Anda di halaman 1dari 10

PERBEDAAN TINGKAT INSOMNIA LANSIA SEBELUM DAN SESUDAH

LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF (PROGRESSIVE MUSCLE


RELAXATION) DI BPSTW CIPARAY BANDUNG

Erna Erliana*Hartiah Haroen*Raini Diah Susanti

ABSTRAK
Salah satu upaya yang dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan kesejahteraannya
adalah dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Salah satu kebutuhan dasar tersebut
adalah kebutuhan tidur dan istirahat. Akan tetapi, sekitar 60% lansia mengalami insomnia
atau sulit tidur. Insomnia pada lansia dapat diatasi dengan cara non medikasi yang salah
satunya adalah dengan latihan relaksasi otot progresif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan tingkat insomnia lansia
sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif di Balai Perlindungan Tresna
Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini
adalah purposive sampling dengan jumlah responden 29 orang. Jenis penelitian yang
digunakan adalah quasi eksperimen yang termasuk ke dalam pretest and postest one group
design. Analisa data statistik yang digunakan adalah Wilcoxon Match Pairs Test.
Pengumpulan data yang dilakukan pada saat sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot
progresif dengan menggunakan instrumen Insomnia Rating Scale yang dikembangkan oleh
Kelompok Study Psikiatri Biologi Jakarta tahun 1985 serta dimodifikasi sesuai dengan
kondisi lansia.
Hasil penelitian, terdapat perbedaan tingkat insomnia responden sebelum dan
sesudah latihan relaksasi otot progresif. Perbedaan yang dapat dilihat adalah terjadinya
penurunan jumlah responden pada tingkat insomnia ringan sebanyak 10 orang (34,48%),
19 responden (65,52%) yang tidak mengalami keluhan insomnia, dan tidak ada satupun
responden yang mengalami insomnia berat dan sangat berat. Hasil uji statistik
menunjukkan Z hitung (4,706) > Ztabel (1,96) maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan
tingkat insomnia sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif.
Berdasarkan hasil penelitian, perawat sebagai care provider disarankan untuk
mengaplikasikan latihan relaksasi otot progresif sebagai salah satu intervensi bagi lansia
yang mengalami gangguan tidur (insomnia).

