Anda di halaman 1dari 13

SEKILAS SEJARAH KEHADIRAN GEREJA DI INDONESIA

Sejarah Keberadaan Gereja Di Indonesia


Pertemuan Injil dengan Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perjalanan Injil
itu sendiri. Hal ini tampak dalam perjalanan Injil dari Yerusalem, Yudea, dan Samaria
sampai ke ujung bumi. Pada satu pihak ada perjalanan Injil ke arah barat dan juga
perjalanan Injil ke arah Timur. Awal dari perjalanan Injil ke arah barat itu dapat ditelusuri
dalam kitab Kisah Para Rasul. Sedangkan Perjalanan Injil ke arah timur tidak tercatat
dalam Alkitab dan hanya diketahui lewat sejarah saja, meskipun catatan-catatan sejarah
mengenai perjalanan Injil ke arah timur ini pun sangat sedikit. Ditambah lagi pula hasil
perjalanan Injil ke arah timur kemudian hampir lenyap. Oleh sebab itu, perjalanan Injil ke
arah timur ini hampir tidak diketahui dan hampir tidak dikenal di Indonesia.
Salah satu gereja yang terpenting sebagai hasil dari perjalanan Injil ke arah timur
ini ialah Gereja Nestoriah. Gereja Nestoriah itu lama berpusat di Baghdad. Dari abad ke-6
sampai abad ke-13 Gereja Nestoriah telah menjalankan pekabaran Injil yang sangat luas
sampai ke India dan Cina. Para penginjil dari Gereja Nestoriah itulah yang
menerjemahkan Alkitab untuk pertama kali dalam bahasa Cina. Dalam suatu buku dalam
bahasa Arab yang ditulis oleh Shaykh Abu Salih al-Armini dikatakan bahwa di Fansur
(Barus), di pantai Barat Tapanuli, terdapat banyak Gereja Nestoriah. Ada petunjuk-
petunjuk bahwa kaum Nestoriah telah hadir di Barus sejak tahun 645
Dalam abad ke-14 dan ke-15 Gereja Nestoriah itu praktis lenyap, walaupun sampai
sekarang masih ada sisa-sisanya di Iran dan Irak. Gereja Nestoriah di Barus telah lenyap
tanpa meninggalkan bekas. Para penginjil dari Gereja Nestoriah tidak pernah
menerjemahkan Alkitab ke bahasa Melayu, yang pada abad ke-7 telah luas tersebar di
kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian kita lihat bahwa Injil telah tiba di Indonesia
untuk pertama kali dalam rangka perjalanan Injil dari Yerusalem ke arah timur, lama
sebelum Islam tiba di Indonesia. Tetapi kedatangan pertama Injil di Indonesia itu tidak
meninggalkan bekas. Injil telah datang untuk kedua kali di Indonesia melalui jalan yang
panjang, yaitu dari Yerusalem ke arah barat, ke Eropa, dan baru pada abad ke-16 Injil
kembali ke Indonesia dari Eropa bersamaan waktu dengan kedatangan orang-orang
Portugis, yang kemudian disusul oleh kedatangan orang-orang Belanda pada abad ke-17.
Dalam hubungan itu baiklah kita baca Kisah Para Rasul 16:8-10. Di situ kita baca
bahwa Rasul Paulus tidak memunyai rencana untuk membawa Injil dari Asia ke Eropa,
yaitu ke Makedonia. Membawa Injil dari Asia ke Eropa bukan strategi Paulus, melainkan
strategi Roh Yesus sendiri (Kisah Para Rasul 16:8). Sejarah dunia dan sejarah gereja akan
lain sama sekali andaikata Injil tidak dibawa dari Asia ke Eropa, artinya ke dunia Barat.
Pada waktu Injil tiba di Indonesia untuk pertama kali pada abad ke-7 dan untuk kedua kali
dalam abad ke-16, Indonesia telah memunyai perkembangan yang menarik dari segi
sejarah dan dari segi agama serta kebudayaan. Injil tidak tiba di Indonesia dalam
keadaan yang "kosong" dari segi agama dan kebudayaan. Dapat kita catat adanya
beberapa "lapisan" dalam sejarah keagamaan dan kebudayaan kita sehingga Indonesia
dapat kita lihat sebagai suatu kue lapis yang memperlihatkan lapisan-lapisan keagamaan
dan kebudayaan yang memunyai coraknya masing-masing.
Dari keterangan di atas kemudian dapat ditelusuri bahwa pada umumnya
