BAB III
Manajemen Asuhan Keperawatan Jiwa Profesional di Rumah Sakit Jiwa
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya
A. Latar Belakang
Tujuan profesi keperawatan adalah memberikan pelayanan kepada klien dan juga
mempertahankan hidupnya profesi itu sendiri (Keyzer, 1992 dikutip dalam Draper 1996).
Agar dapat mencapai tujuan tersebut perawat perlu memiliki keterampilan intelektual,
teknikal, interpersonal, dan etik. Semua keterampilan ini harus tampak dalam pemberian
asuhan keperawatan terhadap pasien dan keluarga.
Praktek keperawatan profesional dengan ciri praktek yang didasari dengan keterampilan
intelektual, teknikal, interpersonal dapat dilaksanakan dengan menerapkan suatu metode
asuhan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode asuhan untuk praktek
profesional tersebut adalah proses keperawatan, suatu rangkaian asuhan yang terdiri dari
pengkajian, menyusun diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan, implementasi, dan
evaluasi.
Asuhan keperawatan perlu diupayakan untuk dilakukan sejak pasien berada di pelayanan
kesehatan (Rumah Sakit) hingga pasien kembali ke masyarakat. Untuk ini perlu ditata suatu
sistem yang dapat menjamin terlaksananya asuhan yang bermutu dan berkesinambungan,
baik selama pasien masih dirawat dalam lingkungan perawatan di Rumah Sakit (RS) maupun
setelah kembali ke masyarakat.
Beberapa prinsip perlu diperhatikan dan diterapkan saat melaksanakan asuhan keperawatan,
mulai dari saat melakukan pengkajian, perumusan diagnosis keperawatan, penyusunan
rencana tindakan keperawatan, implementasi, dan evaluasi. Berikut dipaparkan tentang
prinsip-prinsip asuhan keperawatan profesional yaitu holistik, kontinum, komprehensif, dan
paripurna.
1. Holistik
Setiap melakukan asuhan keperawatan terhadap pasien, aspek-aspek manusia seutuhnya
harus menjadi perhatian perawat, bukan hanya masalah psikososial semata. Aspek-aspek
tersebut meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual. Ketika merawat pasien perawat harus
melakukan pengkajian terhadap aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual pasien.
Berdasarkan data yang terkaji, maka perawat juga harus merumuskan masalah
keperawatan yang terkait dengan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Tindakan
keperawatan dan evaluasi hasil tindakan keperawatan juga harus meliputi aspek biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual. Karenanya asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa bukan
hanya merawat aspek spikologis dan sosial spiritual semata, tetapi juga aspek biologis,
dan spiritual.
a. Aspek Biologis
Asuhan keperawatan jiwa profesional harus memperhatikan aspek fisik atau biologis
pasien di samping masalah psikososialnya. Penerapan prinsip ini dimulai saat
melakukan pengkajian, perumusan diagnosis, perencanaan tindakan keperawatan,
implementasi tindakan keperawatan dan evaluasinya. Selain melakukan pengkajian
data psikososial, perawat juga harus melakukan pengkajian terhadap kondisi fisik
pasien. Pengkajian fisik meliputi tanda vital, berat badan, tinggi badan, keluhan fisik
dan pemeriksaan fisik dari kepala ke kaki (head to toe). Data pengkajian fisik
dianalisis untuk merumuskan diagnosa keperawatan fisik. Perencanaan tindakan
keperawatan juga harus meliputi tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah-
masalah biologis, disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Setelah tindakan
dilaksanakan maka evaluasi terhadap masalah fisik juga harus dilakukan dengan
membandingkan kondisi pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan.
b. Aspek Psikologis
1) Pengkajian aspek psikologis:
Faktor predisposisi: masalah psikologis masa lalu
Faktor pencetus: masalah psikologis yang mencetuskan gangguan jiwa
Mekanisme koping
Perilaku saat ini: konsep diri, status mental dan perilaku.
2) Diagnosis keperawatan terkait kondisi psikologis menjadi masalah utama pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa. Diagnosis keperawatan yang
paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa meliputi:
Risiko perilaku kekerasan
Gangguan persepsi sensori: halusinasi
Isolasi sosial
Harga diri rendah
Defisit perawatan diri
3) Tindakan keperawatan terkait masalah psikologis sudah disusun dalam bentuk
standar tindakan.
4) Aspek psikologis dikaitkan dengan berbagai masalah psikologis yang dialami
pasien, seperti ketakutan, trauma, kecemasan akibat masalah yang dihadapinya
sehingga memerlukan pelayanan keperawatan agar dapat beradaptasi dengan
situasi tersebut. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah
pasien dengan sendirinya akan membantu pasien mengatasi ketakutan, trauma
atau kecemasan yang dihadapi terkait masalahnya.
c. Aspek Sosial
Aspek sosial dikaitkan dengan masalah yang dialami pasien terkait bagaimana
hubungan sosialnya dengan orang lain dan penampilan dirinya yang sesuai agar
dapat diterima secara sosial. Dalam memberikan asuhan, perawat juga
memperhatikan aspek sosial pasien, yaitu dengan melatih pasien untuk berperilaku
yang dapat diterima secara sosial.
d. Aspek Budaya
Aspek budaya dikaitkan dengan bagaimana perawat melakukan perawatan terhadap
pasien dengan memperhatikan budaya pasien. Perawat perlu memahami budaya
pasien sebelum melakukan asuhan keperawatan sehingga pendekatan yang
dilakukan dapat lebih diterima oleh pasien.
e. Aspek Spiritual
Aspek spiritual dikaitkan dengan nilai dan keyakinan hidup yang dimiliki pasien,
pandangan terhadap penyakitnya. Saat memberikan asuhan keperawatan perawat
juga perlu memperhatikan nilai dan keyakinan yang dimiliki pasien.
2. Kontinum (Berkesinambungan)
Selain itu dengan adanya buku (jadual) kegiatan harian pasien yang berisikan kegiatan
yang harus dilatih pasien untuk mengatasi masalahnya, maka kesinambungan asuhan
keperawatan dapat dilakukan. Perawat ruangan penerima pasien dapat mengevaluasi
perkembangan pasien dan merencanakan tindak lanjut terhadap pasien berdasarkan
buku kegiatan harian tersebut. Perawat ruangan juga perlu selalu mengoperkan tindakan
keperawatan yang telah dilakukan dan rencana tindak lanjut terhadap pasien secara lisan
jika pasien pindah ruang rawat atau pulang. Hal ini dimulai ketika pasien masuk melalui
IGD maupun Instalasi Rawat Jalan. Jika pasien akhirnya dirawat, maka operan asuhan
keperawatan dilakukan terhadap perawat penerima pasien di ruangan rawat inap.