Kata Kunci: Lansia, Insomnia, Relaksasi, Relaksasi Otot Progresif

PENDAHULUAN mengalami peningkatan jumlah dan


Lansia merupakan istilah bagi proporsi pada 1980.
individu yang telah memasuki periode Meningkatnya usia harapan
dewasa akhir atau usia tua. Periode ini hidup penduduk Indonesia membawa
merupakan periode penutup bagi rentang konsekuensi bertambahnya jumlah
kehidupan seseorang, dimana telah terjadi lansia. Abad 21 merupakan abad lansia
kemunduran fisik dan psikologis secara (era of population ageing), karena
bertahap (Hurlock, 1980). pertumbuhan lansia di Indonesia akan
Berdasarkan sensus penduduk lebih cepat dibandingkan dengan
diperoleh data bahwa pada tahun 2000 negara-negara lain.
jumlah lansia di Indonesia menjadi 18,2 Berdasarkan uraian di atas,
juta jiwa (8,2%) dan pada tahun 2015 maka tuntutan sumber-sumber yang
menjadi 24,4 juta jiwa (10%). Sedangkan harus disediakan oleh pemerintah,
menurut profil kesehatan Jawa Barat tahun masyarakat, dan keluarga, khususnya
2001 harapan hidup penduduk Indonesia dalam lingkup pembangunan
kesejahteraan sosial semakin besar. Selain yaitu: (1) relaksasi otot (progressive
itu, lansia juga harus dapat melakukan muscle relaxation), (2) pernapasan
upaya untuk meningkatkan diafragma, (3) imagery training, (4)
kesejahteraannya, yaitu dengan memenuhi biofeedback, dan (5) hipnosis. Relaksasi
kebutuhan dasarnya. progresif sampai saat ini menjadi
Kebutuhan dasar yang harus metode relaksasi termurah, tidak
dipenuhi adalah kebutuhan akan oksigen memerlukan imajinasi, tidak ada efek
dan cairan elektrolit, nutrisi, eliminasi, samping, mudah untuk dilakukan, serta
seksualitas, aktivitas dan olah raga, dapat membuat tubuh dan pikiran terasa
keamanan, serta kebutuhan tidur dan tenang, rileks, dan lebih mudah untuk
istirahat (Lueckenotte, 1996). Akan tetapi tidur (Davis, 1995).
kebutuhan dasar yang sering kali tidak Berdasarkan studi pendahuluan
disadari peranannya adalah kebutuhan di BPSTW Ciparay Bandung, dari hasil
tidur dan istirahat (Kaplan dan Sadock, wawancara pada perawat pengelola
1997). Hal tersebut dikarenakan oleh BPSTW Ciparay, lansia sering
akibat yang timbul dari tidak adekuatnya mengeluh gangguan tidur bahkan setiap
kebutuhan tidur secara perlahan, yaitu baru hari sudah mulai melakukan aktivitas
akan dirasakan jika sudah terjadi pada (mandi jam 03.00 pagi), mengeluh
kerusakan fungsi otot dan otak, oleh karena pusing-pusing dan lemas. Hasil
itu dalam penelitian ini akan lebih wawancara dari 10 orang lansia, 7
difokuskan pada kebutuhan tidur. diantaranya mengeluh tidak bisa tidur.
Salah satu penyebab tidak Dalam sehari hanya tidur 2-3 jam pada
adekuatnya kebutuhan tidur adalah waktu siang hari saja, mata tampak
insomnia. Kesulitan tidur atau insomnia merah, dan menguap-nguap. Upaya
adalah keluhan tentang kurangnya kualitas yang dilakukan perawat dalam
tidur yang disebabkan oleh satu dari hal menangani masalah ini adalah
berikut ini: sulit memasuki tidur, sering memberikan obat tidur, sedangkan
terbangun malam kemudian kesulitan pemberian obat tidur dalam jangka
untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi, waktu lama dapat menimbulkan efek
dan tidur yang tidak nyenyak. samping, kecanduan dan bila overdosis
Survey yang dilakukan oleh dapat membahayakan pemakainya
National Institut of Health di Amerika (Purwanto, 2007).
menyebutkan bahwa pada tahun 1970, total Atas dasar pertimbangan inilah
penduduk yang mengalami insomnia 17% peneliti tertarik untuk melakukan
dari populasi, presentase penderita penelitian tentang Perbedaan tingkat
insomnia lebih tinggi dialami oleh lansia, insomnia lansia sebelum dan sesudah
dimana 1 dari 4 pada usia 60 tahun latihan relaksasi otot progresif di
mengalami sulit tidur yang serius (Chopra, BPSTW Ciparay Bandung