masyarakat Indonesia termasuk para sejarawannya, demikian pula dengan gereja ber-
pendapat bahwa Injil baru masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa
Portugis di awal abad ke-16. Bagi kalangan Kristen Protestan hal ini diperkuat dengan
tulisan DR. Th. Malin Krueger dalam buku standar tentang Sejarah Gereja di Indonesia,
yang mengatakan bahwa tidak didapati sedikit pun bekas Pekabaran Injil di Indonesia,
dan tidak terdapat seorang Kristen pun di Indonesia sebelum kedatangan bangsa
Portugis sebab merekalah yang pertama-tama menyiarkan Agama Kristen di Indonesia.
Meskipun penelitian yang lebih seksama dengan menggunakan sumber-sumber
tulisan yang lebih kuno di Timur Tengah, membuktikan hal yang sebaliknya. Bermula
dengan memuncaknya pertentangan antara Gereja Barat dengan Gereja Timur yang
berakibat terpisahnya gereja, maka Gereja Timur berdiri sendiri dengan pimpinannya
seorang uskup di Persia dengan memakai gelar Ketholikos, di tahun 410. Gereja ini
kemudian dikenal sebagai Gereja Khaldea, atau Gereja Syria Timur. Gereja ini adalah
pengikut ajaran Nestorius, sehingga juga dikenal sebagai gereja Nestorian (Nestorian,
Nusthuri/Nasathariah). Sampai sekitar abad ke-13, pusat gereja ini berkedudukan di
Baghdad dan wilayah wewenang pelayanannya meliputi Cyprus, Irak, Iran, Manchuria,
Mongolia, India, Sri Lanka, Sumatera dan Jawa.
Dalam sebuah naskah kuno tulisan Shaykh Abu Salih al-Armini, terdapat daftar
dari 707 gereja dan 181 biara yang tersebar dimana-mana, yang termasuk dalam wilayah
pelayanan provinsi Mesir, di antaranya termasuk Indonesia. Dalam naskah itu disebut
Fansur yang disebut terdapat banyak gereja dan biara. Fansur atau Pancur adalah kota
pelabuhan di Sumatera Utara, yang terletak di dekat kota Barus yang waktu itu sangat
ramai sebagai kota pelabuhan perdagangan kapur barus, hal ini dicatat di sekitar abad ke
7. Berita kemudian yang masih menyebut adanya gereja di Sumatera ditulis oleh
Metropolit Gereja Suriah Timur yang bertugas antara tahun 1291-1319, yang
mencantumkan keuskupan agung Dabhagh (Sumatera).
Sumber lain yang menyebut masih adanya gereja dan orang Kristen di Indonesia,
adalah catatan perjalanan Uskup Joa de Marignoli OFM, Duta Besar Paus Clemens VI di
Peking, yang pernah berkunjung ke Sumatera (Kerajaan Sriwijaya) dan masih sempat
melayani orang-orang Kristen di sana pada tahun 1346. Hingga akhirnya jejak dari masa
kekristenan pada awal masuk ke Indonesia hilang dan tidak lagi diketahui proses
perkembangannya. Apa yang terjadi dengan orang Kristen masa itu masih belum jelas,
namun suatu penggalian yang diadakan di tahun 1610 di Malaka, menemukan puing-puing
gereja dengan hiasan salib bergaya Khaldea.
Di Abad XVI terjadi perubahan besar di dunia politik dan perdagangan yang
ditandai dengan ditemukannya jalan laut ke Asia oleh Eropa. Dimulailah perjalanan
ekspedisi besar-besaran yang ditandai dengan berhasilnya Portugis merebut Malaka di
tahun 1511, sebuah kota yang menjadi pusat perdagangan di Nusantara. Dari sini mereka
mengirim armadanya dan berhasil menguasai wilayah Maluku, sumber rempah-rempah
sebagai komoditi perdagangan yang bernilai jual tinggi waktu itu. Sementara itu Kerajaan
Majapahit mulai kehilangan kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan pantai di Sumatera mulai
menyatakan diri berdiri sendiri, juga di Jawa, kerajaan-kerajaan terutama di kota-kota
pelabuhan semakin berani untuk melepaskan diri dari Majapahit. Perkembangan ini
berjalan seiring dengan semakin luasnya pengaruh Islam yang berkembang dengan pesat