Begitu pula ketika pasien mengikuti kegiatan di Instalasi Rehabilitasi. Perawat ruang
rehabilitasi dapat mengetahui kondisi pasien berdasarkan adanya catatan asuhan
keperawatan dan berdasarkan catatan pada buku kegiatan harian pasien.
Ketika pasien diijinkan pulang, perawat ruangan perlu menginformasikan data pasien
kepada Instalasi Keswamas yang akan memantau pelayanan lanjutan bagi pasien
tersebut, baik untuk kontrol selanjutnya maupun untuk perawatan lanjutan di
masyarakat. Selanjutnya asuhan keperawatan terhadap pasien di masyarakat akan di
dilakukan oleh perawat kesehatan jiwa Puskesmas (yang telah dilatih) hingga pasien
mandiri.
3. Komprehensif
Setiap melakukan asuhan keperawatan, prinsip pencegahan berikut juga perlu
diperhatikan.
a. Pencegahan primer dilakukan terhadap pasien yang masih mempunyai kondisi baik
yang dapat dijaga/ dipertahankan agar tidak terjadi kemunduran. Misal: jika sebelum
dirawat pasien mempunyai kemampuan untuk mandi sendiri di kamar mandi, maka
perawat perlu mempertahankan kemampuan ini saat pasien dirawat; jangan sampai
selama dirawat pasien mandi di luar kamar mandi atau mandi beramai-ramai dengan
pasien lain.
b. Pencegahan sekunder dilakukan terhadap individu yang kondisinya mundur dan
perlu diperbaiki agar tidak berlanjut semakin parah. Misal: pasien yang tidak mampu
merawat diri karena tidak mempunyai minat untuk merawat diri, akan dilatih oleh
perawat hingga pasien tersebut mandiri kembali untuk merawat diri atau hanya
memerlukan bantuan minimal untuk merawat dirinya.
c. Pencegahan tersier dilakukan terhadap pasien yang telah mendapatkan asuhan
keperawatan dan telah memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya.
Tujuannya adalah mempertahankan kemampuan yang telah dilatih agar tidak
kembali mundur.
4. Paripurna
Prinsip paripurna adalah memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan
sistem klien (pasien). Asuhan keperawatan dilakukan terhadap pasien sebagai individu,
pasien sebagai kelompok, keluarga sebagai individu dan keluarga sebagai kelompok, dan
terhadap masyarakat. Asuhan keperawatan diberikan terhadap pasien agar ia mampu
mengatasi masalahnya, terhadap keluarga agar keluarga sebagai bagian dari sistem
pendukung pasien mampu merawat pasien di rumah, terhadap kelompok agar kelompok
dapat menjadi pendukung pasien dalam mengatasi masalahnya dan pasien merasa
bahwa tidak hanya ia sendiri yang mempunyai masalah, serta terhadap masyarakat agar
masyarakat dapat menerima keberadaan pasien dan turut membantu pasien mengatasi
masalahnya.
Proses keperawatan adalah suatu pendekatan penyelesaian masalah yang sistematis dalam
pemberian asuhan keperawatan. Kebutuhan dan masalah klien merupakan titik sentral
dalam proses penyelesaian masalah ini. Proses keperawatan terdiri dari lima fase, yaitu
pengkajian, diagnosis, rencana tindakan, implementasi, dan evaluasi.
Pengkajian
Dalam keperawatan, pengkajian merupakan pengumpulan data subyektif dan obyektif secara
sistematis dengan tujuan membuat penentuan tindakan keperawatan bagi individu, keluarga
dan komunitas (Craven & Hirnle, 2000). Oleh karena itu dibutuhkan suatu format pengkajian
yang dapat menjadi alat bantu perawat dalam pengumpulan data.
Format pengkajian meliputi aspek-aspek identitas pasien, alasan masuk, faktor predisposisi,
fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, masalah
psikososial dan lingkungan, pengetahuan, dan aspek medik. Format pengkajian ini dibuat
agar semua data relevan tentang masalah pasien saat ini, yang lampau, atau yang potensial
didapatkan sehingga diperoleh suatu data dasar yang lengkap.
Pengkajian yang dilakukan juga perlu mencakup aspek-aspek yang terdapat pada prinsip
holistik, kontinum, komprehensif dan paripurna. Pengkajian terhadap bagaimana
kesinambungan perawatan selama ini, khususnya saat di masyarakat perlu dilakukan sebagai
dasar perencanaan tindakan keperawatan selanjutnya agar tetap berkesinambungan.
Seorang pasien gangguan jiwa tidak hanya memiliki satu diagnosis keperawatan tetapi
beberapa diagnosis keperawatan dan yang kerapkali menyertai diagnosis pasien adalah
isolasi sosial dan defisit perawatan diri. Sehingga saat menangani pasien, kedua diagnosis
keperawatan ini juga menjadi bagian yang diintervensi ditambah dengan diagnosis utama
dan diagnosis lainnya). Diagnosis keperawatan isolasi sosial dan defisit perawatan diri akan
selalu dirumuskan untuk setiap pasien. Diagnosis keperawatan ditetapkan oleh S 1 Ners atau
oleh perawat spesialis, sementara bagi RS atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang
belum mempunyai perawat S1 Ners atau perawat spesialis diagnosis keperawatan dapat
ditetapkan oleh perawat D3.
Rencana tindakan keperawatan dirancang untuk pasien dan keluarga, direncanakan untuk
tindakan keperawatan generalis (individu dan kelompok) dan tindakan keperawatan spesialis
(individu dan kelompok). Bagi RS atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang belum
mempunyai perawat spesialis, maka rencana tindakan keperawatan yang ditetapkan adalah
rencana tindakan keperawatan generalis untuk pasien dan keluarga, baik secara individu
maupun kelompok.
Hasil akhir dari tindakan keperawatan yang dilakukan adalah gejala pasien teratasi dan
pasien memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya, begitu pula dengan keluarga
diharapkan memiliki kemampuan mengatasi masalah dalam merawat anggota keluarganya
yang sakit. Pasien yang telah dilatih untuk mengatasi masalahnya, diharapkan melatih
kemampuan yang telah diajarkan secara terjadual setiap harinya. Untuk itu setiap pasien
memperoleh buku jadual kegiatan yang akan diisi dengan kegiatan yang perlu dilatih pasien.
Melalui latihan yang terjadual dan rutin dilakukan diharapkan pasien menjadi terampil dalam
melakukan tindakan untuk mengatasi masalahnya dan kemampuan ini akan menjadi budaya
bagi pasien dalam mengatasi masalahnya.
