Anda di halaman 1dari 15

CAIRAN PERIOPERATIF PADA ANAK

PENGENALAN

Kondisi lapar (starvasi), pembedahan dan anestesi menyebabkan stress dan


perubahan fisiologik tubuh. Cairan intravena diberikan dalam mempertahankan
homeostasis selama periode perioperatif. Air dan elektrolit dibutuhkan untuk
mengkoreksi defisit dan memastikan volume intravaskular, cardiac output dan
terutama perfusi oksigen ke jaringantetap adekuat. Kalori dalam bentuk dekstrose
juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.

Mayoritas pada anak sehat yang menjalani operasi bedah minor (misalnya
sirkumsisi dan repair hernia), akan dapat minum langsung pada awal fase post
operatif dan tidak membutuhkan cairan intravena pada sebelum, selama, dan
setelah operasi. Waktu puasa harus diperhatikan sehingga anak tidak lama pada
keadaan tanpa intake dalam waktu yang lama jika memang dibutuhkan. Panduan
untuk puasa pada operasi elektif ditunjukkan pada tabel 1.

Pasien yang menjalani prosedur operasi yang lebih lama dan lebih banyak, atau
pasien yang mungkin diperparah dengan kondisi yang dimiliki sebelumnya, akan
membutuhkan cairan intravena selama operasi.

Cairan diberikan untuk tiga alasan berikut:

 Resusitasi: untuk koreksi hipovolemia yang ada sebelumnya atau terdapat


kondisi dehidrasi
 Pemeliharaan: untuk menyediakan air, elektrolit, dan glukosa selama
periode starvasi (kondisi lapar).
 Penggantian: pada kehilangan cairan yang terus menerus terjadi akibat
evaporasi baik dari luka terbuka operasi atau melalui humidifikasi
gas/udara inspirasi, perdarahan, pireksia (demam), kehilangan cairan di
gastrointestinal dan ruang ketiga (kebocoran cairan ke dalam jaringan)
selama periode operasi dan post operatif.
RESUSITASI

Beberapa anak yang mengalami dehidrasi atau keadaan hipovolemik harus


diresusitasi sebelum operasi dilakukan meskipun perjalanan alamiah penyakit dan
operasi itu sendiri dapat menghalangi tindakan ini. Pada kasus ini koreksi cepat
hipovolemia harus dimulai sesegera mungkin setelah induksi dilakukan untuk
mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi serebral.

Hipovolemia (kehilangan cairan dari ruang intravaskular) harus dikoreksi dengan


cepat, dimulai dengan pemberian bolus 10-20 ml/kg larutan kristaloid (seperti
saline 0,9%, Hartmanns, Ringer laktat, plasma-lyte). Darah harus
dipertimbangkan untuk diberikan jika hemoglobin atau hematokrit rendah
(hematokrit kurang dari 25%) atau juga dapat diberikan cairan lebih dari 40 ml/kg
jika diperlukan.

Tabel 1. Panduan Puasa pada Operasi Elektif

Jenis makanan/cairan Waktu minimum puasa (jam)

Cairan (air) 2
Air susu ibu 4
Susu formula 4 (usia < 3 bulan)
6 (usia >3 bulan)
Susu non-human 6
Tepung 6

Dehidrasi (kehilangan total cairan tubuh) harus dikoreksi lebih pelan, dan lebih
baik diberikan melalui rute oral jika bisa dan ada waktu, namun jika tidak, maka
menggunakan rute intravena. Teknik rehidrasi cepat dianjurkan oleh Assadi dan
Copelovitch, dimana mereka menggambarkan bahwa pemberian infus cairan awal
(dalam 1-2 jam) dengan cairan saline sebanyak 60-100 ml/kg dapat mengkoreksi
hipovolemia. Kemudian diikuti dengan koreksi dehidrasi lebih pelan selama 24-72
jam dengan saline 0,9%, 0,45% atau 0,2 % bergantung pengukuran kadar natrium
plasma. Natrium plasma harus diukur dengan interval reguler (setidaknya tiap 6
jam jika kadarnya diluar batas normal). Koreksi rehidrasi yang terlalu cepat
dengan cairan hipotonik akan menyebabkan edema serebral akibat terjadinya
hiponatremia sekunder.