1994 dalam Purwanto, 2007).
Berkenaan dengan hal di atas, METODE PENELITIAN
penyembuhan terhadap insomnia sangat Jenis Penelitian
diperlukan. Relaksasi merupakan salah Penelitian ini menggunakan
satu teknik di dalam terapi perilaku yang metode quasi eksperimen tanpa
pertama kali dikenalkan oleh Edmund kelompok kontrol dengan pendekatan
Jacobson, seorang Psikolog dari Chicago One Group Pretest-Posttest Design.
yang mengembangkan metode fisiologis Rancangan ini menggunakan satu
melawan ketegangan dan kecemasan. kelompok sampel yang diwawancara
Metode relaksasi terdiri dari beberapa sebanyak dua kali, yaitu wawancara
macam, diantaranya Miltenberger (2004) sebelum eksperimen (01) disebut
mengemukakan ada lima macam relaksasi, pretest, dan wawancara sesudah
eksperimen (02) disebut post test. Pre test akan tetapi selama proses penelitian (1-
dan post test dilakukan dengan 7 Juni 2008) terdapat 1 orang yang
menggunakan kuisioner yang telah sakit, sehingga pada akhir penelitian
ditetapkan, yaitu Kelompok Studi Psikiatri didapatkan sampel sebanyak 29 orang.
Biologi Jakarta Insomnia Rating Scale
(KSPBJ-IRS) yang telah dimodifikasi. Teknik Pengumpulan data
Variabel Penelitian Mengukur Insomnia
.Variabel independen dalam Pretest dilakukan kepada 30
penelitian ini adalah latihan relaksasi otot responden 2 hari sebelum intervensi
progresif. Sementara variabel dependennya latihan relaksasi otot progresif,
adalah tingkat insomnia pada lansia di sedangkan postest dilakukan sesudah 7
BPSTW Ciparay Bandung. kali intervensi latihan relaksasi otot
Hipotesis Penelitian progresif, hal tersebut dikarenakan
Hipotesa alternatif (Ha) pada latihan relaksasi otot progresif yang
penelitian ini adalah terdapat perbedaan dilaksanakan 20-30 menit, satu kali
tingkat insomnia lansia sebelum dan sehari secara teratur selama satu minggu
sesudah latihan relaksasi otot progresif di cukup efektif dalam menurunkan
BPSTW Ciparay Bandung. insomnia (Jacobson, 1920 dalam Davis
Populasi dan Sampel Penelitian 1995).
Populasi dalam penelitian ini Prosedur Pengumpulan Data
adalah seluruh lansia yang tinggal di Untuk mendapatkan data tentang
lingkungan BPSTW Ciparay Bandung. insomnia lansia sebelum dan sesudah
Populasi penelitian berjumlah 150 orang. latihan relaksasi otot progresif, peneliti
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara
ditentukan dengan teknik purposive (interview) terstruktur dengan
sampling dengan kriteria: menggunakan alat ukur (instrumen)
Kriteria inklusi: Kelompok Study Psikiatri Biologi
1. lansia berusia minimal 60 tahun Jakarta (KSPBJ IRS) yang dimodifikasi
2. Dapat mendengar dan melihat sesuai dengan kondisi lansia. Angket ini
3. Mengalami tingkat insomnia ringan / terdiri dari 11 pertanyaan. Alat ukur ini
berat / sangat berat menggunakan skala ordinal yaitu 1, 2,
4. Tinggal di lingkungan BPSTW Ciparay 3, 4. Dimana jumlah total dari setiap
Bandung item pertanyaan dapat dikategorikan
5. Bersedia menjadi responden dan sebagai berikut:
mengikuti prosedur penelitian sampai 11-19 : tidak ada keluhan insomnia
dengan tahap akhir. 20-27 : insomnia ringan
Kriteria eksklusi: 28-36 : insomnia berat
1. Lansia yang tidak kooperatif; tidak 37-44 : insomnia sangat berat
mengikuti kegiatan secara penuh Tahapan prosedur pengumpulan data:
2. Mengkonsumsi obat tidur dalam 1 Sebelum pelaksanaan latihan
minggu terakhir relaksasi otot progresif
3. Mengalami demensia a. Tahap pengukuran tingkat insomnia
4. Dalam perawatan khusus; mengalami Setelah mendapat persetujuan,
keterbatasan/kelumpuhan anggota kemudian dilakukan pengukuran tingkat
gerak insomnia responden yang dilakukan di
5. Mengalami kelainan jiwa dan penyakit wisma masing-masing lansia 2 hari
penyerta lainnya sebelum intervensi dilakukan.