Pendokumentasian
Pendokumentasi asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap proses keperawatan yang
meliputi dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi
tindakan keperawatan, dan evaluasi. Berikut contoh format pendokumentasian hasil
Kondisi pasien: O:
Diagnosis Keperawatan:
A:
Tindakan Keperawatan:
P:
Rencana Tindak Lanjut:
Perawat
2. Pertemuan Kedua
Implementasi Tindakan Keperawatan dan Evaluasi
Tn. S (40 tahun) Ruangan: Cendrawasih
No. RM: 00-10-11
Tindakan: P:
Mengevaluasi latihan menghardik suara, Latihan menghardik dan berbincang-bincang 2 kali
mandi dan minum obat sehari
Melatih cara makan yang baik Minum obat sesuai jadual (aturan) dan minta obat
Melatih berbincang-bincang dengan orang langsung pada perawat
lain Mandi 2 kali
RTL: Makan dengan cara baik
Evaluasi menghardik, mandi, minum obat,
cara makan yang baik, berbincang-bincang Perawat
dengan orang lain.
Lanjutkan latihan melakukan aktivitas secara ner
terjadual dan latihan berdandan.
s
(Nama perawat)
4. Pasien Pulang
Implementasi Tindakan Keperawatan dan Evaluasi
a. Pengkajian :
Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan melalui wawancara, adalah:
Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
Pasien merasa tidak nyaman berada bersama orang lain.
Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
Hubungan Sosial
b. Diagnosis Keperawatan
Isolasi Sosial
Tujuan
Pasien:
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu:
1) Membina hubungan saling percaya.
2) Menyadari penyebab isolasi sosial.
3) Berinteraksi dengan orang lain.
Keluarga:
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial.
d. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan dilaksanakan berdasarkan strategi pelaksanaan
(SP) sebagai berikut:
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning).
2) Jelaskan follow up pasien setelah pulang.
a. Pengkajian
Tanda dan gejala defisit perawatan diri dapat diperoleh melalui observasi terhadap
pasien, yaitu:
Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki
dan bau, kuku panjang dan kotor.
Ketidakmampuan berhias/ berdandan ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan tidak mencuci tangan
sebelum makan, tidak mampu mengambil makanan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
Ketidakmampuan [Buang Air Besar (BAB)/Buang Air Kecil (BAK)] secara mandiri,
ditandai dengan BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan
baik setelah BAB/BAK.
Status Mental
1. Penampilan
Tidak rapi
Penggunaan pakaian tidak sesuai
Cara berpakaian tidak seperti biasanya
Jelaskan …………………………………………………………………………………….
Masalah Keperawatan: …………………………………………………………….
Kebutuhan Sehari-hari
1. Makan
Bantuan minimal Bantuan total
2. BAB/BAK
Bantuan minimal Bantuan total
3. Mandi
Bantuan minimal Bantuan total
4. Berpakaian/berhias
Bantuan minimal Bantuan total
Jelaskan ……………………………………………………………………………….
Masalah Keperawatan: …………………………………………………………….
b. Diagnosis Keperawatan
Tujuan
Pasien:
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu:
1) Melakukan kebersihan diri secara mandiri.
2) Melakukan berhias/ berdandan secara baik.
Keluarga:
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien defisit perawatan
diri.
d. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan dilaksanakan berdasarkan strategi pelaksanaan
(SP) sebagai berikut:
1) Identifikasi kebiasaan pasien merawat diri, cara makan, kebiasaan berdandan dan
BAB/ BAK.
2) Diskusikan tentang pentingnya menjaga kebersihan diri.
3) Diskusikan akibat tidak menjaga kebersihan diri.
4) Diskusikan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
5) Diskusikan cara-cara melakukan kebersihan diri.
6) Latih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
7) Bantu pasien menyusun jadual perawatan diri.
SP makan:
1) Evaluasi jadual kegiatan melakukan perawatan diri.
2) Diskusikan cara mempersiapkan makan.
3) Diskusikan cara makan yang tertib.
4) Diskusikan cara merapihkan peralatan makan setelah makan.
5) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
6) Bantu pasien membuat jadual makan dengan cara yang baik.
SP berdandan/ berhias:
1) Evaluasi jadual kegiatan melakukan perawatan diri dan latihan cara makan yang
baik.
2) Latih pasien berdandan:
a) Bagi pasien laki-laki, latihan meliputi: berpakaian, menyisir rambut, dan
bercukur.
b) Bagi pasien wanita, latihan meliputi: berpakaian, menyisir rambut dan berhias.
3) Bantu pasien membuat jadual berdandan.
SP BAB/BAK:
1) Evaluasi jadual kegiatan melakukan perawatan diri, latihan cara makan yang baik,
dan latihan berdandan/ berhias.
2) Diskusikan tempat BAB/BAK yang sesuai.
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning).
2) Jelaskan follow up pasien setelah pulang.
3. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
Harga diri rendah pada pasien gangguan jiwa sering merupakan penyebab terjadinya
masalah-masalah lainnya, seperti isolasi sosial, perilaku kekerasan, dan lain-lain. Harga
diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri.
a. Pengkajian
Tanda dan gejala harga diri rendah:
Mengkritik diri sendiri.
Perasaan tidak mampu.
Pandangan hidup yang pesimis.
Penurunan produktifitas.
Penolakan terhadap kemampuan diri.
Selain data di atas, seseorang dengan harga diri rendah biasanya terlihat kurang
memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapih, tidak berani menatap lawan
bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat dengan nada suara lemah.
Tujuan
Pasien:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien mampu:
1) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
2) Menilai kemampuan yang dapat digunakan.
3) Menetapkan/ memilih kegiatan sesuai kemampuan.
4) Melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan.
Keluarga:
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien harga diri rendah.
d. Implementasi
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan pasien di rumah.
2) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning).
3) Jelaskan follow up pasien setelah pulang.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada.
a. Pengkajian
Pada proses pengkajian halusinasi, hal-hal yang dikaji adalah jenis, isi, waktu dan
frekuensi halusinasi, situasi yang menimbulkan halusinasi dan respon pasien saat
terjadi halusinasi.
Jenis halusinasi
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Bicara atau tertawa sendiri Mendengar suara-suara atau
Dengar Marah-marah tanpa sebab kegaduhan, suara yang mengajak
Menyedengkan telinga ke arah bercakap-cakap, suara menyuruh
tertentu melakukan sesuatu yang berbahaya.
