Anda di halaman 1dari 19

Tokoh PKI:

Musso

Musso atau Paul Mussotte bernama lengkap Muso Manowar atau Munawar
Muso (lahir: Kediri, Jawa Timur, 1897 - Madiun, Jawa Timur, 31
Oktober 1948) adalah seorang tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an dan dilanjutkan
pada Pemberontakan Madiun 1948.
Musso berasal dari keluarga berada dan hidupnya berkecukupan. Ayahnya, Mas
Martorejo adalah pegawai bank di Kecamatan Wates. Ibunya mengelola kebun
kelapa dan kebun mangga. Sedari kecil Musso rajin mengaji di mushala di
desanya.
Pada usia 16 tahun Musso melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Batavia.
Di Batavia Musso diangkat anak oleh G.A.J. Hazeu. Musso juga
bertemu Alimin Prawirodirdjo yang nantinya menjadi pentolan PKI.
Setamatnya sekolah guru Mussso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg
(Bogor). Versi lain menyebut Musso bersekolah di Hogere Burger School.
Sewaktu berada di Surabaya, Musso kos di rumah Tjokroaminoto dan bertemu
dengan H.J.F.M. Sneevliet. Musso muda juga satu kos
bersama Soekarno dan Kartosuwiryo muda yang kelak mereka akan berbeda
haluan ideologi dalam pemikiran.
Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912, Musso aktif di
dalamnya. Musso juga aktif di ISDV bentukan Sneevliet yang menjadi cikal
bakal Partai Komunis Indonesia.
Setelah Madiun direbut tentara, Musso bersama Amir Sjarifoeddin dan pentolan
PKI lain melarikan diri ke Ponorogo. Musso berselisih dengan Amir dan
memisahkan diri ke arah selatan dengan hanya dikawal dua orang, sementara
Amir melanjutkan ke Pacitan. Musso dan pengawalnya kabur dengan menaiki
sebuah delman sementara tentara mengejarnya. Dalam kejar-kejaran terjadi
saling tembak hingga kuda delman tertembak. Musso berlari dan bersembunyi
di sebuah kamar mandi di sebuah pemandian umum. Satu peleton tentara
mengepung dan kembali terjadi baku tembak. Ketika keluar kamar mandi,
Musso tertembak dua kali. Mayatnya sempat dibawa ke RS Ponorogo untuk
diawetkan sebelum kemudian dibakar secara diam-diam.
Musso adalah salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah
pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskwa. Pada
tahun 1925 beberapa orang pemimpin PKI membuat rencana untuk
menghidupkan kembali partai ini pada tahun 1926, meskipun ditentang oleh
beberapa pemimpin PKI yang lain seperti Tan Malaka. Pada tahun 1926 Musso
menuju Singapura dimana dia menerima perintah langsung dari Moskwa untuk
melakukan pemberontakan kepada pemerintahan kapitalis Belanda. Musso dan
pemimpin PKI lainnya, Alimin, kemudian berkunjung ke Moskwa, bertemu
dengan Stalin, dan menerima perintah untuk membatalkan pemberontakan dan
membatasi kegiatan partai menjadi dalam bentuk agitasi dan propaganda dalam
perlawananan nasional. Akan tetapi pikiran Musso berkata lain. Pada bulan
November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota
termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan
oleh penjajah Belanda. Musso dan Alimin ditangkap. Setelah keluar dari penjara
Musso pergi ke Moskwa, tetapi kembali ke Indonesia pada tahun 1935 untuk
memaksakan "barisan populer" yang dipimpin oleh 7 anggota Kongres
Komintern. Akan tetapi dia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia dan kembali
ke Uni Soviet pada tahun 1936.
Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta. Pada
tanggal 5 September 1948 dia memberikan pidato yang menganjurkan agar
Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Pemberontakan terjadi di Madiun, Jawa
Timur ketika beberapa militan PKI menolak untuk dilucuti. Pihak militer
menyebutkan bahwa PKI memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" pada
tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Musso sebagai presiden dan Amir
Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Akan tetapi pemberontakan dapat
dipadamkan oleh pihak militer. Pada tanggal 30 September 1948, Madiun
direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan
sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso
pada tanggal 31 Oktober, ketika rombongannya bertemu dengan pasukan TNI
yang memburunya.