pada abad ke-15 hingga ke-16.
Terkait dengan penyebaran Agama Katolik dimulai bersamaan dengan
datangnya bangsa portugis setelah berhasil menguasai Malaka yang waktu itu memegang
peranan penting perdagangan, yang kemudian dijadikan pusat kegiatan misi. Pada tahun
1555 diresmikanlah keuskupan Malaka yang mencakup Indonesia. Penyebaran Agama
Katolik terutama di kalangan rakyat yang menganut kepercayaan lama. Sesuai dengan
prinsip Kerajaan Katolik waktu itu, maka pekerjaan misi didukung dan dibiayai
sepenuhnya oleh Negara dimana hal ini dipercayakan oleh Paus kepada Raja.[6] Namun,
di tahap pertama ini tidak nampak pekerjaan misi yang cukup terarah, karena
terlalu tergantung pada perkembangan penguasa Portugis. Pekerjaan misi yang
sungguh baru terjadi adalah dengan kedatangan Fransiskus Xaverius di tahun 1546
sampai 1547.[7] Sehingga pekerjaan misi kemudian mencapai Sulawesi Utara,
beberapa tempat di Jawa khususnya di daerah yang masih ada pengaruh Hindu, dan
Kalimantan.
Peristiwa penting dalam sejarah politik di Asia Tenggara pada akhir abad ke-16
dan awal abad ke-17 adalah terjadinya peralihan kekuasaan kolonial, dari Portugis
kepada pihak Belanda.[8] Tujuannya tetap sama untuk menguasai daerah sumber bahan
perdagangan. Sebab itu penguasaan daerah jajahan itu dilaksanakan melalui suatu
badan perdagangan yang disebut VOC (Verenigde Osstindiesche Compagnie), yang
mendapat hak monopoli dari pemerintahnya di negeri Belanda, termasuk hak memiliki
tentara sendiri, mencetak uang sendiri, mengambil keputusan untuk berperang serta
mengadakan perjanjian.
Pada mulanya VOC hanya memerlukan pelayanan rohani untuk melayani orang-
orang mereka sendiri. Kemudian mereka diperhadapkan dengan soal baru, setelah
melihat bahwa ada orang-orang Kristen Indonesia peninggalan Misi Katolik. Jumlah orang
Katolik di Maluku, Sulawesi Utara, Pulau Siau dan Sangir disebut sekitar 40.000 jiwa.
Menurut pemikiran waktu itu, maka adalah hak dan kewajiban VOC untuk membuat orang
Katolik itu menjadi Protestan, sesuai dengan agama yang dianut oleh penguasa. Tentu
ada juga latar belakang politik, sebab VOC khawatir jika mereka tetap dibiarkan Katolik
sekali waktu mereka dapat mengundang lagi Portugis atau Spanyol. Selanjutnya antara
tahun 1708-1771 (selama 63 tahun), jumlah orang Indonesia yang dibaptis berjumlah 43.748
jiwa, di antaranya hanya 1.205 yang boleh ikut perayaan Perjamuan Kudus. Maka, bila
diperhitungkan jumlah orang Katolik yang ditinggalkan oleh Misi Portugis sebanyak
40.000 jiwa, maka pada dasarnya di masa VOC dapat dikatakan gereja sama sekali tidak
berkembang secara signifikan dan berarti.[9]
Babak berikut yang sangat berarti dalam sejarah penyebaran Injil di Indonesia
adalah dengan berakhirnya keberadaan VOC setelah berkuasa selama 200 tahun
tepatnya pada 1799. Pemerintah Belanda yang akhirnya melanjutkan penguasaannya di
Indonesia, namun tidak melihat dirinya sebagai “penguasa Kristen”, melainkan suatu
pemerintah sekuler. Terhadap masalah keagamaan, pemerintah Belanda bersikap netral.
Di bawah Gubernur Jenderal Daendels, diproklamasikanlah kebebasan agama yang
berarti juga berakhirnya monopoli Kristen Calvinis, dan kebebasan bagi Gereja Lutheran.
Sedangkan Katolik mendapat ijin kembali untuk mengadakan pekerjaan misi dan
mendatangkan Imam ke Indonesia. Begitu juga dengan Islam secara resmi disokong untuk
menunaikan ibadah Haji ke Mekkah sebagai salah satu wujud hukum Islam yang harus
dipenuhi, Lembaga-lembaga Pekabaran Injil diperbolehkan secara bebas masuk ke
Indonesia.