Menutup telinga
Halusinasi Menunjuk-nunjuk ke arah Melihat bayangan, sinar, bentuk
Penglihatan tertentu geometris, bentuk kartoon, melihat
Ketakutan pada sesuatu yang hantu atau monster
tidak jelas.
Halusinasi Menghidu seperti sedang Membaui bau-bauan seperti bau
Penghidu membaui bau-bauan tertentu. darah, urin, feses, kadang-kadang
Menutup hidung. bau itu menyenangkan.
Halusinasi Sering meludah Merasakan rasa seperti darah, urin
Pengecapan Muntah atau feses
Halusinasi Menggaruk-garuk permukaan Mengatakan ada serangga di
Perabaan kulit permukaan kulit
Merasa seperti tersengat listrik
Persepsi :
Halusinasi
Pendengaran
Penglihatan
Perabaan
Pengecapan
Penghidu
Jelaskan:
Isi halusinasi: …………………………………………………………………….
Waktu terjadinya: ……………………………………………………………..
Frekuensi halusinasi: …………………………………………………………
Situasi: ……………………………………………………………………………….
Respons pasien: ………………………………………………………………..
b. Diagnosis Keperawatan
Tujuan
Pasien:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien mampu:
1) Mengenal halusinasi yang dialaminya.
2) Mengontrol halusinasinya.
3) Mengikuti program pengobatan secara optimal.
Keluarga:
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien halusinasi.
d. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan dilaksanakan berdasarkan strategi pelaksanaan (SP)
sebagai berikut:
SP patuh obat:
1) Evaluasi latihan menghardik.
2) Diskusikan tentang obat pasien: jenis, dosis, frekuensi minum obat.
3) Diskusikan tentang manfaat obat.
4) Diskusikan akibat bila putus obat.
5) Diskusikan cara mendapatkan obat/ berobat.
6) Diskusikan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar
pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).
7) Masukkan jadual minum obat ke dalam jadual kegiatan harian pasien.
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning).
2) Diskusikan follow up pasien setelah pulang.
a. Pengkajian
Tanda dan Gejala waham berdasarkan jenis waham adalah sebagai berikut:
1) Waham Kebesaran
Pasien meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan
berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh: “Saya ini pejabat di departemen kesehatan lho...” atau “Saya punya
tambang emas”.
2) Waham Curiga
Pasien meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/ mencederai dirinya, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh: “Saya tahu... seluruh saudara saya ingin menghancurkan
hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya”.
3) Waham Agama
Pasien memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh: “Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari”.
4) Waham Somatik
Pasien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/ terserang
penyakit, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh: “Saya sakit kanker”, setelah pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
tanda-tanda kanker namun pasien terus mengatakan bahwa ia terserang kanker.
5) Waham Nihilistik
Pasien meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/ meninggal, diucapkan
berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh: “Ini kan alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh”.
Agar hubungan saling percaya dapat tetap dipertahankan, maka perawat jangan
mendukung atau membantah waham pasien. Segera alihkan kembali percakapan ke
topik awal jika pasien membicarakan wahamnya, dan yakinkan pasien bahwa ia
berada dalam keadaan aman. Perawat juga perlu melakukan observasi pengaruh
waham terhadap aktivitas pasien sehari-hari.
Proses pikir
[ ] Sirkumstansial [ ] Tangensial
[ ] Flight of ideas [ ] Blocking
[ ] Kehilangan assosiasi [ ] Pengulangan bicara
Isi pikir
[ ] Obsesi [ ] Fobia
[ ] Depersonalisasi [ ] Ide terkait
[ ] Hipokondria [ ] Pikiran magis
Waham
[ ] Agama [ ] Somatik [ ] Kebesaran [ ] Curiga
[ ] Nihilistik [ ] Sisip pikir [ ] Siar pikir [ ] Kontrol pikir
b. Diagnosis Keperawatan
Tujuan
Pasien:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien mampu:
1) Berorientasi terhadap realitas secara bertahap.
2) Memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Keluarga:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien waham.
d. Implementasi
Tindakan Keperawatan pada Pasien
SP membantu orientasi realitas:
1) Bina hubungan saling percaya
2) Identifikasi tanda dan gejala waham
3) Bantu orientasi realitas: panggil nama, orientasi waktu, orang, dan tempat.
4) Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya.
5) Diskusikan kebutuhan psikologis/ emosional yang tidak terpenuhi.
6) Bantu pasien memenuhi kebutuhannya.
7) Bantu pasien memasukkan pemenuhan kebutuhan ke dalam jadual kegiatan
harian.
SP melatih kemampuan:
1) Evaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pasien.
2) Diskusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki pasien.
3) Latih kemampuan yang dipilih, berikan pujian.
4) Bantu pasien memasukkan kegiatan yang telah dilatih kedalam jadual aktivitas.
SP patuh obat:
1) Evaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pasien dan kegiatan yang dilakukan
pasien.
2) Diskusikan tentang obat pasien: jenis, dosis, frekuensi minum obat.
3) Diskusikan tentang manfaat obat.
4) Diskusikan akibat bila putus obat.
5) Diskusikan cara mendapatkan obat/ berobat.
6) Diskusikan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar
pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).
7) Masukkan jadual minum obat ke dalam jadual kegiatan harian pasien.
a) Waham yang dialami pasien (pengertian, tanda dan gejala, jenis waham yang
dialami pasien dan proses terjadinya, akibat jika tidak diatasi) dan dampaknya
terhadap pasien.
b) Cara merawat pasien waham.
3) Latih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan waham.
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat.
2) Diskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau keluarga.
a. Pengkajian
Tanda dan Gejala
Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui hasil observasi terhadap perilaku
berikut ini:
1) Muka merah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Jalan mondar-mandir
6) Nada suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Bicara kasar, mengancam secara verbal atau fisik
8) Melempar atau memukul benda/ orang lain.
b. Diagnosis Keperawatan
Perilaku Kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan
Tujuan
Pasien:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien mampu:
1) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2) Mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
3) Menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
4) Menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya.
5) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
6) Mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, sosial, spiritual, dan dengan terapi
psikofarmaka.
Keluarga:
d. Implementasi
SP cara fisik:
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Identifikasi penyebab perilaku kekerasan saat ini dan lalu.
3) Identifikasi perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
a) Identifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah.
b) Identifikasi akibat perilaku kekerasan yang dilakukan.
c) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
Fisik: tarik napas dalam, pukul kasur atau bantal.
Patuh Obat.
Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya.
Spiritual: sholat/ berdoa sesuai keyakinan pasien.
4) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik I dan II: latihan nafas
dalam dan pukul kasur atau bantal.
