• Menempatkan Tan Malaka dalam sejarah pemikiran di Indonesia bukan
pekerjaan mudah karena (1) sejarah pemikiran sebagai sebuah bidang belum berkembang. Buku terakhir yang berupaya memetakan pemikiran Indonesia modern terbit lebih dari empat puluh tahun lalu, Indonesian Political Thinking 1945-1965, yang disunting oleh Herbert Feith dan Lance Castles, serta (2) pelarangan terhadap Marxisme dan marginalisasi tokoh/gerakan kiri di Indonesia. Penilaian moral (benar/salah) sangat dominan dalam diskusi tentang Marxisme di Indonesia sementara yang diperlukan adalah uraian mengenai apa yang sesungguhnya dikatakan. • Tan Malaka seorang Marxis. Ia pernah menjadi pimpinan PKI dan perwakilan Komintern untuk Asia. Ia mempelajari karya-karya klasik Marxisme dan bersinggungan dengan pemikiran kiri Eropa dan Asia pada zamannya (ia studi di Belanda semasa Eropa diguncang oleh revolusi dan Perang Dunia, 1913- 1919). Rudolf Mrazek mengklaim bahwa Tan Malaka sangat dipengaruhi oleh tradisi intelektual Minangkabau. Harry Poeze sementara itu mengatakan walau Tan Malaka aktif di PKI ia bukan Marxis yang ortodoks (Stalinis), dan bahkan dalam banyak hal pemikirannya juga disebut orisinal. • Saya tidak bermaksud merekonstruksi pemikiran Tan Malaka di sini tapi fokus pada imajinasi politiknya. Seperti banyak pemikir Marxis lainnya, imajinasi politik Tan Malaka terdiri atas (1) kritiknya terhadap sistem yang menindas, yakni kapitalisme dalam konteks kolonial, dan (2) solusi untuk mengakhiri sistem yang menindas tersebut. Saya akan membatasi pembahasan pada tiga karya sentral: Parlemen atau Soviet (1921), Menuju Republik Indonesia (1925), dan Aksi Massa (1926). Setelah menguraikan beberapa point penting dari masing-masing karya saya akan coba melihat relevansinya bagi imajinasi politik di Indonesia hari ini.
Akar dan Sejarah Penindasan
• Masyarakat Nusantara hidup di lingkungan yang subur dan melemahkan.
Tanah luas dan penduduk sedikit membuat orang mudah bertahan hidup dan mudah dikuasai juga. Kedatangan orang Hindu dari India adalah penjajahan yang pertama dan negara/kekuasaan pertama yang punya jangkauan luas berasal dari sana. Hanya Minangkabau yang berbeda tapi sekaligus terpencil sehingga tidak signifikan bagi pertumbuhan masyarakat kepulauan secara keseluruhan. Kesimpulan dari sejarah yang panjang: “bangsa Indonesia masih tetap budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok asing.” • Kapitalisme di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa dan tidak sama dengan kapitalisme di Eropa dan Amerika Utara. Produksi belum merata, terpusat di sektor pertanian/ekstraktif di Jawa dan Sumatera. Sumber daya alam luas di Kalimantan dan Sulawesi tapi belum digarap saat itu. Perkembangan desa dan kota juga tidak seimbang. Tidak muncul kota yang merupakan konsentrasi teknik, industri dan penduduk. Kota tidak menjadi pusat kegiatan ekonomi tapi hanya sumber ekonomi atau tempat singgah yang mengalirkan keuntungan untuk “setan oeang” di luar negeri. Tan Malaka jelas mengaitkan eksploitasi penduduk jajahan dengan kapital internasional. • Tan Malaka, seperti Mao Zedong, juga bicara tentang “sprouts of capitalism” dalam masyarakat pribumi. Adalah kolonialisme merkantilis (VOC) yang menghancurkan potensi (sosial-ekonomi dan teknik) yang sebenarnya kuat itu. “Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai kepandaian teknik, serta dipengaruhi oleh orang asing, tentulah orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam.” Pernyataan seperti ini tentu akan disambut kaum nasionalis. Begitu juga: “Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah kemiskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab sisa keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilemparkan pada rakyat.” • Pertentangan kelas: “kapital yang beranak pinak dalam eprtanian sangat modern dengan produksi yang sangat tinggi dan dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam sejumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang- pedagang kecil dijadikan buruh.” Di Indonesia jurang itu diperdalam oleh pertentangan Belanda dan Indonesia, jadi antara buruh Indonesia dan kapitalis Belanda, yang ditambah perbedaan agama, bahasa, adat-istiadat.