SEJARAH PEKABARAN INJIL DI NIAS


Oleh : Pdt. (Em). B. Gulō, STh

Pekabaran Injil di Nias dimulai dengan satu nama yang seolah-olah terukir indah
dengan tinta mas dalam lembaran sejarah gereja di Pulau Nias. Nama itu ialah ERNST
LUDWIG GENNINGER, salah seorang lulusan Bassel Missions Seminarie tapi
sebelumnya ia hanya bekerja sebagai tukang cerobong asap. Ia diutus oleh RMG
(Rheinische Missions Gesselschaft) dan tiba di Pelabuhan Gunungsitoli Nias pada hari
Rabu, tanggal 27 September 1865, jam 9 pagi. Hingga sekarang tanggal kedatangannya
inilah yang dianggap sebagai permulaan datangnya Berita Injil di Nias.
Memang ada informasi lain, bahwa Pekabaran Injil di Nias telah dimulai pada
tahun 1822/1823 oleh dua orang pastor dari Gereja Roma Katolik, yang diutus oleh
Mission Estrangers de Paris yaitu Pastor Pere Wallon dan Pastor Pele Barart, tetapi
ternyata pekerjaan mereka tidak berhasil. Setelah mereka tiga hari tinggal di Lasara
Gunungsitoli, seorang diantaranya meninggal dunia, demikian pula yang lainnya juga
meninggal dunia tiga bulan kemudian. Sebab itu Pendeta – Evangelis ERNST LUDWIG
DENNINGER-lah yang diakui dan diterima sebagai Rasul Pertama di tengah-tengah Suku
Nias.
Hasil pelayanan ERNST LUDWIG DENNINGER mengabarkan Injil di Nias sudah
dapat dilihat dan dirasakan sekarang ini. Dengan tekun Ia telah melakukan tugas
pengutusannya, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1876 karena suatu penyakit dan
dimakamkan di Batavia (Kota Jakarta masa kini).

Masa Permulaan Yang Sulit (1865 – 1890)


