Anda di halaman 1dari 2

Pernikahan adalah suatu ikatan janji suci di mana keduanya menyatakan saling

berkotmitmen menyatukan dua hal yang berbeda. Perbedaan itulah yang nanti banyak sekali
ditemui dan dihadapi dalam kehidupan berumah tangga, baik dalam rumah tangga modern
ataupun rumah tangga konvensional, namun di balik itu semua masih erat kaitanya dengan
kaidah dan norma-norma dalam setiap kepala rumah tangga.

Salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk memperoleh keturunan. Tentunya
keturunan yang didambakan adalah keturunan yang sehat baik fisik maupun psikisnya. Namun
terkadang hal-hal yang tak terduga harus dialami suatu pasangan setelah anak mereka lahir di
dunia, misalnya saja anak yang terlahir dalam kondisi cacat bawaan. Hal tersebut pasti tidak
diinginkan oleh setiap orangtua, karena setiap orangtua pasti tidak meginginkan anaknya lahir
dalam kondisi yang kurang suatu apapun, namun apabila hal itu terjadi, mereka harus tetap
menerima kehadiran mereka dan membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang walaupun
dari segi psikis mereka pada awalnya tertekan.

Setiap orangtua terutama ibu selalu berharap dan berdoa menginginkan anaknya lahir
dalam keadaan sehat, normal, cerdas, dan bisa membanggakan orang tua. Menurut Hulock (
1980) semua anggota keluarga temasuk seorang ibu mempunyai konsep anak impian yang
mewarnai sikap mereka kepada bayi yang belum lahir.

Dengan berjalannya waktu, mereka mulai menerima keadaan buah hati mereka yang
mengalami suatu hal yang menurut pandangaan orang lain itu terjadi karena akibat dosa mereka
dimasa lalu, baik itu genetik bahkan kutukan, sehingga anak dengan kekurangan saat lahir akan
dicap sebagai anak yang aneh, tidak normal atau mungkin bisa dikucilkan dan dianggap bisa
membawa sial dalam suatu lingkungan masyarakat yang masih feodal. Biasanya pemikiran
seperti itu hanya terjadi di pelosok – pelosok desa yang belum mengerti, memahami dan
memaklumi penyebab suatu penyakit yang terjadi saat anak lahir dalam keadaaan tidak normal.

Secara sosial, batin dan finansial, seseorang tidaklah gampang untuk bisa menjalani
hidup dengan kondisi anak yang memiliki kelainan secara mental. Hal ini belum terindikasi
dengan jelas jenis keterbelakangan mental seperti apa yang dialami anak tersebut, karena kondisi
seperti itu banyak sekali macamnya tergantung dengan cirri-cirinya. Biasanya hal yang paling
sering kita temui dalam masyarakat yakni anak dengan ciri tidak bisa berjalan dari lahir sampai
usia 5 tahun, selalu disuapi, digendong, tetapi raut wajahnya sepeti anak yang normal. Orangtua
pasti malu, shock, menyangkal, perasaan sedih, perasaan bersalah bahkan seorang ibu bisa
depresi tentunya bingung untuk beradaptasi dan bersosialisasi ( Kubler Ross 2010)

Proses orangtua untuk menerima anaknya dalam kondisi seperti itu tidaklah mudah harus
butuh mental yang kuat, ketabahan, kesabaran dalam menjalaninya, bagaimana pun juga seorang
ibu tetap punya cara tersendiri untuk mengasuh anaknya tersebut, ibu adalah wanita yang sudah
mengandung, melahirkan serta bertangung jawab penuh dalam merawat anaknya. Rustamadji
dan Sudaryanti ( 2008) bahwa orangtua menerima seorang anak yang memiliki keterbelakangan
mental itu prosesnya sulit, apalagi anak tersebut dikategorikan memiliki kondisi mental yang
amat berat.

Rasa menerima orang tua dalam kondisi tersebut tidak luput dari kata bersyukur dan
percaya anak tetaplah titipan serta karunia terindah dari Yang Maha Esa apapun keadaanya (Q.
S. Al-Kahfi 18:46). Namun semua itu baik orangtua terutama seorang ibu tetaplah butuh
motivasi dan dukungan untuk tetap bisa lanjut dalam mengasuh anak tersebut, mendidiknya
sampai ke tahap yang diharapkan si anak. Di sini anak keterbelakangan mental diartikan sebagai
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang memiliki keunikan dalam bebagai jenis dan
karakternya yang sangat jelas dapat dibedakan dengan anak-anak normal lainya ( Poerwati, 2007
) untuk itu perlu proses dan cara bagaimana anak tersebut kebutuhanya bisa tercukup seperti
anak-anak nomal.

Data Biro Pusat Statistik tahun 2006, dari 222 juta penduduk Indonesia, sebanyak 0,7%
atau 2,8 juta jiwa adalah penyandang cacat. Data menunjukkan anak berkebutuhan khusus
termasuk penyandang cacat di Indonesia belum memiliki data yang pasti. Menurut WHO jumlah
anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun
atau sebesar 6.230.000 juta anak pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2) 2

Anda mungkin juga menyukai