Salawati Daud
Salawati Daud merupakan perempuan Indonesia pertama yang menempati
posisi Wali kota. Ia menjadi Wali kota di Makassar, Sulawesi Selatan,
tahun 1949. Tak hanya itu, ia juga tercatat sebagai Wali kota Makassar yang
pertama di bawah pemerintahan Republik Indonesia.[1]
Maklum, pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Makassar langsung dicaplok
Sekutu/NICA. Sejumlah pemimpin Republik, termasuk Gubernur Sulawesi
zaman itu, Sam Ratulangi, ditangkap oleh Belanda. Gagal-lah upaya
membentuk pemerintahan RI di Makassar. Republik Indonesia baru berhasil
membentuk pemerintahan sendiri di Makassar tahun 1949.
Pada tahun 1945, Salawati menerbitkan majalah Wanita di Makassar. Majalah
tersebut terbit dua kali sebulan. Jumlah oplah-nya berjumlah ribuan tiap terbit.
Selain majalah Wanita, ia juga memimpin majalah Bersatu, yang oplahnya
mencapai 2000-an.
Usai Proklamasi 17 Agustus 1945, Makassar langsung diduduki Sekutu yang
diboncengi NICA. Sam Ratulangi, tokoh yang ditunjuk Bung
Karno sebagai Gubernur Sulawesi, ditangkap. Banyak tokoh pemuda yang
memprotes penangkapan ini.
Rakyat Sulawesi Selatan marah. Sejak September 1945, bentrokan antara rakyat
dan pelajar melawan NICA sudah terjadi. Salah satunya adalah aksi pelajar
perguruan islam Datu Museng, yang mengibarkan Merah-Putih di sekolahnya.
Saat itu pemuda dan pelajar membentuk Pusat Pemuda National Indonesia
(PPNI). Organisasi ini diketuai oleh Manai Sophiaan. Tak lama
kemudian, Manai Sophiaan ditangkap oleh NICA. Ia disekap di markas NICA
di Empress Hotel. Kejadian inilah yang memicu kemarahan pelajar
Makassar. 29 Oktober 1945, pelajar menyerbu Empress Hotel dan
mengibarkan Merah Putih di sana.
Salawati Daud sudah aktif dalam gerakan itu. Ia bersama kawan-kawannya di
Partai Kedaulatan Rakyat mendirikan “Tim Penerangan” untuk
mengkampanyekan penolakan terhadap kehadiran kolonialis Belanda
di Sulawesi. Dalam gerakan ini, Salawati berkeliling Sulsel untuk memassalkan
gerakan ini.
Tetapi Salawati tak hanya berkampanye, ia juga turut memanggul senjata
melawan tentara NICA. Sejumlah sumber menyebutkan, Ia bersama Emmy
Saelan bertempur melawan Belanda. Salah satu pertempuran yang terkenal
penyerbuan tangsi polisi di Masamba. Aksi penyerbuan ini dipimpin oleh
Salawati Daud. Tak heran, ia sangat disegani oleh semua pejuang Republik di
Sulawesi.
Mungkin karena pertimbangan itulah, ia ditunjuk sebagai Wali kota pertama di
Makassar. Karena pengaruh politiknya pula, ia dipercaya mengatasi sejumlah
kekacauan di Sulawesi selatan. Salah satunya adalah pemberontakan Kahar
Muzakkar.
Beberapa literatur menyebutkan, Salawati Daud-lah yang membawa pengaruh
kiri ke Kahar Muzakkar. Tak heran, ketika Kahar mau memberontak terhadap
