Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang masih


menjadi masalah kesehatan masyarakat. TB adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama
Mycobacterium tuberculosis dan ditularkan melalui perantara droplet udara.1
Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga pendudiuk dunia.
Pada Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena pada
sebagian besar negara di dunia. Penyakit TB tidak terkendali, ini disebabkan
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular /
BTA (+). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita
baru TBC dengan kematian 3 juta orang. Jumlah penderita TB diperkirakan akan
meningkat seiring dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia.1
Tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru
TB dengan kematian karena TB sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap
100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA (+). Seorang
penderita TB aktif dapat menularkan basil TB kepada 10 orang di sekitarnya dalam
kurun waktu 1 tahun. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak
lengkap diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TB terhadap obat Anti–
tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistence (MDR).1
Indonesia telah melakukan beberapa survei resistensi OAT untuk
mendapatkan data resistensi OAT. Survei tersebut diantaranya dilakukan di
Kabupaten Timika Papua pada tahun 2004, menunjukkan data kasus TB MDR
diantara kasus baru TB adalah sebesar 2 %; di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2006, data kasus TB MDR di antara kasus baru TB adalah 1,9 % dan kasus TB MDR
pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 17,1 %; di Kota Makasar pada tahun
2007, data kasus TB MDR diantara kasus baru TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB
yang pernah diobati sebelumnya adalah 19,2 %. Hasil Survei terbaru yang dilakukan
di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan angka 2% untuk kasus baru
dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. Secara global, WHO pada tahun 2011
menggunakan angka 2% untuk kasus baru dan 12% untuk kasus pengobatan ulang
untuk memperkirakan jumlah kasus TB MDR di Indonesia.1,2
Kasus baru penyakit TB paru BTA (+) diwilayah kerja Puskesmas Lembasada
yang terdeteksi pada tahun 2017 adalah sebanyak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Resistensi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana kuman
tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resisten OAT pada
dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan
pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB resisten OAT.
Penatalaksanaan TB resisten OAT lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih
banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resisten. Penerapan Manajemen
Terpadu Pengendalian TB Resisten Obat menggunakan kerangka kerja yang sama
dengan strategi DOTS dengan beberapa penekanan pada setiap komponennya 4,5
2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya TB Resisten Obat
Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah
manusia sebagai akibat tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan
dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat tersebut dapat ditinjau
dari sisi : 5
1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :
 Diagnosis tidak tepat,
 Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
 Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat,
 Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat
2. Pasien, yaitu karena :
 Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
 Tidak teratur menelan paduan OAT,
 Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.
 Gangguan penyerapan obat
3. Program Pengendalian TB , yaitu karena :
 Persediaan OAT yang kurang
 Kualitas OAT yang disediak
 an rendah (Pharmaco-vigillance).
2.3 Kategori resistensi obat
a. Monoresistence: resistensi terhadap salah satu dari OAT.
b. Poly‐resistence: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid
(INH) dan rifampisin secara bersamaan.
c. Multidrug‐resistence (MDR): resisten terhadap sekurang‐kurangnya INH
beserta rifampisin.
d. Extensive drug‐resistence (XDR): Multidrug‐resistence ditambah
resistensi terhadap salah satu golongan fluoroquinolon, dan sedikitnya
satu dari tiga jenis obat lini kedua injeksi (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).4
2.4 Suspek TB-MDR
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah:5
1. Kasus TB paru kronik.
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon
dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan
atau kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.
2.5 Mekanisme Resistensi
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan yang telah mengalami mutasi.
Mutasi dapat terjadi spontan menghasilkan resistensi OAT. Diantara satu dalam 106-
108basil tuberkel adalah mutan spontan yang resisten terhadap obat OAT lini
pertama,6
Populasi galur Micobacterium tuberculosis resisten mutan dalam jumlah kecil
dapat dengan mudah diobati, namunterapi TB yang tidak adekuat menyebabkan
proliferasi dan meningkatkan populasi galur Mycobacterium tuberculosis yang
resisten terhadap obat anti tuberkulosis.4,6
Resisten lebih dari 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan
hasil penggunaan obat yang tidak adekuat, oleh karena itu sebelum penggunaan OAT
sebaiknya dipastikan Mycobacterium tuberculosis sensitif terhadap OAT yang akan
diberikan. Kemoterapi jangka pendek pun dapat menyebabkan galur lebih resisten
terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur
resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Selain
itu dengan meningkatnya koinfeksi TB HIV menyebabkan progresi awal infeksi
MDR TB menjadi risiko MDR TB dan peningkatan penularan MDR TB.6