Kira-kira 50 tahun setelah Tuhan Yesus naik ke sorga dan memerintahkan Amanat
Agung Pekabaran Injil, Paulus dan para rasul sudah memberitakan Injil meliputi Asia
Kecil, bahkan sampai di Eropa. Setelah lama kemudian, kira-kira pada tahun 1700
keadaan terbalik, di mana orang-orang Eropah mulai berusaha mengirim para misionaris
ke Asia. Perubahan besar ini terjadi sebagai dampak munculnya aliran Pencerahan dan
Revival / Pietisme di Eropa pada abad ke 18.
Demikianlah halnya RMG di Barmen, Jerman, yang didirikan pada tahun 1828,
salah satu lembaga Pekabaran Injil yang berasal dari Gereja Uniert, yaitu gabungan
Gereja Lutheran, dan Gereja Reformiert (pada tahun 1817), mulai mengutus beberapa
orang missionaris ke Pulau Borneo (Kalimantan) bagian selatan yang tiba pada tahun
1836. Namun selama ± 20 tahun mereka mengalami kesulitan-kesulitan yang luar biasa.
Yang berhasil dibabtis baru 261 orang. Apalagi dengan terjadinya pemberontakkan Suku
Dayak yang dipimpin oleh Pangeran Al Hidayat pada tahun 1859, yang berusaha
mengusir dan membebaskan Borneo Selatan dari pengaruh Bangsa Kulit Putih, sehingga
tercatat 9 orang keluarga missionaris menjadi korban pembunuhan (4 orang missionaris
beserta 3 orang wanita dan 2 orang anak).
Para missionaris lainnya melarikan diri ke Batavia (Pulau Jawa), akibat
pemberontakkan itu, dan salah seorang diantaranya adalah ERNST LUDWIG
DENNINGER. Pengurus RMG di Barmen menyuruhnya pergi ke Tanah Batak, tetapi
karena istrinya sakit maka ia terpaksa tinggal di Padang, Sumatera Barat. Bahkan
anaknya perempuan disuruh datang dari Jerman ke Padang untuk merawat ibunya.
Di Padang ERNST LUDWIG DENNINGER bertemu dengan orang-orang suku Nias
(sekitr 3000 orang), kebanyakan bekerja sebagai buruh, yang berbeda bahasa, budaya
dan adat istiadatnya. Ia tertarik lalu mulai belajar bahasa dan cara hidup mereka. Ia
senang bergaul serta menjalin hubungan dengan para buruh – pekerja dari Nias
tersebut. Dulu sebelum Ia diutus ke Borneo, Ia pun bekerja sebagai tukang sapu
cerobong asam rumah-rumah di Berlin.
Mula-mula ERNST LUDWIG DENNINGER bermaksud membentuk satu jemaat bagi
orang-orang Nias di Padang, namun ia menyadari bahwa mereka hanya perantau yang
sering berpindah-pindah, sehingga akhirnya Ia memutuskan untuk datang langsung ke
Pulau Nias. Dengan mudah ia mendapat persetujuan dari RMG dan Pemerintah Hindia
Belanda, sebab sebelumnya sudah ada permintaan pemerintah kepada RMG agar diutus
Pendeta Penginjil ke Pulau Nias. Alasannya, karena orang-orang di Nias terkenal jahat,
suka memberontak dan mengayau kepala orang.
Lalu tibalah waktunya Denninger sekeluarga meninggalkan Padang menuju Pulau
Nias. Keluarga missionaris tersebut mendarat di Pelabuhan Gunungsitoli pada jam 9 pagi
hari Rabu, 27 September 1865. Dari pelabuhan mereka diantar langsung ke rumah Salawa
Yawaduha di Hilina’a. Dan pada hari itu juga Denninger mulai mengabarkan Injil kepada
penduduk yang datang berkumpul melawat mereka. Kemudian mereka menyewa salah
satu rumah di Gunungsitoli untuk tempat tinggal mereka.
Bersumber dari penuturan beberapa orang tua yang sekarang semuanya sudah
meninggal dunia, untuk menarik perhatian orang banyak supaya mau belajar Firman
Tuhan dan nyanyian-nyanyian gereja, Denninger lebih dahulu membagikan tembakau
untuk rokok dan ramuan sirih. Dalam masa permulaan yang sulit itu, Denninger berusaha
mengajar beberapa pemuda agar dapat membaca dan menulis. Permulaan sekolah ini
hanya diselenggarakan di rumah penduduk, dan ternyata berhasil, sehingga pemuda-
pemuda inilah yang mampu menjadi pembantu-pembantu Denninger untuk mengajar
anak-anak di sekitar Gunungsitoli pada tahun 1866.
Selain itu Denninger juga telah berhasil menterjemahkan Injil Yohanes dan Injil
Lukas ke dalam bahasa Nias. Karyanya ini sangat berarti, baik bagi orang-orang Nias
yang dapat membaca maupun bagi para missionris yang datang kemudian.
Pada tahun 1872, tujuh tahun setelah kedatangan Denninger di Pulau Nias, datang
pula missionaris kedua dari RMG yaitu Pendeta J.W. Thomas. Ia belajar bahasa Nias dari
Denninger, kemudian melayani di Pos Pekabaran Injil yang baru di Ombõlata.
Sesudah itu pada tahun 1873 datang lagi missionaris kegita bernama Kramer. Ia
ditempatkan di Gunungsitoli bersama dengan istrinya yang terkenal sangat rajin
berkunjung kepada keluarga-keluarga di Kampung Hilina’a, sehingga pada hari paskah
tahun 1874 berhasil dilaksanakan Baptisan pertama kepada 25 orang penduduk Kampung
Hilina’a, termasuk Yawaduha, Salawa/kepala kampung Hilina’a.
Hasil pekabaran Injil berikutnya yakti pembaptisan 6 orang penduduk Ombõlata,
tempat Pdt. J.W. Thomas melayani, dan pada tahun 1876 menyusul lagi pembaptisan 32
orang penduduk Faechu (±2 km dari Ombõlata). Pada tahun 1876 itu pula berdirilah
Gedung Gereja yang pertama di Nias, yaitu di Ombõlata, dan pada tahun 1880 disusul lagi
berdirinya gedung Gereja yang kedua, yaitu di Faechu.
Satu tahun sebelum meninggal dunia, yaitu pada tahun 1875, Denninger pergi
berobat ke Batavia. Dan Pada tahun 1876 tiba di Nias missionaris keempat bernama Dr.
W.H. Sundermann. Setelah dua tahun bersama Kramer di Gunungsitoli, Doktor Theologia
ini merasa matang berbahasa Nias, lalu membuka Pos Pekabaran Injil di Dahana, namun
di sana ia berhadapan dengan penyembahan berhala yang begitu kuat. Sebab itu Ia
beralih ke bidang pendidikan dan menghimpun dan mengajar para pemuda setempat.
Usahanya inilah yang merupakan cikap bakal berdirinya Sekolah Guru di Nias.
Pada tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang
mengantikan J.W. Thomas di Ombõlata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi
berusaha membuka pos Pekabaran Injil di Sa’ua, meskipun usahanya itu ternyata gagal.
Dalam 25 tahun masa permulaan ini, 5 orang pendeta penginjil dari RMG Jerman
telah bekerja di Nias. Namun usaha Pekabaran Injil banyak kesulitan, seperti pengaruh
agama suku yang sangat kuat, gangguan keamanan, pengayauan, wabah penyakit,
keadaan geografi dan lain-lain. Daerah yang dicapai hanya di sekitar Gunungsitoli saja,
dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli, Ombõlata, dan Dahana. Usaha
Denninger (yang dibantu oleh Kodding dan Mohri) di Onolimbu (Muara sungai Idanõ
Mola) pada tahun 1867, Sunderman di Tugala Lahõmi-Sirombu tahun 1875/1876, J.W.
Thomas di Sa’ua tahun 1885, tetapi semua itu baru bersifat penjajakan.
Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang
dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak
699 orang (148 orang di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203 orang di Dahana).
Juga diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua.
Masa Perluasan / Penyebaran (1890-1914)
Usaha Pekabaran Injil pada periode ini ternyata mengalami kemajuan
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias
bagian Tengah sampai ke Nias bagian Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian
Selatan, Nias bagian Utara dan di Pulau-pulau Batu.

