Anda di halaman 1dari 9

PRINSIP PENGGUNAAN ANTIMIKROBA  

PADA PENYAKIT KRITIS 
Rovina Ruslami

PENDAHULUAN

P engobatan infeksi dengan sepsis pada penyakit kritis masih merupakan


tantangan bagi para klinisi karena masih tingginya morbiditas dan
mortalitas. Pada penanganan penyakit kritis pemberian antimikroba (AM)
secara dini dan tepat merupakan salah satu pilar penting disamping
penanganan sumber infeksi1. Oleh karena itu optimalisasi penggunaan AM
merupakan prioritas dalam pengelolaan penyakit kritis. Optimalisasi
penggunaan AM sangat penting untuk memaksimalkan luaran terapi, tanpa
harus meningkatkan resiko mengalami toksisitas dan meminimalkan resiko
resistensi AM. Pemahaman akan konsep farmakokinetik (pharmacokinetic=PK)
dan farmakodinamik (pharmacodynamic=PD) atau yang dikenal dengan
konsep PK/PD suatu AM dapat membantu kita dalam menggunakan AM
secara tepat.

KONSEP PK/PD ANTIMIKROBA

Antimikroba (AM) merupakan obat dengan karakteristik yang khas,


targetnya adalah mikroorganisme, dan daya bunuhnya tergantung kepada
karakter PK/PD nya. Berbicara mengenai PK suatu AM adalah membicarakan
mengenai absorbsi suatu AM (termasuk cara pemberian), bagaimana AM itu
terdistribusi dalam tubuh, dimetabolisme dan dieliminasi dari tubuh. Di
dalam PK dikenal istilah-istilah seperti Cmax(maximum concentration:
konsentrasi puncak), AUC0-24(Area Under the Curve: menggambarkan seberapa
besar tubuh pasien terpapar AM yang diberikan pada rentang waktu 24 jam),
Tmax(waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi puncak), Vd
(volume of distribution: menggambarkan seberapa luas suatu AM tersebar
dalam tubuh), T½ (half life = waktu paruh: waktu yang diperlukan untuk
membuat konsentrasi suatu obat menjadi setengahnya); yang berhubungan

47 
dengan Cl (Clearance: menggambarkan besarnya bersihan tubuh dari suatu
AM). Secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Parameter Farmakokinetik dan kurva AUC

Sehubungan dengan daya bunuh AM terhadap mikroorganisme, dikenal


istilah MIC (Minimal Inhibitory Concentration: menggambarkan berapa
konsentrasi minimal yang dibutuhkan untuk menekan pertumbuhan mikro-
organisma secara in vitro) dan istilah MPC (Mutant Prevention Concentration:
berapa konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya muatsi suatu
mikroorganisme). MPC lebih besar dari MICdengan konsekuensi logis
dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai suatu MPC (gambar 1).
Berbicara mengenai PD atau daya bunuh AM terhadap mikroorganisme
yang merupakan targetnya, suatu AM bisa bersifat concentration-dependent
dimana daya bunuhnya berhubungan dengan seberapa tinggi konsentrasinya
di dalam tubuh; makin tinggi konsentrasi AM, makin besar daya bunuhnya.
Contoh AM yang bersifat concentration-dependent adalah aminoglikosida2.
AM lain bisa bersifat time-dependent dimana daya bunuhnya lambat
dan terus menerus2,3, karena mekanisme kerjanya adalah menghambat
pertumbuhan mikroorganisme baru. Efeknya berhubungan dengan seberapa
lama AM berada di dalam tubuh dengan kadar tertentu yang efektif menekan
pertumbuhan mikroorganisme; makin lama suatu AM berada di atas kadar

48 
efektif maka makin baik daya penekanan pertumbuhan mikroorganisme.
Contoh AM yang bersifat time-dependent adalah golonganB-lactam. Untuk
AM golongan ini, tidak diperlukan konsentrasi AM yang tinggi; daya bunuh
akan maksimal pada konsentrasi AM sekitar 4-5x MIC4. Jika konsentrasi AM
berada dibawah MIC, mikroorganisme akan langsung mengalami pertumbuhan,
sebaliknya konsentrasi jauh di atas MIC tidak akan memberikan nilai tambah
dari segi efikasi4.
Disamping itu, AM juga mempunyai sifat yang disebut dengan PAE
(Post Antibiotic Effect), dimana AM masih mempunyai kemapuan menekan
pertumbuhan mikroorganisme sekalipun kadarnya di dalam darah sudah
tidak ada. Sifat PAE ini umumnya dimiliki oleh AM yang bersifat
concentration-dependent, sedangkan AM yang bersifat time-dependent tidak
memiliki PAE. PAE berhubungan dengan tingginya Cmax dan lamanya waktu
tubuh bebas dari AM2,4.
Keberhasilan terapi (efikasi) berhubungan dengan besarnya potensi
suatu AM dalam membunuh mikroorganisme. Parameter yang paling tepat
dalam menggambarkan besarnya potensi suatu AM adalah: Cmax/MIC atau
AUC/MIC untuk concentration-dependent AM, (%) T>MIC untuk time-
dependent AM (berapa lama dalam 24 jam suatu AM konsentrasinya
bearada diatas MIC)5.Tabel 1 memperlihatkan profil farmakodinamik yang
berhubungan dengan efikasi suatu AM

