Anda di halaman 1dari 15

BUNDEL RESUSITASI SEPSIS BERAT DAN 

REKOMENDASI TERAPI SEPSIS 2012 
Pratista Hendarjana

MEMAHAMI KONSEP BUNDEL

B undel (untuk penyakit tertentu) adalah penggabungan elemen elemen


terapi untuk penyakit tersebut yang dilaksanakan bersamaan. Hasil
yang diperoleh dengan melaksanakan bundel lebih baik dibanding jika
dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Elemen elemen didalam bundel di-
dasarkan atas bukti klinis yang terbaik dan kuat, sehingga implementasinya
dianggap sebagai praktek terbaik atau masuk akal dan secara umum dapat
diterima.
Bundel Sepsis berat telah diperbaharui dan disempurnakan pada tahun
2012 sesuai dengan perubahan-perubahan pada pedoman intenasional
pengelolaan sepsis berat dan syok septik. Perubahan dari versi sebelumnya
yaitu memodifikasi bundel resusitasi menjadi dua bundel yaitu : bundel
resusitasi 3 jam pertama untuk sepsis berat dan bundel resusitasi 6 jam
berikutnya untuk syok septik.

Bundel resusitasi sepsis berat 3 Jam :


Target bundel ini harus selesai dalam waktu 3 jam sejak terdiagnosis sepsis
berat.
Terdiri dari :
1. Mengukur kadar laktat darah
2. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan kultur sebelum pemberian
antibiotik
3. Pemberian antibiotik spektrum luas
4. Apabila terjadi hipotensi atau kadar laktat darah ≥ 4 mmol/L diberikan
kristaloid 30 mL/kgbb

66 
Bundel resusitasi syok septik 6 Jam :
Target bundel ini harus selesai dalam waktu 6 jam.
Terdiri dari :
1. Pemberian vasopresor pada keadaan hipotensi yang gagal diatasi dengan
resusitasi cairan agar tekanan arteri rata-rata (MAP ) ≥ 65 mm Hg.
2. Apabila masih terjadi hipotensi arteri meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan (syok septik) atau konsentrasi awal laktat darah ≥ 4 mmol / L (36
mg / dL), lakukan:
a . Ukur tekanan vena sentral ( CVP )
b . Ukur saturasi oksigen vena sentral ( ScvO2 )
3. Periksa ulang kadar laktat darah apabila kadarnya meningkat sejak awal.

BUNDEL RESUSITASI SEPSIS BERAT 3 JAM

1. Mengukur konsentrasi laktat


Hiperlaktatemia biasanya timbul pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septik yang mungkin terjadi sekunder karena metabolisme anaerobik akibat
hipoperfusi atau faktor lainnya yang komplek. Meningkatnya kadar laktat
darah dan teristimewa yang bertahan lama telah terbukti memiliki nilai
prognostik yang lebih baik daripada variabel oksigen. Memantau kadar
laktat adalah penting untuk mengidentifikasi hipoperfusi jaringan pada
pasien yang belum hipotensi tetapi memiliki resiko terjadi syok septik .
A. Keterbatasan
Penafsiran nilai kadar laktat darah pada pasien sepsis tidak selalu mudah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kadar laktat darah yang tinggi
mungkin terjadi akibat kegagalan metabolisme seluler dan tidak semata
akibat hipoperfusi global. Kadar laktat darah yang tinggi juga bisa terjadi
akibat penurunan bersihan laktat oleh hati. Apapun penyebabnya,
peningkatan kadar laktat darah pada pasien sepsis mengharuskan untuk
dilakukan resusitasi yang agresif.

67 
B. Implikasi
Mengingat risiko kematian yang tinggi pada pasien dengan syok septik,
maka semua pasien dengan kadar laktat darah > 4 mmol/L (36 mg/dL)
segera dilakukan resusitasi sesuai dengan pedoman early goal-directed
therapy (EGDT) yang merupakan bagian dari bundel resusitasi syok sepik 6
jam, tanpa melihat tekanan darahnya. Bila terjadi hipotensi dan disertai
dengan peningkatan kadar laktat darah (≥ 4 mmol) maka angka kematian
berkisar 46,1%, bila hanya hipotensi saja berkisar 36,7%, dan bila hanya
peingkatan kadar laktat darah saja berkisar 30%.

C. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil.


