Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

KNF merupakan kanker yang mempunyai keunikan dan berbeda dari


tumor ganas di daerah kepala dan leher lainnya dalam hal epidemiologi, spektrum
gambaran histopatologi, karakteristik klinik dan sifat biologi.
Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat 87.000 kasus baru nasofaring
muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF (36.000
pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). Angka kejadian tertinggi di dunia
terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40-50 kasus kanker nasofaring
diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah
Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.Di
Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang
sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah
kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru.
Penanggulangan KNF sampai saat ini masih merupakan suatu masalah
yang cukup sulit. Hal ini karena etiologinya yang masih belum pasti. Selain itu
letak nasofaring yang cukup tersembunyi sehingga sulit untuk mendeteksinya.
Gejala dini dari penyakit ini sering tidak jelas dan tidak khas sehingga sering
diabaikan.Sebagian besar gejala klinis baru bermanifestasi setelah tumor
bermetastasis ke kelenjar getah bening (KGB) leher. Mutlak dilakukan biopsi
histopatologis sebagai konfirmasi diagnosis kanker ini. Pemeriksaanbiopsi
nasofaring sering ditemukan hasil yang negatif karena letak tumor yang
tersembunyi mempersulit pengambilan dan penanganan oleh dokter.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

Nasofaring terletak di antara basis kranial dan palatum mole


menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai
sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-
masing 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cm. Dapat dibagi menjadi dinding
anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral.2

Dinding Anterior. Margin posterior septum nasalis dan ostium posterior nasalis
di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis.2

Dinding Superior-Posterior. Bersambung dan miring membentuk lengkungan,


diantara kedua dinding tidak terdapat batas anatomis yang jelas. Dimulai dari
batas atas lubang hidung posterior hingga ke palatum mole. Lapisan sub mukosa
area itu kaya akan jaringan limfatik membentuk tonsil faring, dimasa anak

2
hiperplasia nyata membentuk adenoid. Dinding posterior setinggi vertebra
servikal 1, 2 kedua sisinya adalah batas posterior resus faring.2

Dinding Lateral. Mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus (2) area tuba
timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofaringeus (membentuk
segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior) dan torus
tubarius di sebelah postero-superior (terbentuk dari lipatan lempeng kartilago
berbentuk segitiga) bersama jaringan ikat di bawahnya membentuk pars kartilago
tuba timpanofaringeus. (3) pars posterior tuba timpanofaringeus, yaitu resus
faringeus (fossa Rosenmulleri) terletak di sebelah postero-superior torus tubarius,
berhubungan dengan dinding posterior atap nasofaring. Resus ini dalamnya
sekitar 1 cm, membentuk lekukan berbentuk kerucut.2

Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum,


yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago.
Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang
berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari
fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-
XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial.2
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan
fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus
konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan
dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia
faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial
dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak
di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius
terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus,
berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral.2

3
2.2 DEFINISI

Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada


epithelial pelapis ruangan di belakang hidung (nasofaring). Karsinoma adalah
pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung
menginviltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Penyebab Karsinoma Nasofaring bersifat multifaktorial, dikaitkan dengan


adanya interaksi antara infeksi kronik onkogenik gamma herpes virus Epstein-
Barr yang mana virus Epstein-Barr telah menginfeksi lebih dari 95% populasi
dunia. Selain itu faktor lingkungan dan faktor genetik, juga terlibat dalam proses
multistep karsinogenik.

Banyak penelitian mengenai virus ini, tetapi virus ini bukan satu-satunya
faktor karena banyak faktor yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya
tumor ini, yaitu :