Perlawanan, Revolusi dan Penataan Kembali
• Basis kelas dari perlawanan terhadap kapitalisme kolonial. Asumsinya kelas
buruh atau proletariat industri terlalu kecil dalam jumlah untuk menguasai kepemimpinan politik sehingga mudah dipukul oleh kekuatan sosial lain seandainya terlalu mengedepankan kepentingan kelas (sosialisme). Karena itu harus ada politik persekutuan kelas yang mengedepankan kepentingan bersama (nasional). Industri besar dan manufaktur pun belum ada. Pembacaan yang kaku terhadap kapitalisme dan kelas, yang berbeda misalnya dengan strategi “national-popular” (Gramsci dan sampai taraf tertentu, PKI pada 1950an). Kontradiksi penting dalam pemikiran Tan Malaka soal kapitalisme harus berkembang penuh untuk membangun sosialisme, nasionalisasi dari industri yang belum ada. Soviet (dewan) dalam produksi yang belum berkembang. • Analisis politik dimulai dengan menempatkan “unit analisis” dalam perkembangan dunia. Situasi dalam unit analisis (atau unit revolusi) itu adalah resultan dari perkembangan dunia. Implikasi: Indonesia dan Aslia, gabungan (1) Asia yang mencakup Birma, Thailand, Annam, Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara dan Filipina, serta (2) Australia, khususnya bagian utara atau Australia Panas yang membentuk sepertiga wilayah benua itu. Seluruh Aslia dipengaruhi iklim yang panas, gerakan angin moeson, dan penduduknya yang berhubungan terus dari abad ke abad, “dalam hakekatnya beralat- perkakas, berekonomi, bersosial, berpolitik dan berjiwa (paham keamanan dan perasaan) dan berhasrat ataupun berimpian yang tidak berbeda satu sama lainnya. Dan itu adalah bangsa Indonesia. Aslia adalah salah satu dari delapan “gabungan raksasa”: Amerika Utara, Amerika Selatan, Tiongkok, Indo-Iran, Afrika, Eropa Barat, Soviet Rusia. Gagasan ini pernah dijabarkan dalam Aslia Bergabung (naskah yang kemudian hilang). Kritik mendasar dari MH Lukman dalam Bintang Merah (Desember 1950). • Sistem politik: federasi soviet. Unit terkecil adalah soviet sebagai basis dari kediktatoran proletariat. Fungsinya untuk memaksakan kehendak atas borjuasi agar mendapat kembali kekuasaan politik dan ekonomi yang hilang. Di dalam sistem itu ada demokrasi penuh, kesetaraan laki-perempuan, pemisahan negara dan agama, jaminan hak sosial, ekonomi, dan budaya, termasuk perumahan, pendidikan (reorientasi sesuai dengan kepentingan Indonesia), keadilan di tempat kerja, dewan produksi, dst. Tujuan akhirnya adalah menghapuskan kapitalisme dan mempersiapkan komunisme. Dalam konteks geografis Indonesia/Aslia: republik federasi dari berbagai pulau di Indonesia yang menjadi bagian dari federasi dunia.
Relevansi Sekarang
• Lack of imagination. Sekadar mempertahankan sistem agar terus berjalan
dengan segala permasalahan: korupsi, kekerasan sektarian, krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup. Saatnya berpikir tentang penataan kembali. Titik tolaknya adalah apa yang pernah muncul dalam sejarah pemikiran. Mengapa sejarah? Mengapa bukan ‘model’ dari luar? Melihat Indonesia dalam tata dunia bukan sekadar perbandingan. Fokus selama ini melulu tentang nation- state sementara masyarakat terintegrasi dalam tatanan global: TKI, arus impor, ekonomi ekspor, kebudayaan global, dst.