ABSTRAK
Salah satu upaya yang dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan kesejahteraannya
adalah dengan memenuhi kebutuhan dasarnya. Salah satu kebutuhan dasar tersebut
adalah kebutuhan tidur dan istirahat. Akan tetapi, sekitar 60% lansia mengalami insomnia
atau sulit tidur. Insomnia pada lansia dapat diatasi dengan cara non medikasi yang salah
satunya adalah dengan latihan relaksasi otot progresif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan tingkat insomnia lansia
sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif di Balai Perlindungan Tresna
Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini
adalah purposive sampling dengan jumlah responden 29 orang. Jenis penelitian yang
digunakan adalah quasi eksperimen yang termasuk ke dalam pretest and postest one group
design. Analisa data statistik yang digunakan adalah Wilcoxon Match Pairs Test.
Pengumpulan data yang dilakukan pada saat sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot
progresif dengan menggunakan instrumen Insomnia Rating Scale yang dikembangkan oleh
Kelompok Study Psikiatri Biologi Jakarta tahun 1985 serta dimodifikasi sesuai dengan
kondisi lansia.
Hasil penelitian, terdapat perbedaan tingkat insomnia responden sebelum dan
sesudah latihan relaksasi otot progresif. Perbedaan yang dapat dilihat adalah terjadinya
penurunan jumlah responden pada tingkat insomnia ringan sebanyak 10 orang (34,48%),
19 responden (65,52%) yang tidak mengalami keluhan insomnia, dan tidak ada satupun
responden yang mengalami insomnia berat dan sangat berat. Hasil uji statistik
menunjukkan Z hitung (4,706) > Ztabel (1,96) maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan
tingkat insomnia sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif.
Berdasarkan hasil penelitian, perawat sebagai care provider disarankan untuk
mengaplikasikan latihan relaksasi otot progresif sebagai salah satu intervensi bagi lansia
yang mengalami gangguan tidur (insomnia).
40
Tingkat Insomia
30
10
Tabel 6 Uji Wilcoxon Match Pair Test Tingkat Insomia Lansia Sebelum dan Sesudah
Latihan Relasasi Otot Progresif
Rata- Juml
(Post Test) - Kategori Z
N rata ah Z tabel
(Pre Test) Rank hitung
Rank Rank
Post Test < Negatif 2 -
15 435 1,96
Pre Test Rank 9 4,706
Post Test > Positif
0 0 0
Pre Test Rank
Post Test =
Ties 0
Pre Test
2
Jumlah
9
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa dengan menggunakan uji wilcoxon diperoleh
statistik Zhitung sebesar -4,70 dan Ztabel sebesar 1,96. karena Z hitung (4,706) > Ztabel (1,96)
maka Ha diterima, artinya terdapat perbedaan tingkat insomia sebelum dan sesudah latihan
relaksasi otot progresi
sesudah latihan relaksasi otot progresif
PEMBAHASAN menunjukkan terdapat penurunan yang
Hasil penelitian mengenai signifikan terhadap tingkat insomnia
perbedaan tingkat insomnia sebelum dan lansia sesudah dilakukan latihan
relaksasi otot progresif selama 20-30 terhadap gangguan kesehatan sebagai
menit, satu kali sehari secara teratur selama akibat menurunnya fungsi dan kekuatan
satu minggu. Hal ini terbukti dari adanya fisik dan fungsi kognitif, sumber-
penurunan skor insomnia pada lansia sumber finansial yang tidak memadai,
tersebut, yaitu sesudah diberikan intervensi dan isolasi sosial (Friedman, 1998).