Mengingat bahwa pemeriksaan kadar laktat darah merupakan hal yang
sangat penting, maka pemeriksaan ini harus sudah bisa terlaksana dalam
beberapa menit saja. Oleh karenanya rumah sakit harus menyediakan alat
pemeriksa kadar laktat darah, baik yang menyatu dengan mesin pemeriksa
gas darah ataupun yang terpisah sendiri.

D. Sampel darah arteri atau vena ?


Sampai sekarang masih belum ada kesepakatan atau konsensus mengenai hal
ini. Namun pengambilan sampel darah vena biasanya memerlukan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya dan seringkali pengambilannya
menggunakan cara pembendungan (tourniquet). Hal demikian tidak
dianjurkan untuk mengelola pasien sepsis/ sakit kritis, karena akan bias.
Walaupun kadar laktat darah yang meningkat bisa disebabkan oleh berbagai
macam keadaan (akibat obat2an, gangguan fungsi hati, hipoperfusi akibat
gagal jantung, dlsb), tetap saja harus ditelusuri untuk selanjutnya ditangani.

2. Pengambilan sampel darah untuk biakan (sebelum pemberian


antibiotik).
Walaupun hanya 30 % sampai 50 % pasien sepsis berat atau syok septik
memiliki biakan darah positif, biakan darah pada setiap pasien sepsis
sebaiknya tetap dikerjakan.

68 
Pengambilan contoh biakan darah sebaiknya sebelum pemberian antibiotika,
sebab bila diambil sesudah pemberian antibiotika maka akan menyebabkan
tidak terjadi pertumbuhan atau lambat terjadi pertumbuhan.

A. Prinsip pengambilan sampel darah.


Minimal dua sampel darah diperlukan untuk kultur, satu pengambilan
langsung dari vena dan yang lainnya dari jalur infus yang terpasang > 48
jam. Bila dicurigai infeksinya sehubungan dengan jalur infus, maka sampel
darah yang diambil harus secara serentak bersamaan dari dua tempat yaitu
yang langsung dan yang melalui sambungan jalur infus. Bila hasil yang
berasal dari jalur infus tumbuh lebih cepat ( 2 jam ) dibanding yang dari
darah, maka kemungkinan besar sumber infeksi adalah dari jalur infus.
Sampel yang berasal dari urine, cairan otak, sekret luka, sekret jalan nafas /
paru dan dari cairan tubuh lainnya yang diduga sebagai sumber infeksi,
kultur sebaiknya dikerjakan secara kuantitatif.

B. Waktu pengambilan.
Pengambilan biakan darah sebaiknya dilakukan pada pasien yang demam,
menggigil, hipotermia, leukositosis, pergeseran neutrofil ke kiri, neutropenia
dan terjadi gangguan fungsi organ yang tidak jelas penyebabnya (misalnya,
gagal ginjal atau tanda-tanda ganguan hemodinamik) Sampel darah
sebaiknya diambil pada saat demam atau menggigil.
Meskipun sulit untuk memprediksi bakteremia pada pasien sepsis,
sebenarnya beberapa parameter klinis dan laboratoris secara independen
berkorelasi dengan bakteremia, seperti menggigil, hipoalbuminemia, gagal
ginjal dan infeksi saluran kemih Tanda lain seperti demam baru ,hipotermia,
leukositosis dan neutrofil bergeser ke kiri, neutropenia, dan tanda-tanda
gangguan hemodinamik. Demam tinggi lebih sensitif dibanding dengan
leukositosis, namun demam yang tidak terlalu tinggi yang terus menerus,
bisa terjadi pada pasien endokarditis .

69 
3 . Pemberian antibiotik spektrum luas
A. Waktu pemberian antibiotik
Antibiotika harus segera diberikan setelah diagnose sepsis ditegakkan.
Pembeian antibiotika awal yang memadai mengurangi kematian akibat
sepsis baik yang disebabkan oleh kuman gram negatif ataupun positif.
Pemberian antibiotika awal adalah secara empiris sambil menunggu
kepastian jenis antibiotika selanjutnya. Walaupun secara empiris, namun
setidaknya harus didasarkan atas perkiraan penyebab sepsis dan jenis kuman
yang sering terjadi.
Penyebab yang sering adalah berasal dari paru (pneumonia) atau infeksi intra
abdomen. Penyebab dari sumber yang lain biasanya < 5%.

