PADA PENYAKIT KRITIS
Rovina Ruslami
PENDAHULUAN
47
dengan Cl (Clearance: menggambarkan besarnya bersihan tubuh dari suatu
AM). Secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.
48
efektif maka makin baik daya penekanan pertumbuhan mikroorganisme.
Contoh AM yang bersifat time-dependent adalah golonganB-lactam. Untuk
AM golongan ini, tidak diperlukan konsentrasi AM yang tinggi; daya bunuh
akan maksimal pada konsentrasi AM sekitar 4-5x MIC4. Jika konsentrasi AM
berada dibawah MIC, mikroorganisme akan langsung mengalami pertumbuhan,
sebaliknya konsentrasi jauh di atas MIC tidak akan memberikan nilai tambah
dari segi efikasi4.
Disamping itu, AM juga mempunyai sifat yang disebut dengan PAE
(Post Antibiotic Effect), dimana AM masih mempunyai kemapuan menekan
pertumbuhan mikroorganisme sekalipun kadarnya di dalam darah sudah
tidak ada. Sifat PAE ini umumnya dimiliki oleh AM yang bersifat
concentration-dependent, sedangkan AM yang bersifat time-dependent tidak
memiliki PAE. PAE berhubungan dengan tingginya Cmax dan lamanya waktu
tubuh bebas dari AM2,4.
Keberhasilan terapi (efikasi) berhubungan dengan besarnya potensi
suatu AM dalam membunuh mikroorganisme. Parameter yang paling tepat
dalam menggambarkan besarnya potensi suatu AM adalah: Cmax/MIC atau
AUC/MIC untuk concentration-dependent AM, (%) T>MIC untuk time-
dependent AM (berapa lama dalam 24 jam suatu AM konsentrasinya
bearada diatas MIC)5.Tabel 1 memperlihatkan profil farmakodinamik yang
berhubungan dengan efikasi suatu AM
49
Perubahan PK/PD Antimikroba pada penyakit kritis
Pada kondisi sepsis terjadi perubahan fisiologis tubuh yang
menyebabkan berubahnya parameter farmakokinetik, yang selanjutnya akan
mempengaruhi juga farmakodinamik dan efikasi suatu AM5.
50
dosis AM supaya konsentrasinya tidak menjadi suboptimal; sedangkan pada
sepsis tahap lanjut perlu dipertimbangkan penyesuaian cara pemberian AM
supaya konsentrasi AM tetap optimal namun tidak menimbulkan toksisitas.
51
dianjurkan pemberian secara continuous infusion(misalnya amoxicillin,
imipenem)3. Meropenem hanya stabil pada suhu kamar sekitar 8 jam, maka
pemberian untuk AM ini dilakukan secara bolus intermittent3 atau extended
infusion(pemberian selama 3 jam – setiap 8 jam). Pemberian meropenem
secara extended infusion lebih baik dibanding pemberian secara bolus
intermittent10
52
jugaa meningkat yang menyeebabkan Vd obat yang bersifat b hidrofilik
perti aminogllikosida) jugaa akan meniingkat. Pada obesitas klirens
(sep
ginjal juga meniingkat. Sehinngga pasien dengan obesitas memerluukan
penyyesuaian dosiis yaitu penammbahan dosis13 1
.
Padaa prinsipnya penghitungan
p n dosis inisiall dan dosis peemeliharaan pada
p
pasien dengan obbesitas adalahh sama dengaan pasien lainnnya. Hanya pada p
pasien dengan obesitas, peerhitungan klirens k kreattinin tidak bisa
mennggunakan ruumus Cocrofft-Gault. Unntuk pasien dengan obessitas
(Berrat Badan passien > 130% Berat Badan Ideal) maka klirens kreattinin
dihittung dengan rumus
r Salazaar-Corcoran1131
, yaitu:
Keteerangan:
Wt: berat badan (kg)
(
Ht: tinggi
t badan= =TB (m)
Scr: kreatinin serrum
Terapi Deeskalasi
D
Prrinsip terapi deeskalasi HANYA
H diinddikasikan untuk infeksi berat
b
yang bellum diketahui kuman penyeebabnya. Per definisi
d terapi deeskalasi addalah
pemberiian AM yangg lebih powerrful pada tahhap awal teraapi untuk periode
waktu yang
y singkat dan kemuddian segera mengganti
m deengan AM yang y
kurang powerful
p jikaa penyebab innfeksi sudah diketahui dann kondisi inffeksi
terkontrrol (Prinsip “hit hard, hit fast” dan d “magic bullet theorry”).
