PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Dinding Anterior. Margin posterior septum nasalis dan ostium posterior nasalis
di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis.2
2
hiperplasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior setinggi vertebra
servikal 1, 2 kedua sisinya adalah batas posterior resus faring.2
Dinding Lateral. Mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus (2) area tuba
timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk
segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior) dan torus
tubarius di sebelah postero-superior (terbentuk dari lipatan lempeng kartilago
berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya membentuk pars kartilago
tuba timpanofaringeus. (3) pars posterior tuba timpanofaringeus, yaitu resus
faringeus (fossa Rosenmulleri) terletak di sebelah postero-superior torus tubarius,
berhubungan dengan dinding posterior atap nasofaring. Resus ini dalamnya
sekitar 1 cm, membentuk lekukan berbentuk kerucut.2
3
2.2 DEFINISI
Banyak penelitian mengenai virus ini, tetapi virus ini bukan satu-satunya
faktor karena banyak faktor yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya
tumor ini, yaitu :
1. Umur dan Jenis kelamin. KNF dapat mengenai berbagai umur, tersering
umur 40-60 tahun. Mulai meningkat setelah umur 20 tahun dan menurun
umur 60 tahun. Angka kejadian pada anak bervariasi antara 1-5% dari
seluruh kejadian kanker pada anak. Pria lebih banyak dari pada wanita,
yaitu 3:1.7
2. Ras. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker
nasofaring. Angka yang cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia. Tetapi
tidak sedikit ditemukan di daerah Yunani, Afrika Eskimo.1
3. Infeksi Virus Epstein Barr. Hampir semua sel NPC komponen dari virus
Epstein-Barr (EBV), dan kebanyakan orang dengan NPC memiliki bukti
infeksi oleh virus ini dalam darah mereka. Infeksi EBV sangat umum di
seluruh dunia, sering terjadi pada anak. Di Amerika Serikat, di mana
infeksi virus ini cenderung terjadi pada anak-anak sedikit lebih tua, sering
menyebabkan infeksi mononucleosis ( "mono"), biasanya pada remaja.
4
Hubungan antara infeksi EBV dan NPC kompleks dan belum sepenuhnya
dipahami. infeksi EBV saja tidak cukup untuk menyebabkan NPC, karena
infeksi virus ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor
lain, seperti gen seseorang, dapat mempengaruhi bagaimana penawaran
tubuh dengan EBV, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi bagaimana
EBV kontribusi untuk pengembangan NPC.6
4. Diet. Tingginya konsumsi makan-makanan yang berpengawet contohnya
ikan asin, diet tinggi buah-buahan atau sayur-sayuran yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya KNF.6
5. Genetik. Studi telah menemukan bahwa orang dengan jenis jaringan
tertentu diwariskan memiliki risiko mengembangkan KNF. Jenis jaringan
mempengaruhi respon imun, jadi ini mungkin terkait dengan bagaimana
tubuh seseorang bereaksi terhadap infeksi EBV.6
6. Riwayat Keluarga. Anggota keluarga penderita KNF lebih mungkin
untuk mendapatkan kanker ini. Tidak diketahui apakah ini karena gen
yang diwariskan, faktor lingkungan bersama (seperti diet yang sama atau
hidup
perempat), atau beberapa kombinasi dari ini.6
7. Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi
oleh bahan kimia, asap kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan
atau bumbu masak tertentu, kebiasaan makan-makanan yang panas,
melakukan pembakaran dupa dalam ruangan tertutup.7
8. Tembakau dan Alkohol. Sebagian besar (tetapi tidak semua) studi telah
menemukan bahwa merokok dapat berkontribusi pada pengembangan
KNF, terutama jenis keratinizing. Beberapa penelitian telah
menghubungkan minum berat untuk jenis kanker. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan link ini, tetapi mereka tampaknya jauh lebih
lemah daripada hubungan antara penggunaan tembakau dan alkohol dan
sebagian besar jenis kanker lainnya yang dimulai di tenggorokan.6
5
2.4 Epidemiologi
1. Gejala Hidung
Epistaksis ringan. Sekitar 70% pasien mengalami gejala ini.
Dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh dan mudah pecah menimbulkan epistaksis.