B. Pemilihan Antibiotik.
Penentuan jenis antibiotika didasarkan atas pola kuman (pathogen) di sekitar
tempat pasien berada baik yang ada di masyarakat ataupun di rumah sakit.
Selain itu, penentuan antibiotika juga harus melalui pertimbangan keadaan
pasien, penyakit2 yang menyertainya, faktor alergi dan fungsi organ
terutama ginjal dan hati.
Jenis antibiotika awal biasanya golongan spektrum luas agar bisa mencakup
untuk dugaan kuman penyebab.

C. Evaluasi terapi setelah 48 - 72 Jam


Segera setelah kuman penyebab diketahui maka jenis antibiotika harus
diganti sesuai hasil kepekaan. Dan biasanya cukup dengan spektrum sempit
serta obat tunggal (monoterapi). Hal ini penting untuk menghindari
terjadinya kekebalan kuman terhadap obat, mengurangi efek sampingan
serta menekan biaya.
Pemberian obat secara empiris hendaknya tidak > 3–5 hari. Sedang
pemberian obat yang definitive (yang sesuai dengan hasil uji kepekaan)
biasanya 7 – 10 hari. Pada keadaan2 tertentu bisa lebih lama, misalnya pada
pasien yang respon terhadap pengobatan berjalan lama, ada abses yang
belum teralirkan, bakteremia karena S. aureus, infeksi jamur, virus, keadaan
imunitas pasien yang jelak termasuk neutropenia.

70 
D. Dosis
Semua pasien harus menerima dosis awal antibiotika yang cukup. Namun,
karena pasien sepsis atau syok septik sering terganggu fungsi ginjal atau
hatinya dan memiliki volume distribusi yang tidak normal akibat resusitasi
cairan yang agresif , maka sebaiknya ahli farmakologi klinik ikut berperan
agar bisa dijamin kadar obat dalam darah mencukupi sehingga efektifitasnya
cukup

4 . Pemberian cairan kristaloid apabila terjadi hipotensi atau


konsentrasi laktat darah ≥ 4 mmol/L
A. Pemberian cairan awal
Pada kasus yang diduga hipovolemia atau kadar laktat darah > 4 mmol / L,
pemberian cairan harus segera dilakukan (bila perlu sebelum masuk di ICU).
Karena menentukan jumlah cairan yang akan diberikan secara pasti tidaklah
mudah, maka uji coba pemberian cairan perlu dilakukan. Pada awalnya
diberikan sebesar 30 ml / kg dan targetnya CVP ≥ 8 mmHg, Svs ≥ 70% serta
kadar laktat darah cenderung menurun hingga menjadi normal.
Dalam memberikan cairan awal ini harus mempertimbangkan beberapa hal
a.l.:
a. Jenis cairan.
b. Jumlah dan kecepatan pemberian (mis: 500 ml sampai 1000 ml dalam
waktu 30 menit).
c. Target yang ingin dicapai (mis : MAP > 65 mmHg, HR < 110 x / men).
d. Efek sampingan yang perlu diawasi (mis : edema paru).
Setelah pemberian cairan awal selesai dilanjutkan dengan jumlah selanjutnya
sesuai dengan target.

C. Jenis cairan : Kristaloid vs koloid


Sampai sekarang persoalan ini masih belum tuntas benar, karena beberapa
peneltian menunjukkan bahwa pada pasien sepsis yang diberi cairan
kristaloid atau koloid tidak berbeda bermakna dalam hal kematiannya.
Walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna namun pemberian
albumin 4% sedikit baik dibanding dengan NaCl 0,9%.
Pada akhir akhir ini penggunaan HES pada pasien sepsis berat atau pasien
sepsis dengan dugaan gangguan fungsi ginjal tidak dianjurkan, karena

71 
penelitian menunjukkan bahwa pasien pasien tersebut lebih banyak
memerlukan dialisa darah.