5) Identifikasi perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
6) Anjurkan pasien memasukkan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik
I dan II ke dalam kegiatan harian.
SP patuh obat:
1) Evaluasi hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik.
2) Diskusikan tentang obat pasien: jenis, dosis, frekuensi minum obat.
3) Diskusikan tentang manfaat obat.
4) Diskusikan akibat bila putus obat.
5) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama
pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan
benar dosis obat).
6) Anjurkan pasien memasukkan jadual minum obat ke dalam kegiatan harian.
SP cara spiritual:
1) Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, jadual minum obat
dan latihan mengungkapkan marah secara sosial/verbal.
Tahapan melatih keluarga agar mampu merawat pasien perilaku kekerasan di rumah
meliputi:
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge
planning).
2) Diskusikan follow up pasien setelah pulang.
3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan
gejala-gejala perilaku kekerasan.
4) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dirujuk ke RSJ
atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (seperti melempar atau memukul
benda/orang lain).
a. Pengkajian
Berdasarkan besarnya kemungkinan pasien melakukan bunuh diri, terdapat tiga
macam perilaku bunuh diri, yaitu:
Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya,
namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah / sedih / marah /
putus asa / tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri
sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri,
pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan
pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
b. Diagnosis Keperawatan
Jika ditemukan data bahwa pasien memberikan ancaman atau mencoba bunuh diri,
maka diagnosis keperawatannya adalah:
Tujuan
Pasien:
Pasien tetap aman dan selamat
Keluarga:
Keluarga dapat merawat anggota keluarga dengan risiko bunuh diri
d. ImplementasiI
Tindakan Keperawatan pada Pasien
Tindakan keperawatan dilaksanakan berdasarkan strategi pelaksanaan (SP) sebagai
berikut:
Tahapan melatih keluarga agar mampu merawat pasien risiko bunuh diri di rumah
meliputi:
SP perencanaan pulang:
1) Bantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat
(perencanaan pulang).
2) Diskusikan follow up pasien setelah pulang.
3) Diskusikan bersama keluarga hal-hal yang dapat dilakukan jika pasien melakukan
percobaan bunuh diri:
a) Minta bantuan tetangga sekitar atau tokoh masyarakat.
b) Segera bawa pasien ke RSJ atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, atau
hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, &
Currier, 2002), sedangkan menurut Kaplan dan Sadock (1993) kedaruratan psikiatrik
adalah gangguan alam pikiran, perasaan atau perilaku yang membutuhkan intervensi
terapeutik segera.
Prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah intervensi atau penanganan segera. Berdasarkan
prinsip segera ini maka penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I (24 jam
pertama) dan fase intensif II (24-72 jam pertama).
Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan kondisi gawat darurat sedikit berbeda
dengan pengkajian terhadap pasien yang bukan dalam kondisi kedaruratan. Pengkajian
terhadap pasien gawat darurat menggunakan skor RUFA. Pada keperawatan, kategori
pasien dibuat dengan skor RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif)/ GARF (Global
Assessment of Response Functioning) yang merupakan modifikasi dari skor GAF karena
keperawatan menggunakan pendekatan respon manusia dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan fungsi respon yang adaptif.
Keperawatan meyakini bahwa kondisi manusia selalu bergerak pada rentang adaptif dan
maladaptif. Ada saat individu tersebut berada pada titik yang paling adaptif, namun di
saat lain individu yang sama dapat berada pada titik yang paling maladaptif. Kondisi
adaptif dan maladaptif ini dapat dilihat atau diukur dari respon yang ditampilkan.
Berdasarkan respon ini kemudian dirumuskan diagnosis Skor RUFA yang dibuat
berdasarkan diagnosis keperawatan pasien, sehingga setiap diagnosis keperawatan
memiliki kriteria skor RUFA tersendiri.
Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosis,
tritmen dan evaluasi yang ketat. Fase intensif II adalah perawatan pasien dengan
observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam. Fase intensif III pasien di kondisikan sudah
mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih berkurang dan tindakan-tindakan
keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai
dengan maksimal 10 hari.
Tindakan keperawatan gawat darurat diberikan terhadap pasien dan keluarga. Berikut
akan dijelaskan tentang asuhan keperawatan gawat darurat terhadap pasien untuk
diagnosis keperawatan risiko bunuh diri, halusinasi, perilaku kekerasan, waham, panik,
putus zat dan over dosis untuk pengguna NAPZA. Tindakan keperawatan pada keluarga
dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya tentang pedoman asuhan keperawatan jiwa.
1) Pengkajian
Pengkajian dengan menggunakan skor RUFA untuk Risiko Bunuh Diri
Perasaan Terus menerus putus asa Seringkali putus asa Kadang-kadang putus asa
2) Diagnosis Keperawatan
2) Diagnosis Keperawatan
3) Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan diberikan berdasarkan nilai skor RUFA
2) Diagnosis Keperawatan
Perilaku Kekerasan
3) Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan diberikan berdasarkan nilai skor RUFA
Pada kondisi pasien yang tidak mampu lagi mengontrol emosi/ perilaku
(mengamuk) perlu dilakukan tindakan segera (manajemen krisis) untuk
mengatasi situasi.
2) Diagnosis Keperawatan
3) Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan diberikan berdasarkan nilai skor RUFA
2) Diagnosis Keperawatan
Gangguan Panik
3) Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan diberikan berdasarkan nilai skor RUFA
1) Pengkajian
Pengkajian dengan menggunakan skor RUFA untuk putus zat
2) Diagnosis Keperawatan
Putus zat
3) Tindakan Keperawatan
2) Diagnosis Keperawatan
Over dosis
3) Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan diberikan berdasarkan nilai skor RUFA
Setelah pasien mendapatkan asuhan gawat darurat di IGD, maka pasien akan
dipulangkan atau rawat inap.
a. Jika pasien pulang, maka pasien mendapatkan buku kegiatan harian yang telah diisi
dengan kegiatan yang harus dilatih pasien secara terjadual untuk meningkatkan
kemampuannya. Buku kegiatan harian ini dapat menjadi pedoman bagi perawat
Puskesmas yang akan melakukan asuhan keperawatan selanjutnya. Buku kegiatan
dibawa kembali ke RS saat pasien akan melakukan kontrol ulang.
b. Jika pasien dirawat, maka pasien mendapatkan buku kegiatan harian yang telah diisi
dengan kegiatan yang harus dilatih pasien secara terjadual untuk meningkatkan
kemampuannya. Buku kegiatan harian ini dapat menjadi pedoman bagi perawat
ruangan yang akan melakukan asuhan keperawatan selanjutnya.
