahdlatul
Ulama: http://www.nu.or.id/post/read/35707/gus-dur-bukan-pemikir-liberal

Anda mungkin juga menyukai