D. Target akhir resusitasi cairan


Tujuan pemberian cairan awal pada bundel resusitasi sepsis berat 3 jam
adalah untuk mengatasi hipotensi, oleh karena itu tidak menutup
kemungkinan untuk meneruskan pemberian cairan lagi pada bundel
resusitasi sepsis berat 6 jam beikutnya agar target akhir dari resusitasi cairan
tercapai. Pada awalnya target resusitasi adalah CVP dan SmvO2, namun
target akhir ini masih terus berkembang sehubungan dengan ditemukannya
pemantauan mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan. Misalnya, pada awalnya
target akhir adalah SmvO2 65%, namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa hal tersebut sesuai dengan SvsO2 75%. Oleh karena itu besarnya
angka sebagai target akhir dari resusitasi tidaklah mutlak mengingat bahwa
di tingkat regional sangat bervariasi. Yang perlu dicapai pada awalnya
adalah stabilnya hemodinamika dan variabel oksigenasi. Selanjutnya harus
disesuaikan dengan keadaan klinis pasien seperti MAP, produksi urine,
perfusi perifer, tingkat kesadaran dlsb.

E. Efek samping resusitasi cairan.


Pemantauan efek samping resusitasi cairan ( edema paru dlsb) mutlak harus
dilakukan. Tidak mudah untuk menentukan berapa banyak jumlah cairan
yang diperlukan, karena pasien sepsis sangat bervariasi keadaannya. Pasien
sepsis mengalami dilatasi sistem vena, kebocoran kapiler, gangguan fungsi
ginjal dlsb,, oleh karenanya penggunaan balans cairan (perbandingan antara
yang masuk dan keluar) tidak bisa digunakan sebagai pegangan.

BUNDEL RESUSISITASI SYOK SEPTIK 6 JAM


1 . Pemberian Vasopresor
Dasar pemikiran.
Agar terjadi perfusi yang baik diperlukan MAP ≥ 65 mmHg, yang bisa
dicapai dengan pemberian cairan dan atau vasopressor. Pemberian
vasopressor sebaiknya diberikan setelah didahului dengan pemberian cairan
yang diperkirakan sudah cukup namun MAP belum tercapai. Pemberian

72 
vasopressor pada keadaan yang masih hipovolemik akan merugikan bahkan
membahayakan terutama terhadap ginjal dan usus. Demikian juga pada
pasien dengan fungsi jantung yang kurang baik, sebab tekanan darah yang
meningkat akibat penggunaan vasopresor akan memperberat kerja jantung.

A.Pemantauan
Pemantauan hemodinamika pasien sepsis sangat penting karena hipotensi
merupakan ciri yang khas dan sering harus menggunakan vasopresor. Oleh
karena itu diperlukan pemantauan yang akurat serta terus menerus. Untuk
hal demikian pemantauan secara invasif melalui arteri radialis lebih tepat
disamping arteri femoralis. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa pada
keadaan tertentu (pasien masih hipovolemik dan mendapatkan vasopresor)
hasil pemantauan kedua tempat tersebut bisa berbeda.cukup bermakna.

B. Jenis Vasopresor
B.1. Norepinephrine (NE).
Merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi hipotensi pada pasien syok
septik. Obat ini bekerja di reseptor α adrenergic dan sedikit pada β
adrenergic, sehingga akan menyebabkan vasokonstriksi tanpa terlalu banyak
meningkatan HR. Dahulu dipercaya bahwa NE menyebabkan iskhemia pada
ginjal dan usus, namun sekarang terbukti sebaliknya asal pasien dalam
keadaan syok septik yang hiperdinamik. Sebab pada pasien demikian terjadi
penurunan filtrasi ditingkat glomerulus akibat tekanan aliran darah ke
glomerulus menurun. Dengan pemberian NE tekanan aliran darah ke
glomerulus diperbaiki sehingga flitrasinya membaik. Sebaliknya
penggunaan pada pasien yang hipovolemik akan menyebabkan perjelekan
fungsi ginjal walaupun tekanan darah sistemik meningkat.
Dibanding dengan dopamine, NE lebih efektif dalam mengatasi hipotensi
pasien syok septik.

B.2. Dopamin.
Merupakan obat vasopresor alternative setelah NE. Hanya digunakan pada
pasien dengan resiko takhiaritmia yang rendah dan bradiaritmia yang mutlak
atau relatif.

73 
Dopamin akan meningkatkan tekanan darah melalui stroke volume jantung
yang meningkat dan sedikit berefek pada tahanan pembuluh darah tepi.
Efek terhadap sirkulasi splanknik bervariasi. Dopamin dosis rendah akan
meningkatkan penyediaan oksigen sebesar 65% namun hanya meningkatkan
konsumsi oksigen sebesar 16%. Dopamine akan menurunkan pH lambung
dan juga mengganggu motilitas gastroduodenal.
Dopamine akan mempengaruhi respon inflamasi pasien syok septik melalui
pengeluaran beberapa hormone termasuk diantaranya hormone prolactin.
Efek terhadap hormone dari dopamine akan berakibat jelek pada pasien yang
mengalami trauma.
Berdasar beberapa efek dopamin yang masih kontroversi, mungkin
penggunaan pada pasien syok septik kurang baik atau potensial berbahaya.