Masuknya Injil di Nias bagian Tengah dan Nias Bagian Barat


Dr. W.H. Sundermann telah berusaha menyebarkan Injil di Dahana, tetapi masih
belum menarik perhatian penduduk di sana. Maka pada tahun 1896 ia pindah ke Lõlõwua
dan membuka pos pekabaran injil di situ. Di Lõlõwua ini Sundermann berhasil
menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias, ditambah dengan Katekhismus Luther
yang disebut “Lala Wangorifi”.
Sementara itu E. Fries yang baru tiba di Nias membuka pos pekabaran injil di
Sifaoro’asi pada tahun 1905. Di sana ia mengalami kesulitan karena adanya perselisihan
dan perkelahian antara kelompok-kelompok penduduk, pengayauan, kemiskinan
penduduk, wabah penyakit yang telah merenggut banyak jiwa termasuk dua orang
anaknya sendiri. Namun 4 tahun setelah kedatangannya di sana, tepatnya tanggal 26
Desember 1909 di Sifaoro’asi dapat dilaksanakan pembaptisan yang pertama sekaligus
dengan peresmian Gedung Gereja yang pertama di situ.
Di Nias bagian Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di Sirombu
pada tahun 1892, dan membuka Pos Pekabaran Injil di situ di bawah asuhan A. Lett. Satu
tahun kemudian (tahun 1893) H. Lagemann juga berhasil membuka Pos Pekabaran Injil di
Lahagu. Menyusul lagi pada tahun 1899 Pendeta Sporket membuka Pos Pekabaran Injil
di Lõlõmboli Moro’õ. Demikian pula bersamaan dengan itu Pendeta w. Hoffman membuka
pos pekabaran injil di Hinako.
Berikutnya pada tahun 1903 Pendeta L. Hipponstiel menetap di Lõlõwa’u. Dua
tahun kemudian (1905) Pendeta A. Pilgenroder membuka Pos Pekabaran Injil di Tugala
Oyo, dan pada tahun 1806 Pendeta Bassfeld membuka pos pekabaran injil di Lõlõmoyo,
Mandrehe. Akhirnya Pendeta Bassfeld ini dipindahkan di Lawelu pada tahun 1919.
Kemudian pekerjaannya di sana diteruskan oleh Pendeta Uffer, Kreck dan Alfred
Schneider.
Masuknya injil di Pantai bagian Timur sampai di Nias bagian Selatan
Usaha pekabaran injil di Nias bagian Selatan baru dapat dibuka kembali pada
tahun 1908, yaitu setelah pemerintah Hindia Belanda berhasil menduduki õri Maenamõlõ.
Sehingga Pendeta H. Rabeneck berhasil membuka pos pekabaran Injil di sana pada tahun
1909 dengan dibantu oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogõ di Hiligeo dan Fangaro
di Hilisatarõ. Baptisan pertama di sana baru terjadi pada tahun 1916. Berita Injil baru
masuk di Hilisimaetanõ pada tahun 1911, yaitu dengan datangnya Pendeta B. Borutta di
sana. Masuknya Injil di Nias bagian Selatan menghadapi cukup banyak tantangan dan
kesukaran.
Pada tahun 1903 Pendeta Noll membuka Pos Pekabaran Injil di Bo’usõ. Orang-
orang yang datang dan pergi melalui Bo’usõ ini mempercepat tersiarnya berita Injil di
kalangan penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenõri Ama De’ali
yang bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang meminta
kepada Poendeta Noll agar membuka pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Pada tahun 1911
Pendeta Schlipkoter membuka Pos Pekabaran Injil di hilimaziaya. Kemudian berita Injil
tersiar mulai dari Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa.
Akhirnya pada tahun 1922 Pendeta Skubina membuka pos pekabaran injil di Lahewa.