Sebaliknya pada anak sehat yang menjalani puasa pre operatif akan mengalami
defisit cairan. Jumlah defisit dapat dihitung berdasarkan jumlah perkalian antara
banyak jam kebutuhan maintenans dengan jumlah jam puasa (lihat tabel 2).
Sebagian besar anak tidak membutuhkan penggantian defisit jika periode starvasi
singkat. Jika anak puasa dalam waktu yang lama, misalnya sepanjang malam, dan
tidak mendapatkan cairan per oral pre operatif, defisit dapat diganti selama
operasi menggunakan bolus 10-20 ml/kg cairan isotonik kristaloid. Untuk anak
yang menjalani operasi bedah minor, dipastikan anak memiliki hidrasi baik dan
dapat mengurangi kemungkinan mual dan muntah setelah operasi.

CAIRAN MAINTENANS – Aturan 4,2,1

Kebutuhan cairan maintenans dihitung berdasarkan estimasi pengeluaran kalori


dan luas permukaan tubuh. Rumus yang paling sederhana dan paling sering
digunakan yaitu Holiday dan Segar dan Modifikasi Oh, yang dikenal dengan
Aturan 4,2,1. Rumus ini berhubungan dengan pengeluaran energi (kalori) dan
volume cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan anak dalam kg (lihat
tabel 2 dibawah).

Kebutuhan elektrolit dan glukosa juga dihitung berdasarkan berat badan anak
(kebutuhan diet natrium dan kalium 1.2 mmol/kg/hari). Cairan maintenans ideal
yaitu yang mengandung air dan natrium, dengan dekstrosa yang ditambahkan
untuk membuat cairan yang isotonis dengan pembuluh darah (saline 0,2% dalam
dekstrosa 5% di Amerika; saline 0,18% dalam 4% dekstrosa di Inggris, dengan
penambahan kalium klorida (KCl) sebanyak 20 mmol/l jika dibutuhkan). Cairan
ini telah digunakan sebagai cairan maintenans intravena dalam dalam beberapa
tahun, meskipun validitasnya masih dipertanyakan dan penggunaan cairan
isotonik diatas telah dianjurkan, terutama pada periode perioperatif.
Neonatus (lebih dari 44 minggu setelah usia konsepsi) memiliki sedikit perbedaan
untuk kebutuhan cairan. Mereka lahir dengan membawa banyak cairan
ditubuhnya secara fisiologis tetapi kemudian berkurang sekitar 10% dari berat
badannya pada minggu pertama kehidupan.

Neonatus tidak boleh diberikan cairan atau natrium terlalu banyak pada beberapa
hari awal kehidupan, sehingga mereka hanya membutuhkan cairan maintenans
yang lebih sedikit dibandingkan yang telah disebutkan sebelumnya diawal,
kemudian ditingkatkan pada beberapa hari berikutnya. Bayi prematur atau dengan
berat badan lahir rendah memiliki rasio luas permukaan tubuh dan berat badan
lebih besar, sehingga memungkinkan kehilangan cairan melalui evaporasi, dan
akibatnya mereka membutuhkan cairan pengganti (tabel 3). Cairan yang biasa
diberikan yaitu dekstrosa 10% yang ditambahkan dengan saline, yang hanya
diberikan ketika diuresis post natal telah terjadi (misalnya pada hari ketiga
kehidupan).

PENGGANTIAN

Kehilangan cairan yang telah diukur harus diganti dengan cairan yang sama.
Cairan yang biasa digunakan yaitu kristaloid atau darah untuk mengganti
perdarahan dan mencegah penurunan kadar hemoglobin.

Tabel 2.Rumus Holiday dan Segar dan Modifikasi Oh

Holiday dan Segar Oh


Berat badan
1-10 kg 4 ml/kg/jam 4ml/kg/jam
10-20 kg 40 ml/jam + 2ml/kg/jam untuk 20 + (2x berat badan
setiap kenaikan 10 kg dalam kg)/dalam ml /jam
>20 kg 60 ml/jam + 1ml/kg/jam untuk 40 + (berat badan dalam
setiap kenaikan 20 kg kg) / dalam ml/ jam

Misalnya: anak dengan:


- 9 kg membutuhkan: 4 x 9 = 36 ml/jam
- 18 kg membutuhkan: 40 + (2x8)= 56 ml/jam
Atau menggunakan rumus versi Oh:
20 + (2 x 18) = 56 ml/jam
- 36 kg membutuhkan: 60 + 16 = 76 ml/jam
Atau menggunakan rumus versi Oh:
40 +36 = 76 ml/jam.