1. Umur dan Jenis kelamin. KNF dapat mengenai berbagai umur, tersering
umur 40-60 tahun. Mulai meningkat setelah umur 20 tahun dan menurun
umur 60 tahun. Angka kejadian pada anak bervariasi antara 1-5% dari
seluruh kejadian kanker pada anak. Pria lebih banyak dari pada wanita,
yaitu 3:1.7
2. Ras. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker
nasofaring. Angka yang cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia. Tetapi
tidak sedikit ditemukan di daerah Yunani, Afrika Eskimo.1
3. Infeksi Virus Epstein Barr. Hampir semua sel NPC komponen dari virus
Epstein-Barr (EBV), dan kebanyakan orang dengan NPC memiliki bukti
infeksi oleh virus ini dalam darah mereka. Infeksi EBV sangat umum di
seluruh dunia, sering terjadi pada anak. Di Amerika Serikat, di mana
infeksi virus ini cenderung terjadi pada anak-anak sedikit lebih tua, sering
menyebabkan infeksi mononucleosis ( "mono"), biasanya pada remaja.

4
Hubungan antara infeksi EBV dan NPC kompleks dan belum sepenuhnya
dipahami. infeksi EBV saja tidak cukup untuk menyebabkan NPC, karena
infeksi virus ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor
lain, seperti gen seseorang, dapat mempengaruhi bagaimana penawaran
tubuh dengan EBV, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi bagaimana
EBV kontribusi untuk pengembangan NPC.6
4. Diet. Tingginya konsumsi makan-makanan yang berpengawet contohnya
ikan asin, diet tinggi buah-buahan atau sayur-sayuran yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya KNF.6
5. Genetik. Studi telah menemukan bahwa orang dengan jenis jaringan
tertentu diwariskan memiliki risiko mengembangkan KNF. Jenis jaringan
mempengaruhi respon imun, jadi ini mungkin terkait dengan bagaimana
tubuh seseorang bereaksi terhadap infeksi EBV.6
6. Riwayat Keluarga. Anggota keluarga penderita KNF lebih mungkin
untuk mendapatkan kanker ini. Tidak diketahui apakah ini karena gen
yang diwariskan, faktor lingkungan bersama (seperti diet yang sama atau
hidup
perempat), atau beberapa kombinasi dari ini.6
7. Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi
oleh bahan kimia, asap kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan
atau bumbu masak tertentu, kebiasaan makan-makanan yang panas,
melakukan pembakaran dupa dalam ruangan tertutup.7
8. Tembakau dan Alkohol. Sebagian besar (tetapi tidak semua) studi telah
menemukan bahwa merokok dapat berkontribusi pada pengembangan
KNF, terutama jenis keratinizing. Beberapa penelitian telah
menghubungkan minum berat untuk jenis kanker. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan link ini, tetapi mereka tampaknya jauh lebih
lemah daripada hubungan antara penggunaan tembakau dan alkohol dan
sebagian besar jenis kanker lainnya yang dimulai di tenggorokan.6

5
2.4 Epidemiologi

Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat 87.000 kasus baru nasofaring


muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF (36.000
pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). Angka kejadian tertinggi di dunia
terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40-50 kasus Kanker Nasofaring
diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah
Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.Di
Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang
sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah
kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru8.

2.5 Gambaran Klinis

Gejala Karsinoma Nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu8 :

1. Gejala Hidung
 Epistaksis ringan. Sekitar 70% pasien mengalami gejala ini.
Dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh dan mudah pecah menimbulkan epistaksis.
 Sumbatan hidung. Sering mengenai bagian sebelah saja dan secara
progresif bertambah hebat ini disebabkan pertumbuhan tumor yang
menyumbat lubang hidung posterior.
2. Gejala telinga
 Tinitus. Gejala dini yang timbul karena pertumbuhan tumor
menekan tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa
Rosenmuller) hingga terjadi oklusi pada muara tuba.
 Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh pada telinga
 Rasa nyeri ditelinga
3. Gejala Mata

6
 Pada penderita KNF sering ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor menjalar melalui
foramen laserum karena mengenai N. III, N.IV, N. VI.
4. Gejala Saraf
 Neuralgia trigeminal
 Sindrom Jackson. Proses karsinoma yang lanjut mengenai N. IX,
N. X, N. XI, N. XII penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu
suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Bila sudah mengenai
seluruh saraf kranial maka disebut sindrom unilateral. Dapat pula
dekstruksi tulang tengkorak, bila sudah terjadi demikian biasanya
prognosis buruk