latihan relaksasi otot progresif terjadi Berkurangnya kemampuan
penurunan jumlah lansia pada tingkat adaptasi lansia terhadap perubahan-
insomnia ringan menjadi 10 lansia, tingkat perubahan merupakan hal yang normal
insomnia berat dan sangat berat menjadi terjadi pada lansia. Perubahan-
tidak ada sama sekali, dan terdapat 19 perubahan ini bersamaan dengan
lansia dalam keadaan tidak ada keluhan perubahan fisik yang lain. Pada lansia,
insomnia. umumnya dorongan homeostatik untuk
Hal tersebut di atas sesuai dengan tidur lebih dulu menurun, baru diikuti
teori yang dikemukakan oleh Edmund oleh dorongan irama sirkadian untuk
Jacobson (1920) dalam Davis (1995) terjaga.
bahwa latihan relaksasi otot progresif yang Selain hal di atas, ritmik
dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari sirkadian tidur-bangun lansia juga
secara teratur selama satu minggu cukup sering terganggu, jam biologik lebih
efektif dalam menurunkan insomnia. pendek dan fase tidurnya lebih maju.
Penelitian Jacobson ini dilanjutkan oleh Gangguan ritmik sirkadian tidur ini
para pengikutnya diantaranya Benson dapat berpengaruh terhadap kadar
(dalam Miltenberger, 2004), Benson dan hormon yaitu terjadi penurunan sekresi
Klipper (dalam Kazdin, 2001), kemudian hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid,
Bernstein and Borkovec (dalam dan melatonin. Hormon-hormon
Miltenberger, 2004). tersebut disekresikan pada saat tidur
Adanya penurunan tingkat dalam terutama pada malam hari,
insomnia pada penelitian ini juga terlihat sehingga penurunan kadar hormon ini
dari hasil analisa statistik dengan akan menyebabkan lansia sulit untuk
menggunakan Wilcoxon Match Pair Test mempertahankan tidur.
di peroleh Zhitung sebesar -4,706 dan Ztabel Perubahan-perubahan yang
sebesar 1,96. karena (4,706) > Ztabel (1,96) terjadi pada lansia tersebut merupakan
dan Pvalue = 0,000 < = 0,05 pada taraf suatu hal yang normal. Tetapi
signifikan 5% maka Ha diterima, artinya kebutuhan tidur tidak hanya dilihat dari
terdapatan perbedaan tingkat insomia aspek kuantitas saja karena setiap orang
lansia sebelum dan sesudah latihan kebutuhan untuk tidur itu berbeda. Masa
relaksasi otot progresif di BPSTW Ciparay neonatus sekitar 50% waktu tidur total
Bandung. Hal tersebut sesuai dengan teori adalah tidur REM. Lama tidur sekitar
Sugiyono (2004) jika Zhitung > Ztabel dan 18 jam. Pada usia satu tahun lama tidur
Pvalue < berarti H0 ditolak. Dengan sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur
demikian terdapat perbedaan yang berarti REM. Waktu tidur menurun dengan
sebelum dan sesudah diberikan intervensi. tajam setelah itu. Dewasa muda
Adanya perbedaan yang signifikan membutuhkan waktu tidur 7-8 jam
tersebut menunjukkan bahwa latihan dengan NREM 75% dan REM 25%.
relaksasi otot progresif dapat digunakan Kebutuhan ini menetap sampai batas
sebagai alternatif dalam memberikan lansia.