Tabel 3. Panduan Unit cairan bedah pediatrik untuk neonatus di RS


Shelfield Children, menurut berat badan post natal dan usia.

Usia Kebutuhan cairan (ml/kg/hari)


<1,0 kg 1,0-1,5 kg 1,55-2,0 kg >2,0 kg
Hari 1 100-200 80-100 60-80 40-60
Hari 2 120-150 116-150 90-110 60-90
Hari 3 150-170 140-160 120-140 80-100
Hari 4 180-200 160-180 140-160 100-120
Hari 5 180-200 170-200 150-180 120-150

Evaporasi cairan dari luka terbuka atau ruang ketiga bervariasi bergantung pada
jenis operasi dan mungkin melebihi dari 20 mk/kg/jam. Kehilangan cairan melalui
traktus intestinal, dan akibat humidifikasi gas inspirasi dapat mengurangi sistem
penyaring putaran atau HME (penyaring debu dan panas) pada sirkuit napas.

Neonatus memiliki volume cairan ekstraseluler yang besar yang relatif dengan
dewasa sehingga memiliki potensi mengalami kehilangan pada ruang ketiga lebih
besar. Penggantian dengan koloid (terutama albumin 4,5%) lebih sering
digunakan pada praktis klinis untuk neonatal dibandingkan anak yang usia lebih
tua.

Darah atau cairan lain yanghilang sering sulit diukur terutama ketika cairan irigasi
digunakan. Oleh karena itu status klinis anak harus dimonitor terus menerus
dengan memperhatikan frekuensi jantung, waktu pengisian kapiler dan tekanan
darah. Pada kasus yang lebih kompleks dimana terjadi peningkatan suhu inti-
perifer secara gradien, output urine (volume dan osmolaritas), tekanan darah
invasif dan tekanan vena sentral harus dimonitor. Pada anak yang stabil dengan
analgesia, peningkatan frekuensi jantung dan pemanjangan waktu pengisian
kapiler merupakan indikator yang dipercaya dalam menilai kehilangan cairan;
hipotensi akibat hipovolemia terjadi relatif lebih lambat.

CAIRAN YANG MANA DAN KENAPA?

Cairan isotonik

Cairan isotonik mengandung konsentrasi yang sama dengan solut plasma,


sehingga memiliki tekanan osmotik yang sama. Dekstrose dimetabolisme di
darah, sehingga cairan dekstrose isoosmolar dengan plasma, dan isotonik secara in
vitro, ketika diberikan satu kali, dekstrose di metabolisme, dan efektif menjadi air.
Cairan dekstrose, meskipun mengandung elektrolit yang jumlahnya hampir sama
dengan plasma, tetap disebut sebagai cairan hipotonik. Tabel 4 menunjukkan
kandungan elektrolit tiap cairan intravena.

Hiponatremia dan ensefalopati pada anak

Anak yang diberikan cairan hipotonik dapat mengalami hiponatremia. Normalnya


ginjal akan mengeksresikan kelebihan cairan dengan cepat dan homeostatis
dipertahankan. Ketika tubuh menjadi stress akibat operasi, nyeri, mual atau
hipovolemia, kadar hormon antidiuretik (ADH) menjadi meningkat. Hormon
ADH menghambat ekskresi air oleh ginjal; air dikonversi, dan kadar natrium
plasma turun. Bahkan dapat terjadi hipovolemia relatif ringan akibat starvasi
operatif. Hal ini dapat meningkatkan kadar ADH. Jika kadar natrium plasma turun
secara cepat (hiponatremia akut), air akan berpindah ke dalam sel sebagai
kompensasi, dan menyebabkan pembengkakan sel. Otak yang terutama sensitif
dengan hiponatremia akut, dapat menunjukkan manifestasi edema serebral,
peningkatan tekanan intrakranial, dan dapat menyebabkan herniasi batang otak,
koma dan kematian. Pada anak prepubertas sering rentang untuk mengalami
kerusakan otak yang berhubungan dengan ensefalopati hiponatremia post operatif.
Analisis retrospektif pasien dengan hiponatremia akut menunjukkan lebih dari
50% anak menunjukkan gejala ketika kadar natrium plasma kurang dari 125
mmol/l, dan mortalitasnya sebesar 8,4% untuk hiponatremia berat akut.