C. Terapi kombinasi
Penggunaan terapi kombinasi kadang diperlukan. Untuk ini, kombinasi
dobutamin dengan NE lebih baik dibanding dengan kombinasi dopamine
dan NE atau hanya dopamin saja.

2.a. Mempertahankan tekanan vena sentral agar tetap cukup.


Setelah melakukan resusitasi cairan awal minimal 30 ml/kg untuk mengatasi
hipotensi, pemberian cairan mungkin masih harus dipenuhi agar cardiac
output mencukupi (prinsip preload, kontraktilitas dan afterload). Target CVP
≥ 8 mmHg.
Pada pasien yang mengalami hipovolemik dan anemik (Ht < 30%), pemberian
darah akan berefek ganda, yaitu meningkatkan volume dan meningkatkan
Hb, sehingga penyediaan oksigen dalam darah akan meningkat.

Hal yang harus diperhatikan.


Target CVP pada pasien dengan ventilator yang mendapat PEEP ialah 12 –
15 mmHg. Demikian juga bila pasien menunjukkan tekanan rongga perut
yang tinggi.

2.b. Mempertahankan saturasi oksigen vena sentral.


Teknik untuk mempertahankan ScvO2 mencakup dua strategi utama.
Stratedi yang pertama, jika pasien mengalami hipovolemik dan hematokrit

74 
kurang dari 30%, diberikan transfusi sel darah merah dengan syarat
resusitasi cairan telah mencapai nilai CVP > 8 mm Hg. Strategi yang kedua
dengan meningkatkan profil hemodinamik menggunakan inotropik. Dalam
beberapa kasus, curah jantung sendiri dapat berkurang karena disfungsi
jantung yang disebabkan oleh sepsis. Dalam kasus ini, pemberian dobutamin
(sampai maksimal 20 ug/ kgbb/min) diperlukan untuk meningkatkan suplai
oksigen ke jaringan dan mencegah disfungsi organ lebih lanjut karena
hipoperfusi dan iskhemia. Jika setelah terapi dobutamin masih terjadi
hipotensi, terapi norepinephrine harus diberikan untuk melawan efek
vasodilatasi dari dobutamin.
Pemberian inotropik cukup beralasan, karena pada kasus sepsis seringkali
terjadi gangguan fungsi kontraksi otot jantung. Namun perlu diingat bahwa
pemberian iniotropik pada kasus yang tidak menunjukkan penurunan cariac
output (untuk mencapai nilai supra normal) tidak dianjurkan.

3. Pemeriksaan ulangan kadar laktat darah.


Kadar laktat darah merupakan salah satu target keberhasilan resusitasi dan
bisa juga untuk menentukan prognosa. Oleh karena itu apabila pada awalnya
terjadi kenaikan kadar laktat darah pemeriksaan lanjutan sebagai
pemantauan hasil resusitasi harus dilakukan. Walaupun interpertasi
peningkatan kadar laktat darah yang meningkat bisa berbagai macam
kemungkinan, tetap saja pemeriksaan kadar laktat darah dilakukan.

Terapi lainnya yang dianjurkan:


1. Pemberian kortikosteroid
2. Penggunaan darah dan produk darah
3. Imunoglobulin
4. Selenium
5. Ventilasi mekanis pada pasien ARDS karena sepsis
6. Sedasi, Analgesia dan obat pelumpuh otot
7. Menjaga gula darah tetap terkontrol
8. Terapi pengganti ginjal
9. Profilaksis Deep Vein Thrombosis ( DVT )
10. Profilaksis penyakit ulkus peptikum ( PUD )
11. Nutrisi
12. Menetapkan tujuan perawatan

75 
1. Kortikosteroid
1. Jangan menggunakan hidrokortison intravena untuk terapi pasien
dewasa syok septik jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor sudah
dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik Apabila dengan cara
tersebut tidak bisa mencapai sasaran, bisa diberikan hidrokortison
intravena 200 mg/hari.
2. Tidak perlu melakukan tes stimulasi ACTH pada pasien dewasa syok
septik yang sebenarnya harus mendapatkan hidrokortison.
3. Apabila vasopresor sudah tidak diperlukan lagi, sebaiknya hidrokortison
diturunkan secara bertahap.
4. Kortikosteroid jangan diberikan pada pasien sepsis tanpa syok.
5. Pemberian hidrokortison lebih baik secara kontinyu dengan meng-
gunakan pompa infus dibanding dengan pemberian secara bolus
berulang .