Republik, Salawati berjuang mati-matian untuk membujuknya agar tetap di
pangkuan Republik. Sayang, usaha itu menemui kegagalan.
Tahun 1950, Salawati Daud turut terlibat dalam pembentukan organisasi
perempuan nasional bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Ia menjadi salah
pengurus di Gerwis ini. Kelak, Gerwis inilah yang berubah menjadi Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani).[2]
Tahun 1950-an, Salawati Daud makin dikenal sebagai tokoh kiri. Bahkan, ia
disebut-sebut sebagai salah satu pembawa pemikiran kiri di Sulawesi Selatan.
Pada pemilu 1955, ia masuk daftar calon DPR dari Partai Komunis Indonesia
Partai Komunis Indonesia (PKI). Memang, seperti dicatat Saskia E Wieringa
dalam penghancuran Gerakan Perempuan: politik Seksual Di Indonesia Pasca
Kejatuhan PKI, ada 6 anggota Gerwani yang masuk list daftar calon DPR PKI,
yakni Suharti Suwarto, Ny Mudigdio, Salawati Daud, Suwardiningsih,
Maemunah, dan Umi Sardjono.[3]
Konon, karena pengaruh politik Salawati Daud, PKI mendapat suara besar
di Tana Toraja. Itu terjadi pada pemilu 1955. itu pula yang mengantarkan
Salawati Daud menjadi anggota DPR tahun 1955. Sejak itu, ia bermukim di
Jakarta. Selain aktif sebagai anggota DPR, ia juga menjadi pengurus DPP
Gerwani. Ia menempati posisi sebagai Wakil Ketua. Di DPR, Salawati aktif
memperjuangkan hak-hak perempuan.[4]
Dan, tahun 1965 meletus peristiwa G.30/S. PKI dan ormas-ormasnya segera
dituding mendalangi peristiwa tersebut. Saat itu, usai bersidang di Parlemen,
Salawati Daud bersama empat kawannya, yakni Umi Sardjono, Ny.Mudigdo,
Siti Aminah, dan Dahliar, ditangkap oleh tentara. Ia kemudian digelandang ke
markas Kostrad, diintergorasi berhari-hari di sana, lalu kemudian dijebloskan ke
penjara Bukit Duri dan dikirim ke Kamp Plantungan. Di dalam penjara pun ia
tak menyerah. Ia aktif membela nasib sesama tahanan yang diperlakukan tidak
sewenang-wenang.
Salawati Daud adalah salah satu dari banyak pemimpin Gerwani yang dipenjara
setelah 1965 pengambilalihan militer. Pada tanggal 1 Oktober 1965, setelah
markas Gerwani telah menerima informasi yang membingungkan tentang
peristiwa di Lubang Buaya, Salawati Daud bersepeda ke parlemen untuk
menanyakan apa yang sedang terjadi. Dia dihentikan oleh tentara dalam
perjalanan dan dibawah ke markas Kostrad.[5]
Di penjara Bukit Duri, Salawati Daud memainkan peran penting dalam
intervensi terhadap penganiayaan narapidana lain. Dia punya mandat nasionalis
yang kuat untuk perannya dalam perjuangan kemerdekaan, dan para penjaga
mengalami kesulitan menghadapinya. Tindakan Salawati Daud untuk
kesejahteraan para tahanan sangat dihargai oleh narapidana lain.

