Anda di halaman 1dari 24

REFARAT Juli, 2017

KELOID

Disusun Oleh:

Nama : Azizah Azhmi Aulia


NIM : N 111 17 021

Pembimbing Klinik
Dr. Nur Hidayat Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

BAB I

0
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keloid adalah pertumbuhan jaringan ikat padat hiperproliferatif jinak
akibat respon penyembuhan luka abnormal. Keloid terjadi karena sintesis dan
penumpukan kolagen yang berlebihan dan tidak terkontrol pada kulit yang
sebelumnya terjadi trauma dan mengalami penyembuhan luka.1
Keloid berbeda dengan skar hipertrofik karena keloid menyebar melewati
garis batas luka awal, menginvasi kulit normal di sekitarnya, tumbuh mirip
pseudotumor dan cenderung rekuren setelah eksisi.2
Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog, terutama
karena respon terhadap pengobatan yang bervariasi. Berbagai metoda terapi
telah dilakukan untuk mengobati keloid. Metoda terapi keloid yang banyak
digunakan saat ini adalah kortikosteroid, pembedahan, radiasi, laser dan
silicone gel sheets. Keloid sering timbul kembali walaupun telah diterapi
dengan berbagai teknik. Sampai saat ini pun, belum ada baku emas
penanganan keloid. Oleh karena itu, pemahaman mendasar tentang
patogenesis, berbagai metoda penanganan dan pencegahan kekambuhan
keloid penting untuk dimiliki oleh dokter yang akan menangani kondisi ini3.
Bekas luka keloid dan hipertrofik adalah proliferasi jinak dan fibrosis
yang menunjukkan respon penyembuhan luka abnormal pada individu yang
rentan. Scar hipertrofi mengikuti sternotomy garis tengah untuk operasi
jantung jarang terjadi, terjadilebih dalam pigmentasi kulit. Diperkirakan
bahwa sampai dengan 4,5% dari populasi umum menderita hipertrofi jaringan
parut.4
Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut
hipertropik, besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati
batas tepi luka dan pada suatu saat akan mengalami fase maturasi.5

B. Tujuan Penelitian

1
Tujuan pada referat ini adalah pengetahuan tentang patogenesis,
manifestasi klinis, gambaran histopatologis, pencegahan dan terutama
berbagai metode penanganan keloid.

BAB II

2
TINJUAN PUSTAKA

A. Definisi
Keloid merupakan jaringan parut akibat luka atau trauma yang
berkembang berlebihan, menimbul dan melebihi ukuran luka atau trauma
yang terjadi.6 Keloid merupakan tumor jaringan ikat kulit yang umumnya
timbul akibat trauma dan bakat.7
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-
lain diperbaiki melalui deposisi dari komponen yang akan membentuk kulit
baru. Komponen tersebut meliputi pembuluh darah, saraf, serat elastin
(memberelastisitas kulit), serat kolagen (memberi ketegangan kulit), dan
gliko-saminoglikan yang membentuk matriks di mana serat-serat struktural,
saraf dan pembuluh darah berada.8
Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses
penyembuhan luka tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut
hipertrofik atau keloid. Jaringan parut abnormal tersebut dapat menyebabkan
gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan penatalaksanaannya relatif
sulit9.

B. Anatomi dan Fisiologi


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-
kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital
serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat
kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras
dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Pembagian kulit secara garis besar
tersusun atas tiga lapisan utama,10 yaitu :
1. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri atas : stratum korneum, stratum
lusidum,stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri
atas dua jenis sel :sel-sel kolumner dan sel pembentuk melanin).