2.6 Diagnosis TB-MDR

Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda (TB-MDR) dicurigai kuat jika


kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali
positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat
penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu:7
1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan
tidak sesuai standar terapi;
2) Kontak dengan kasus TB-MDR;
3) Gagal terapi atau kambuh;
4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV);
5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB
Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa,
dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus
dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.6,7
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode
ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka
belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode terbaru ini adalah
metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya
telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan
sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang
tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih
sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi
klinik secara rutin.6,7
Metode fenotipik Metode fenotipik baru Metode genotipik
konvensional
Metode proporsional Metode phage-based Rangkaian DNA
Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase
Agar
Metode konsenstrasi The nitrate reductase Teknik real-time
absolut assay Polymerase Chain
Reaction (PCR)
Metode radiometri The microscopic Microarrays
BACTEC observation broth-drug
susceptibility assay
Tabung indicator Metode agar thin-layer
pertumbuhan
mikobakterial
Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT

2.7 Tatalaksana Medikamentosa

Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun


berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-
masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat
diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara
lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya
pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus TB resisten OAT
dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB, resistensi obat harus di
antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil DST. Selanjutnya pemilihan
regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT disusun berdasarkan pada pola
resistensi obat, regimen pengobatan yang telah digunakan sebelumnya, penyakit yang
menyertai dan efek samping yang berhubungan dengan obat.2

Tabel 2. Pengelompokan OAT


Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut:2,4
 Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
 Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang
(cross-resistance)
 Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
 Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuaipotensinya.
Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus
dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
 Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
 Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
 Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarakpemeriksaan 30 hari.
 Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kaderkesehatan.

Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini
adalahpaduan standar (standardized treatment)yaitu:

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris dan dapat disesuaikan bila:
 Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
 Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
o Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test,
kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang
berbeda.
o Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas
sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.
o Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
o Terjadi perburukan klinis.
Ting- Obat Dosis Aktiviti Rasio kadar
katan
Harian antibakteri Puncak
Serum
terhadap MIC

1 Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid


menghambat
a.Streptomisin 20-30
organisme yang
b. Kanamisin multiplikasi aktif 5-7,5

atau amikasin

c. Kapreomisin 10-15

2 Thionamides 10-20 mg/kg Bakterisid 4-8

(etionamid

Protinamid)

3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada 7,5-10


pH asam
4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid 2,5-5
mingguan

5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3

6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4

7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

Tabel 3. Tingkatan OAT untuk pengobatan TB-MDR


2.8 Fase Pengobatan TB-MDR
I. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin
atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan
setelah terjadi konversi biakan.2,4
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
 Menilai keadaan pasien secara cermat
 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
 Tidak ditemukan efek samping
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan
pedoman pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas
kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral
ditelan di rumah pasien hanya pada libur
II. Fase pengobatan lanjutan
 Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
 Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
 Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan

2.9 Pemantauan Dan Hasil Pengobatan

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap


pengobatandan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –
batuk,berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa
bulanpertama pengobatan.Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan
biakan. Hasil ujikepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan
dahak danbiakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
faselanjutan.Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:2,4
 Penilaian klinis termasuk berat badan
 Penilaian segera bila ada efek samping
 Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulanpada fase
lanjutan
 Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversibiakan
 Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan
akankegagalan pengobatan
 Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat
suntikan(Kanamisin dan Kapreomisin)
 Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tandahipotiroid
Konversi dahak
Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama
dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi
(dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan
lama pengobatan).
Penyelesaian pengobatan fase intensif
 Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil
konversikultur
 Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6
bulandan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan
tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur
Lama pengobatan
 Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dankultur
 Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurang
kurangnya18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk
memperpendek lama pengobatan
Hasil pengobatan TB-MDR (atau kategori IV)
 Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif
berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12
bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama
waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya
keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif
tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang
diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari.2
 Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan
pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh
karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis
 Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB MDR.
 Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat
dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu
dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal
apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara
dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping.
 Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama
berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan
medik
 Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain
dan hasil pengobatan tidak diketahui

2.10 Pencegahan

Pencegahan terjadinya resistensi obat


WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB,
selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko
terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah
dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan
pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi
OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus
baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada
pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman
terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting,
pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah
memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan
kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS).
Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence
based” dan tes kepekaan kuman.2,4
Strategi DOTSPlus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan
strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada
penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen
kunci:1,4
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug
resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan
uji kepekaan yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan
pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam
penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih
banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program
DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. A.
Umur : 40 tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
Pendidikan terakhir : SMP.
Alamat : BTN Palupi Blok D No. 22