Jumlah sample yang didapatkan b. Pembagian kelompok
dilapangan yang memenuhi kriteria inklusi Setelah mendapat data awal
dan eksklusi adalah sebanyak 30 orang, mengenai tingkat insomnia responden,
peneliti membagi responden ke dalam 4 dan menjelaskan bahwa intervensi telah
kelompok. Setiap kelompoknya terdiri dari selesai dilakukan.
7-8 dan seluruh responden dilatih untuk
melakukan latihan relaksasi otot progresif Teknik Analisa Data
selama 20-30 menit untuk satu kali latihan Teknik pengolahan data dalam
yang dipimpin oleh peneliti sendiri dan penelitian ini menggunakan Uji
dibantu oleh 3 teman peneliti yang Wilcoxon Match Pairs Test dengan data
sebelumnya telah dilatih relaksasi otot berbentuk ordinal. Uji Wilcoxon
progresif. digunakan untuk menguji tingkat
c. Pengkondisian responden signifikasi perbedaan tingkat insomnia
(1) Peneliti menyarankan agar pakaian responden sebelum dan sesudah latihan
yang digunakan lansia tidak terlalu relaksasi otot progresif.
ketat dan lansia juga dianjurkan untuk Kriteria uji:
buang air kecil terlebih dahulu. Terima Ha jika Zhitung > Ztabel. Hal ini
(2) Dilakukan dalam keadaan konsentrasi, berarti terdapat perbedaan tingkat
sehingga keadaan tegang dan rileks insomnia lansia yang signifikan
lebih dapat dirasakan. sebelum dan sesudah latihan relaksasi
(3) Peneliti memposisikan tubuh lansia otot progresif.
secara nyaman. Lansia diinstruksikan
untuk berbaring terlentang dengan HASIL PENELITIAN
rileks, mata tertutup, melonggarkan Karakteristik Responden
pakaian disekitar leher dan pinggang. Tabel 1 Distribusi Frekuensi
(4) Lansia di bimbing untuk melakukan Karakteristik Responden Berdasarkan
latihan relaksasi otot progresif. Usia
Pelaksanaan latihan relaksasi otot Usia f %
progresif
a. Tahap persiapan 60-74 tahun (lanjut dini) 22 75,86
Peneliti memposisikan tubuh lansia 75-90 tahun (lanjut tua) 7 24,14
secara nyaman. Lansia diinstruksikan
Jumlah 29 100
untuk berbaring terlentang dengan rileks,
mata tertutup, melonggarkan pakaian Tabel 2 Distribusi Frekuensi
disekitar leher dan pinggang. Karakteristik Responden Berdasarkan
b. Tahap pelaksanaan Jenis Kelamin
Pada tahapan ini responden Jenis Kelamin f %
melaksanakan latihan relaksasi otot Laki-Laki 7 24,14
progresif dengan dibimbing langsung oleh
peneliti sendiri. Perempuan 22 75,86
c. Tahap penutupan Jumlah 29 100
Pada tahapan ini responden
bersiap-siap untuk istirahat.
Sesudah latihan relaksasi otot progresif Hasil Pengujian
a. Tahap pengukuran tingkat insomnia Berdasarkan hasil penelitian
Pengukuran dilakukan di wisma terhadap 29 lansia di Balai
masing-masing lansia setelah dilakukan Perlindungan Sosial Tresna Werdha
intervensi latihan relaksasi otot progresif (BPSTW) Ciparay Bandung, diperoleh
selama satu minggu yaitu setelah 7 kali tingkat insomia sebelum dan sesudah
latihan relaksasi otot progresif. latihan relaksasi otot progresif seperti di
b. Tahap evaluasi bawah ini.
Pada tahapan ini peneliti
menanyakan kembali perasaan responden
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Tingkat Berdasarkan tabel 4.4, dapat
Insomia Lansia Sebelum Latihan Relaksasi diketahui bahwa tingkat insomia
Otot Progresif sesudah latihan relaksasi otot progresif
Tingkat Insomia f % mengalami penurunan, yaitu sebanyak
19 lansia (65,52%) berubah menjadi
Ringan 16 55,17
tidak ada keluhan insomnia dan 10
Berat 10 34,48
lansia (34,48%) yang mengalami
Sangat Berat 3 10,34 tingkat insomia ringan.
Jumlah 29 100
Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat Grafik 1Tingkat Insomia Lansia
diketahui bahwa sebelum latihan relaksasi Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi
otot progresif, tingkat insomia tertinggi Otot Progresif
adalah insomnia ringan yaitu sebanyak 16 45