Sumbatan hidung. Sering mengenai bagian sebelah saja dan secara
progresif bertambah hebat ini disebabkan pertumbuhan tumor yang
menyumbat lubang hidung posterior.
2. Gejala telinga
Tinitus. Gejala dini yang timbul karena pertumbuhan tumor
menekan tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa
Rosenmuller) hingga terjadi oklusi pada muara tuba.
Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh pada telinga
Rasa nyeri ditelinga
3. Gejala Mata
6
Pada penderita KNF sering ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor menjalar melalui
foramen laserum karena mengenai N. III, N.IV, N. VI.
4. Gejala Saraf
Neuralgia trigeminal
Sindrom Jackson. Proses karsinoma yang lanjut mengenai N. IX,
N. X, N. XI, N. XII penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu
suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Bila sudah mengenai
seluruh saraf kranial maka disebut sindrom unilateral. Dapat pula
dekstruksi tulang tengkorak, bila sudah terjadi demikian biasanya
prognosis buruk
2.6 DIAGNOSIS
I. Anamnesis8
Benjolan di leher
Gangguan saraf : nyeri kepala, rasa nyeri berlebihan pada wajah/
neuralgia trigeminal
Gangguan pada mata : diplopia, kesulitan menggerakkan bola mata
membuka maupun menutup mata
Gejala metastasis :
Ke tulang : nyeri kontinu, nyeri tekan setempat, secara
bertahap bertambah hebat
Ke paru : nyeri dada disertai batuk darah atau sesak nafas
7
Ke hepar : mual, muntah, pembesaran perut dan hati, kuning
8
lateral, superior dan posterior pada pasien dengan resiko tinggi
karsinoma nasofaring.
Pemeriksaan Serologi
Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko
tinggi kanker nasofaring :
Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-
IgA >= 1:80;
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-
Imunoglobulin) EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga
indikator tersebut positif.
Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan
titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat.
Ig A Virus Epstein Barr dapat dijumpai pada non-keratinizing
squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma.
Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan
Pemeriksaan CT Scan nasofaring mulai setinggi sinus
frontalis sampai klavikula, potongan koronal, aksial dan sagital,
tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan
injeksi 1-2cc/KgBb selama 1 menit. CT scan berguna untuk
menilai tumor primer dan penyebarannya ke jaringan sekitarnya,
serta penyebaran kelenjar getah bening, menilai ada tidaknya
destruksi tulang, dan ada tidaknya penyebaran intrakranial.
b. Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan thoraks
dengan kontras.
c. Magnetic resonance imaging (MRI) scan
9
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak,
dapat serentak membuat potongan melintang, sagital koronal,
sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga
dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam
membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan
rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.
d. Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa
atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen.
Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak tampak
sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai
area defek
e. (Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in
vivo. Pasien akan menerima injeksi glukosa yang terdiri dari
atom radioaktif. Jumlah radioaktif yang digunakan sangat
rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh dengan
cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah besar gula radioaktif.
Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum dilakukan jika :
1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri
karsinoma nasofaring.
2. Unknown Primary Cancer
Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada :
a) Penderita anak
b) Penderita dengan keadaan umum kurang baik
c) Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
d) Penderita yang tidak kooperatif
e) Penderita yang laringnya terlampau sensitif
10
3. Dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan residu /
rekuren, dengan Nasoendoskopi Nasofaring menonjol.
2.7 PATOLOGIS
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing
squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge
atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai
dengan batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated
carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran
besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan
infiltrasi sel-sel radang limfosit.7
11
T2a Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b Dengan perluasan ke ruang parafaring
T3 Tumor menyebrangi struktur tulang dan atau sinus
paranasalis
T4 Tumor meluas ke intrakranial, dan atau melibatkan saraf
kranial,
hipofaring, fossa infratemporal
12
menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat itu, bila terjadi
ulserasi, perdarahan maka perlu biopsi untuk membedakannya.2
TB Nasofaring
Umumnya pada usia muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal
atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor,
bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegagkkan
apakah terdapat TB dan kanker bersama-sama atau apakah terjadi reaksi
tuberkuloid akibat kanker nasofaring.2
Limfoma Malignum
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher
dapat mengenai banyak lokasi. Secara bersamaan dapat terjadi
pembesaran kelenjar limfe aksila, inguinal, mediastinum dll.