3.2. Anamnesis
Keluhan utama: Sesak napas.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Awalnya os mengeluhkan adanya batuk berdahak yang hilang timbul disertai
sesak napas yang dirasakan sejak setahun yang lalu. Sebelum menjalani pengobatan,
os sering mengeluhkan batuk berdahak yang diserai dengan sesak napas hingga
pasien mengaku sering menjalani perawatan di rumah sakit. Batuk berdahak tidak
pernah disertai pengeluaran darahh. Os juga mengaku sering berkeringat pada malam
hari dan kada disertai dengan demam serta sulit tidur. Nafsu makan pasien dirasakan
sangat menurun sehingga berat badan pasien juga diakui turun drastis sejak setahun
terakhir. Os sedang menjalani pengobatan TB MDR yang sudah berlangsung selama
kurang lebih 1 bulan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Os mengaku pernah menjalani pengobatan OAT bersama suaminya pada tahun 2011.
Os mengaku pengobatannya tuntas dan pada saat diperiksa dahak dan foto dada
dinyatakan sudah bebas kuman, namun suami os tidak menuntaskan pengobatannya
dengan alasan sering bepergian keluar kota untuk bekerja dan hingga saat ini tidak
pernah kontrol.
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Suami os pernah menjalani pengobatan OAT pada tahun 2011 namu tidak
tuntas dan tidak pernah lagi kontrol hingga sekarang
 Anak kedua os berusia 19 tahun menjalani pengobatan OAT
 Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), Riwayat gangguan jantung (-)
Riwayat Pengobatan
Pada tahun 2011 os menjalani pengobatan OAT selama 6 bulan dan telah
menuntaskan program pengobatannya. Selama ini os mengaku bahwa ia biasanya
mengkonsumsi obat batuk yang dijual di warung untuk mengatasi batuk yang
dialaminya, namun keluhan batuk sulit mereda.
Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan:
 Os memiliki 3 orang anak:
I. Tn. I, 20 tahun, swasta, belum menikah.
II. Nn. F, 19 tahun, pelajar, belum menikah
III. An. S, 6 tahun, , pelajar, belum menikah.
 Os tinggal dirumah yang luasnya 92 m2 (8m x 12m) dengan 2 kamar tidur
bersama 2 orang anaknya (sekamar), dan 2 orang iparnya
 Os mengaku suami dan iparnya merokok dirumah.
 Os merupakan keluarga ekonomi menengah kebawah. Os tidak bekerja.
Penghasilan keluarga os diperoleh dari hasil kerja suaminya yang berada diluar
kota.
 Untuk air minum, Os mendapatkan air dari PDAM. Os mengaku ia memasak air
untuk keperluan konsumsi rumah tangga.
 Os memiliki fasilitas MCK di rumahnya, namun terlihat sangat kotor dan lembab
pada dinding dan bagian lantainya.
 Untuk memasak, keluarga os menggunakan kompor gas.
 Didalam rumah, terdapat beberapa peliharaan hewan berupa unggas yang
merupakan usaha dari iparnya.
 Ventilasi udara rumah os sangat kurang dan cenderung tertutup, lantai rumah di
semen kasar, dinding rumah disemen kasar, dan tidak ada plafon serta tampak
tidak tertata.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/90 mmHg
Frek. Nadi : 82 x/menit
Frek. Nafas : 28 x/menit
Suhu : 36,7 º C
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 153 cm
34
IMT : 1.532= 14.5 kg/m2

Status Gizi : Kurang

Status Generalis
Kepala-Leher
Kepala : Deformitas (-)
Rambut : Hitam, lurus
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)
Telinga : Liang telinga lapang, serumen (+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB

Paru
Inspeksi:
 Bentuk & ukuran: bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris.
 Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider
naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).
 Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif, tidak tampak hipertrofi SCM, otot
bantu abdomen aktif dan hipertrofi (-).
 Iga dan sela iga: pelebaran ICS (+).
 Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: cekung, simetris kiri dan
kanan
 Fossa jugularis: tak tampak deviasi
 Tipe pernapasan: torako-abdominal.
Palpasi:
 Trakea: tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V linea parasternal
sinistra.
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
 Gerakan dinding dada: simetris kiri dan kanan.
 Fremitus vocal: simetris kiri dan kanan.
Perkusi:
 Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi:
 Cor: S1 S2 tunggal regular, mur-mur (-), gallop (-).
 Pulmo:
 Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru .
 Rhonki (+/+).
 Wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi:
 Bentuk: simetris
 Umbilicus: masuk merata
 Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-), ikterik (-
), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-), petekie (-),
purpura (-), ekimosis (-), spider nevy (-)
 Distensi (-)
 Ascites (-)
Auskultasi:
 Bising usus (+) normal
 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)
Perkusi:
 Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)
 Nyeri ketok (-)
Palpasi:
 Nyeri tekan epigastrium (-)
 Massa (-)
 Hepatomegali (-)
 Spleenomegali (-)
 Tes Undulasi (-)
 Shifting dullness (-)
3.4. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan sputum hasil BTA (di RS Anutapura)
 Sewaktu (-)
 Pagi (+1)
 Sewaktu (-)
- Pemeriksaan Rontge thoraks: KP duplex lama aktif, Pleuritis bilateral, pleural
reaction sinistra.
3.5. Diagnosis Kerja
Tuberkulosis paru resisten ganda.
3.6. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Terapi OAT FDC Kategori 2 tahap intensif setiap hari selama:
 Rifampicin 150 mg/ Isoniazid 75 mg/ Pyranzinamid 400 mg/
Ethambutol HCl 275 mg Kaplet (selama 3 bulan)
 Streptomycin injeksi 325 mg (selama 2 bulan)
Terapi OAT FDC Kategori 2 tahap lanjutan 3 kali seminggu:
 Rifampicin 150 mg/ Isoniazid 150 mg Tablet (selama 5 bulan)\
 Ethambutol 400 mg Tablet(selama 5 bulan)
Non Medikamentosa
Edukasi:
 Penyakit yang diderita adalah penyakit TB yang menular dan bisa
menyerang siapa saja.
 Menjelaskan kepada os tentang gejala-gejala pada penyakit TB dan cara
penularannya.
 Membuang dahak pada wadah tertutup yang berisi pasir dan air sabun,
diganti minimal 1x sehari, kemudian menguburnya di tempat yang
jarang dilewati orang serta menggunakan masker.
 Menjelaskan kepada anggota keluarga os yang tinggal serumah dengan
os untuk memeriksakan dahaknya di laboratorium, untuk memastikan
adanya anggota keluarga yang lain yang mengidap penyakit TB seperti
os atau tidak.
 Menjelaskan kepada os agar tekun meminum obat dan suntik serta rutin
memeriksakan dirinya sampai dinyatakan sembuh untuk evaluasi
perkembangan penyakit TB di Puskemas, meskipun os sudah merasa
sehat sebelum dinyatakan sembuh.
 Jagalah kebersihan rumah dan pencahayaan di dalamnya, buka jendela
setiap hari pagi dan siang hari.
 Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
3.7. Prognosis
Dubia
3.8. Anjuran
Skrining terhadap anggota keluarga yang tinggal serumah dengan pasien.
BAB IV
PEMBAHASAN

Os adalah seorang perempuan berusia 40 tahun yang mengeluhkan adanya


sesak dan batuk berdahak yang hilang timbul sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu
dan semakin memberat. Awalnya os mengeluhkan adanya batuk berdahak yang
hilang timbul disertai sesak napas yang dirasakan sejak setahun yang lalu. Sebelum
menjalani pengobatan, os sering mengeluhkan batuk berdahak yang diserai dengan
sesak napas hingga pasien mengaku sering menjalani perawatan di rumah sakit. Os
juga mengaku sering berkeringat pada malam hari serta sulit tidur. Berat badan pasien
juga diakui turun drastic sejak setahun terakhir.
Os mengaku pernah menjalani pengobatan OAT bersama suaminya pada
tahun 2011. Os mengaku pengobatannya tuntas dan pada saat diperiksa dahak dan
foto dada dinyatakan sudah bebas kuman, namun suami os tidak menuntaskan
pengobatannya dengan alasan sering bepergian keluar kota untuk bekerja dan hingga
saat ini tidak pernah kontrol. Dari pemeriksaan fisik didapatkan penggunaan otot
bantu pernapasan dan ronki pada kedua lapang paru. Dari hasi pemeriksaan
laboratotium didapatkan BTA pagi +1, KP duplex lama aktif, Pleuritis bilateral,
pleural reaction sinistra. sehingga pasien ini di diagnosa dengan kasus MDR dengan
BTA positif.
Berdasarkan hasil penelusuran kasus ini, jika mengacu pada konsep kesehatan
masyarakat, maka dapat ditelaah beberapa faktor yang mempengaruhi atau yang
menjadi faktor resiko terhadap penyakit yang diderita oleh pasien dalam kasus ini.