Masuknya Injil di Pulau-Pulau Batu


Masuknya injil di Pulau-pulau Batu bukan atas usaha RMG tetapi atas usaha
Luthersche Zendings Genotschap dari Negeri Belanda. Setelah mendapat izin dari
Pemerintah Hindia Belanda di Padang, Pendeta Johannes Kersten yang sebelumnya telah
belajar bergaul dengan orang-orang Nias di Padang akhirnya berlayar menuju Pulau
Tello dan tiba pada tanggal 25 Februari 1889. Seperti halnya di daratan Pulau Nias,
Pendeta Johannes Kersten di sana juga menghadapi wabah penyakit dan permusuhan
antar kelompok penduduk. Pada akhir tahun itu datang pula Pendeta C.W. Frickenshmit,
dan tidak lama kemudian menyusul P. Landwer yang berhasil membuka pos pekabaran
injil di Sigala pada tahun 1896.
Mula-mula mereka berusaha membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang
berdekatan, jadi dari situ diteruskan usaha pekabaran injil. Dengan cara ini pada tahun
1912 dapat dibuka Poos pekabaran injil di Pulau Mari, pada tahun 1913 di Pulau Betu’a,
tahun 1914 di Pulau Sifika dan tahun 1916 di Pulau Lora.
Gereja yang pertama didirikan di Pulau-pulau Batu disebut BKP (Banua Keriso
Protestan) dan akhirnya menggabungkan diri dengan BNKP Pada Persidangan Majelis
Sinode BNKP pada tahun 1960 di Ombõlata.

Berdirinya Gereja BNKP


Setelah Injil masuk ke Nias, terjadilah suatu gerakan pertobatan massal yang
disebut “Fangesa Dõdõ Sebua”. Peristiwa ini terjadi selama 14 tahun (tahun 1916 – 1930),
walaupun kadang-kadang terputus. Terjadinya mula-mula di Jemaat Helefanicha, Humene,
ketika Pendeta Otto Rudersdorf berkhotbah dalam Kebaktian Perjamuan Kudus pada
bulan April 1916. Salah seorang jemaat yang mengikuti kebaktian bernama Filema
mengakui semua dosa dan kesalahannya sehingga sangat susah, gelisah, gemetar dan
menangis.
Setelah Pendeta mendoakan serta memberi petunjuk agar ia mohon pengampunan
dari Tuhan dan meminta pengampuan dari setiap orang dengan siapa Ia bersalah, ia
melakukan semuanya itu, akhirnya ia merasa damai dan bahagia. Tetapi anehnya orang-
orang kepada siapa ia meminta pengampunan itu juga semua mengalami pula gejala yang
sama, sehingga pertobatan itu berkembang kepada seluruh jemaat, bahkan sampai ke
Gunungsitoli, Sogae’adu, Lõlõwua, Nias Tengah dan Nias Barat.
Meluasnya gejala ini dapat melalui kunjungan kepada kaum keluarga, mengikuti
persekutuan doa, kebaktian pemahaman alkitab, dan sebagainya. Pertobatan massa ini
ternyata sangat mempengaruhi perkembangan anggota jemaat sampai ± 415%. Dari 699
orang sampai tahun 1890 naik menjadi 17.795 orang tahun 1915, emudian menjadi 83.905
orang.
Disamping pertobatan massal, juga dengan adanya pembinaan pelayan-pelayan
gereja yang melayani pekabaran Injil. Pendidikan tenaga pendeta yang telah dimulai
sejak tahun 1905 telah berkembang dan memungkinkan berdirinya gereja. Sampai tahun
1940 telah ditahbiskan 25 orang pendeta dari Suku Nias.
Pada tanggal 18 sampai dengan 25 November 1936 di Gunungsitoli diadakan
Persidangan Majelis Sinode pertama, sehingga berdirilah BNKP sebagai gereja di Nias,
walaupun anggaran dasarnya baru disahkan pemerintah pada tahun 1938. Sinode BNKP
itu dipimpin oleh Ephorus A. Luck dari RMG sampai tahun 1940.
Tetapi pada bulan Mei 1940 terbentuklah anggota Pimpinan Sinode BNKPO
sebagai berikut :