Konsistensi tumor agak lembek dan mobile.2
Angiofibroma Nasofaring
Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari
wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna
mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di
permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai
penyakit ini, hati-hati dalam melakukan biopsi karena mudah terjadi
perdarahan masif.2
2.10 PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi.
2. Kemoterapi
13
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada
stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.3
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi
merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang
kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi
dengan cara lain.3
Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak
mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita
kerusakan terlalu berat.Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga
radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.Radiasi pada jaringan dapat
menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra
14
seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat
bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi3 :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih
rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak
yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang
masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri.
Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker.
Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.3
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor,
makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit
80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan
angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%.
Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa
faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.3
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor
primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO3 :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang
besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau
lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau
lebih.
15
Komplikasi radioterapi
Komplikasi radioterapi dapat berupa3 :
1. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
Xerostomia – Mual-muntah
Mukositis – Anoreksi
Dermatitis
Eritema
2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
Kontraktur
Gangguan pertumbuhan
dll
Kemoterapi
Penatalaksanaan KNF pada stadium lanjut, kemoterapi dikombinasikan
dengan radioterapi. Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang
rekuren atau yang telah bermetastasis.
Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu
struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Anti metabolit bekerja dengan
menghambat biosintesis purin atau piramidin, sehingga dapat mengubah struktur
DNA dan menahan replikasi sel (Lika, 1999). Kemoterapi yang paling sering
digunakan adalah kombinasi antara Cisplatin dan 5-fluoruracil (5-FU). Cisplatin
bekerja sebagai sitotoksik juga radiosensitisizer.
Cara pemberian kemoterapi terbagi 3 cara, yaitu:
1. Kemoterapi neoadjuvant yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan
dan radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvantdidasari atas pertimbangan
vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor
masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat
16
memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan
pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate
sebesar 80 %- 90 % dan CR (Complete Response) sekitar 50%. Kemoterapi
neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).
2. Kemoterapi konkomitan
Yaitu kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi.
Dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan
dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel
kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja
sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang
hipoksik dan menghambat recoveryDNA pada sel kanker yang sublethal.
3. Kemoterapi adjuvant
Tujuan pemberian kemoterapi adjuvant adalah pemberian kemoterapi yang
dilakukan setelah radioterapi defenitif. Regimen kemoterapi yang dipakai
biasanya mengandung Cisplatin. Pemberian kemoterapi ini menunjukkan hasil
yang lebih baik untuk harapan hidup bebas penyakit dan pencegahan metastase
jauh.
2.11 Pencegahan1
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi
Mengurangi konsumsi ikan asin
Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol
stress
Berolahraga secara teratur
17
2.12 Prognosis
Menurut AJCC Cancer Staging Edisi ke 7 tahun 2010 mengklompokkan
angka harapan hidup 5 tahun kedepan pada KNF6 :
Stadium Angka harapan hidup 5 tahun :
Stadium I 72%
Stadium II 64%
Stadium III 62%
Stadium IV 38%
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin, A. dan Adham, M. Karsinoma Nasofaring. In Soepardi, E.A.,
et al (eds.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh
2. Desen, W., et al. Tumor di Kepala dan leher. In Desen, W. (ed) Buku
Ajar Onkologis Klinis Edisi 2. Jakarta: FK UI. 2011
3. Harry, Asroel. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma
Nasofaring. Refarat. Medan: FK USU. 2002
4. Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005
5. Arif Mansjoer, et al. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI Hal 371-396
6. American Cancer Society. 2013. Nasopharyngeal Cancer.
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-
pdf
7. Faiza, Shofi. Karateristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring
di Bagian THT-KL RSUP Dr. Syaiful Djamil Padang. Padang:Jurnal
Kesehatan Andalas.
2016.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=421625&v
al=7288&title=Karakteristik%20Klinis%20dan%20Patologis%20Kar
sinoma%20Nasofaring%20di%20Bagian%20THT-
KL%20RSUP%20Dr.M.Djamil%20Padang
8. KEMENKES. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker
Nasofaring. http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKKNF.pdf
9. Ariwibowo, Hendrawan. Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring. CDK-
2014 Vol.40 No 5 th 2013
10. Kentjono, Widodo Ari. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan
Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Volume
14, Nomer 2. Juli 2013
20