2. Penggunaan darah dan atau produk darah


1. Transfusi sel darah merah diberikan bila kadar Hb < 7 gr% dengan
target 7– 9 gr% kecuali bila ada iskhemia miokardium, hipoksemia
berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung koroner.
2. Tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan anemia akibat
sepsis berat.
3. Fresh frozen plasma (FFP) tidak digunakan untuk memperbaiki
kelainan pembekuan darah (laboratorium) bila tidak ada perdarahan
atau hanya sebagai persiapan untuk prosedur invasif.
4. Antitrombin tidak digunakan pada sepsis berat dan syok septik.
5. Trombosit profilaksis diberikan bila jumlahnya < 10.000/mm3
(10x109/L) tanpa ada perdarahan atau bila < 20.000/mm3 (20x109/L)
namun terjadi pendarahan. Bila terjadi perdarahan aktif, tindakan
operasi atau tindakan prosedur invasive, sebaiknya jumlah trombosit ≥
50.000 / mm3 ( 50 x 109/L).

3. Immunoglobulin
Imunoglobulin intravena sebaiknya tidak digunakan pada pasien dewasa
yang sepsis berat atau syok septik.

76 
4. Selenium
Selenium intravena tidak digunakan untuk terapi pasien sepsis berat.

5. Pemakaian vetilasi mekanik pada pasien ARDS karena sepsis


1. Volume tidal yang digunakan untuk melakukan ventilasi mekanik
pada pasien ARDS akibat sepsis adalah 6 ml / kg berat badan ideal.
2. Tekanan plateau sebaiknya ≤ 30 cm H2O.
3. Tekanan positif akhir ekspirasi ( PEEP ) sebaiknya diberikan untuk
menghindari alveolar kolap dan terjadi atelektrauma.Dan PEEP tinggi
lebih disarankan disbanding PEEP rendah.
4. Bila terjadi hipoksemia berat yang refrakter sebaiknya dilakukan
tindakan rekruitmen paru dan bila PaO2/FiO2 ≤ 100 mm Hg
disarankan melakukan posisi tengkurap.
5. Untuk mencegah terjadinya ventilator associated pneumonia (VAP),
tempat tidur diposisikan 45o kepala lebih tinggi.
6. Pada sebagian kecil ARDS akibat sepsis, ada yang bisa diventilasi
secara non invasive (NIV), namun perlu dipertimbangakan untung
ruginya.
7. Bila memenuhi kriteria penyapihan hendaknya segera dilakukan
penyapihaan melalu protokol yang baku dengan berkali kali melatih
uji coba nafas spontan (spontaneous breathing trial = SBT).
Kriteria mulai proses penyapihan sebagai berikut :
a) sadar
b) hemodinamik stabil (tanpa vasopressor) ,
c) tidak ada hal baru yang bisa menyebabkan gangguan respirasi akut,
d) dukungan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi minimal dan
e) FiO2 yang rendah dan diprediksi bisa diberikan dengan cara
menggunakan sungkup atau kanul hidung setelah ekstubasi
8. Penggunaan kateter arteri paru untuk pasien ARDS karena sepsis,
secara rutin hendaknya dihindari.
9. Pemberian cairan pada pasien ARDS karena sepsis, sebaiknya dibatasi
kecuali bila ada tanda2 hipoperfusi.
10. Dengan tidak adanya indikasi spesifik seperti bronkospasme, β2
agonist tidak diberikan pada pasien ARDS karena sepsis.