Amir sjarifoeddin

Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap)


(lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa
Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang politikus
sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ia menjabat
sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang
berlangsung.[1] Berasal dari keluarga Angkola Muslim, Amir menjadi
pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia
dieksekusi mati oleh pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis.
Lahir dalam aristokrasi Sumatera di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya
dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke
sekolah-sekolah paling elit; ia dididik
di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di
Batavia (sekarang Jakarta).[1] Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat
Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society.[1] Amir pindah
dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.[1] Ada bukti khotbah ia berikan dalam
gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan.
Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur
dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala
adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan
menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kirimenggalang aliansi
dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini
mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya
ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal,
menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia
Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak
mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih
kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak
paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain
yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi
kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan.
Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-
gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat
ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang
yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-
sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan,
mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting
kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang
pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para
pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence
Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9
Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan
massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa
penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita
para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral
yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika
para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak
kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik
Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan
tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh
golongan Masyumi dan Nasionalis.
Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari
Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2
Juni 1897 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21
Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang pembela
kemerdekaan Indonesia yang berpihak pada golongan sayap kiri bersama
dengan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia,[1] juga pendiri Partai
Murba,[2] dan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[3]
Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah
nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. [4] Nama
lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal
kelahirannya masih diperdebatkan, sedangkan tempat kelahirannya sekarang
dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat. Ayah dan Ibunya bernama HM. Rasad, seorang
karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di
desa.[5]Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan
berlatih pencak silat.[6] Pada tahun 1908, ia didaftarkan
ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH
Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang
cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.[7] Di sekolah ini, ia menikmati
pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi
seorang guru di sekolah Belanda. [8] Ia juga adalah seorang pemain sepak bola
yang bertalenta.[7] Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari
gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya
menerima gelar datuk. [8] Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara
tradisional pada tahun 1913.[9]
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri.
Ia juga terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dengan membentuk Persatuan
Perjuangan dan disebut-sebut sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang
pada waktu itu merupakan perdana menteri. Karena itu ia dijebloskan ke dalam
penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus
pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan
pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja
dari penjara.
Di sisi lain, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik
Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan
buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin,
Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di
Yogyakarta.
Setelah pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditumpas pada akhir November
1948, Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak
PKI/FDR yang saat itu ada di Kediri, dari situ ia membentuk pasukan Gerilya
Pembela Proklamasi. Pada bulan Februari 1949, Tan Malaka ditangkap bersama
beberapa orang pengikutnya di Pethok, Kediri, Jawa Timur dan mereka
ditembak mati di sana. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam
Tan Malaka dan siapa yang menangkap dan menembak mati dirinya dan
pengikutnya. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap dari penuturan Harry A.
Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa yang menangkap
dan menembak mati Tan Malaka pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan
TNI dibawah pimpinan Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28
Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
Pada 21 Februari 2017, jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan dari
Kediri ke Sumatra Barat. Hal ini diupayakan oleh keluarga besar Tan Malaka
dan kelompok yang tergabung dalam Tan Malaka Institute. Karena gagal
membawa jenazah Tan Malaka secara utuh, mereka memutuskan untuk
memulangkannya secara simbolis, yakni dengan membawa tanah dari
pekuburan Tan Malaka.

Tokoh PNI :
Dr Cipto Mangunkusumo
Dilahirkan di Pecagakan, Jepara 4 maret 1886, Dr Ciptomangunkusumo merupakan putra
sulung dari keluarga Mangunkusumo.Beliau merupakan dokter yang profesional dan juga
merupakan salah satu pendiri Indische Partij.
Mengawali karier pertama kali sebagai pengajar bahasa melayu di sekolah dasar di
Ambarawa, yang kemudian menjadi Kepala Sekolah di sebuah sekolah dasar di Semarang,
dan menjadi Administrasi Dewan Kota di Semarang.
Kemudian menempuh pendidikan di Stovia ( sekolah dokter di Jakarta ) dan mendapatkan
pekerjaan sebagai dokter pemerintahan, yang dalam hal ini adalah pemerintahan belanda.
Awal perjuangan Dr Cipto Mangunkusumo dimulai semenjak beliau menulis karangan -
karangannya yang berisikan tentang penderitaan rakya akibat dari penjajahan kolonial
Belanda yang diterbitkan oleh harian De Express, yang akhirnya menjadikan tumbuhnya rasa
kebencian pembaca terhadap kolonial belanda.Dan berujung beliau diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai dokter pemerintahan oleh pemerintah belanda.
Bersama - sama dengan Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, di tahun 1912 beliau
mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang pertama guna tujuan mencapai
kemerdekaan indonesia.
Dr Cipto Mangunkusumo meninggal pada tanggal 8 maret 1943 di Jakarta dan dimakamkan
di Watu Ceper, Ambarawa.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanan beliau, pemerintah indonesia memberikan
penghargaan berdasarkan SK Presiden RI No 109 Tahun 1964, Tanggal 2 mei Tahun 1964
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Dan sampai sekarang pun nama beliau masih umum dikenal karena diabadikan sebagai nama
Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.