40

lansia atau 55,17%. Sedangkan tingkat 35

Tingkat Insomia
30

insomnia terendah adalah insomnia sangat 25 Pre Test


20 Post Test
berat yaitu sebanyak 3 lansia atau 10,34%. 15

10

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Tingkat 0


1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

Insomia Lansia Sesudah Latihan Relaksasi Responden

Otot Progresif Berdasarkan grafik 4.1 di atas,


Tingkat Insomia f % dapat diperoleh kesimpulan bahwa 29
Tidak ada keluhan 19 65.52 orang lansia atau 100% mengalami
Ringan 10 34.48 penurunan tingkat insomia sesudah
Berat 0 0.00 dilakukan latihan relaksasi otot
Sangat Berat 0 0.00 progresif.
Jumlah 29 100

Tabel 6 Uji Wilcoxon Match Pair Test Tingkat Insomia Lansia Sebelum dan Sesudah
Latihan Relasasi Otot Progresif
Rata- Juml
(Post Test) - Kategori Z
N rata ah Z tabel
(Pre Test) Rank hitung
Rank Rank
Post Test < Negatif 2 -
15 435 1,96
Pre Test Rank 9 4,706
Post Test > Positif
0 0 0
Pre Test Rank
Post Test =
Ties 0
Pre Test
2
Jumlah
9
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan uji wilcoxon diperoleh
statistik Zhitung sebesar -4,70 dan Ztabel sebesar 1,96. karena Z hitung (4,706) > Ztabel (1,96)
maka Ha diterima, artinya terdapat perbedaan tingkat insomia sebelum dan sesudah latihan
relaksasi otot progresi
sesudah latihan relaksasi otot progresif
PEMBAHASAN menunjukkan terdapat penurunan yang
Hasil penelitian mengenai signifikan terhadap tingkat insomnia
perbedaan tingkat insomnia sebelum dan lansia sesudah dilakukan latihan
relaksasi otot progresif selama 20-30 terhadap gangguan kesehatan sebagai
menit, satu kali sehari secara teratur selama akibat menurunnya fungsi dan kekuatan
satu minggu. Hal ini terbukti dari adanya fisik dan fungsi kognitif, sumber-
penurunan skor insomnia pada lansia sumber finansial yang tidak memadai,
tersebut, yaitu sesudah diberikan intervensi dan isolasi sosial (Friedman, 1998).
latihan relaksasi otot progresif terjadi Berkurangnya kemampuan
penurunan jumlah lansia pada tingkat adaptasi lansia terhadap perubahan-
insomnia ringan menjadi 10 lansia, tingkat perubahan merupakan hal yang normal
insomnia berat dan sangat berat menjadi terjadi pada lansia. Perubahan-
tidak ada sama sekali, dan terdapat 19 perubahan ini bersamaan dengan
lansia dalam keadaan tidak ada keluhan perubahan fisik yang lain. Pada lansia,
insomnia. umumnya dorongan homeostatik untuk
Hal tersebut di atas sesuai dengan tidur lebih dulu menurun, baru diikuti
teori yang dikemukakan oleh Edmund oleh dorongan irama sirkadian untuk
Jacobson (1920) dalam Davis (1995) terjaga.
bahwa latihan relaksasi otot progresif yang Selain hal di atas, ritmik
dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari sirkadian tidur-bangun lansia juga
secara teratur selama satu minggu cukup sering terganggu, jam biologik lebih
efektif dalam menurunkan insomnia. pendek dan fase tidurnya lebih maju.
Penelitian Jacobson ini dilanjutkan oleh Gangguan ritmik sirkadian tidur ini
para pengikutnya diantaranya Benson dapat berpengaruh terhadap kadar
(dalam Miltenberger, 2004), Benson dan hormon yaitu terjadi penurunan sekresi
Klipper (dalam Kazdin, 2001), kemudian hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid,
Bernstein and Borkovec (dalam dan melatonin. Hormon-hormon
Miltenberger, 2004). tersebut disekresikan pada saat tidur
Adanya penurunan tingkat dalam terutama pada malam hari,
insomnia pada penelitian ini juga terlihat sehingga penurunan kadar hormon ini
dari hasil analisa statistik dengan akan menyebabkan lansia sulit untuk
menggunakan Wilcoxon Match Pair Test mempertahankan tidur.
di peroleh Zhitung sebesar -4,706 dan Ztabel Perubahan-perubahan yang
sebesar 1,96. karena (4,706) > Ztabel (1,96) terjadi pada lansia tersebut merupakan
dan Pvalue = 0,000 < = 0,05 pada taraf suatu hal yang normal. Tetapi
signifikan 5% maka Ha diterima, artinya kebutuhan tidur tidak hanya dilihat dari
terdapatan perbedaan tingkat insomia aspek kuantitas saja karena setiap orang
lansia sebelum dan sesudah latihan kebutuhan untuk tidur itu berbeda. Masa
relaksasi otot progresif di BPSTW Ciparay neonatus sekitar 50% waktu tidur total
Bandung. Hal tersebut sesuai dengan teori adalah tidur REM. Lama tidur sekitar
Sugiyono (2004) jika Zhitung > Ztabel dan 18 jam. Pada usia satu tahun lama tidur
Pvalue < berarti H0 ditolak. Dengan sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur
demikian terdapat perbedaan yang berarti REM. Waktu tidur menurun dengan
sebelum dan sesudah diberikan intervensi. tajam setelah itu. Dewasa muda
Adanya perbedaan yang signifikan membutuhkan waktu tidur 7-8 jam
tersebut menunjukkan bahwa latihan dengan NREM 75% dan REM 25%.
relaksasi otot progresif dapat digunakan Kebutuhan ini menetap sampai batas
sebagai alternatif dalam memberikan lansia.
intervensi pada lansia khususnya bagi Pada proses degenerasi yang