Voorzitter (Ketua) : Atofõna Harefa


Wakil Voorzitter : Fonehe Mendrõfa
Sekretaris : Andreas Larosa
Bendahara : Tandrombõrõ Hulu
Komisaris I : Karõrõwa Telaumbanua
Komisaris II : Ta’obini Zebua
Atas prakarsa Komisi Pekabaran Injil (yang sekarang bernama KMO), BNKP juga
pernah mengutus tenaga pendetanya ke Tanah Karo yaitu Pendeta Fons. Gulõ yang
melayani di Kabanjahe dan Munthe dari tahun 1967 sampai dengan 1970. Namun
pengutusan ini terpaksa berhenti karena kesulitan dana. Baru pada bulan September
1996, melalui kerjasama dengan OMF, BNKP telah mengutus pendekta Masrial Zebua, STh
untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah Suku Manobo, pulau Mindanao Filipina
Selatan. Dan seterusnya atas kerjasama dengan WEC juga telah diutus Pendeta
Destalenta Zega, STh yang didampingi suaminya Max Ay, untuk melayani di Kirgistan,
Rusia. Selain kedua wanita yang diutus BNKP ke luar negeri tersebut, juga tercatat satu
orang yang bertugas melayani di Tasikmalaya dan sekitarnya, yaitu Pendeta Charisda
Hulu.
Hingga Maret 2008, dari sebanyak 275 orang Pendeta BNKP yang aktif melayani,
terdapat 110 orang diantaranya adalah Wanita.
Sebagai dampak datangnya Injil dan usaha pekabaran injil di Nias, maka berdirilah
Gereja BNKP yang melembaga sebagai satu sinode pada tanggal 18 November 1936.
BNKP adalah satu gereja beraliran reformasi di Indonesia, yang telah menjelma di Pulau
Nias sejak kedatangan Missionaris pertama Ernst Ludwig Denninger di Pulau Nias pada
hari Rabu, tanggal 27 September 1865. Dalam perkembangannya tercatat bahwa BNKP
berasal dari hasil pemberitaan Injil para utusan Rheinische Missions Gessellschaft
(RMG) dan pasra utusan Netherlands Luthers Genootschap Voor en ellitendige Zending
dan selanjutnya diteruskan oleh para pemberita Injil Ono Niha.
BNKP mempunyai dasar Alkitab dan Tata Gereja BNKP, dan tujuan BNKP adalah
menyaksikan Injil Yesus Kristus kepada semua makhluk bagi kemuliaan Allah dan
keselamatan manusia. Pada hakekatnya BNKP adalah persekutuan orang-orang kudus
yang telah dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagai
perwujudnyataan dari Tubuh Kristus. Tuhan Yesus memerintah dan mengembalakan
BNKP melalui Firman dan Sakramen dengan kuat Kuasa Roh Kudus.
Penataan BNKP secara organisatoris, sebagai satu lembaga gereja
memberlakukan sistem Presbiterial Sinodal, maksudnya jemaat-jemaatnya sebagai basis
operasional dinamika pelayanannya, sehingga terhindri dari dominasi sinodal yang
kaku, statis dan otoriter. Sedangkan pada sisi lain menggaris bawahi peranan hubungan
sinodal sehingga terhindar dari bahaya memutlakkan jemaat setempat
(Kongregasionalisme). Itulah BNKPO sebagai gereja Reformasi.
Sampai akhir tahun 2007, jumlah anggota BNKP tercatat 355.136 orang, yang
terbagi dalam 7 resort, 114 distrik, dan 993 Jemaat. Keseluruhan Jemaat ini dilayani oleh
8.500 orang penatua, 795 orang Guru Jemaat, dan 275 orang Pendeta (165 Laki-laki dan 110
perempuan, ditambah dengan 18 orang vikar/calon pendeta. Selain unsur pelayanan
khusus tersebut, BNKP mempunyai beberapa unit pelayanan, yakni 10 Komisi, 5 Lembaga
dan 3 Yayasan/Proyek.
Dalam hubungan kerjasama oikumenis, BNKP telah menjadi anggota PGI (1952),
CCA (1964), WCC (1972), VEM (1993) dan LWF (2001).

Demikianlah Sejarah Pekabaran Injil di Nias. Tuhan Memberkati. Amin.

Anda mungkin juga menyukai