intervensi pada lansia khususnya bagi Pada proses degenerasi yang
lansia yang mengalami gangguan tidur dan terjadi pada lansia, waktu tidur efektif
istirahat. Karena seperti kita ketahui bahwa akan semakin berkurang. Sehingga
lansia merupakan kelompok rawan karena tidak tercapai kualitas tidur yang
kepekaan dan kerentanannya yang tinggi adekuat dan akan menimbulkan
berbagai macam keluhan tidur. Aktifnya saraf simpatis
Berkurangnya jumlah jam tidur tersebut membuat lansia tidak dapat santai atau
tidak menjadi suatu masalah jika lansia itu relaks sehingga tidak dapat
sendiri merasakan kualitas tidur yang memunculkan rasa kantuk. Melalui
nyenyak karena dengan kualitas tidur yang latihan relaksasi lansia dilatih untuk
bagus meskipun hanya dua jam itu dapat dapat memunculkan respon relaksasi
memulihkan fungsi tubuh dan otak. sehingga dapat mencapai keadaan
Selain hal-hal di atas, Gangguan tenang. Respon relaksasi ini terjadi
tidur (insomnia) pada lansia disebabkan melalui penurunan bermakna dari
juga oleh faktor biologis dan faktor psikis. kebutuhan zat oksigen oleh tubuh, yang
Faktor biologis seperti adanya penyakit selanjutnya aliran darah akan lancar,
tertentu yang mengakibatkan seseorang neurotransmiter penenang akan
tidak dapat tidur dengan baik. Faktor psikis dilepaskan, sistem saraf akan bekerja
bisa berupa kecemasan, stres psikologis, secara baik otot-otot tubuh yang relaks
ketakutan dan ketegangan emosional menimbulkan perasaan tenang dan
(Lueckenotte, 1996). Apalagi lansia yang nyaman. (Benson, 2000 : Purwanto,
tinggal di panti memiliki stresor tambahan 2007).
yaitu mereka harus dapat beradaptasi Kondisi rileks yang dirasakan
dengan teman sekamar, penghuni lain, staf tersebut dikarenakan latihan relaksasi
atau pengelola panti, kegiatan di panti, dapat memberikan pemijatan halus pada
aturan yang berlaku di panti, dan berbagai kelenjar-kelenjar pada tubuh,
lingkungan fisik panti. Disamping itu juga menurunkan produksi kortisol dalam
mereka harus menyesuaikan diri dengan darah, mengembalikan pengeluaran
perubahan-perubahan secara fisik, hormon yang secukupnya sehingga
fisiologis, dan psikologis yang cenderung memberi keseimbangan emosi dan
bergerak ke arah yang lebih buruk. ketenangan pikiran.
Ketika lansia mengalami stres Selain hal di atas, Latihan
(ketegangan emosional), maka beberapa relaksasi otot progresif cukup efektif
otot akan mengalami ketegangan sehingga untuk memperpendek waktu dari mulai
mengaktifkan sistem saraf simpatis. Pada merebahkan hingga tertidur dan mudah
kondisi stres, secara fisiologis tubuh akan memasuki tidur. Hal ini membuktikan
mengalami respon yang dinamakan respon bahwa relaksasi otot progresif yang
fight or flight. Respon ini memerlukan dilakukan dapat membuat tubuh lebih
energi yang cepat, sehingga hati relaks sehingga kesulitan ketika
melepaskan lebih banyak glukosa untuk mengawali tidur dapat diatasi dengan
menjadi bahan bakar otot, dan terjadi pula treatmen ini. Hal yang sama diperkuat
pelepasan hormon yang menstimulasi oleh teori Edmund Jacobson (1920) dan
perubahan lemak dan protein menjadi gula. Mentz (2003) bahwa teknik relaksasi
Metabolisme tubuh meningkat sebagai progresif memberi respons terhadap
persiapan untuk pemakaian energi pada ketegangan, respon tersebut
tindakan fisik. Kecepatan jantung, tekanan menyebabkan perubahan yang dapat
darah, dan kecepatan pernapasan mengontrol aktivitas sistem saraf
meningkat, serta otot menjadi tegang. Pada otonom berupa pengurangan fungsi
saat yang sama aktivitas tertentu yang oksigen, frekuensi nafas, denyut nadi,
tidak diperlukan (seperti pencernaan) ketegangan otot, tekanan darah, serta
dihentikan. Sebagian besar perubahan gelombang alfa dalam otak sehingga
fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas mudah untuk tidur.
dua sistem neuroendokrin yang Terjadinya penurunan tingkat
dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem insomnia lansia sesudah latihan
simpatis dan sistem kortek adrenal. relaksasi otot progresif didukung juga
oleh teori bahwa latihan relaksasi yang usus-usus untuk lebih membersihkan
dikombinasikan dengan latihan pernapasan sisa-sisa makanan yang telah lalu dan
yang terkontrol dan rangkaian kontraksi mengubah terjadinya sembelit, serta
serta relaksasi kelompok otot, dapat membersihkan sedikit demi sedikit
menstimulasi respon relaksasi baik fisik lemak, cairan dan gas-gas berlebihan,
maupun psikologis. Respon tersebut yang tidak berguna bagi tubuh.