Ensefalopati hiponatremia akut ditandai dengan gejala yang tidak spesifik seperti
nausea, muntah dan sakit kepala; dan jika tidak tertangani, hal ini dapat
berkembang dan menurunkan kesadaran, kejang, depresi napas dan kematian.
Nausea, muntah dan lethargi dapat berhubungan dengan efek samping dari
anestesi, namun sayangnya onset kejang dan depresi napas dapat menyebabkan
situasi yang semakin parah jika terlambat. Indeks kecurigaan yang tinggi harus
diperhatikan pada anak yang menerima cairan intravena; cairan hipotonik TIDAK
PERNAH diberikan pada periode perioperatif (lihat dibawah). Jika terjadi
kecurigaan hiponatremia, elektrolit plasma harus diukur dengan cepat.

Tabel 4. Kandungan elektrolit cairan intravena

Cairan Na+ K+ Cl- HCO33- Osmolalitas Tonisitas Lain pH


(mmol/l) (mmol/l) (mmol/l) (mmol/l) (mmol/l) (mmol/l) (mmol/l)

Dekstrose 5% 0 0 0 0 252 Hipotonik Dekstrose 4.0


50 g
Dekstrose 4%, 30 0 30 0 284 Hipotonik Dekstrose 4.0
saline 0,18% 40 g
Dekstrose 5% 75 0 75 0 432 Hipotonik Dekstrose 4.0
saline 0,45% 50 g
Dekstrose 5%, 150 0 150 0 586 Hipotonik Dekstrose 4.0
saline 0,9% 50g
Saline 0,9% 150 0 150 0 308 Isotonik 5.0
Ringer laktat 130 4 109 28 273 Isotonik Ca2+ 2 6.5
(laktat) mmol/l
4- 131 5 111 29 255 Isotonik Ca2+ 2 6.5
6.5Hartmann’s (laktat) mmol/l
Plasma-lyte 140 5 98 27 294 Isotonik Mg2+ 1,2 4-
148* (laktat) mmol/l 6.5
glukonate
23
mmol/l
Albumin 4,5% 100- <2 150 0 275 Isotonik 7.4
dalam saline 160
Gelofusine 154 <0.4 120 0 274 Isotonik Gelatin 7.4
40g
Hemasel 145 5 145 0 293 Isotonik Gelatin 7.4
35g

Hiponatremia akut simptomatik ditandai dengan kejang; dan merupakan suatu


kegawatdaruratan medis. Kasusnya seperti contoh berikut:

Seorang anak sehat 9 tahun datang untuk menjalani operasi elektif. Pasien
diberikan dekstrosa 4%, saline 0,18% untuk cairan maintenans selama operasi,
dan cairan dilanjutkan hingga post operatif. Pasien kemudian melemah setelah
operasi selesai, dan mengeluh sakit kepala dan mual. Cairan intravena tetap
dilanjutkan. Pada pukul 4.00 pagi, pasien tiba-tiba mengalami kejang.
Pemeriksaan elektrolit pada saat itu dilakukan dan menunjukkan kadar natrium
plasma 123 mmol/l. Pasien kemudian ditangani dengan cepat dengan saline
hipertonik (saline 3%) untuk koreksi natirum plasma, bukan cairan isotonik (dan
tentu saja bukan cairan hipotonik). Idealnya, anak tersebut harus di bawah ke ICU
pediatrik dan saline 3% yang diberikan seperti berikut:

- Diberikan 3% NaCl 2 ml/kg dalam 10 menit


- Diulang jika perlu 1-2 kali
- Mengecek ulang kadar natrium plasma setelah bolus kedua atau setelah 2
jam
- Menghentikan terapi ketika pasien sudah bebas gejala (bangun, sadar, dan
berespon terhadap perintah, dan mengalami resolusi / sembuh dari nausea
dan sakit kepala); peningkatan 5-6 mmol telah dicapai; atau terdapat
peningkatan akut natrium 10 mmol dalam 5 jam pertama.
- Tidak berlebihan melakukan koreksi natrium hingga lebih dari 15-20
mmol/liter dalam 48 jam.

Bagaimana dengan Dekstrose?

Dekstrose dibutuhkan untuk mencegah hipoglikemia ketika anak puasa, meskipun


hal ini tidak menjadi masalah besar dibandingkan yang telah dijelaskan
sebelumnya.