Jika pasien yang mengalami kondisi gawat darurat sedang dirawat inap, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat yang sesuai untuk perawatannya.
a. Pengkajian
Pasien yang pernah dirawat/ pulang dari perawatan
1) Minta buku kegiatan harian pasien.
2) Kaji perawatan diri pasien
3) Kaji hubungan sosial pasien
4) Kaji kepatuhan minum obat
5) Identifikasi masalah yang dirasakan keluarga
Pasien baru
Lakukan pengkajian sesuai format pengkajian yang tersedia. Pengkajian dilakukan
terhadap masalah pasien dan keluarga.
b. Diagnosis Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan disusun untuk pasien dan keluarga sesuai dengan
diagnosis keperawatan yang ditetapkan untuk tindakan generalis maupun spesialis,
direncanakan untuk tindakan individu dan kelompok.
d. Implementasi
Pasien yang pernah dirawat/ pulang dari perawatan
1) Evaluasi pelaksanaan latihan (jadual kegiatan harian) di rumah.
2) Evaluasi penerapan kemampuan yang telah dilatih saat masalah muncul.
3) Latih kemampuan lain sesuai diagnosis keperawatan pasien (langkah-langkah
tindakan keperawatan dapat dilihat pada uraian bagian sebelumnya).
4) Masukkan kegiatan yang telah dilatih ke dalam buku jadual kegiatan pasien.
5) Motivasi keluarga untuk memantau pelaksanaan latihan di rumah.
Pasien baru
Tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan
(langkah-langkah tindakan keperawatan dapat dilihat pada uraian bagian
sebelumnya).
Setelah pasien mendapatkan asuhan di rawat jalan, maka pasien akan pulang atau
dirawat.
a. Jika pasien pulang (pasien baru), maka pasien mendapatkan buku kegiatan
harian yang telah dituliskan tentang kegiatan yang harus dilatih pasien secara
terjadual untuk meningkatkan kemampuannya. Bagi pasien lama, melanjutkan
mengisi jadual kegiatan pada lembaran yang masih tersedia. Buku kegiatan
harian ini dapat menjadi pedoman bagi perawat Puskesmas yang akan
melakukan asuhan keperawatan selanjutnya. Buku jadual kegiatan akan dibawa
kembali ke RS saat pasien melakukan kontrol ulang.
b. Jika pasien dirawat, maka pasien mendapatkan buku kegiatan harian yang telah
dituliskan tentang kegiatan yang harus dilatih pasien secara terjadual untuk
meningkatkan kemampuannya. Buku kegiatan harian ini dapat menjadi pedoman
bagi perawat ruangan yang akan melakukan asuhan keperawatan selanjutnya.
b. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Utama
Diagnosis Lainnya
Isolasi Sosial
Defisit
c. Rencana Tindakan Perawatan Diri
Keperawatan
d. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan dilakukan sesuai kebutuhan pasien:
1) Tindakan intensif (pasien dengan kegawatdaruratan).
2) Lanjutkan dengan tindakan sesuai SP berdasarkan diagnosis keperawatan.
a. Pengkajian
b. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan sesuai dengan diagnosis keperawatan yang telah dirumuskan
di ruang rawat inap atau rawat jalan.
d. Implementasi
1) Living Skill
2) Learning Skill
Fisik: berdiam diri, memberi perhatian, duduk diam, mengobservasi.
Emosi (HAM): berbicara, bertanya, mengikuti arahan, meminta arahan,
mendengar.
Intelektual: membaca, menulis, berhitung, keterampilan belajar, hobi, mengetik/
komputer
3) Working Skill
Fisik: ketepatan waktu, menggunakan alat-alat bekerja, kemampuan bekerja,
transportasi untuk bekerja, pekerjaan tertentu.
Emosi: wawancara kerja, pengambilan keputusan, hubungan dengan orang lain,
kontrol diri, mempertahankan pekerjaan.
Intelektual: kehlian dalam pekerjaan, mencari pekerjaan.
Kegiatan:
a. Menerima informasi tentang data pasien dari rawat inap dan rawat jalan/ Instalasi
Gawat Darurat yang pulang (nama, nomor rekam medik, alamat, nomor telpon yang
dapat dihubungi).
b. Mengecek wilayah tinggal paien, apakah tinggal di wilayah Puskesmas yang telah
mempunyai perawat kesehatan jiwa masyarakat.
c. Mengecek waktu pasien untuk konsultasi ulang (kontrol) dan mencatatnya.
d. Melakukan kerjasama dengan Instalasi Rawat Jalan tentang waktu kontrol pasien.
e. Mengingatkan pasien (bisa melalui perawat Puskesmas) jika pasien tidak melakukan
kontrol ulang sesuai jadual yang telah ditetapkan.
f. Jika di Puskesmas belum memiliki perawat kesehatan jiwa, maka Rumah Sakit dapat
menugaskan perawat untuk melakukan kunjungan rumah terhadap pasien yang tidak
datang untuk melakukan kontrol ulang pada waktu yang telah ditetapkan.
Nilai-nilai etik pelayanan keperawatan jiwa yang profesional meliputi: nilai etik profesi dan
standar keperawatan sebagai akontabilitas pelayanan dan asuhan keperawatan. Standar yang
dimiliki perawat, merupakan tanggung jawab terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan.
Untuk memastikan perawat bekerja sesuai kode etik profesi dan standar yang ditetapkan,
dan tanggung jawab moral etik profesi dalam pengendalian, diperlukan aspek legal
keperawatan, yang dapat diaplikasikan dalam upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan
jiwa profesional.
Pasien dengan masalah kesehatan jiwa berada dalam kondisi fisik dan psikologik yang lemah
dan tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri, sehingga sering menjadi korban
penganiayaan fisik seperti dipukul, ditendang, dipasung, diisolasi (dikurung), diancam
dengan kata-kata kasar, ditelantarkan dan diberikan fasilitas fisik yang kurang memadai.
Penerapan:
b. Beneficence
Beneficence merupakan prinsip dalam melakukan tindakan keperawatan dan
mencegah bahaya untuk kebaikan pasien. Perawat harus menyadari bahwa kata-kata
yang diucapkan tidak sampai mengganggu pasien.
Penerapan:
1) Mencegah bahaya bagi pasien, terutama bagi pasien yang masih belum dapat
mengontrol emosi, masih labil, secara tiba-tiba mencederai orang lain sehingga
perlu perhatian khusus. Terutama jika pasien dalam pengikatan, perawat harus
memperhatikan anggota tubuh yang diikat, menjamin vaskularisasi dengan baik,
rubah posisi setiap 15 menit, penuhi kebutuhan dasar, lakukan observasi secara
berkala.