lansia yang mengalami gangguan tidur dan terjadi pada lansia, waktu tidur efektif
istirahat. Karena seperti kita ketahui bahwa akan semakin berkurang. Sehingga
lansia merupakan kelompok rawan karena tidak tercapai kualitas tidur yang
kepekaan dan kerentanannya yang tinggi adekuat dan akan menimbulkan
berbagai macam keluhan tidur. Aktifnya saraf simpatis
Berkurangnya jumlah jam tidur tersebut membuat lansia tidak dapat santai atau
tidak menjadi suatu masalah jika lansia itu relaks sehingga tidak dapat
sendiri merasakan kualitas tidur yang memunculkan rasa kantuk. Melalui
nyenyak karena dengan kualitas tidur yang latihan relaksasi lansia dilatih untuk
bagus meskipun hanya dua jam itu dapat dapat memunculkan respon relaksasi
memulihkan fungsi tubuh dan otak. sehingga dapat mencapai keadaan
Selain hal-hal di atas, Gangguan tenang. Respon relaksasi ini terjadi
tidur (insomnia) pada lansia disebabkan melalui penurunan bermakna dari
juga oleh faktor biologis dan faktor psikis. kebutuhan zat oksigen oleh tubuh, yang
Faktor biologis seperti adanya penyakit selanjutnya aliran darah akan lancar,
tertentu yang mengakibatkan seseorang neurotransmiter penenang akan
tidak dapat tidur dengan baik. Faktor psikis dilepaskan, sistem saraf akan bekerja
bisa berupa kecemasan, stres psikologis, secara baik otot-otot tubuh yang relaks
ketakutan dan ketegangan emosional menimbulkan perasaan tenang dan
(Lueckenotte, 1996). Apalagi lansia yang nyaman. (Benson, 2000 : Purwanto,
tinggal di panti memiliki stresor tambahan 2007).
yaitu mereka harus dapat beradaptasi Kondisi rileks yang dirasakan
dengan teman sekamar, penghuni lain, staf tersebut dikarenakan latihan relaksasi
atau pengelola panti, kegiatan di panti, dapat memberikan pemijatan halus pada
aturan yang berlaku di panti, dan berbagai kelenjar-kelenjar pada tubuh,
lingkungan fisik panti. Disamping itu juga menurunkan produksi kortisol dalam
mereka harus menyesuaikan diri dengan darah, mengembalikan pengeluaran
perubahan-perubahan secara fisik, hormon yang secukupnya sehingga
fisiologis, dan psikologis yang cenderung memberi keseimbangan emosi dan
bergerak ke arah yang lebih buruk. ketenangan pikiran.
Ketika lansia mengalami stres Selain hal di atas, Latihan
(ketegangan emosional), maka beberapa relaksasi otot progresif cukup efektif
otot akan mengalami ketegangan sehingga untuk memperpendek waktu dari mulai
mengaktifkan sistem saraf simpatis. Pada merebahkan hingga tertidur dan mudah
kondisi stres, secara fisiologis tubuh akan memasuki tidur. Hal ini membuktikan
mengalami respon yang dinamakan respon bahwa relaksasi otot progresif yang
fight or flight. Respon ini memerlukan dilakukan dapat membuat tubuh lebih
energi yang cepat, sehingga hati relaks sehingga kesulitan ketika
melepaskan lebih banyak glukosa untuk mengawali tidur dapat diatasi dengan
menjadi bahan bakar otot, dan terjadi pula treatmen ini. Hal yang sama diperkuat
pelepasan hormon yang menstimulasi oleh teori Edmund Jacobson (1920) dan
perubahan lemak dan protein menjadi gula. Mentz (2003) bahwa teknik relaksasi
Metabolisme tubuh meningkat sebagai progresif memberi respons terhadap
persiapan untuk pemakaian energi pada ketegangan, respon tersebut
tindakan fisik. Kecepatan jantung, tekanan menyebabkan perubahan yang dapat
darah, dan kecepatan pernapasan mengontrol aktivitas sistem saraf
meningkat, serta otot menjadi tegang. Pada otonom berupa pengurangan fungsi
saat yang sama aktivitas tertentu yang oksigen, frekuensi nafas, denyut nadi,
tidak diperlukan (seperti pencernaan) ketegangan otot, tekanan darah, serta
dihentikan. Sebagian besar perubahan gelombang alfa dalam otak sehingga
fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas mudah untuk tidur.
dua sistem neuroendokrin yang Terjadinya penurunan tingkat
dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem insomnia lansia sesudah latihan
simpatis dan sistem kortek adrenal. relaksasi otot progresif didukung juga
oleh teori bahwa latihan relaksasi yang usus-usus untuk lebih membersihkan
dikombinasikan dengan latihan pernapasan sisa-sisa makanan yang telah lalu dan
yang terkontrol dan rangkaian kontraksi mengubah terjadinya sembelit, serta
serta relaksasi kelompok otot, dapat membersihkan sedikit demi sedikit
menstimulasi respon relaksasi baik fisik lemak, cairan dan gas-gas berlebihan,
maupun psikologis. Respon tersebut yang tidak berguna bagi tubuh.
dikarenakan terangsangnya aktivitas sistem Sedangkan pada saat merelaksasikan
saraf otonom parasimpatis nuclei rafe yang otot, sebuah sel saraf mengeluarkan
terletak di separuh bagian bawah pons dan opiate peptides atau saripati kenikmatan
di medula sehingga mengakibatkan ke seluruh tubuh sehingga yang
penurunan metabolisme tubuh, denyut dirasakan adalah rasa nikmat dan tubuh
nadi, tekanan darah, dan frekuensi menjadi rileks.