dikarenakan terangsangnya aktivitas sistem Sedangkan pada saat merelaksasikan
saraf otonom parasimpatis nuclei rafe yang otot, sebuah sel saraf mengeluarkan
terletak di separuh bagian bawah pons dan opiate peptides atau saripati kenikmatan
di medula sehingga mengakibatkan ke seluruh tubuh sehingga yang
penurunan metabolisme tubuh, denyut dirasakan adalah rasa nikmat dan tubuh
nadi, tekanan darah, dan frekuensi menjadi rileks.
pernapasan dan peningkatan sekresi Selain yang disebutkan di atas,
serotonin (Guyton dan Hall, 1997). perangsangan sistem saraf otonom juga
Perangsangan pada beberapa area dalam memainkan peranan yang sangat
nukleus traktus solitarius, yang merupakan penting dalam pemeliharaan tekanan
regio sensorik medula dan pons yang arteriol dengan pengaruhnya pada
dilewati oleh sinyal sensorik viseral yang cardiac output dan derajat konstriksi
memasuki otak melalui saraf-saraf vagus dari resistensi (arteriol) serta kapasitasi
dan glosovaringeus, juga menimbulkan (venul dan venula) pembuluh darah
keadaan tidur. yang mengakibatkan resistensi perifer
Latihan relaksasi otot progresif menurun dan tekanan darah juga
yang dikombinasikan dengan teknik menurun (Purba, 2002). Hal ini
pernapasan yang dilakukan secara sadar dibuktikan pada saat sesudah penelitian
dan menggunakan diafragma, ada salah satu responden yang
memungkinkan abdomen terangkat mengalami penurunan tekanan darah
perlahan dan dada mengembang penuh. dari 150/80 mmHg menjadi 140/80
Teknik pernapasan tersebut, mampu mmHg karena latihan relaksasi tersebut
memberikan pijatan pada jantung yang dilakukan secara berulang-ulang.
menguntungkan akibat naik turunnya Pelatihan relaksasi dapat
diafragma, membuka sumbatan-sumbatan memunculkan keadaan tenang dan
dan memperlancar aliran darah ke jantung rileks dimana gelombang otak mulai
serta meningkatkan aliran darah ke seluruh melambat semakin lambat akhirnya
tubuh. Aliran darah yang meningkat juga membuat seseorang dapat beristirahat
dapat meningkatkan nutrien dan O2. dan tertidur.
Peningkatan O2 didalam otak akan Konsistensi dari latihan relaksasi
merangsang peningkatan sekresi serotonin otot progresif selama satu minggu
sehingga membuat tubuh menjadi tenang secara teratur ini membuktikan bahwa
dan lebih mudah untuk tidur (Purwanto, latihan relaksasi otot progresif
2007). mempunyai hasil yang signifikan untuk
Pada saat bernapas dalam, di menurunkan tingkat insomnia lansia.
sebelah atas, ketika udara dihembuskan Selain faktor tersebut, peneliti
keluar secara perlahan-lahan, pernapasan memperkirakan penurunan tingkat
itu mendorong dan menekan paru-paru. insomnia disebabkan oleh kondusifnya
Dengan demikian membebaskannya dari lingkungan ketika melakukan latihan
udara yang tergenang dan relaksasi otot progresif dan sering
membebaskannya dari gangguan- dipraktekannya lagi latihan tersebut
gangguan. Sedangkan disebelah bawah ketika lansia terbangun dari tidur, dari
pada saat menarik nafas, akan merangsang hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa
dan membersihkan gerak peristaltik dari terjadi penurunan jumlah responden
yang mengalami gejala insomnia pada tiap- Hasil penelitian ini dapat
tiap skor setelah latihan relaksasi otot dijadikan bahan informasi dan
progresif serta berdasarkan uji stastistik pertimbangan dalam memilih intervensi
menunjukkan bahwa ada perbedan yang bagi lansia yang mengalami insomnia.