Raden Suwiryo

Raden Suwiryo adalah kepala daerah pertama Jakarta, pada masa pendudukan
Jepang. Sebelumnya posisi walikota ditempati oleh seorang pembesar Jepang
bernama Tokubetsyu Sityo dan Suwiryo sebagai wakil walikota I serta Baginda
Dahlan Abdullah sebagai wakil walikota II.
Pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 ini merupakan tokoh
pergerakan Indonesia. Suwiryo pernah menjadi Ketua Umum Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Wakil Perdana Mentri pada Kabinet Sukiman.
Suwiryo menamatkan AMS dan kuliah di Rechtshogeschool namun tidak
selesai. Dia sempat bekerja di Centraal Kantoor voor de Statistik, bergiat di
bidang partikelir, menjadi guru Perguruan Rakyat, kemudian memimpin
majalah Kemudi. Menjadi pegawai pusat Bowkas "Beringin", sebuah kantor
asuransi dan menjadi pengusaha obat di Cepu, Jawa Tengah.
Di masa mudanya, Suwiryo aktif dalam perhimpunan pemuda Jong Java lalu
membawa dirinya aktif di PNI. Setelah PNI bubar pada 1931, Suwiryo turut
mendirikan Partindo. Pada zaman pendudukan Jepang, Suwiryo aktif di Jawa
Hokokai dan Putera. Proses Suwiryo menjabat sebagai wali kota dimulai pada
Juli 1945. Dengan kapasitasnya sebagai wakil walikota, secara diam-diam
Suwiryo melakukan nasionalisasi pemerintahan dan kekuasaan kota.
Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu setelah bom atom
dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja
ditutup-tutupi. Namun Suwiryo, dengan berani menanggung segala akibat
menyampaikan kekalahan Jepang ini kepada masyarakat Jakarta dalam suatu
pertemuan.
Hingga demam kemerdekaan pun melanda Ibu Kota, termasuk meminta Bung
Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Perpindahan
kekuasaan dari Jepang dilakukan tanggal 19 September 1945 dan Suwiryo
ditunjuk sebagai Walikota Jakarta pada 23 September 1945.
Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan,
Suwiryolah salah seorang yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
proklamasi di kediaman Bung Karno. Semula akan diselenggarakan di
Lapangan Ikada (kini Monas) tapi karena balatentara Jepang masih gentayangan
dengan senjata lengkap, maka dipilihlah kediaman Bung Karno di Jalan
Pegangsaan Timur.
Selain berperan dalam terselenggaranya proklamasi kemerdekaan, Suwiryo dari
PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda, ikut menggerakkan massa
menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan tekad
rakyat siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa di Ikada
ini dihadiri bukan saja oleh warga Jakarta tapi juga Bogor, Bekasi, dan
Karawang.
Suwiryo sempat ditangkap pasuka NICA pada 21 Juli 1947 di kediamannya,
kawasan Menteng. Selama lima bulan dia disekap di daerah Jalan Gajah Mada
kemudian pada November 1947 dia diterbangkan ke Semarang untuk kemudian
ke Yogyakarta. Kala itu Presiden Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta hijrah ke
Yogyakarta.
Suwiryo diculik NICA, lantaran terbilang vokal. Dia memilih tetap berada di
Jakarta serta menginstruksikan kepada semua pegawai pamongpraja agar tetap
tinggal di tempat menyelesaikan tugas seperti biasa.
Di kota perjuangan, walikota pertama Jakarta ini disambut besar-besaran oleh
Panglima Besar Sudirman yang datang ke stasion Tugu. Di sana Suwiryo
ditempatkan di Kementrian Dalam Negeri RI
sebagai pimpinan Biro Urusan Daerah Pendudukan (1947-1949). Pada
September 1949, Suwiryo kembali ke Jakarta sebagai wakil Pemerintah pada
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 17 Februari 1950 Presiden RIS, Sukarno mengangkatnya kembali sebagai
Walikota Jakarta Raya. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM
dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo. Jabatan walikota diganti oleh Syamsurizal
dari Masyumi.
Setelah berhenti menjadi Wakil PM, kemudian Suwiryo diperbantukan
beberapa saat di Kementrian Dalam Negri. Setelah itu Suwiryo menjabat
sebagai Presiden Direktur Bank Umum merangkap Presiden Komisaris Bank
Industri Negara (BIN) yang kemudian dikenal dengan Bapindo.
Suwiryo meninggal pada 27 Agustus 1967 pada usia 64 tahun dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Maskoen Soemadiredja