Disini pemberian
p AMM adalah secara empirik, berdasarkan
b p kuman lookal.
peta
53
Dengan deeskalasi diharapkan luaran terapi dapat diperbaiki, resistensi AM
dapat ditekan dan juga memperbaiki cost-effectiveness.
Tahapannya adalah14:
1. Pemberian AM inisal yang adekuat dengan cara penggunaan AM dengan
spektrum luas
2. Lalu segera menyesuaikan dengan hasil mikrobiologi (kultur & test
sensitifitas kuman)
RINGKASAN
Pada penyakit kritis terapi empiris hampir selalu menggunakan lebih
dari 1 macam AM dengan sifat PK/PD yang berbeda (concentration- &
time-dependent), dan pada saat inisiasi pemberian AM belum ada hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Pada pasien dengan penyakit kritis terjadi
perubahan fisiologis tubuh yang menyebabkan terjadinya perubahan PK/PD
suatu AM. Pemahaman konsep PK/PD akan membantu pencapaian luaran
terapi yang baik tanpa pasien harus mengalami toksisitas dan juga dapat
mencegah resistensi AM. Aplikasi konsep PK/PD pada penyakit kritis
adalah dengan memberikan AM golongan concentration-dependent dengan
dosis penuh dan memperpanjang interval pemberian, sedangkan untuk
golongan time-dependent pemberian secara continuous infusion (atau
extended infusion) lebih baik daripada intermittent bolus.
KEPUSTAKAAN
1. Garnacho-Montero J, Garcia-Garmendia JL, Barrero-Almodovar A, et al. Impact of
adequate empirical antibiotic therapy on the outcome of patients admitted to the
intensive care unit with sepsis. Crit Care Med 2003; 31:2742–2751
2. Craig WA. Pharmacokinetic/pharmacodynamics parameters: Rationale for
antibacterial dosing of mice and men. Clin Infect Dis1998; 26:1–10
54
3. Mouton JW and Vinks AA. Continuous infusion of beta-lactams. Curropin in
Crit Care Med, 2007; 13: 598-606
4. Craig WA, Ebert SC. Killing and regrowth of bacteria in vitro: a review. Scand
J Infect Dis Suppl 1991;74:63–70.
5. Roberts JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotocs in the critically ill
patient. Crit Care Med, 2009; 37:840-56
6. Ali MZ, Goetz MB: A meta-analysis of the relative efficacy and toxicity of
single daily dosing versus multiple daily dosing of aminoglycosides. Clin Infect
Dis 1997; 24:796–809
7. Craig WA and Ebert SC. Continuous infusion of B-lactam antibiotics.
Antimicrob Agent Chemother, 1992; 36: 2577-83
8. McKinnon PS, Paladino JA, Schentag JJ. Evaluation of area under the
inhibitory curve (AUIC) and time above the minimum inhibitory concentration
(T _ MIC) as predictors of outcome for cefepime and ceftazidime in serious
bacterial infections. Int J Antimicrob Agents 2008; 31:345–351
9. Sofia K. Kasiakou AK, Lawrence KR, Choulis N, Falagas ME. Continuous
versus Intermittent Intravenous Administration of Antibacterials with Time-
Dependent Action. A Systematic Review of Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Parameters. Drugs 2005; 65 (17): 2499-2511
10. Lomaestro BM and Drusano GL. Pharmacodynamic Evaluation of Extending
the Administration Time of Meropenem using a Monte Carlo Simulation.
Antimicrob Agent Chemother, 2005; 49:461-3
11. Livornese LL, Slavin D, Gilbert B, et al: Use of antibacterial agents in renal
failure. Infect Dis Clin North Am 2004; 18:551–579
12. Dipiro JT, Spruill WJ, Wade WE, Blouin RA, Pruemer JM. Concepts in clinical
pharmacokinetics. 4th ed, 2005, American Society of Helath-System Pharmacist,
Inc.
13. Salazar DE, Corcoran GB: Predicting creatinine clearance and renal drug
clearance in obese patients from estimated fat-free body mass. Am J Med 84:
1053–1060, 1988
14. Kollef M. Why appropriate antimicrobial selection is important: Focus on
outcomes. In: Owens RC Jr, Ambrose PG, Nightingale CH., eds. Antimicrobial
Optimization: Concepts and Strategies in Clinical Practice. New York:Marcel
Dekker Publishers, 2005:41-64
55