1. Faktor Genetik/Biologis.
Pada kasus ini, os adalah seorang perempuan 40 tahun dengan status gizi
kurang. Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada usia muda atau usia produktif,
15–50 tahun. Keadaan malnutrisi, gizi kurang, atau kekurangan kalori, protein,
vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga
sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru.

2. Faktor Lingkungan
Lingkungan memegang peranan yang sangat penting dalam terjadinya sebuah
penyakit, apalagi penyakit tersebut adalah penyakit berbasis lingkungan. Hal ini tentu
saja dapat menyebabkan mudahnya terjadi infeksi apabila tidak ada keseimbangan
dalam lingkungan. Dalam kasus ini, lingkungan tempat tinggal mendukung terjadinya
penyakit TB yang dialaminya tersebut. Lingkungan rumah merupakan salah satu
faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran
kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai
beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni
rumah.
 Pencahayaan Rumah
Keadaan rumah os pada kasus ini tergolong lembab dan kurang cahaya.
Rumah os hanya memiliki satu buah jendela dan satu buah pintu untuk semua
ruangan. Bahkan ada ruangan yang tidak memiliki jendela sama sekali. Os dan
keluarga mengaku jarang membuka jendela dan gorden. Cahaya yang masuk ke
dalam rumah os sangat kurang. Hal ini menyebabkan mikroorganisme dapat
berkembang dengan pesat, termasuk kuman dan bakteri penyebab TB.
 Kepadatan Hunian Rumah
Rumah tempat tinggal pasien dalam kasus ini memiliki jarak yang sangat
dekat dengan rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Bahkan sebagian besar rumah
di lingkungan tempat tinggal pasien ini tidak memiliki halaman. Jarak antar rumah
satu dan lainnya ± 0,5-1 meter. Hal ini tentu saja dapat menjadi faktor pendukung
untuk tersebarnya penyakit TB dengan mudah.
Selain itu, luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan
jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 9
m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 8 m2/orang. Untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih
dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk
menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum
tingginya 2,8 m.
 Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila seseorang bekerja di lingkungan yang berdebu dengan paparan
partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya
TB paru. Pasien dalam kasus ini tidak bekerja lagi, dan hampir selalu berada di
lingkungan rumah sepanjang hari.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga
yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi
makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap
kepemilikan rumah (kontruksi rumah).
 Riwayat Kontak
Adanya riwayat kontak dengan suami os yang tidak menuntaskan pengobatan
bisa menjadi salah satu faktor terjadinya resistensi obat terhadap kuman penyebab.
Akibatnya anak kedua os juga harus menjalani pengobatan OAT.
3. Faktor Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
 Pengetahuan Yang Kurang Tentang TB
Os dan keluarga sebelumnya tidak mengetahui tentang TB, pengertian, faktor
resiko, penularan, akibat dsb. Pengetahuan yang rendah ini mempengaruhi
tindakanya yang menjadi kurang tepat. Pasien dan keluarga mengaku jarang
membuka jendela rumah, dan tidak segera memeriksakan diri ketika sudah ada
gejala sakit yang mengarah ke TB.
 Kebiasaan Merokok
Os dalam kasus ini termasuk perokok pasif karena didalam rumah terdapat
anggota keluarga yang merokok. Dengan adanya paparan asap rokok akan
mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
 Memelihara Hewan Didalam Rumah
Pada kasus ini terdapat hewan peliharaan berupa unggas yang dipelihara
didalam rumah. Hal tersebut bisa menjadi sumber penularan dan perkembang
biakan bakteri.
Lampiran:
Foto Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah Ny. A:
DAFTAR PUSTAKA
1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis:
emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(WHO/HTM/TB/2008.402)
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
3. UPTD Puskesmas Mabelopura, 2013. Profil Kesehatan Puskesmas
Mabelopura. Depkes RI, Palu.
4. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis
dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi
Imunologi FK Universitas Sumatra Utara. Available from
http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAAN-
TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-
TUBERCULOSIS.pdf
5. Kementrian Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional: Programmatic
Management of Drug Resistance Tuberculosis. 2011.
6. Global Tuberculosis Report 2012. World Health Organization
(WHO/HTM/TB/2012.6). available from
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/
7. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.

Anda mungkin juga menyukai