Maskoen Soemadiredja adalah salah satu dari pejuang Indonesia yang


mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik
Indonesia No.089/TK/Tahun 2004. Pria yang akrab disapa Maskoen ini
memulai perjuangannya sebagai pejuang kemerdekaan semenjak usianya baru
menginjak kepala dua saat dirinya mulai bergabung dengan sebuah partai politik
besutan Ir. Soekarno yang bernama Partai Nasional Indonesia (PNI).
Selama bergabung dengan PNI, Maskoen dipercaya sebagai komisaris serta
sekretaris II PNI cabang Bandung. Kegigihannya dalam mengusir penjajah
dengan mengobarkan semangat juang kepada rakyat Indonesia melalui aksi
propaganda dan menyebarkan ajaran nasionalisme membuat gerak-gerik pria
kelahiran Bandung, 4 januari 1907 ini diawasi oleh bangsa Hindia Belanda
hingga akhirnya ia dibui ke Banceuy pada tahun 1929.
Tingkah ayah dari tiga anak ini memang dianggap cukup meresahkan bangsa
Hindia Belanda, tak lama ia bebas dari sel penjara di Banceuy, ia pun kembali
merasakan aroma sesak sel pada tahun 1930. Di sana, ia dikurung bersama tiga
pejuang lainnya salah satunya adalah Soekarno berlanjut pada pembuangan
dirinya di Digul, Papua.
Selama beberapa tahun Maskoen berada pada tempat pembuangan para pejuang
hingga akhirnya ia dilarikan ke Australia oleh tentara Jepang yang berhasil
menggulingkan kepemimpinan Belanda pada tahun 1942. Di Australia, ia tak
hanya tinggal diam, ia kembali mengobarkan semangat juang rakyat Indonesia
dengan berdirinya Organisasi Serikat Indonesia Baru yang bertujuan untuk
mengumpulkan rakyat Indonesia dan menularkan semangat juang akan rasa
nasionalisme.
Pada tahun 1949, Maskoen bertanggungjawab dalam pemulangan orang-orang
Indonesia yang ada di Australia setelah adanya pengakuan kedaulatan atas
Indonesia. Bagi suami dari Nyi R. Djuhaeni ini, hidup adalah perjuangan di
mana ia mengaku mendedikasikan dirinya untuk terus berjuang demi bangsa
Indonesia.
Maskoen meninggal pada tanggal 4 Januari 1986 di usianya yang tak lagi muda,
79 tahun.
Mr. Raden Mas Sartono

Mr. Raden Mas Sartono (lahir di Slogohimo, Wonogiri, 5 Agustus 1900 –


meninggal di Jakarta, 15 Oktober 1968 pada umur 68 tahun) adalah tokoh
perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menteri pada kabinet pertama Republik
Indonesia. Tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo ini juga pernah
menjabat ketua parlemen sementara (DPRS) pada Republik Indonesia Serikat
(1949) dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat antara tahun 1950 sampai 1959,
dan pernah menjabat Gubernur Bank Indonesia.
Pada tanggal 4 Juli 1927 Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan. PNI
didirikan oleh Mr. Sartono, Ir. Sokarno, Mr. Iskaq Cokrohadisuryo, Mr.
Sunario, Mr. Budiarto Martoatmojo, Dr. Samsi
Satrowidagdo, Ir. Anwari, dr. Cipto Mangunkusumo, Sujadi dan Jan Tilaar. PNI
merupakan organisasi politik bercorak nasional yang dipakai sebagai alat
perjuangan kemerdekaan Indonesia. PNI merupakan awal mula penyebab Ir.
Soekarno dimasukan penjara, karena pihak Belanda menganggap Soekarno
telah melakukan penghasutan untuk melakukan perlawanan terhadap
pemerintah.
18 Agustus 1930 sidang pengadilan yang mengadili Soekarno dan beberapa
tokoh Partai Nasional Indonesia dimulai. Dalam sidang ini, Sartono bertindak
sebagai pengacara yang membela Soekarno. Pembelaan pertama yang dilakukan
Soekarno berjudul “Indonesia Menggugat” yang berisi tentang aspek sosial,
ekonomi, dan politik yang menimpa rakyat Indonesia sebagai rakyat jajahan.