signifikan tingkat insomnia lansia sebelum Selain itu, diharapkan dapat
dan sesudah latihan relaksasi otot mensosialisasikan hasil penelitian ini
progresif. kepada lansia, sehingga lansia sadar
Adanya perbedaan ini disebabkan akan manfaat relaksasi otot progresif
latihan relaksasi otot progresif merupakan dalam mengatasi insomnia.
salah satu terapi yang membantu lansia Bagi Perawat di BPSTW Ciparay
dalam mengatasi insomnia. Selain itu Bandung
dengan latihan relaksasi otot progresif Latihan relaksasi otot progresif
lansia dapat meningkatkan ekspresi dapat dijadikan masukan bagi perawat
perasaan negatif menjadi positif sehingga dalam rangka meningkatkan kualitas
membantu lansia mengubah pola hidup asuhan keperawatan, khususnya pada
yang dapat mengganggu kualitas dan lansia yang mengalami insomnia di
kuantitas tidur lansia (Sani, 2003). Hal ini BPSTW Ciparay Bandung. Dan
juga terbukti selama intervensi intervensi ini merupakan satu kesatuan
berlangsung lansia merasakan kondisi yang yang tidak terpisahkan dari intervensi
enak,tenang dan rileks. lainnya yang tercakup dalam asuhan
keperawatan pada lansia yang
SIMPULAN mengalami insomnia.
(1) Setiap lansia di BPSTW Ciparay Bagi Penelitian Lebih Lanjut
Bandung merasakan manfaat latihan Dalam rangka pengembangan
relaksasi otot progresif. latihan relaksasi otot progresif sebagai
(2) Sebelum latihan relaksasi otot psikoterapi. Peneliti menyarankan untuk
progresif, sebagian besar lansia dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
mengalami tingkat insomnia ringan dan pengaruh latihan relaksasi otot progresif
sebagian kecil mengalami tingkat terhadap tingkat insomnia lansia dengan
insomnia berat dan sangat berat. menggunakan desain penelitian yang
(3) Sesudah latihan relaksasi otot progresif berbeda misalnya dengan menggunakan
sebagian besar lansia berada pada kelompok kontrol. Penelitian yang
tingkat tidak ada keluhan insomnia, serupa dapat juga dilakukan pada area
dan sebagian kecil mengalami tingkat penelitian yang berbeda, misalnya
insomnia ringan. pengaruh latihan relaksasi otot progresif
(4) Keadaaan tersebut menyebabkan terhadap gangguan tidur yang lain
adanya perbedaan tingkat insomnia seperti hipersomnia, narkolepsi,
lansia sebelum dan sesudah latihan nokturnal dispnea, parasomnia, atau
relaksasi otot progresif. deprivasi tidur.
(5) Berdasarkan uji statistik terdapat
perbedaan yang signifikan terhadap DAFTAR PUSTAKA
tingkat insomnia lansia sebelum dan 1. American Insomnia Association. 2002.
sesudah latihan relaksasi otot progresif American Insomnia Association treatment
Available online at
di BPSTW Ciparay Bandung pada taraf http//www.americaninsomniaassociation.or
signifikansi 5%. g. (diakses 27 Februari 2008)
2. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian:
SARAN Suatu Pendekatan Praktek, Edisi IV.
Bagi Pengelola BPSTW Ciparay Jakarta. Rineka Cipta
3. Benson, H.M.D. 2000. Dasar-dasar Respon
Bandung Relaksasi: Bagaimana menggabungkan
respon Relaksasi dengan Keyakinan Pribadi 22. Potter, P.A. 2005. Buku Ajar Fundamental
Anda. Bandung. Mizan Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik
4. Castle, S.M. 2001. Learning How to Relaks. edisi Empat Volume 2. Jakarta. EGC
Available online at http//www.relax.com 23. Prawitasari, J.E., 1998. Pengaruh Relaksasi
(diakses 27 Februari 2008) Terhadap Keluhan Fisik. Available online
5. Davis, M, Eshelman, E.R dan Matthew Mckay. at http// klinis.wordpress.com.(diakses 5
1995. Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres Maret 2008)
Edisi III. Alih Bahasa: Budi Ana Keliat dan 24. Prasadja, A.A. 2005. Sleep Disorder Clinic.