Variasi diurnal pada kadar kortisol memberikan efek pada kadar glukosa darah.
Kadar kortisol lebih tinggi pada pagi hari dibanding siang, sehingga anak yang
puasa sepanjang malam memiliki kadar glukosa darah lebih tinggi dibandingkan
yang puasa di siang hari. Respon stress terhadap pembedahan dapat menyebabkan
hiperglikemia pada anak yang lebih muda atau usia 2 minggu, bahkan jika tidak
diberikan cairan yang mengandung glukosa. Meskipun efek katastropik lebih
sedikit dibandingkan hipoglikemia berat, hiperglikemia juga memiliki efek yang
mengganggu dan harus dicegah. Pada iskemia atau hipoksia otak akibat
hiperglikemia dapat menyebaban akumulasi laktat, asidosis selular dan penurunan
fungsi seluler. Hiperglikemia juga menyebabkan diuresis osmotik, dimana
mengakibatkan dehidrasi dan gangguan elektrolit. Pemberian rutin cairan yang
mengandung dekstrose selama operasi dapat menurunkan risiko hipoglikemia.

Studi terkini menunjukkan bahwa hipoglikemia selama operasi jarang terjadi pada
anak. Pengecualian pada pasien dengan bayi prematur, neonatus usia kurang dari
48 jam, neonatus yang diberikan infus glukosa preoperatif dan anak dengan berat
badan dibawah persentil 3. Anak dengan blok regional ekstensif atau pembedahan
dengan durasi lebih dari 3 jam dapat menyebabkan risiko hipoglikemia
intraoperatif dan pasien dengan kelompok ini harus dipertahankan dengan infus
dekstrose yang tidak berkepanjangan.
Bagaimanapun, jika anak diberikan cairan bebas dekstrose setelah operasi, mereka
mungkin mengalami hipoglikemik, atau mereka akan mengalami metabolisme
lipid dan berkembang menjadi ketosis, terutama pada anak kurang dari 6 tahun.

Sebagian besar anak pada akhirnya dapat diberikan cairan kristaloid bebas
dekstrose seperti Hartmann/Ringer laktat selama operasi. Setelah operasi, seluruh
anak harus menerima cairan maintenans yang mengandung dekstrose. Beberapa
anak yang mungkin berisiko mengalami hipoglikemia harus mendapatkan monitor
kadar glukosa dengan interval reguler.

Dekstrose konsentrasi rendah harus digunakan (1-2,5%) pada anak dengan risiko
hipoglikemia selama operasi; saline 0,9% dengan dekstrose 5% dapat
menyebabkan hiperglikemia sedang. Cairan kristaloid isotonik yang mengandung
dekstrose 1% atau 2,5% tersedia secara komersial pada beberapa negara. Sebagai
alternatif, cairan yang dapat dibuat sebagai berikut:

- Hartmann’s Dekstrose 1% - ditambahkan 10 ml dekstrose 50% ke dalam


500 ml Hartmann’s
- Hartmann’s Dekstrose 2,5% - ditambahkan 25 ml dekstrose 50% ke dalam
500 ml Hartmann’s

Pilihan cairan isotonik selama operasi; saline atau cairan garam seimbang?

Saline memiliki kandungan klorida lebih besar dari plasma, juga dibandingkan
Hartmann, Ringer laktat atau plasma-lyte, dan dapat menyebabkan asidosis
hiperkloraemik (lihat tabel 4).

Cairan garam seimbang seperti Hartmann’s atau ringer merupakan cairan yang
sedikit hipotonik, dan dapat menyebabkan penurunan kadar natrium serum jika
diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Dampak klinis asidosis hiperkloraemik
tidak jelas, tapi pada praktis lebih sering digunakan cairan garam seimbang seperti
Hartmann’s, ringer atau plasma lyte selama operasi. Selalu mengecek elektrolit
pada penggunaan cairan intravena jangka panjang.

Kristaloid atau koloid?


Penggunaan kristaloid atau koloid masih kontroversial dalam beberapa tahun. Saat
ini, perhatian ditujukan pada penggunaan cairan starch intravena pada pasien
dengan sepsis dan/atau risiko gagal ginjal. Terdapat sedikit bukti pada anak (dan
bukti kurang untuk mendukung penggunaan gelatin intravena pada anak). Cairan
koloid juga dapat menyebabkan penurunan plasma hemoglobin yang lebih besar
dibandingkan cairan kristaloid dengan volume yang sama, dan mungkin
meningkatkan kebutuhan untuk transfusi darah. Koloid lebih mahal dibandingkan
kristaloid, gelatin berhubungan dengan peningkatan risiko anafilaksis, dan efek
jangka panjang pemberian cairan starch pada anak belum diketahui. Pendekatan
pragmatis menyarankan bahwa cairan garam seimbang harus digunakan lebih
banyak dibandingkan koloid selama operasi, dengan transfusi darah ketika
dibutuhkan.