Tokoh SI :
. Kiai Haji Samanhudi

Kiai Haji Samanhudi nama kecilnya ialah Sudarno Nadi. Adalah seorang anak
dari pedagang batik bernama haji muhammadzein.keluarga ini pindah ke
lawiyan, solo. Setelah menyelesaikan studinya di sekolah kelas dua, samanhudi
membantu ayahnya erjualan batik sampai ia dapat berdiri sendiri dengan
membuka perusahaan batik pada tahun 1888. Ia berhasil dalam bidang ini
sehingga ia membuka cabang-cabang perusahaannya di berbagai kota di jawa
seperti Surabaya, banyuwangi, tulung agung, bandung dan parakan. Pada tahun
1904 pergi ke Mekkah untuk naik haji dan kembali pada tahun berikutnya
Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh
penguasa penjajahan Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas
beragama Islam dengan pedagang Cina pada tahun 1911. Oleh sebab itu
Samanhudi merasa pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri
untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat
Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.Ia dimakamkan di Banaran,
Grogol, Sukoharjo.Sesudah itu,Serikat Islam dipimpin oleh Haji Oemar Said
Cokroaminito.
H.O.S. Cokroaminoto

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di


Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17
Desember 1934 pada umur 52 tahun. Cokroaminoto adalah anak kedua dari 12
bersaudara dari ayah bernama R.M. Cokroamiseno, salah seorang pejabat
pemerintahan pada saat itu merupakan keluarga yang taat beragama
Cokroamonoto bergabung dengan sarekat islam di Surabaya atas ajakan dari
pendiri sarekat islam sendiri yakni haji haji samanhoeddhi yang memang
mencari orang-orang yang telah pernah mendapat pendidikan yang lebih baik
dan lebih berpengalaman untuk memperkuat organisasinya[6]. Selanjutnya
Tjokroaminoto langsung menyusun sebuah anggaran dasar baru bagi organisasi
itu bagi seluruh Indonesia dan meminta pengakuan dari pemerintah untuk
menghindarkan diri dari apa yang disebutkan "pengawasan preventif dan
represif secara administrative
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya
yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya
seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang
beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para
pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS
dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa
mengambil daya tawar pada bidang politik
Agus Salim
Ia dilahirkan di kota kedang Bukittinggi pada 8 oktober 1884 sebagai seorang
anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalagan bangsawan dan
agama, salim menyelesaikan pelajaran sekolah menengahnya (HBS) di Jakarta
dan kemudian bekerja pada konsulat belanda di Jeddah tahun 1906 sampai
1909. Perkenalan ia dalam sarekat islam amatlah ganjil, dia mendapat kabar dari
seorang polisi belanda yang menyatakan bahwa cokroaminoto telah menjual
sarekat islam kepada jerman dengan harga 150.000 poundsterling, dengan
menggunakan uang itu I akan membangunkan pemberontakan besar di jawa,
dan akan mendapat antuan persenjataan dari jerman.
Dari kabar tersebut dia menyimpulkan dua hal, yang pertama kabar itu hanya
bohong belaka. Yang kedua jika kabar itu benar maka akan menjadi yang besar
bagi negeri dan rakyat. Lalu dia melakukan penyelidikan dan berkenalan
dengan pemimpinnya yakni cokroaminoto, hiingga ia mengetahui tujuan mulia
dari sarekat islam ang menyebabkan salim menjadi seorang anggota sarekat
islam
Abdul Muis

Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883. Ia
menyelesaikan pendidikanya di sekolah belanda di bukittinggi. Ia juga
merupakan keturunan bangsawan yang kuat beragama. – meninggal di
Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang
sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia
(sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia),
Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada
tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam.
Abdul muis bergabung dengan central sarekat islam atas permintaan
cokroaminoto yang melihat dia sebagai seorang Indonesia yan erpendidikan
dan pengalaman yang dapat diharapkan dengan sikap radikal pula terhadap
ketidak adilan dn segala macam penderitaan orang-orang Indonesia, sifat-sifat
yang sangat diperlukan pada masa itu untuk mebina gerakan tersebut[21].
Kepemimpinan muis terlihat enanjak dan pada1916 ia menjadi wakil presiden
central sarekat islam. Ia dan salim merupakan benteng dalam lingkungan
sarekat islam terhadap penetrasi komunis pada masa periode kedua. Tetapi pada
periode ketiga kedudukannya menurun sedangkan kedudukan salim bertambah
menanjak. Namun kepemimpinan cokroaminto tidak tergoyah sama sekali