2) Menciptakan lingkungan yang aman dengan cara penataan ruangan yang tidak
rumit, kabel listrik yang aman, tower air yang tidak berada di lingkungan ruang
rawat pasien yang dapat digunakan pasien untuk mencelakakan dirinya, dan
menjauhkan benda-benda yang dapat digunakan menciderai diri sendiri maupun
orang lain.
3) Melindungi pasien dari bahaya fisik dengan cara menggunakan perlengkapan
yang aman. Misal tidak menggunakan gelas atau botol dari kaca untuk minum
pasien.
4) Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan cara mengikutsertakan
pasien dalam kegiatan yang sesuai dengan kemampuan pasien.
5) Perawat harus mampu mengendalikan dan memonitor percakapan selama
interaksi sehingga tidak merugikan pasien. Perawat harus mempunyai
kemampuan untuk memprediksi bahaya dari percakapan perawat dan pasien.
c. Veracity (Ketulusan)
Prinsip veracity merupakan perilaku jujur dan tulus dalam mengatakan yang
sebenarnya, tidak membohongi pasien. Kejujuran harus dimiliki perawat saat
berhubungan dengan pasien. Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan
saling percaya perawat-pasien.
Penerapan:
1) Perawat mengungkapkan perasaannya apabila pasien melakukan hal yang tidak
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
2) Perawat mengakui kesalahan apabila perawat menyimpang dari kesepakatan
bersama misalnya kontrak waktu tidak sesuai jadual.
3) Memberi pujian dengan tulus, sesuai dengan realitas.
d. Fidelity (Kesetiaan)
Prinsip veracity dan fidelity mempunyai hubungan yang dekat. Fidelity adalah
kesetiaan pada pekerjaan/ tugas, kewajiban, dan janji/ komitmen. Keduanya
merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya. Dalam hubungan
terapeutik, fidelity termasuk dalam kesetiaan untuk melakukan terus rencana
keperawatan pasien dan janji yang telah dibuat. Salah satu cara untuk menepati janji
adalah dengan memasukkan ketaatan dalam tanggungjawab.
Penerapan:
1) Menepati janji yang telah dibuat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
tentang kontrak waktu, tempat, topik yang akan dibicarakan.
2) Bila terpaksa melanggar/ menunda janji karena sesuatu hal mendesak dan tidak
bisa ditinggalkan perawat melakukan permintaan maaf.
3) Menjaga kerahasiaan pasien tentang masalahnya dengan tidak mengungkapkan
masalah pasien yang telah diketahuinya kepada orang lain.
4) Peduli dan empati terhadap apa yang dirasakan pasien.
e. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan adalah berlaku adil, dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan
pasien. Setiap individu mendapat perlakuan/ kesempatan yang sama.
Penerapan:
1) Pasien diberikan kesempatan untuk melakukan tindakan yang telah dilatih.
2) Setiap pasien berhak mendapat kesempatan untuk mengungkapkan perasaan,
untuk terlibat selama pelaksanaan asuhan keperawatan.
3) Asuhan keperawatan diberikan tanpa membedakan suku, ras dan agama.
f. Non Malefesiensi:
Berniat melakukan hal yang benar/ berniat melakukan sesuatu hal yang tidak salah.
Prinsip non malefisien menuntut perawat menghindari membahayakan klien selama
pemberian asuhan keperawatan.
Penerapan:
1) Asuhan keperawatan individu maupun kelompok yang dilaksanakan tepat
dengan indikasi pasien (sesuai dengan diagnosis keperawatan pasien).
2) Asuhan keperawatan dilaksanakan sesuai dengan SPO yang berlaku sehingga
tidak merugikan pasien.
2. Legal
Selama menjalankan praktek keperawatan, perawat perlu memahami tentang batasan
legal dimana perawat harus berfungsi. Pemahaman tentang hukum perlu dimiliki
perawat untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban dan untuk melindungi hak-
hak pasien. Pemahaman yang baik tentang hukum akan meningkatkan kemampuan
perawat untuk menjadi advokat bagi pasien. Kesalahan yang dibuat terhadap seseorang
dapat digolongkan sebagai tidak disengaja (kelalaian) atau disengaja.
a. Malpraktek
Malpraktek merupakan kelalaian yang dilakukan oleh seorang profesional seperti
perawat atau dokter. Bentuk-bentuk malpraktek antara lain tindakan perawat yang
membuat pasien terluka, performa perawat di bawah standar yang diharapkan,
memutuskan/ menghentikan hak perawatan pasien sebelum waktunya/ tidak sesuai
standar perawatan. Penyebab terjadinya kelalaian antara lain kompetensi perawat
yang tidak memenuhi kualifikasi, jumlah ketenagaan yang tidak memenuhi standar
(rasio pasien dan perawat), fasilitas yang tidak lengkap, kebijakan, pedoman, SPO
yang tidak tersedia atau tidak diperbaharui dan lingkungan kerja yang tidak kondusif.
Kriteria gugatan hukum malpraktek terhadap seorang perawat adalah sebagai
berikut (Potter & Perry, 2005) :
1) Perawat berhutang tugas kepada pasien.
1) Perawat tidak melakukan tugasnya atau melanggar tugas perawatan.
2) Pasien cedera, baik penyebab aktual maupun kemungkinan mencederai pasien
adalah akibat dari kegagalan perawat untuk melakukan tugas.
Hak-Hak Pasien
Beberapa bentuk hak pasien yang tidak boleh dilanggar seorang perawat agar tidak
dianggap melakukan pelanggaran adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku.
b. Memperoleh layanan yang manusiawi adil, jujur dan tanpa diskriminasi.
c. Mempunyai tempat pribadi berhubungan dengan privasi.
d. Memilih dan menggunakan barang pribadinya, misal pakaian yang diinginkan,
tidak ada pemaksaan.
e. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianut.
f. Mendapat layanan komunikasi seperti telepon dan surat.
g. Menerima pengunjung setiap hari.
h. Menyampaikan keluhan terhadap pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai, misal
melarang keluarga untuk bertemu/ berkunjung.
i. Menerima treatmen, tidak ada pembatasan tertentu.
j. Memperoleh hak sebagai kewarganegaraannya.
k. Menolak Electro Convulsive Therapy (ECT).
l. Mengelola kepemilikan barang-barangnya dan mengendalikan pemakainannya.
m. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama berada dalam perawatan
rumah sakit. Misal: tidak dilukai oleh pasien lain.
g. Setiap pasien dan keluarganya berkewajiban mematuhi hal-hal yang telah disetujui
dalam persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) yang telah dibuatnya.
h. Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.
i. Pasien berkewajiban terlebih dahulu menanyakan kepada pihak rumah sakit,
tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya (perawat) bilamana ada ketidakpuasan
pelayanan yang kurang sebelum menggunakan hak-haknya.
j. Pasien berkewajiban mengajukan permohonan untuk mendapatkan isi rekam medis
kepada pimpinan rumah sakit atau tenaga medis yang merawatnya.
k. Setiap pasien atau keluarganya berkewajiban mematuhi hal-hal yang telah disetujui
tentang rujukan bila dilakukan.