2.6 DIAGNOSIS

I. Anamnesis8

Gejala pada stadium dini :

 Tinitus, telinga terasa penuh, nyeri pada telinga, atau pendengaran


berkurang
 Hidung tersumbat dalam jangka waktu lama
 Lendir atau dahak bercampur darah

Gejala pada stadium lanjut :

 Benjolan di leher
 Gangguan saraf : nyeri kepala, rasa nyeri berlebihan pada wajah/
neuralgia trigeminal
 Gangguan pada mata : diplopia, kesulitan menggerakkan bola mata
membuka maupun menutup mata
 Gejala metastasis :
Ke tulang : nyeri kontinu, nyeri tekan setempat, secara
bertahap bertambah hebat
Ke paru : nyeri dada disertai batuk darah atau sesak nafas

7
Ke hepar : mual, muntah, pembesaran perut dan hati, kuning

II. Pemeriksaan Fisik8


 Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis
 Pemeriksaan nasofaring :
 Rinoskopi posterior
 Nasofaringoskop (fiber/rigid)
 Laringoskopi

III. Pemeriksaan Penunjang8


 Pemeriksaan Patologi Anatomi
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau mulut.
Biopsi karsinoma nasofaring umumnya dilakukan dengan anastesi
topikal dengan xylocain 10%.
1. Biopsi melalui hidung. Dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian
cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi
2. Biopsi dari mulut. Dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang
berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama
ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter
disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut,
massa tumor akan terlihat lebih jelas.
Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis,
maka harus dilakukan biopsi yang multipel dari daerah dinding

8
lateral, superior dan posterior pada pasien dengan resiko tinggi
karsinoma nasofaring.

 Pemeriksaan Serologi
Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko
tinggi kanker nasofaring :
 Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-
IgA >= 1:80;
 Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-
Imunoglobulin) EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga
indikator tersebut positif.
 Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan
titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat.
Ig A Virus Epstein Barr dapat dijumpai pada non-keratinizing
squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma.

 Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan
Pemeriksaan CT Scan nasofaring mulai setinggi sinus
frontalis sampai klavikula, potongan koronal, aksial dan sagital,
tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan
injeksi 1-2cc/KgBb selama 1 menit. CT scan berguna untuk
menilai tumor primer dan penyebarannya ke jaringan sekitarnya,
serta penyebaran kelenjar getah bening, menilai ada tidaknya
destruksi tulang, dan ada tidaknya penyebaran intrakranial.
b. Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan thoraks
dengan kontras.
c. Magnetic resonance imaging (MRI) scan

9
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak,
dapat serentak membuat potongan melintang, sagital koronal,
sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga
dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam
membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan
rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat.
d. Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa
atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen.
Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak tampak
sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai
area defek
e. (Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in
vivo. Pasien akan menerima injeksi glukosa yang terdiri dari
atom radioaktif. Jumlah radioaktif yang digunakan sangat
rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh dengan
cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah besar gula radioaktif.
Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum dilakukan jika :
1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri
karsinoma nasofaring.
2. Unknown Primary Cancer
Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada :
a) Penderita anak
b) Penderita dengan keadaan umum kurang baik
c) Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
d) Penderita yang tidak kooperatif
e) Penderita yang laringnya terlampau sensitif

10
3. Dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan residu /
rekuren, dengan Nasoendoskopi Nasofaring menonjol.

2.7 PATOLOGIS
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing
squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge
atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai
dengan batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated
carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran
besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan
infiltrasi sel-sel radang limfosit.7

Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi


Keratinizing squamous cell carcinoma, Non keratinizing squamous cell
Carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan Basaloid
Carcinoma.7

2.8 KLASIFIKASI STADIUM


Menurut AJCC, Edisi 7, 2010 klasifikasi stadim KNF8 :
Stadium 1 T1 N0 M0
Stadium 2 T2 N0-1 M0
Stadium 3 T1-3 N0-2 M0
Stadium 4 T (apapun) N ( apapun) M (1)

Tumor Primer (T) :