Tokoh Muhammadiyah :
Kyai Haji Muhammad Yunus Anis

Putra sulung sembilan bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Anis dan Siti
Saudah ini lahir di Kauman tanggal 3 Mei 1903. Persis seperti pengakuan yang
tertuang dalam Surat Kekancingan dari Sriwandowo Tepas Dwara Putra Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1961, Yunus Anis tercatat sebagai keturunan
ke-18 dari Raja Brawijaya V. Dengan demikian, berhak pula menyandang gelar
Raden. Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat
itu, pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia,
hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh
kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan
1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya
kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak
sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama
Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi
politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih
sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 pada
Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
. KH Ahmad Badawi

Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di


Kauman Yogyakarta,pada tanggal 5 Februari 1902 untuk putra ke-4. Ayahnya,
K.H. Muhammad Fakih ( satu diantara Pengurus Muhammadiyah pada th. 1912
untuk Komisaris), sedang ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung
K. H. Ahmad Dahlan). Bila dirunut silsilah dari garis bapak, maka Ahmad
Badawi mempunyai garis keturunan dengan Panembahan Senopati. Sejak
berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa meningkatkan potensi dianya
untuk bertabligh. Hasrat ini digerakkan melewati aktivitas untuk guru di sekolah
(madrasah) serta melewati aktivitas dakwah melalui pengajian serta pembekalan
ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di bagian tabligh sudah mengantarkan Badawi
untuk diakui jadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada
th. 1933. Pada tahun-tahun selanjutnya, ia juga diserahi amanat untuk jadi
Kepala Madrasah Za’imat ( yang lalu dikombinasi dengan Madrasah Mualimat
pada th. 1942). Di Madrasah Mualimat ia memiliki obsesi untuk
memberdayakan potensi wanita, hingga mereka bakal dapat jadi muballighat
yang handal di daerahnya. Sejak itu, kehadiran Badawi tak diragukan lagi. Di
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi senantiasa dipilih serta
diputuskan jadi Wakil Ketua. Pada saat Muktamar Muhammadiyah ke-35 di
Jakarta, Badawi dipilih jadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1962-1965, serta pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung dipilih lagi
jadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
KH Faqih Usman

Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904.
Ia datang dari keluarga santri simpel serta taat melaksanakan ibadah. Faqih
Usman adalah anak ke empat dalam keluarga yanga suka bakal ilmu dan
pengetahuan, baik pengetahuan agama ataupun pengetahuan umum. Faqih
Usman di kenal mempunyai etos enterpreneurship yang kuat. Aktivitas usaha
yang dikerjakannya cukup besar dengan membangun sebagian perusahaan yang
bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, serta
pabrik tenun di Gresik. Juga, dia juga diangkat untuk Ketua Persekutuan
Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah diawali pada th. 1925, saat ia diangkat
untuk Ketua Grup Muhammadiyah Gresik, yang dalam perubahan setelah itu
jadi satu diantara Cabang Muhammadiyah di Lokasi Jawa Timur. Setelah itu,
lantaran kepiawaiannya untuk ulama-cendekiawan, ia diangkat untuk Ketua
Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang
berkedudukan di Surabaya. Saat Mas Mansur dikukuhkan untuk Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menukar kedudukan Mas Mansur untuk
Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada th. 1936. Pada th. 1953, untuk
pertama kalinya dia diangkat serta duduk dalam susunan kepengurusan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan sebagainya senantiasa dipilih untuk salah
seseorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
KH Abdur Rozak Fachdrudin

Pak AR demikianlah nama panggilan akrab Kiai Haji Abdur Rozak


Fachruddin, yaitu pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah,
yakni sepanjang 22 th. (1968-1990). Pak AR lahir 14 Februari 1916 di
Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Keterlibatan A. R.
Fachruddin di pusat Muhammadiyah mengantarkan beliau jadi Ketua Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, lalu jadi Ketua Pimpinan Lokasi
Muhammadiyah DIY, setelah itu jadi anggota Dzawil Qurba Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, hingga pada akhirnya diakui memimpin Muhammadiyah
sepanjang kurang lebih 22 th. (1968-1990). Pak AR jadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dari th. 1968 sesudah di-fait accomply untuk jadi Petinggi
Ketua PP Muhammadiyah berkenaan dengan meninggal dunianya K. H. Faqih
Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada th. 1969, pada
akhirnya Pak AR dikukuhkan jadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
hingga Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada th. 1971.

Anda mungkin juga menyukai