77 
6. Sedasi, Analgesia, dan pelumpuh otot pada pasien sepsis
Pemberian sedasi baik secara kotinyu atau intermiten pada pasien yang
menggunakan ventilasi mekanik hendaknya dititrasi sesuai dengan target
yang ingin dicapai. Penggunaan NMBA pada pasien sepsis yang tidak
disertai ARDS sebaiknya dihindari karena bisa menyebabkan efek yang
berkepanjangan setelah penghentian penggunaannya. Kalau toh terpaksa
digunakan, hendaknya dipantau ketat sesuai target yang diinginkan dengan
menggunakan train of four. Penggunaannya hanya dalam waktu yang
singkat saja (≤ 48 jam) dan pada fase dini ARDS dimana PaO2/FiO2 < 150
mmHg.

7. Pengendalian gula darah


Pengelolaan gula darah dilakukan dengan standard prosedur yang ketat jika
kadar gula darah > 180 mg% dengan menggunakan insulin pompa infus.
Targetnya ialah ≤ 180 mg%. Pemantauan gula darah dilakukan setiap 1–2
jam pada awalnya dan bila keadaan sudah stabil dilakukan setiap 4 jam.
Didalam menginterpertasikan kadar gula darah yang berasal dari kapiler
harus hati-hati karena seringkali validitas untuk menggambarkan kadar gula
darah plasma yang sebenarnya kurang .

8. Terapi pengganti ginjal

Pada pasien yang mengalami gagal ginjal akut dan hemodinamikanya tidak
stabil, seringkali perlu menggunakan terapi pengganti ginjal (baik yang
secara intermiten atau kontinyu) yang sekaligus untuk mengelola terapi
cairannya.

9. Terapi bikarbonat
Pemberian natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau
mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien yang mengalami asidosis
laktatemia (ph < 7,15) akibat hipoperfusi, hendaknya tidak dilakukan.

10. Profilaksis Deep Vein Thrombosis


Untuk mencegah terjadinya tromboemboli, hendaknya diberikan Low
Molecular Weight Heparin (LMWH) subkutan setiap hari. Bila bersihan

78 
ginjal < 30 ml / men, sebaiknya menggunakan dalteparin atau LMWH yang
lain yang tidak terlalu dimetabolisir ginjal.
Sebaiknya pencegahan tromboemboli dilakukan secara mekanik (pneumatic
compression) dan obat2an. Bila ada indikasi kontra penggunaan obat-obatan
(heparin) seperti trombositopenia, gangguan pembekuan darah yang serius,
perdarahan yang masih aktif, perdarahan otak yang baru saja terjadi,
pencegahan DVT bisa dilakukan dengan mekanik saja, yaitu pneumatic
compression atau stocking compression, kecuali bila ada indikasi kontra.

11. Profilaksis stres ulkus peptikum


Pada pasien yang mempunyai resiko terjadi perdarahan lambung akibat
ulkus peptikum, sebaiknya diberikan pencegahan dengan menggunakan PPI
dibanding menggunakan H2 antagonis. Namun bila tidak mempunyai resiko
perdarahan lambung, maka pencegahan tidak perlu diberikan.

12.Nutrisi
1. Dalam waktu 48 jam sejak terdiagnosa sepsis dan pasien bisa toleran,
nutrisi secara oral atau enteral segera diberikan daripada pasien
dipuasakan dan hanya diberikan glukosa intravena
2. Hindari pemberian makan dengan kalori penuh di minggu pertama,
cukup dengan dosis rendah (misalnya 500 kalori per hari ) , yang
kemudian dinaikkan secara bertahap.
3. Dalam waktu 7 hari pertama, menggunakan glukosa intravena dan
nutrisi enteral lebih baik daripada hanya nutrisi parenteral total ( TPN )
saja atau nutrisi parenteral digabung dengan makanan enteral
4. Tidak perlu menggunakan tambahan nutrisi yang bersifat
imunomodulator.

13. Prognosa
Segala rencana pengelolaan pasien hendaknya dikemukakan dan
didiskusikan dengan fihak keluarga, termasuk didalamnya tentang prognosa
pasien. Juga kemungkinan tentang pengakhiran pengelolaan atau penundaan
pengobatan atau dikelola secara paliatif saja. Penjelasan kepada keluarga
hendaknya secepatnya, jangan lebih dari 72 jam sejak masuk ICU.

79 
REFERENSI
1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al. Surviving Sepsis Campaign:
International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2012.
Critical Care Medicine. 2013 Feb;41(2):580-637.
2. Institute for Healthcare Improvement, Severe Sepsis Bundles (April 2013).
www.ihi.org

80 

Anda mungkin juga menyukai