 Tx Tumor tidak dapat dinilai
 T0 Tidak ada tumor
 T1 Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring
 T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau ke
cavum nasi

11
T2a Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b Dengan perluasan ke ruang parafaring
 T3 Tumor menyebrangi struktur tulang dan atau sinus
paranasalis
 T4 Tumor meluas ke intrakranial, dan atau melibatkan saraf
kranial,
hipofaring, fossa infratemporal

KGB Regional (N) :


 Nx Pembesaran KGB tidak dapat dinilai
 N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
 N1 Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring
 N2 Metastasis unilateral dengan KGB < 6cm diatas fossa
supraklavikula
 N3 Metastasis nilateral dengan KGB > 6cm terletak di fossa
Supraklavikula
N3a > 6cm
N3b meluas sampe ke fossa supraklavikula

Metastase Jauh (M) :


 Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
 M0 Tidak ada metastasis jauh
 M1 Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring

2.9 DIAGNOSIS BANDING


 Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring
umumnya pada usia sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi
pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang

12
menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat itu, bila terjadi
ulserasi, perdarahan maka perlu biopsi untuk membedakannya.2
 TB Nasofaring
Umumnya pada usia muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal
atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor,
bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegagkkan
apakah terdapat TB dan kanker bersama-sama atau apakah terjadi reaksi
tuberkuloid akibat kanker nasofaring.2
 Limfoma Malignum
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher
dapat mengenai banyak lokasi. Secara bersamaan dapat terjadi
pembesaran kelenjar limfe aksila, inguinal, mediastinum dll.
Konsistensi tumor agak lembek dan mobile.2
 Angiofibroma Nasofaring
Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari
wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna
mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di
permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai
penyakit ini, hati-hati dalam melakukan biopsi karena mudah terjadi
perdarahan masif.2

2.10 PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi.

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting


dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama
untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi.3

2. Kemoterapi

13
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada
stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.3

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi
merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang
kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi
dengan cara lain.3

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan


didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.
Penatalaksanaan sesuai Stadium
Stadium I T1 N0 MO Radioterapi
Stadium II T2 N0-1 M0 Kemoradiasi
Stadium III T1-3 N0-2 M0 Kemoradiasi
Stadium IV Dengan N < 6cm Kemoradiasi
Dengan N < 6cm Kemoterapi +
kemoradiasi

Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak
mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita
kerusakan terlalu berat.Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga
radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.Radiasi pada jaringan dapat
menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra

14
seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat
bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi3 :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih
rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak
yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang
masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri.
Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker.
Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.3
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor,
makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit
80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan
angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%.
Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa
faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.3

Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor
primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO3 :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang
besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau
lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau
lebih.

15
Komplikasi radioterapi
Komplikasi radioterapi dapat berupa3 :
1. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
 Xerostomia – Mual-muntah
 Mukositis – Anoreksi
 Dermatitis
 Eritema
2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
 Kontraktur
 Gangguan pertumbuhan
 dll

Kemoterapi
Penatalaksanaan KNF pada stadium lanjut, kemoterapi dikombinasikan
dengan radioterapi. Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang
rekuren atau yang telah bermetastasis.
Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu
struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Anti metabolit bekerja dengan
menghambat biosintesis purin atau piramidin, sehingga dapat mengubah struktur
DNA dan menahan replikasi sel (Lika, 1999). Kemoterapi yang paling sering
digunakan adalah kombinasi antara Cisplatin dan 5-fluoruracil (5-FU). Cisplatin
bekerja sebagai sitotoksik juga radiosensitisizer.
Cara pemberian kemoterapi terbagi 3 cara, yaitu:
1. Kemoterapi neoadjuvant yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan
dan radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvantdidasari atas pertimbangan
vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor
masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat

16
memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan
pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate
sebesar 80 %- 90 % dan CR (Complete Response) sekitar 50%. Kemoterapi
neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).

2. Kemoterapi konkomitan
Yaitu kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi.
Dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan
dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel
kanker yang radioresisten menjadi lebih
sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja
sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang
hipoksik dan menghambat recoveryDNA pada sel kanker yang sublethal.

3. Kemoterapi adjuvant
Tujuan pemberian kemoterapi adjuvant adalah pemberian kemoterapi yang
dilakukan setelah radioterapi defenitif. Regimen kemoterapi yang dipakai
biasanya mengandung Cisplatin. Pemberian kemoterapi ini menunjukkan hasil
yang lebih baik untuk harapan hidup bebas penyakit dan pencegahan metastase
jauh.

2.11 Pencegahan1
 Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan risiko tinggi
 Mengurangi konsumsi ikan asin
 Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
 Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol
stress
 Berolahraga secara teratur

17
2.12 Prognosis
Menurut AJCC Cancer Staging Edisi ke 7 tahun 2010 mengklompokkan
angka harapan hidup 5 tahun kedepan pada KNF6 :
Stadium Angka harapan hidup 5 tahun :
Stadium I 72%
Stadium II 64%
Stadium III 62%
Stadium IV 38%

18
BAB III
KESIMPULAN

Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang sering


ditemukan yang timbul pada epithelial pelapis ruangan di belakang hidung
(nasofaring). Penyebab KNF bersifat multifaktorial, dikaitkan dengan adanya
interaksi antara infeksi kronik onkogenik gamma herpes virus Epstein-Barr virus
yang mana virus Epstein-Barr telah menginfeksi lebih dari 95% populasi dunia.
Selain itu faktor lingkungan dan faktor genetik, juga terlibat dalam proses
multistep karsinogenik.

Gejala KNF dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu Gejala Hidung


(epistaksis ringan, sumbatan hidung), Gejala telinga (tinitus, menurunnya
kemampuan pendengaran, rasa nyeri ditelinga), Gejala Mata (diplopia), Gejala
Saraf (neuralgia trigeminal, sindrom Jackson).

Untuk menegakkan diagnosis pada KNFsangat sulit maka dari itu


diperlukan pemeriksaan biopsi bisa melalui hidung ataupun mulut untuk
mengetahui jenis sel pada jaringan kanker dan sekitarnya yang akan diperiksakan
di laboratorium. Diperlukan juga pemeriksaan serologi yaitu titer antibodi (Viral
Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA (Early Antigen-Imunoglobulin) EA-
IgA dan EBV-DNAseAb sebagai indikator untuk menegakkan diagnosa KNF.

Penatalaksanaan untuk KNF dapat berupa radioterapi, kemoterapi,


kemoradiasi. Pengobatan tergantung kepada stadium KNF itu sendiri. Walau
secara klinis prognosis KNF sendiri adalah buruk akan tetapi semakin cepat
didiagnosa dan dilakukan pengobatan maka akan semakin tinggi tingak harapan
hidup 5 tahun kedepan.

19
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin, A. dan Adham, M. Karsinoma Nasofaring. In Soepardi, E.A.,
et al (eds.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh
2. Desen, W., et al. Tumor di Kepala dan leher. In Desen, W. (ed) Buku
Ajar Onkologis Klinis Edisi 2. Jakarta: FK UI. 2011
3. Harry, Asroel. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma
Nasofaring. Refarat. Medan: FK USU. 2002
4. Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005
5. Arif Mansjoer, et al. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI Hal 371-396
6. American Cancer Society. 2013. Nasopharyngeal Cancer.
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-
pdf
7. Faiza, Shofi. Karateristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring
di Bagian THT-KL RSUP Dr. Syaiful Djamil Padang. Padang:Jurnal
Kesehatan Andalas.
2016.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=421625&v
al=7288&title=Karakteristik%20Klinis%20dan%20Patologis%20Kar
sinoma%20Nasofaring%20di%20Bagian%20THT-
KL%20RSUP%20Dr.M.Djamil%20Padang
8. KEMENKES. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker
Nasofaring. http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKKNF.pdf
9. Ariwibowo, Hendrawan. Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring. CDK-
2014 Vol.40 No 5 th 2013
10. Kentjono, Widodo Ari. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan
Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Volume
14, Nomer 2. Juli 2013

20

Anda mungkin juga menyukai