Achir Yani. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran Available online at http//
EGC www.relaxation.org (diakses 10 Maret
6. Diahwati, D. 2001. Serba- Serbi Manfaat dan 2008)
Gangguan Tidur. Bandung. Pionir Jaya 25. Purba. 2002. Kardiovaskular dan Faal
7. Dinas Sosial, 2003. Pedoman Pelaksanaan Olahraga. Bandung. Balai Penerbit
Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Fakultas Kedokteran Universitas
Melalui BPSTW/Instalasi. Bandung. BPSTW Padjadjaran
Ciparay 26. Purwanto, S. 2007. Terapi Insomnia.
8. Friedman, M.M.1998. Keperawatan Keluarga Available online at http//
Teori dan Praktik Edisi 3. Jakarta. Penerbit klinis.wordpress.com.(diakses 5 Maret
Buku Kedokteran EGC 2008)
9. Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi 27. Ramdhani. 2007. Studi Pendahuluan
Kedokteran Edisi 9. Jakarta. Penerbit Buku Multimedia Interaktif Pelatihan Relaksasi.
Kedokteran EGC Available online at http// lib.
10. Hurlock, Elizabeth B. 1997. Psikologi ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.
Perkembangan. Jakarta. EGC pdf.(diakses 2 Februari 2008)
11. Iskandar, Y. dan Setyonegoro. 1985. Psikiatri 28. Sani. 2003. Yoga untuk Kesehatan.
Biologi Vol III Diagnosa dan Terapi dari Semarang. Dahara Prize
Insomnia. Jakarta. Yayasan Dharma Graha 29. Sugiyono. 2007. Statistik Nonparametris
12. Kaplan, Robert, M dan P. Sacuzzo, Dennis. Untuk Penelitian. Bandung. CV Alfabeta
1993. Psycological Testing Principles, 30. Sugiyono. 2004. Metode Penelitian
Aplication and Issue. Third Edition. California. Administrasi. Bandung. CV Alfabeta
Brocks/Cole Publishing Company. 31. Taylor, C. et al. 1997. Fundamental of
13. Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri: Nursing : The Art and Science of Nursing
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris Klinis Care (3rd Ed). St. Louis. Mosby Lippincotl.
Edisi Ketujuh Jilid Dua. Jakarta. Binarupa Raven Publisher
Aksara 32. Utami, M.S. 1993. Prosedur Relaksasi.
14. Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktek Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta
Keperawatan Profesional. Jakarta. Penerbit 33. Universitas Padjadjaran. 2007. Pedoman
Buku Kedokteran EGC Penyusunan dan Penulisan Skripsi
15. Lichstein, KL., Johnson, RS. 1993. Relaxation Program Sarjana dan Profesi 2007/2008.
for Insomnia and Hypnotic Medication Use in Bandung. Departemen Pendidikan dan
Older Women. Available online at Kebudayaan Universitas Padjadjaran
http//www.mayday.coh.org (diakses 2 Februari
2008)
16. Lueckenotte, A.G. 1996. Gerontological
Nursing. Philadelphia. Mosby Year Book
17. Mentz. 2003. Relaxation Therapy. Available
online at http//www.mayday.coh.org (diakses 2
Februari 2008)
18. Miltenberger. 2004. Relaksasi. Available
online at http//www.eworld-indonesia.com
(diakses 2 Februari 2008)
19. Notoadmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
20. Nugroho, W. 2002. Keperawatan Gerontik.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
21. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta. Penerbit Salemba Medika