pernapasan dan peningkatan sekresi Selain yang disebutkan di atas,
serotonin (Guyton dan Hall, 1997). perangsangan sistem saraf otonom juga
Perangsangan pada beberapa area dalam memainkan peranan yang sangat
nukleus traktus solitarius, yang merupakan penting dalam pemeliharaan tekanan
regio sensorik medula dan pons yang arteriol dengan pengaruhnya pada
dilewati oleh sinyal sensorik viseral yang cardiac output dan derajat konstriksi
memasuki otak melalui saraf-saraf vagus dari resistensi (arteriol) serta kapasitasi
dan glosovaringeus, juga menimbulkan (venul dan venula) pembuluh darah
keadaan tidur. yang mengakibatkan resistensi perifer
Latihan relaksasi otot progresif menurun dan tekanan darah juga
yang dikombinasikan dengan teknik menurun (Purba, 2002). Hal ini
pernapasan yang dilakukan secara sadar dibuktikan pada saat sesudah penelitian
dan menggunakan diafragma, ada salah satu responden yang
memungkinkan abdomen terangkat mengalami penurunan tekanan darah
perlahan dan dada mengembang penuh. dari 150/80 mmHg menjadi 140/80
Teknik pernapasan tersebut, mampu mmHg karena latihan relaksasi tersebut
memberikan pijatan pada jantung yang dilakukan secara berulang-ulang.
menguntungkan akibat naik turunnya Pelatihan relaksasi dapat
diafragma, membuka sumbatan-sumbatan memunculkan keadaan tenang dan
dan memperlancar aliran darah ke jantung rileks dimana gelombang otak mulai
serta meningkatkan aliran darah ke seluruh melambat semakin lambat akhirnya
tubuh. Aliran darah yang meningkat juga membuat seseorang dapat beristirahat
dapat meningkatkan nutrien dan O2. dan tertidur.
Peningkatan O2 didalam otak akan Konsistensi dari latihan relaksasi
merangsang peningkatan sekresi serotonin otot progresif selama satu minggu
sehingga membuat tubuh menjadi tenang secara teratur ini membuktikan bahwa
dan lebih mudah untuk tidur (Purwanto, latihan relaksasi otot progresif
2007). mempunyai hasil yang signifikan untuk
Pada saat bernapas dalam, di menurunkan tingkat insomnia lansia.
sebelah atas, ketika udara dihembuskan Selain faktor tersebut, peneliti
keluar secara perlahan-lahan, pernapasan memperkirakan penurunan tingkat
itu mendorong dan menekan paru-paru. insomnia disebabkan oleh kondusifnya
Dengan demikian membebaskannya dari lingkungan ketika melakukan latihan
udara yang tergenang dan relaksasi otot progresif dan sering
membebaskannya dari gangguan- dipraktekannya lagi latihan tersebut
gangguan. Sedangkan disebelah bawah ketika lansia terbangun dari tidur, dari
pada saat menarik nafas, akan merangsang hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa
dan membersihkan gerak peristaltik dari terjadi penurunan jumlah responden
yang mengalami gejala insomnia pada tiap- Hasil penelitian ini dapat
tiap skor setelah latihan relaksasi otot dijadikan bahan informasi dan
progresif serta berdasarkan uji stastistik pertimbangan dalam memilih intervensi
menunjukkan bahwa ada perbedan yang bagi lansia yang mengalami insomnia.
signifikan tingkat insomnia lansia sebelum Selain itu, diharapkan dapat
dan sesudah latihan relaksasi otot mensosialisasikan hasil penelitian ini
progresif. kepada lansia, sehingga lansia sadar
Adanya perbedaan ini disebabkan akan manfaat relaksasi otot progresif
latihan relaksasi otot progresif merupakan dalam mengatasi insomnia.
salah satu terapi yang membantu lansia Bagi Perawat di BPSTW Ciparay
dalam mengatasi insomnia. Selain itu Bandung
dengan latihan relaksasi otot progresif Latihan relaksasi otot progresif
lansia dapat meningkatkan ekspresi dapat dijadikan masukan bagi perawat
perasaan negatif menjadi positif sehingga dalam rangka meningkatkan kualitas
membantu lansia mengubah pola hidup asuhan keperawatan, khususnya pada
yang dapat mengganggu kualitas dan lansia yang mengalami insomnia di
kuantitas tidur lansia (Sani, 2003). Hal ini BPSTW Ciparay Bandung. Dan
juga terbukti selama intervensi intervensi ini merupakan satu kesatuan
berlangsung lansia merasakan kondisi yang yang tidak terpisahkan dari intervensi
enak,tenang dan rileks. lainnya yang tercakup dalam asuhan
keperawatan pada lansia yang
SIMPULAN mengalami insomnia.
(1) Setiap lansia di BPSTW Ciparay Bagi Penelitian Lebih Lanjut
Bandung merasakan manfaat latihan Dalam rangka pengembangan
relaksasi otot progresif. latihan relaksasi otot progresif sebagai
(2) Sebelum latihan relaksasi otot psikoterapi. Peneliti menyarankan untuk
progresif, sebagian besar lansia dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
mengalami tingkat insomnia ringan dan pengaruh latihan relaksasi otot progresif
sebagian kecil mengalami tingkat terhadap tingkat insomnia lansia dengan
insomnia berat dan sangat berat. menggunakan desain penelitian yang
(3) Sesudah latihan relaksasi otot progresif berbeda misalnya dengan menggunakan
sebagian besar lansia berada pada kelompok kontrol. Penelitian yang