Tabel 1. Hubungan profil farmakodinamik dengan efikasi beberapa AM5

49 
Perubahan PK/PD Antimikroba pada penyakit kritis
Pada kondisi sepsis terjadi perubahan fisiologis tubuh yang
menyebabkan berubahnya parameter farmakokinetik, yang selanjutnya akan
mempengaruhi juga farmakodinamik dan efikasi suatu AM5.

Gambar 2. Efek sepsis terhadap kadar AM dalam darah5

Gambar 2 memperlihatkan efek sepsis terhadap konsentrasi AM dalam


darah secara skematis. Pada fase awal terjadi peningkatan hemodinamik
sebagai respons tubuh terhadap infeksi; akibatnya Vd meningkat, Cl juga
meningkat. Kondisi ini menyebabkan lebih rendahnya konsentrasi AM di
dalam darah pada pemberian AM dengan dosis tetap. Sebaliknya pada fase
lanjut dimana sudah terjadi disfungsi organ metabolisme dan ekskresi (hati
dan ginjal) maka Cl akan menurun dan T½ akan memanjang. Kondisi ini
menyebabkan lebih tingginya konsentrasi AM dalam darah pada pemberian
AM dengan dosis yang tetap/sama dibanding pasien yang tidak dalam
kondisi kritis.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pemberian suatu AM perlu
dimodifikasi pada penyakit kritissupaya luaran terapi adalah kesembuhan
bagi pasien, bukan kegagalan terapi akibat kadar yang suboptimal, atau
malah toksisitas5. Pada sepsis tahap awal perlu dipertimbangkan peningkatan

50 
dosis AM supaya konsentrasinya tidak menjadi suboptimal; sedangkan pada
sepsis tahap lanjut perlu dipertimbangkan penyesuaian cara pemberian AM
supaya konsentrasi AM tetap optimal namun tidak menimbulkan toksisitas.

PENYESUAIAN DOSIS AM PADA PASIEN DENGAN KONDISI


KRITIS

Penyesuaian dosis suatu AM adalah berdasarkan karakteristik PK/PD


nya. Prinsip utama adalah tetap memberikan dosis inisial (dosis penuh)
berupa bolus untuk mencapai konsentrasi puncak yang diharapkan dengan
segera, dan dilanjutkan dengan pemberian dosis pemeliharaan yang dihitung
berdasarkan kebutuhan harian pasien dengan mempertimbangkan fungsi
ginjal (klirens kreatinin).Pada AM golongan B-lactam yang relatif lebih
aman, penyesuaian dosis baru dilakukan jika klirens kreatinin menurun
cukup signifikan (biasanya jika sudah <50%).
Untuk AM golongan concentration-dependent (seperti aminoglikosida),
diperlukan konsentrasi AM yang cukup agar efikasinya terjaga. Walaupun
diketahui aminoglikosida bersifat nefrotoksik, diekskresi melalui ginjal, dan
pasien dengan kondisi kritis sering mengalami gangguan fungsi ginjal,
namun penyesuaian dosis yang paling tepat adalah:“dengan tetap memberikan
dosis penuh setiap kali pemberiandengan memperpanjang interval pemberian”6.
Setelah dosis awal diberikan secara bolus, diikuti dengan pemberian dosis
pemeliharaan (setelah dihitung kebutuhan harin) dengan dosis penuh juga,
namun dengan interval yang diperpanjang. Walau interval pemberian diper-
panjang, dengan adanya PAE maka penekanan pertumbuhan AM tetap
terjadi2,4. Pemberian dengan interval yang sama namun dengan dosis yang
lebih kecil akan menghasilkan konsentrasi yang lebih rendah sehingga daya
bunuh terhadap mikroorganisme juga akan lebih rendah (efikasi lebih
rendah) sehingga luaran terapi lebih buruk.
Sedangkan untuk AM yang bersifat time-dependent (seperti B-lactam)
meyakinkan kondisi kadar obat selama mungkin di atas MIC adalah lebih
utama. Hal ini dapat dicapai dengan “pemberian kebutuhan harian (dosis
pemeliharaan) secara continuous infusion setelah pemberian bolus”7-9.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan cairan pelarut, dan
kestabilan obat pada suhu kamar; kondisi ini tidak sama untuk setiap AM.
Untuk AM yang tidak stabil pada suhu kamar dalam waktu yang lama, tidak