3
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi
menjadi dua bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.
3. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjutan dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di
bagian atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus
profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di
papil dermis, pleksus yang disubkutis dan di pars papillare juga mengadakan
anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar.
Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening.10
Ada tujuh fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap
cedera fisik,kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi,
ekskresi, persepsi (faal perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf
sensoris Vater paccini, Meisner,Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis),
pengatura suhu tubuh (termoregulasiakibat adanya jaringan kapiler yang luas
di dermis, adanya lemak subkutan, dan kelenjar keringat), pembentukan
pigmen, pembentukan vitamin D, dankeratinisasi).10

Gb. Tiga Lapisan Kulit.11

4
C. Epidemologi
Keloid dapat diturunkan dominan dan resesif autosom. Meskipun dapat
terjadi pada semua kelompok usia, jarang ditemukan pada bayi baru lahir atau
orang tua dan memiliki kejadian tertinggi di individu yang berusia 10-20
tahun. Pada keloid tingkat kolagen lebih tinggi dibandingkan rata-rata
jaringan parut. Keloid terletak di lokasi yang sebagian besar menjadi
perhatian kosmetik, beberapa keloid dapat menyebabkan kontraktur, yang
dapat mengakibatkan hilangnya fungsi jika diatasnya bersama atau dalam
pengrusakan signifikan jika terletak di wajah. Keloid bentuk yang lebih sering
pada orang Polinesia dan Cina daripada orang India dan Malaysia. Sebanyak
16% dari orang dalam sampling acak dari Afrika hitam dilaporkan memiliki
keloid. Orang putih setidaknya umumnya terkena. Prevalensi ini telah
dilaporkan lebih tinggi pada wanita muda dari pada laki-laki muda. Keloid
mempengaruhi kedua jenis kelamin sama-sama dalam kelompok usia lainnya.
Onset terjadi paling sering pada individu usia 10-30 tahun11
D. Etiologi
Faktor-faktor yang memainkan peran utama dalam pembentukan keloid
adalah predisposisi genetik dan beberapa bentuk trauma kulit. Kulit atau luka
akan menimbulkan ketegangan dan menjadi penyebab penting dalam
pembentukan bekas luka hipertrofik dan keloid. Scar yang melalui sendi atau
lipatan kulit di sudut kanan cenderung untuk membentuk bekas luka
hipertrofik,karena kekuatan disebabkan oleh ketegangan konstan yang terjadi.
Meskipun keloid dapat terjadi pada semua usia,namun cenderung dialami
pada usia pubertas. Bahwa individu yang lebih muda lebih sering mengalami
trauma dan kulit mereka lebih elastis dibandingkan kulit seseorang yang
usianya lebih tua12.
Kebanyakan keloid dialami seseorang yang berkulit hitam dan itu
disebabkan oleh faktor genetik. Terbentuknya keloid terutama terjadi pada
bagian tubuh dengan konsentrasi melanosit yang tinggi, dan sangat jarang
pada telapak kaki dan telapak tangan. Terbentuknya keloid juga telah

5
dikaitkan dengan faktor endokrin. Menopause juga mendorong resesi keloid,
sedangkan wanita melaporkan pembesaran onset keloid selama kehamilan 12

Gbr: Keloid linier kuping anterior sinistra.13 Gambar: Keloid linear lateral leher dekstra.13

E. Patogenesis
Pemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat penting dalam
upaya memahami mekanisme pembentukan keloid. Secara klasik,
penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase, yaitu: inflamasi, fibroblastik dan
maturasi.13
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada
individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan
sampai satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis
retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar
hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab keloid yang sering dilaporkan
adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka robek dan
luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapat
menjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi
anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi pada
injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi. Penelitian di Taiwan

6
mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat bekas injeksi
vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG).1
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet,
aktifasi faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan
bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai
rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet menyebabkan
pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk transforming growth factor-β
(TGF-β), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth factor-1 (IGF-1)
dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth factor berfungsi merekrut
dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan
fibroblas.2
Aktifitas Fibroblas Abnormal
Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I procollagen
secara berlebihan. Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan
lebih banyak vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming
growth factor-(TGF-)β1/β2, reseptor platelet derived growth factor –α (PDGF-
α) dan mengalami penurunan kebutuhan growth factor . Ladin dkk
melaporkan bahwa fibroblas keloid mengalami penurunan frekuensi apoptosis.
14

Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak.


Selain itu FK juga menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta
chondroitin 4 sulfat (C4S)lebih banyak dibanding fibroblas normal. Fibroblas
keloid menghasilkan kolagen tipe I dan memiliki kapasitas untuk
berproliferasi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan fibroblasnormal.3

Reaksi Imunitas Abnormal

Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi imun


spesifik. Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah: IgA, IgG
dan IgM. Pelepasan produk sel mast yang dimediasi oleh IgE juga berperan pada
pembentukan keloid.Histamin berhubungan dengan sintesis kolagen karena
menghambat enzim lysil oksidase kolagen yang berperan terhadap cross-

7
linking kolagen, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah kolagen pada
keloid. Aktifitas metabolik sel mast juga berperan danmendasari terjadinya
rasa gatal yang sering menyertai kondisi ini.4
Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat

Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada


reseptor di permukaan fibroblas dan memiliki peranan penting dalam
mempertahankan sitokin tetap terlokalisir dalam sel. Salah satu sitokin yang
dimaksud adalah TGF-α1. Produksi asam hyaluronat meningkat pada
fibroblas keloid, dan kadarnya kembali normal setelah pengobatan dengan
triamsinolon. Beberapa peneliti tidak setuju dengan teori ini, berdasarkan
temuan kadar asam hyaluronat yang lebih rendah dalam dermis keloidal
dibandingkan dermis normal.5

Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase

Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya akumulasi


kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam sehingga
kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen menjadi berkurang.
Penelitian ini juga menjelaskan kejadian keloid pada kulit berwarna
disebabkan karena keberadaan melanin yang lebih banyak akan mengganggu
keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan
lukaPenelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada
keloid terjadi down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada
biakan fibroblas keloid didapatkan produksi kolagen dan matriks
metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal normal.15

F. Gejala klinis
Secara klinis keloid merupakan nodul fibrosa, papul atau plak, keras,
elastis, berkilat, tidak teratur, berbatas tegas, terdapat telangiektasis dan
berwarna merah muda, merah sampai coklat gelap.2,3 Pasien sering
mengeluhkan rasa gatal dan nyeri.3,5 Keloid cenderung tumbuh lambat lebih
dari beberapa bulan sampai tahun. Secara histopatologis menunjukkan adanya

8
hialinisasi serabut kolagen yang tersusun melingkar. Keloid biasanya
diagnosis banding dengan skar hipertrofi, dermatofibroma dan
dermatofibrosarkoma protuberans.2 Skar hipertrofi sama dengan keloid,
namun secara klinis tinggi skarnya tidak tumbuh melebihi batas dari
lukanya.16
Keloid tidak mengalami resolusi spontan, tetapi dengan pengobatan yang
sesuai progresinya dapat dihambat. Keloid dapat menyebabkan terganggunya
pasien secara fisik maupun psikologis dan menyebabkan dampak negatif pada
kualitas hidupnya.16

Gambar: Dua buah keloid di regio presternal, lokasi yang sering


terkena.
Karena sebab yang belum jelas, keloid sering terjadi pada dada, bahu,
punggung atas, leher belakang dan lobus telinga. Beberapa peneliti
berpendapat bahwa keloid terjadi secara primer pada area kulit dengan high
skin tension. Peneliti lain tidak sependapat dengan pendapat tersebut karena
keloid jarang dijumpai pada telapak tangan atau kaki, daerah dengan skin
tension cukup tinggi. Selain itu keloid juga sering terjadi pada lobus telinga,
daerah dengan skin tension minimal. Beberapa penulis juga melaporkan
kejadian keloid di genital, dan sudah ada 70 kasus keloid pada kornea yang
dilaporkan.16

9
G. Histopatolgi
Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan
glikosaminoglikan. Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal yang
tersusun secara tidak teratur, disebut sebagai keloidal collagen.1 Susunan
kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut kolagen normal yang
tersusun secara paralel terhadap epidermis. Selain itu pada keloid terdapat
beberapa gambaran histologis, diantaranya: tidak adanya pembuluh darah
yang tersusun vertikal, adanya gambaran seperti ujung lidah di bawah
epidermis dan papiler dermis yang tampak normal, gambaran horizontal
fibrous band dan fascia like band di dermis retikuler bagian atas.17

Gambar. Pewarnaan hematoksilin eosin pada paraffin sections jaringan


keloid. Tampak penebalan epidermis dan gambaran seperti ujung lidah di
bawah epidermis dan papiler dermis yang tampak normal. E, epidermis; D,
dermis.17
H. Penatalaksanaan.
Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini,
terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan: manipulasi terhadap
aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan
antara sintesis dan degradasi kolagen, dan perubahan respon imun/inflamasi.2
Penanganan keloid merupakan masalah yang sulit, karena rendahnya
respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan cenderung kambuh. Keloid

10
yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan sampai
80%.1
Pada ukuran dan jumlah lesi keloid harus diukur untuk merencanakan
penanganan keloid. Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil (dini)
dapat diterapi secara radikal dengan cara pembedahan dan terapi ajuvan.
Terapi laser sebagai monoterapi juga efektif untuk terapi radikal keloid dini.
Terapi konservatif non bedah, tidak efektif jika digunakan sebagai
monoterapi.1
Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan nyeri,
sehingga pengurangan ukuran masa keloid dan terapi simtomatik dengan
berbagai modalitas terapi harus dipertimbangkan kasus per kasus.1
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering
dilaporkan efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi,
cryotherapy, laser, radiasi dan silicone gel sheeting. Beberapa metode
penanganan keloid lain lebih jarang digunakan namun secara efikasi cukup
efektif adalah: imiquimod topikal dan antimetabolit (5-fluorouracil dan
bleomisin).
1. Injeksi Kortikosteroid Intralesi
Injeksi kortikosteroid intralesi (KIL) merupakan metoda penanganan
keloid yang paling banyak dilakukan karena mudah dikerjakan, dapat
diterima dengan baik dan efektif mengurangi gejala. (Hochman dkk, 2008)
Triamsinolon asetonid dengan konsentrasi 10-40 mg/ml, merupakan jenis
steroid yang sering digunakan.15
Secara in vitro triamsinolon asetonid bekerja dengan cara
menghambat pertumbuhan fibroblas. Efek negatif terhadap mitogenesis
fibroblas dan sintesis kolagen mungkin disebabkan oleh penurunan
produksi TGF-β1 dan peningkatan produksi beta fibroblast growth factor
(bFGF) yang terjadi pada fibroblas yang diterapi dengan triamsinolon
asetonid. Efek antimitotik kortikosteroid terhadap keratinosit dan fibroblas
mengakibatkan perlambatan proses re-epitelialisasi dan pembentukan

11
kolagen baru. Kortikosteroid juga menekan inflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit, monosit dan fagositosis.
Dosis triamsinolon asetonid yang diperlukan untuk terapi keloid
lebih tinggi daripada untuk penyakit lain. Robles menganjurkan dosis awal
sebesar 40 mg/ml. Injeksi dapat diulang tiap 4-6 pekan tergantung respons
keloid. Injeksi KIL menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan
meringankan gejala nyeri dan gatal. Namun injeksi KIL jarang sekali
menghasilkan perbaikan komplit dan bertahan lama.1
Komplikasi yang dapat terjadi akibat KIL adalah telangiektasis,
atrofi kulit dan hipo atau hiperpigmentasi. Selain itu tindakan injeksi KIL
sendiri merupakan tindakan yang cukup menyakitkan bagi pasien. Untuk
mengurangi nyeri saat injeksi KIL, sebelum injeksi digunakan salap
anestetik eutectic mixture of local anesthetics (EMLA), dapat juga dengan
cara triamsinolon diencerkan dengan lidokain, atau anestesi dengan cara
infiltrasi menggunakan lidokain. Cara yang terakhir disebutkan lebih
efektif dalam mengurangi nyeri saat injeksi KIL. Karena nyeri saat injeksi
dan kekhawatiran terhadap penggunaan kortikosteroid dosis tinggi secara
berulang maka injeksi KIL sulit digunakan untuk keloid yang berukuran
besar atau berjumlah banyak.2

12
2. Bedah Eksisi
Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama kali
dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan
disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum
pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang tidak
berespon terhadap terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga dilakukan pada
lesi keloid yang luas sehingga membutuhkan debulking lebih dahulu
sebelum terapi lain dilakukan.2
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada bedah eksisi
keloid. Semua sumber yang dapat menyebabkan inflamasi, termasuk
folikel rambut yang terperangkap, kista epitelial dan sinus tract harus
dibuang, karena hal tersebut dapat berpotensi menjadi sumber fibrogenic
growthstimuli. Rekonstruksi bedah sedapat mungkin didesain untuk
mengurangi trauma jaringan dan wound tension, serta mencegah terjadinya
dead space, hematom dan infeksi. Reorientasi skar harus sejajar dengan
garis skin tension.2
Jika kulit sekitar eksisi tidak dalam kondisi tension yang berlebihan,
keloid berukuran kecil dapat dieksisi dan luka ditutup secara primer.
Namun jika penutupan primer tidak mungkin dilakukan dan memerlukan
tandur kulit, maka dilakukan eksisi keloid dengan meninggalkan daerah
berbentuk elips yang akan ditanamkan tandur kulit. Daerah berbentuk
elips ini berfungsi untuk menurunkan central tensile forces, dan
diharapkan dapat menurunkan kemungkinan untuk kambuh. Tandur kulit
full thickness lebih baik dibanding tandur kulit split thickness, karena
memungkinkan penutupan luka lebih baik dan menyediakan struktur
mikrovaskuler yang cukup untuk meyakinkan terjadi anastomosis dengan
struktur mikrovaskuler host sehingga mengurangi angiogenesis dan
proliferasi fibroblast.2
Bedah eksisi pada kebanyakan kasus keloid bukanlah tindakan
kuratif. Rekurensi setelah tindakan berkisar antara 45% sampai 100%.
Karena rekurensi yang tinggi ini, bedah eksisi saja tanpa terapi tambahan

13
bukanlah terapi terbaik. Eksisi sering menyebabkan skar yang lebih
panjang dari keloid asalnya dan bila kambuh dapat terjadi keloid yang
lebih besar lagi. Injeksi kortikosteroid intralesi untuk menurunkan angka
rekurensi dapat dilakukan intraoperatif atau pasca eksisi. Umumnya
digunakan triamsinolon asetonid intralesi, dimulai dua minggu setelah
eksisi, dilanjutkan sampai satu tahun atau sampai wound bed tetap sejajar
dengan kulit sekitar selama. Alternatif monoterapi tambahan lain adalah
imiquimod topikal dan terapi radiasi.18
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa wound tension yang
berlebihan mungkin menyebabkan pembentukan keloid, oleh karena itu
disarankan penyatuan tepi luka didesain untuk meminimalisir wound
tension. Perawatan seksama harus dilakukan untuk menjaga wound tension
di garis luka supaya tetap relaks, hal ini dicapai dengan teknik aseptik dan
dengan mempertahankan wound eversion secara optimal.18
3. Radiasi
Mekanisme terapi radiasi dalam mencegah keloid masih sangat
kurang dimengerti. Radiasi diduga mengontrol sintesis kolagen dengan
cara mengeliminasi fibroblas abnormal dan meningkatkan fibroblas
normal yang telah ada. Radioterapi juga dihubungkan dengan
penghambatan pembentukan neovascular buds dan proliferating young
fibroblasts sehingga menurunkan produksi kolagen pada fase awal
penyembuhan luka. Analisis in vitro terapi radiasi terhadap fibroblas
keloid menunjukkan bahwa terjadi peningkatan apoptosis sel tersebut
akibat radiasi. Kombinasi pembedahan dengan radiasi pascaoperasi
merupakan metoda yang lebih efektif untuk mengatasi keloid
dibandingkan dengan terapi radiasi saja. Tingkat keberhasilan kombinasi
ini bervariasi antara 67 sampai 98% dengan angka rekurensi turun sampai
dibawah 20%. Radiasi biasanya dimulai segera setelah pembedahan
dengan dosis total tidak lebih dari 20 Gy selama beberapa kali pemberian.
Guix dkk menyimpulkan bahwa terapi radiasi dengan menggunakan high-

14
dose-rate brachyterapy lebih efektif dibanding superficial x-ray atau low-
energy electron beam.3
Efek samping yang sering terjadi adalah transient erythema dan
hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko karsinogenesis, sehingga
walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid, pasien harus
tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi.1
4. Cryotherapy
Cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal atau
dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi
keloid. Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan,
disemprotkan, dan disuntikkan intralesi. Dalam sebuah penelitian
randomized clinical trial, Layton dkk mendapatkan bahwa lesi vaskuler
dini berespon lebih baik secara signifikan dibanding lesi yang lebih besar,
sehingga disimpulkan cara ini efektif untuk keloid berukuran kecil.15
Bahwa kerusakan sel dan mikrovaskuler yang diakibatkan oleh
cryotherapy, secara langsung menyebabkan stasis dan pembentukan
trombus sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid.
Secara in vitro, cryotherapy mampu mengubah sintesis kolagen dan
differensiasi keloidal collagen menjadi normal. Kelemahan cryotherapy
adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat dan waktu penyembuhan yang
lama, sehingga pasien sering tidak datang kembali. Metoda ini
memerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain. Pada pasien dengan
warna kulit gelap dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang dapat
menimbulkan masalah baru.3

15
5. Laser
Mekanisme yang mendasari efek terapi laser pada keloid, masih
belum jelas sepenuhnya. Coagulation necrosis pembuluh darah akibat efek
selective photothermolysis dan efek panas yang dihasilkan oleh energi
laser menyebabkan penghancuran kolagen, perbaikan susunan serat
kolagen, sintesis kolagen baru dan pelepasan histamin. Nekrosis pembuluh
darah juga menyebabkan penurunan aliran darah kapiler di papila dermis.
Kolagen yang baru terbentuk, bukanlah keloidal collagen melainkan
kolagen normal.19
Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang
pertama kali digunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous
wave CO2 laser sukses dalam eksisi keloid. Keuntungan laser adalah
bersifat non traumatik dan memiliki efek anti inflamasi. Namun
selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan continous wave
CO2 laser yang dilanjutkan dengan penyembuhan luka sekunder, gagal
menekan pertumbuhan dan mencegah rekurensi keloid. Saat ini laser CO2

16
digunakan untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain
dimulai.2
6. Silicone gel sheeting
Penggunaan silicone gel sheet merupakan suatu kemajuan baru
dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan skar hipertrofik. Silicone gel
sheet tersebut berupa gel like transparent, flexible, inert sheet dengan
ketebalan 3,5 mm yang digunakan untuk terapi dan pencegahan keloid
ataupun jaringan skar hipertrofik. Lapisan tersebut terbuat dari medical-
grade silicone (polimer polydimethylsiloxane)dan diperkuat dengan silicon
membranebacking. Lapisan tersebut dapat melekat dengan mudah pada
jaringan skar atau direkatkan dengan plester. Lapisan dapat dicuci setiap
hari dan dipakai kembali, maksimal sampai 12 hari. Silicone gel sheet
didesain untuk digunakan pada kulit yang intak. Lapisan membran tersebut
sebaiknya tidak digunakan pada luka terbuka atau pada kulit dengan
kelainan dermatologi yang mengintervensi kontinuitas kulit. Idealnya,
silicone sheet diaplikasikan pada stadium awal ketika jaringan skar mulai
menunjukkan tanda ke arah berkembangnya jaringan skar hipertrofik
(kemerahan, membesar). Pasien berisiko tinggi untuk menderita jaringan
skar abnormal, seperti pasien berumur di bawah 40 tahun, riwayat skar
hipertrofik atau keloid sebelumnya, atau kulit gelap dapat dianjurkan untuk
menggunakan silicone sheet segera setelah luka telah menyembuh (setelah
pengangkatan jahitan pada luka).1
Pembalutan dengan gel silikon efektif untuk keloid bila digunakan
setelah bedah eksisi, hal ini bertujuan untuk mencegah kambuhnya
keloid. Gel sheets dilaporkan dapat melembutkan skar dan menurunkan
ukuran skar, mengurangi eritem dan gejala gatal dan nyeri. Silicone gel
sheeting sebaiknya diaplikasikan segera setelah eksisi dan dilanjutkan
selama 12 jam per hari untuk 1 bulan. Lamanya pemakaian membutuhkan
tingkat kepatuhan pasien yang baik.15
Sebuah penelitian yang membandingkan penggunaan silicone gel
sheeting dengan non silicone gel sheets mendapatkan efektifitas yang sama

17
antara keduanya dalam mengurangi ukuran skar, mengurangi indurasi dan
mengurangi gejala. Hal ini menyiratkan bahwa efek yang menguntungkan
dari metoda ini sebenarnya adalah sifat oklusif dari lapisan gel yang
dipercaya meningkatkan hidrasi keloid, bukanlah materi silikonnya.4
7. 5-Fluorouracil
5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak
digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU
dikonversikan menjadi substrat aktif yang menghambat sintesis DNA
dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil. Penelitian terbaru
mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani
keloid. Kemampuan 5-FU untuk untuk mengganggu TGF-b signaling
merupakan dasar penggunaan 5-FU untuk menghambat pembentukan
keloid. Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap
keloid adalah dengan injeksi intralesi atau menempatkan kain yang
sebelumnya direndam dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup.
Efek samping yang sering terjadi adalah nyeri di lokasi injeksi,
ulserasi dan rasa terbakar.1
Beberapa terapi baru yang potensial adalah:
1. Panjang gelombang ultraviolet A(340-400 nm, UVA1), dapat
membantu mencegah kekambuhan setelah eksisi keloid melalui
kemampuannya untuk mengurangi sel mast.
2. Quercetin, flavonol, telah berhasil ditemukan untuk
menghambat proliferasi dan kontraksi fibroblas dari bekas luka
yang berlebihan.
3. Sedangkan Prostaglandin E2 (Dinoprostone) berfungsi untuk
mengembalikan perbaikan luka yang normal.
4. Pada Zat pemutih yang kuat karena keloid belum ditemukan
dialbinos dan mengalami penurunan ketika vitiligo
berkembang pada kulitas keloid.
5. Sebuah selmast inhibitor ampuh karena sel mast tidak hanya
meningkat pada keloid, tetapi juga memiliki hubungan yang

18
kuat dengan fibroblas diantara inflamasi dan stabil keloid.
Daerah regresi contral dari keloid tidak memiliki keintiman sel
fibroblast-mast.
6. Terapi gen
Krioterapi digunakan nitroge liquid yang mempengaruhi
mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal intrasel
yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas
tanpa modalitas terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi
pada 51 74% pasien setelah 30 bulan observasi. Eksisi Rekurensi dapat
terjadi sekitar 45-100% pada pasien dengan terapi eksisi tanpamodalitas
terapi lain seperti radioterapi atau injeksi kortikosteroid post eksisi.6
Terapi laser dapat digunakan laser karbon dioksida, laser argon atau
YAG laser. Dengan laser karbon dioksida, lesi dapat terpotong dan
terbakar dengan trauma jaringan yang minimal.6

I. Pencegahan
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor
resiko keloid, termasuk riwayat keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension
di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid timbul jika sebelumnya terjadi
cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga dapat
berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi.
Perhatian khusus harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat
keloid. Faktor yang dapat dikelola untuk mencegah terjadinya keloid adalah
daya mekanik luka (stretching tension), pencegahan infeksi luka dan reaksi
benda asing.21
Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah:
1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan
garukan)

19
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat.
5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika
tidur, untuk mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian
dalam ketat untuk mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat
payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai
korset.
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap
bersih dengan cara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat antibakteri
atau anti jamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah
luka (termasuk lubang tindik telinga) dengan benda asing.5

20
BAB III
KESIMPULAN

Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa


metoda terapi telah digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi.
Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat
tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan manipulasi terhadap aspek mekanis
penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan
degradasi kolagen, dan perubahan respon imun/inflamasi. Berbagai metoda
terbaru, seperti penggunaan antineoplastic agent, hasilnya cukup baik dan
menjanjikan. Terdapat algoritma penanganan yang cukup baik, namun diskusi
dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir terapi merupakan hal penting yang
harus dilakukan dalam menangani keloid.

21
DAFTAR PUSTAKA

.
1. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids.
Clinics in Dermatology 25:26-32.
2. Urioste, S.S., Arndt, K.A., Dover, J.S. 2013. Keloids and hypertrophic
scars: Review and treatment strategies. Seminars in Cutaneous
Medicine and Surgery 18(2):159-71
3. Durani, P., Bayat, A. 2008 Level of evidence for the treatment of keloid
disease. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery 61:4-
17
4. Sridharani, S.M., Magarakis, M., Manson, P.N., Singh, N.K., Basdag,
B., Rosson, G.D. 2010. The emerging role of antineoplastic agents in
the treatment of keloids and hypertrophic scars. Annals of Plastic
Surgery 64:355-61
5. Kose O, Waseem A: Keloids and Hypertrophic Scars: Are They Two
Different Sides of the Same Coin? Dermatol Surg 2012.
http://www.cardiothoracicsurgery.org.
6. Atiyeh BS: Nonsurgical Management of Hypertrophic Scars: Evidence
Based Therapies, Standard Practices, and Emerging Methods.
Aesthetic Plast Surg 2013, 31(5):468-92.
http://www.cardiothoracicsurgery.org.
7. Sjamsuhidayat R & Wim de jong. 2012.Buku Ajar Ilmu bedah edisi III.
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
8. Sjamsoe Daili. E,dkk. 2007. Penyakit kulit yang umum di Indonesia.
Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia.
9. Siregar, RS, Dr. SpKK . 2007. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit
Edisi 2. EGC. Jakarta.
10. Moore, KL. 2007. Anataomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates
11. Agung G. I. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; Tumor Kulit:
Tumor Jinak kulit; 5th ed, p. 230. ed: Djuanda A, Hamzah M, Aishah
S. Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 200
12. DOLORES WOLFRAM, MD, .2013.Hypertrophic Scars and
KeloidsFA Review of Their Pathophysiology, Risk Factors, and
Therapeutic Management . www.theaaams.com/wp.../12/Kelloids-
rx.pdf
13. Paul A.K . 2014. Medical and surgical therapies for keloids.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

22
14. Ulrich, D., Ulrich, F., Unglaub, F., Piatkowski, A., Pallua, N. 2013.
Matrix metalloproteinases and tissue inhibitors of metalloproteinases
in patients with different types of scars and keloids. Journal of Plastic,
Reconstructive & Aesthetic Surgery 63:1015-21
15. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. 2008. Current progress in
keloid research and treatment. J Am Coll Surg 206:731-41.
16. Steifert, O., Mrowietz, U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside.
Arch Dermatol Res 301:259-72
17. Ong, C.T., Khoo, Y.T., Mukhopadhyay, A., Masilamani, J., Do, D.V.,
Lim, J., dkk. 2010. Comparative proteomic analysis between normal
skin and keloid scar. British Journal of Dermatology 162:1302-15.
18. Ogawa, R. 2010. The most current algorithms for the treatment and
prevention of hypertrophic scars and keloids. Plast Reconstr Surg
125:557-68.
19. Kelly, A.P. 2009. Update on the management of the keloids. Semin
Cutan Med Surg. 28:71-6.

23

Anda mungkin juga menyukai