tingkat tidak ada keluhan insomnia, serupa dapat juga dilakukan pada area
dan sebagian kecil mengalami tingkat penelitian yang berbeda, misalnya
insomnia ringan. pengaruh latihan relaksasi otot progresif
(4) Keadaaan tersebut menyebabkan terhadap gangguan tidur yang lain
adanya perbedaan tingkat insomnia seperti hipersomnia, narkolepsi,
lansia sebelum dan sesudah latihan nokturnal dispnea, parasomnia, atau
relaksasi otot progresif. deprivasi tidur.
(5) Berdasarkan uji statistik terdapat
perbedaan yang signifikan terhadap DAFTAR PUSTAKA
tingkat insomnia lansia sebelum dan 1. American Insomnia Association. 2002.
sesudah latihan relaksasi otot progresif American Insomnia Association treatment
Available online at
di BPSTW Ciparay Bandung pada taraf http//www.americaninsomniaassociation.or
signifikansi 5%. g. (diakses 27 Februari 2008)
2. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian:
SARAN Suatu Pendekatan Praktek, Edisi IV.
Bagi Pengelola BPSTW Ciparay Jakarta. Rineka Cipta
3. Benson, H.M.D. 2000. Dasar-dasar Respon
Bandung Relaksasi: Bagaimana menggabungkan
respon Relaksasi dengan Keyakinan Pribadi 22. Potter, P.A. 2005. Buku Ajar Fundamental
Anda. Bandung. Mizan Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik
4. Castle, S.M. 2001. Learning How to Relaks. edisi Empat Volume 2. Jakarta. EGC
Available online at http//www.relax.com 23. Prawitasari, J.E., 1998. Pengaruh Relaksasi
(diakses 27 Februari 2008) Terhadap Keluhan Fisik. Available online
5. Davis, M, Eshelman, E.R dan Matthew Mckay. at http// klinis.wordpress.com.(diakses 5
1995. Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres Maret 2008)
Edisi III. Alih Bahasa: Budi Ana Keliat dan 24. Prasadja, A.A. 2005. Sleep Disorder Clinic.
Achir Yani. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran Available online at http//
EGC www.relaxation.org (diakses 10 Maret
6. Diahwati, D. 2001. Serba- Serbi Manfaat dan 2008)
Gangguan Tidur. Bandung. Pionir Jaya 25. Purba. 2002. Kardiovaskular dan Faal
7. Dinas Sosial, 2003. Pedoman Pelaksanaan Olahraga. Bandung. Balai Penerbit
Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Fakultas Kedokteran Universitas
Melalui BPSTW/Instalasi. Bandung. BPSTW Padjadjaran
Ciparay 26. Purwanto, S. 2007. Terapi Insomnia.
8. Friedman, M.M.1998. Keperawatan Keluarga Available online at http//
Teori dan Praktik Edisi 3. Jakarta. Penerbit klinis.wordpress.com.(diakses 5 Maret
Buku Kedokteran EGC 2008)
9. Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi 27. Ramdhani. 2007. Studi Pendahuluan
Kedokteran Edisi 9. Jakarta. Penerbit Buku Multimedia Interaktif Pelatihan Relaksasi.
Kedokteran EGC Available online at http// lib.
10. Hurlock, Elizabeth B. 1997. Psikologi ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.
Perkembangan. Jakarta. EGC pdf.(diakses 2 Februari 2008)
11. Iskandar, Y. dan Setyonegoro. 1985. Psikiatri 28. Sani. 2003. Yoga untuk Kesehatan.
Biologi Vol III Diagnosa dan Terapi dari Semarang. Dahara Prize
Insomnia. Jakarta. Yayasan Dharma Graha 29. Sugiyono. 2007. Statistik Nonparametris
12. Kaplan, Robert, M dan P. Sacuzzo, Dennis. Untuk Penelitian. Bandung. CV Alfabeta
1993. Psycological Testing Principles, 30. Sugiyono. 2004. Metode Penelitian
Aplication and Issue. Third Edition. California. Administrasi. Bandung. CV Alfabeta
Brocks/Cole Publishing Company. 31. Taylor, C. et al. 1997. Fundamental of
13. Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri: Nursing : The Art and Science of Nursing
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris Klinis Care (3rd Ed). St. Louis. Mosby Lippincotl.
Edisi Ketujuh Jilid Dua. Jakarta. Binarupa Raven Publisher
Aksara 32. Utami, M.S. 1993. Prosedur Relaksasi.
14. Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktek Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta
Keperawatan Profesional. Jakarta. Penerbit 33. Universitas Padjadjaran. 2007. Pedoman
Buku Kedokteran EGC Penyusunan dan Penulisan Skripsi
15. Lichstein, KL., Johnson, RS. 1993. Relaxation Program Sarjana dan Profesi 2007/2008.
for Insomnia and Hypnotic Medication Use in Bandung. Departemen Pendidikan dan
Older Women. Available online at Kebudayaan Universitas Padjadjaran
http//www.mayday.coh.org (diakses 2 Februari
2008)
16. Lueckenotte, A.G. 1996. Gerontological
Nursing. Philadelphia. Mosby Year Book
17. Mentz. 2003. Relaxation Therapy. Available
online at http//www.mayday.coh.org (diakses 2
Februari 2008)
18. Miltenberger. 2004. Relaksasi. Available
online at http//www.eworld-indonesia.com
(diakses 2 Februari 2008)
19. Notoadmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
20. Nugroho, W. 2002. Keperawatan Gerontik.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
21. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta. Penerbit Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai