Konsep komunitas merupakan sebuah konsep yang diperkenalkan oleh para sosiolog
yang kemuudian digunakan untuk mengkaji dan menganalisa kajian sosiologis. Namun dalam
perkembangnya, konsep tersebut menuai banyak kritikan, tak terkecuali tulisan Steven Brint
“Gemeinshaft Revisited: A Critique and Reconstruction of the Community Concept”. Dalam
tulisan tersebut, Brint mengungkapkan bahwa komunitas kini hanya tinggal simbol dan aspirasi
dalam kehidupan politik dan intelektual, padahal sebelumnya konsep tersebut banyak digunakan
dalam menganalisis kajian sosiologis. Sehingga menurut Brint perlu adanya tipologi baru yang
dapat membangkitkan konsep tersebut dan merekonstruksi keberadaannya hingga dapat
digunakan kembali. Dalam mengidentifikasi dari struktur yang membedakan subtipe komunitas,
Brint membaginya menjadi empat, yakni konteks interaksi, motivasi dalam berinteraksi, tingkat
interaksi dan lokasi anggota, jumlah interaksi langsung (tatap muka) tanpa menggunakan
mediator (komputer).
1
Temuan kedua dari paper tersebut adalah stratifikasi dan kekuasaan menjadi bagian
terpenting seluruh komunitas yang sering melakukan interaksi langsung (tatap muka) atau tidak
penting bagi komunitas yang terbentuk secara virtual dan basis kecintaan (fans club). Tulisan
Stevan Brint tersebut menggambarkan betapa kompleksnya komunitas tersebut. Komunitas
bukan hanya entitas fisik, teritorial, struktur keanggotaan, melainkan juga bagaimana
menghargai anggotanya sebagai individu yang otonom. Menarik untuk kita kaji lebih dalam nilai
liberal yang diadopsi oleh dua bentuk atau tipe komunitas, yakni komunitas virtual dan
berbasiskan kecintaan (imagery). Sebelum membahas nilai liberal yang ada dalam komunitas,
perlu kita ketahui perdebatan liberalisme dan komunitarianisme.
Paham liberalisme telah dikaji oleh banyak ahli seperti John Locke, Tocqville, Rousseau,
maupun John Rawls. Walaupun individu bebas melakukan semua tindakan dan menentukan
setiap pilihan hidup mereka, kehadiran negara menjadi sangat penting untuk menjamin keadilan
2
dan menjaga kebebasan individu agar tidak muncul konflik. Paham liberal ini menempatkan
individu sebagai makhluk yang tidak terikat, sehingga mereka tidak terikat akan sebuah
komunitas. Mereka berhak menetukan untuk keluar maupun tetap menjadi anggota sebuah
komunitas. Lalu bagaimana dengan adanya kelompok etnis, agama yang ada di tengah- tengah
negara yang liberal?. Adanya kelompok- kelompok yang menyuarakan solidaritas dan paham
fraternalis yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan menjadi sangat kontras dengan liberalisme.
Kritik-kritik yang dilayangkan oleh kelompok- kelompok tersebut yang kemudian memunculkan
paham komunitarian atau disebut komunitarianisme.
Di negara yang memiliki keberagaman baik etnis, budaya, bahasa, meupun agama sangat
sulit untuk menerapkan paham liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Karena hal
terpenting dalam sebuah komunitas yang berbasis pada kultural adalah upaya menyatukan
kepentingan masing- masing individu membagi sama rata beban komunitas tersebut. sehingga
individu tidak hanya bertanggung jawab atas diri mereka maupun pilihan mereka, tetapi juga
kebaikan pada komunitas yang ikut membenntuk identitas individu tersebut. paham
komunitarian merupakan paham yang sangat tepat bagi kelompok- kelompok kultural tersebut.
komunitarian memandang kelompok telah ada dalam berbagai bentuk praktek sosial maupun
tradisi- tradisi kultural yang kemudian sangat penting untuk dilindungi dan diakui dengan cara
mengharggai semua hak- hak anggota kelompoknya. Michael Sadel merupakan salah satu ahli
yang mengkaji terkait komunitarianisme.
Komunitas yang digambar Brint dalam papernya menyebutkan bahwa komunitas dapat
dipahami sebagi sebuah wadah atau kelompok orang yang saling berbagi aktivitas ataupun
believe secara turun temurun dan telah berlangsung lama. Kelompok- kelompok orang tersebut
membentuk nilai- nilai dan norma- norma yang mengatur perilaku atau tindakan para
anggotanya. Relasi loyalitas antar anggota terhadap komunitas tersebut menjadi catatan penting
bagi keberlangsungan dan keajeggan suatu komunitas. Sehingga munculah pertanyaan, “apakah
komunitarianisme yang dijunjung oleh komunitas- komunitas tersebut justru mengekang
otonomi individu?”. Subbab dibawah ini akan memaparkan secara singkat terkait otonomi
individu di dalam sebuah komunitas.
KOMUNITARIANISME | 9/27/2017
3
Komunitas virtual dan imagined tersebut merupakan upaya memberikan hak- hak
kepadamasing- masing individu dalam menggunakan hak mereka untuk memilih komunitas yang
sesuai dengan kriteria mereka. Seperti misalnya klub pecinta sepak bola. Individu- individu yang
menyukai Arsenal akan bergabung dengan klub pecinta Arsenal, tetapi individu- individu yang
menyukai Chelsea akan bergabung dengan klub pecinta Chelsea. Mereka yang tergabung
kedalam klub tersebut bukan didasarkan atas asal usul mereka, dimana mereka lahir, darimana
asal mereka, berapa umur mereka, apa agama yang dianut, atau lainnya. Mereka berkumpul
karena “kecintaan” atau yang sering disebut dengan fans club. Klub- klub atau kelompok-
kelompok tersebut tidak memaksakan seseorang untuk ikut bergabung menjadi bagian dari
mereka. Mereka adalah kumpulan orang yang tertarik terhadap sesuatu, sehingga tidak bersifat
memaksa dan mengikat. Artinya, jikalaupun mereka yang sudah bergabung dan hendak keluar,
maka anggota yang lainnya tidak dapat memaksakan kehendak mereka untuk mencegahnya.
Fenomena diatas merupakan konsep komunitas baru yang mengadopsi nilai- nilai liberal.
Dimana individu dianggap sebagai individu yang otonom yang bebas memilih apa yang mereka
sukai dan tidak disukai. Komunitas tersebut memiliki ikatan emosional yang cukup rendah
terhadap masing- masing anggotanya dibandingkan dengan komunitas yang terbentuk atas dasar
geografis. Hal ini dikarenakan, intensitas interaksi yang dilakukan lebih jarang dan anggota-
anggota yang tergabung tersebut belum tentu mengenal satu sama lain. Sehingga upaya yang
dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kmunitas tersebut adalah memperbanyak jumlah
follower. Semakin banyak jumlah follower suatu klub atau komunitas virtual, maka semakin
eksis komunitas tersebut.
Berdasarkan penjelasan- penjelasan diatas, dapat saya sampaikan bahwa kritik liberal
yang mengatakan bahwa komunitas membatasi hak- hak individu serta ruang berekspresi tidak
sepenuhnya salah. Semua komunitas yang berbasiskan pada geografis memang mengusung
upaya mempertahankan tradisi yang sudah turun temurun serta tatanan yang sudah lama
terbentuk. Sehingga tradisi- tradisi tersebut sangat sulit untuk ditolak oleh individu atau anggota
yang tergabung didalam komunitas tersebut, serta tidak dapat ditampikkan bahwa tradisi- tradisi,
nilai- nilai, dan norma- norma yang berlaku didalamnya telah membentuk identitas, loyalitas,
dan ikatan emosional yang kuat pada masing- masing individunya. Usaha untuk
mempertahankan eksistensi dan menjaga tradisi yang sudah mendarah daging menjadi sangat KOMUNITARIANISME | 9/27/2017
tinggi. Disisi lain, kritik liberalis tidak dapat dibuktikan dari komunitas- komunitas virtual.
Karna didalam komunitas virtual tersebut, stratifikasi dan intervensi tidak berlaku. Komunitas ini
justru menjunjung otonomi individunya.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat saya simpulkan bahwa perkembangan konsep
komunitas yang tidak hanya sebatas masalah geografis, tetapi juga hak individu anggotanya.
Komunitas virtual dan didasarkan atas kecintaan terhhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk
pelampauan terhadap letak geografis itu sendiri. setiap individu berhak bergabung kedalam
sebuah komunitas yang mereka sukai tanpa melihat asal- usul individu tersebut. Begitupula jika
4
individu tersebut hendak terlepas atau keluar dari komunitas tersebut, tidak ada sanksi sosial
yang mengikuti. Konsep komunitas ini saya pahami sebagai bentuk pengakuan terhadap hak- hak
anggota sebagai individu yang otonom. Walaupun mengusung paham komunitarianisme, tetapi
prinsip liberalisme juga tak luput dari perkembangan konsep komunitas itu sendiri.
Tanggapan saya terhadap tulisan tersebut yakni:
1. Ikatan emosional dan loyalitas yang dibawa oleh konsep komunitarianisme mulai
memudar pada praktik komunitas virtual. Karena interaksi yang terbangun didalam
komunitas tersebut bersifat tidak langsung. Walaupun sudah berkembang dengan
adanya interaksi dalam bentuk video call, skype, dll, tetapi penyelesaian masalah
internal anggotanya sulit untuk dilakukan. Alternatifnya adalah komunitas itu ditutup,
individu atau anggota yang bermasalah di blok, atau keluar jika sudah tidak sesuai
dengan keinginan individu.
2. Keberadaannya komunitas virtual tidak bertahan lama, kecuali memiliki banyak
pengikut yang belum tentu mengikuti secara penuh apa yang dibangun komunitas
yang diikutinya tersebut.
3. The Power of emotional menentukan keberhasilan suatu komunitas untuk
mempertahankan eksistensinya.
Sesuai dengan judul tulisan saya ini, pesan yang ingin saya sampaikan adalah komunitarian
berbalut prinsip liberal tidak selalu berhasil dalam mempertahankan eksistensi suatu komunitas
itu sendiri, karena komunitas yang kuat bukan sekedar jumlah pengikut yang banyak, melainkan
juga adanya ikatan emosional, loyalitas, ketergantungan antara satu dengan lainnya dengan
melakukan interaksi langsung secara rutin. Oleh karena itu, komunitas bukanlah “Aku”, tapi
“Kita”
Daftar Pustaka
Aida, R. (2005). Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu dan Komunitas. Demokrasi Vol. IV
No.2.
KOMUNITARIANISME | 9/27/2017
Brint, S. (2001). Gemeinschaft Revisited: A Critique and Reconstruction of the Community Concept. Sociological
Theory.
Khalid, A. S. (2012, Januari 9). Gus Dur Bukan Pemikir Liberal. Dipetik September 28, 2017, dari Suuara Nahdlatul
Ulama: http://www.nu.or.id/post/read/35707/gus-dur-bukan-pemikir-liberal