51 
dianjurkan pemberian secara continuous infusion(misalnya amoxicillin,
imipenem)3. Meropenem hanya stabil pada suhu kamar sekitar 8 jam, maka
pemberian untuk AM ini dilakukan secara bolus intermittent3 atau extended
infusion(pemberian selama 3 jam – setiap 8 jam). Pemberian meropenem
secara extended infusion lebih baik dibanding pemberian secara bolus
intermittent10

PEMBERIAN ANTIMIKROBA PADA POPULASI KHUSUS

Pada populasi khusus dimana terdapat perubahan farmakokinetik suatu AM,


maka pemberian suatu AM dengan dosis yang sama akan menghasilkan
konsentrasi AM yang mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari yang
diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dosis pemeliharaan, dan
atau waktu pemberian AM.
1. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal/renal replacement therapy
Untuk AM yang ekskresi utamanya melalui ginjal, dosis pemeliharaan
dihitung sesuai dengan kondisi ginjal (tergambar dari GFR atau klirens
kreatinin); sedangkan untuk AM yang ekskresi terutama melalui sistem
bilier, tidak memerlukan penyesuaian dosis pemeliharaan11.Klirens
kreatinin dihitung dengan memakai rumus Cocroft-Gault12:
Klirens kreatinin = (140-usia) x berat badan (x 0,85 jika pasien wanita)
72 x kreatinin serum
12
Dosis pemeliharaan = dosis normal x klirens kreatinin pasien
klirens kreatinin normal
Cara pemberian dosis pemeliharaan adalah mengikuti karakteristik AM
(concentration-dependent atau time-dependent) seperti telah diuraikan di
atas. Jika pasien mengalami dialisis (renal replacement therapy), perlu
diperhatikan waktu pemberian; untuk AM yang terdialisis (dialyzable)
maka pemberian hendaknya sesudah pasien mengalami dialisis, atau
perlu diberikan dosis tambahan setelah pasien mengalami dialisis.
2. Pasien dengan Obesitas
Pasien dengan obesitas mempunyai jaringan lemak yang lebih banyak,
sehingga obat-obat yang bersifat lipofilik (seperti golongan benzodiazepin)
akan mengalami peningkatan Vd yang akhirnya akan menurunkan
efikasi. Selain itu pada pasien dengan obesitas jumlah cairan interstisial

52 
jugaa meningkat yang menyeebabkan Vd obat yang bersifat b hidrofilik
perti aminogllikosida) jugaa akan meniingkat. Pada obesitas klirens
(sep
ginjal juga meniingkat. Sehinngga pasien dengan obesitas memerluukan
penyyesuaian dosiis yaitu penammbahan dosis13 1
.
Padaa prinsipnya penghitungan
p n dosis inisiall dan dosis peemeliharaan pada
p
pasien dengan obbesitas adalahh sama dengaan pasien lainnnya. Hanya pada p
pasien dengan obesitas, peerhitungan klirens k kreattinin tidak bisa
mennggunakan ruumus Cocrofft-Gault. Unntuk pasien dengan obessitas
(Berrat Badan passien > 130% Berat Badan Ideal) maka klirens kreattinin
dihittung dengan rumus
r Salazaar-Corcoran1131
, yaitu:

Keteerangan:
Wt: berat badan (kg)
(
Ht: tinggi
t badan= =TB (m)
Scr: kreatinin serrum

Sedaangkan penghhitungan beraat badan ideal (BBI) adalahh:


 BBI (laki-lakki) = 50 + 90,555 x [(TB (daalam meter) -1,524)]
 BBI (wanita)) = 45 + 90,555 x [(TB (dalaam meter) -1,524)]

Terapi Deeskalasi
D
Prrinsip terapi deeskalasi HANYA
H diinddikasikan untuk infeksi berat
b
yang bellum diketahui kuman penyeebabnya. Per definisi
d terapi deeskalasi addalah
pemberiian AM yangg lebih powerrful pada tahhap awal teraapi untuk periode
waktu yang
y singkat dan kemuddian segera mengganti
m deengan AM yang y
kurang powerful
p jikaa penyebab innfeksi sudah diketahui dann kondisi inffeksi
terkontrrol (Prinsip “hit hard, hit fast” dan d “magic bullet theorry”).
Disini pemberian
p AMM adalah secara empirik, berdasarkan
b p kuman lookal.
peta