Informed Concent
Informed Concent adalah dokumen yang legal dalam pemberian ijin atas dasar
pengertian terhadap prosedur tertentu dalam tatanan pelayanan kesehatan (Aikin,
2001). Informed Concent merupakan dokumen yang legal sebagai persetujuan prosedur
tindakan medik atau invasif dengan tujuan untuk melindungi tenaga medik jika terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan akibat dari tindakan tersebut. Selain itu dapat melindungi
pasien terhadap intervensi/tindakan yang akan dilakukan.
Perawat adalah tim kesehatan yang selama 24 jam merawat pasien. Karenanya perawat
beresiko untuk bersinggungan dengan masalah-masalah keselamatan pasien rumah sakit.
Sebenarnya perawat tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak
bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).
Kejadian tidak diharapkan, baik yang tidak dapat dicegah (non error) mau pun yang dapat
dicegah (error) berasal dari berbagai proses asuhan keperawatan pasien yang diberikan.
Untuk itu, perawat perlu mengetahui sistem atau intervensi untuk mencegah atau
mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan keperawatan.
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan
maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas.
Keselamatan pasien Rumah Sakit perlu diperhatikan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk
menciptakan budaya keselamatan pasien rumah sakit , meningkatkan akuntabilitas rumah
sakit, menurunkan KTD di rumah sakit , dan terlaksananya program-program pencegahan
sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
c. Infeksi nosokomial
Kesalahan:
Penggunaan alat-alat yang tidak steril
Penyimpanan alat-alat kurang baik (tidak pada tempatnya).
Pasien mandi tidak bersih sehingga menimbulkan penyakit kulit.
Pakaian jarang diganti terutama pakaian dalam.
Tidak cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
Tidak mendesinfektasi daerah yang akan di suntik.
Membuang bekas alat-alat yang kotor tidak pada tempat khusus.
Pencegahan:
Gunakan alat-alat yang steril terutama alat injeksi.
d. Dekubitus
Kesalahan:
Posisi pasien tidak diubah dalam jangka waktu yang lama.
Alat tenun (seprei) lembab atau basah.
Tempat tidur yang tidak rapih.
Pencegahan:
Alat tenun yang digunakan bersih, kering, dan licin.
Setiap alat tenun yang lembab atau basah segera diganti dengan yang kering.
Perhatikan ada tanda-tanda dekubitus (merah pada daerah yang tertekan)
Ganti posisi setiap 1 jam.
Pencegahan
Baca dengan teliti golongan darah yang akan digunakan dan cocokkan dengan
golongan darah pasien.
Lakukan tranfusi darah sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku di rumah
sakit.
Pastikan alat yang digunakan steril dan sekali pakai.
Pastikan darah yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan, kekentalan.
f. Jatuh
Kesalahan
Fasilitas tempat tidur tidak sesuai dengan standar
Tidak ada pengaman pada tempat tidur maupun lantai ruangan
Lantai licin
Tidak melakukan pengawasa terhadap pasien dalam kondisi lemah atau
gelisah
Pencegahan
Usahakan fasilitas temptat tidur disesuaikan dengan kondisi pasien (pasien sesak
napas, lemah, gaduh gelisah).
Gunakan tempat tidur dengan pengaman dan lantai setiap saat tetap kering dan
tidak licin.
Observasi melekat pada pasien dengan kondisi lemah atau gaduh gelisah.
Mematuhi standar pelayanan dan SPO yang telah ditetapkan.
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur,
lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang, dan budaya.
1) Struktur
a) Kebijakan dan prosedur organisasi: cek telah terdapat kebijakan dan prosedur
tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
b) Fasilitas: apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan?
c) Persediaan: apakah hal-hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di
ruang IGD/ PICU.
2) Lingkungan
a) Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh atau
cedera.
b) Temperatur: pengkondisian temperatur dibutuhkan di beberapa ruangan seperti
ruang IGD/ PICU, hal ini diperlukan karena ruangan yang panas mempengaruhi
temperamen pasien.
c) Kebisingan: lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat sedang
memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan
kondisi pasien.
d) Ergonomic dan fungsional: ergonomic berpengaruh terhadap penampilan seperti
teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien
jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah
disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis,
penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
d. Proses
1) Desain kerja: desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya
penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang
hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus
dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
2) Karakteristik risiko tinggi: melakukan tindakan keperawatan yang terus menerus
saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat
menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat
suatu sistem pengingat untuk mengurangi kesalahan.
3) Waktu: waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah
tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa
tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada
pasien-pasien emergensi oleh karena itu pada saat-saat tertentu waktu dapat
menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
e. Orang
1) Sikap dan motivasi; sikap dan motivasi sangat berdampak terhadap kinerja
seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan.
2) Kesehatan fisik: kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak terhadap kinerja
dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
3) Kesehatan mental dan emosional: hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan
kebutuhan dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang penuh akan terjadi
kesalahan-kesalahan dalam bertindak.
4) Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan: perawat memerlukan
pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat-alat kesehatan
dengan teknologi baru dan perawatan penyakit-penyakit yang sebelumnya belum
tren, seperti perawatan flu babi (swine flu).
5) Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi; kognitif sangat berpengaruh terhadap
pemahaman mengapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat
berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan masalah
baru, mengkomunikasikan hal-hal yang baru.
f. Budaya
1) Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan
keselamatan pasien.
2) Filosofi tentang keamanan; keselamatan pasien tergantung kepada filosofi dan nilai
yang dibuat oleh para pimpinan pelayanan kesehatan.
3) Jalur komunikasi: jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan
dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa
yang menerima laporan).
4) Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat
hambatan karena terbentuknya budaya blaming (menyalahkan). Budaya blaming
merupakan fenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan
membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
5) Staf – kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang
penting adalah sistem kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf,
membuat kebijakan dan mengatur personal termasuk jam kerja, beban kerja,
manajemen kelelahan, stres dan sakit.