53 
Dengan deeskalasi diharapkan luaran terapi dapat diperbaiki, resistensi AM
dapat ditekan dan juga memperbaiki cost-effectiveness.
Tahapannya adalah14:
1. Pemberian AM inisal yang adekuat dengan cara penggunaan AM dengan
spektrum luas
2. Lalu segera menyesuaikan dengan hasil mikrobiologi (kultur & test
sensitifitas kuman)

Untuk dapat dilaksanakannya terapi deeskalasi ini diperlukan penguatan


infrastruktur berupa sarana lab mikrobiologi yang memadai, meningkatkan
kesadaran seluruh tenaga kesehatan terlibat tentang pentingnya pengambilan
spesimen yang tepat dengan cara yang tepat, dan juga kepatuhan dokter
dalam mengikuti panduan (SOP) yang sudah dibuat tentang penggunaan AM.

RINGKASAN
Pada penyakit kritis terapi empiris hampir selalu menggunakan lebih
dari 1 macam AM dengan sifat PK/PD yang berbeda (concentration- &
time-dependent), dan pada saat inisiasi pemberian AM belum ada hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Pada pasien dengan penyakit kritis terjadi
perubahan fisiologis tubuh yang menyebabkan terjadinya perubahan PK/PD
suatu AM. Pemahaman konsep PK/PD akan membantu pencapaian luaran
terapi yang baik tanpa pasien harus mengalami toksisitas dan juga dapat
mencegah resistensi AM. Aplikasi konsep PK/PD pada penyakit kritis
adalah dengan memberikan AM golongan concentration-dependent dengan
dosis penuh dan memperpanjang interval pemberian, sedangkan untuk
golongan time-dependent pemberian secara continuous infusion (atau
extended infusion) lebih baik daripada intermittent bolus.

KEPUSTAKAAN
1. Garnacho-Montero J, Garcia-Garmendia JL, Barrero-Almodovar A, et al. Impact of
adequate empirical antibiotic therapy on the outcome of patients admitted to the
intensive care unit with sepsis. Crit Care Med 2003; 31:2742–2751
2. Craig WA. Pharmacokinetic/pharmacodynamics parameters: Rationale for
antibacterial dosing of mice and men. Clin Infect Dis1998; 26:1–10

54 
3. Mouton JW and Vinks AA. Continuous infusion of beta-lactams. Curropin in
Crit Care Med, 2007; 13: 598-606
4. Craig WA, Ebert SC. Killing and regrowth of bacteria in vitro: a review. Scand
J Infect Dis Suppl 1991;74:63–70.
5. Roberts JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotocs in the critically ill
patient. Crit Care Med, 2009; 37:840-56
6. Ali MZ, Goetz MB: A meta-analysis of the relative efficacy and toxicity of
single daily dosing versus multiple daily dosing of aminoglycosides. Clin Infect
Dis 1997; 24:796–809
7. Craig WA and Ebert SC. Continuous infusion of B-lactam antibiotics.
Antimicrob Agent Chemother, 1992; 36: 2577-83
8. McKinnon PS, Paladino JA, Schentag JJ. Evaluation of area under the
inhibitory curve (AUIC) and time above the minimum inhibitory concentration
(T _ MIC) as predictors of outcome for cefepime and ceftazidime in serious
bacterial infections. Int J Antimicrob Agents 2008; 31:345–351
9. Sofia K. Kasiakou AK, Lawrence KR, Choulis N, Falagas ME. Continuous
versus Intermittent Intravenous Administration of Antibacterials with Time-
Dependent Action. A Systematic Review of Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Parameters. Drugs 2005; 65 (17): 2499-2511
10. Lomaestro BM and Drusano GL. Pharmacodynamic Evaluation of Extending
the Administration Time of Meropenem using a Monte Carlo Simulation.
Antimicrob Agent Chemother, 2005; 49:461-3
11. Livornese LL, Slavin D, Gilbert B, et al: Use of antibacterial agents in renal
failure. Infect Dis Clin North Am 2004; 18:551–579
12. Dipiro JT, Spruill WJ, Wade WE, Blouin RA, Pruemer JM. Concepts in clinical
pharmacokinetics. 4th ed, 2005, American Society of Helath-System Pharmacist,
Inc.
13. Salazar DE, Corcoran GB: Predicting creatinine clearance and renal drug
clearance in obese patients from estimated fat-free body mass. Am J Med 84:
1053–1060, 1988
14. Kollef M. Why appropriate antimicrobial selection is important: Focus on
outcomes. In: Owens RC Jr, Ambrose PG, Nightingale CH., eds. Antimicrobial
Optimization: Concepts and Strategies in Clinical Practice. New York:Marcel
Dekker Publishers, 2005:41-64

55 

Anda mungkin juga menyukai