Keputusan untuk transfusi?

Hampir semua anak yang menjalani operasi dalam kondisi sehat dengan fungsi
kardiorespirasi normal, dan memiliki perfusi oksigen jaringan yang baik, terutama
pada bayi dengan cardiac output yang relatif tinggi, dan mereka dapat
mentoleransi anemia dengan baik. Bagaimanapun, neonatus yang memiliki kadar
HbF yang tinggi dan membutuhkan Hb yang lebih tinggi, karena HbF kurang
efisien membawa oksigen ke jaringan; sama halnya dengan pasien dengan
penyakit jantung sianotik dengan perfusi oksigen yang kurang baik ke jaringan.
Sulit untuk menentukan kadar Hb untuk dijadikan sebagai “pemicu” atau
keputusan untuk melakukan transfusi, tapi kadar yang dianjurkan terdapat pada
tabel 5. Idealnya, kadar Hb harus diukur secara reguler selama operasi; darah
harus ditransfusi untuk meminimalkan paparan donor, biasanya dengan dosis 10-
20 ml/kg. Terdapat rumus untuk memprediksi peningkatan Hb, sebagai berikut:

- Transfusi 8 ml/kg dengan whole blood akan meningkatkan Hb sebesar 1


g/dl
- Transfusi 4 ml/kg dengan PRC (packet red cell) akan meningkatkan Hb
sebesar 1 g/dl.
Tabel 5. Kadar Hb yang dianjurkan untuk keputusan transfusi darah pada
anak

Kadar Hb sehingga harus melakukan transfusi


darah g/dl
Anak sehat 70
Neonatus (yang tidak 120
tertranfuso) – HbF tinggi
Penyakit jantung sianotik 100-120
Sepsis berat awal 100
Anemia kronik Untuk mempertahankan Hb dalam batas normal

Cairan maintenans post operatif

Pilihan cairan maintenans pada periode post operatif masih kontroversial; pilihan
cairan yang mengandung natrium dan dekstrose lebih dipertimbangkan. Cairan
hipotonik yang mengandung saline 0,18% dalam 4% destrose TIDAK BOLEH
digunakan pada periode perioperatif.

Anak yang lebih dari 6 tahun membutuhkan sumber dekstrose post operatif untuk
mencegah hipoglikemia dan mencegah lipolisis. Cairan hipotonik tidak boleh
diberikan jika kadar natrium plasma kurang dari 140 mmol/l, meskipun
pengukuran elektrolit mungkin saja tidak dilakukan. Jika cairan hipotonik
mengandung saline 0,45 % diberikan segera setelah periode post operatif, kadar
natrium plasma akan turun akibat peningkatan ADH.jika kadar natrium plasma
rendah, dapat digunakan saline 0,45%/ ketika kadar elekrolit plasma tidak
diketahui, lebih aman menggunakan saline 0,9% pada pasien dengan peningkatan
kadar natrium plasma, dibandingkan jika memberikan cairan hipotonik pada
pasien hiponatremia. Pendekatan pragmatis menyarankan bahwa cairan isotonik
yang mengandung dekstrose, seperti saline 0,9% dekstrose 5%, atau
Hartmann/ringer/plasma lyte dekstrose 5%, harus digunakan sebagai cairan
maintenans segera pada periode post operatif.
Merupakan hal penting jika keseimbangan cairan dan tanda vital terus menerus
dimonitor pada periode post operatif, idealnya termasuk output urine, elektrolit
plasma harian dan berat badan anak. Kehilangan abnormal cairan seperti dari
NGT atau drain luka operasi harus diukur dan diganti dengan saline 0,9% + 10
mmol KCl. KCl tidak boleh ditambahkan pada cairan maintenans sampai output
urine stabil (biasanya 2 hari post operasi). Cairan intravena harus dihentikan
sesegera mungkin pada periode post operatif; merupakan hal yang lebih baik jika
anak dapat mengontrol keseimbangan cairannya sendiri.

Regimen cairan perioperatif yang dianjurkan:

- Selama operasi: gunakan hartmann/ringer/plasma lyte dan/atau darah jika


terindikasi klinis. Berikan bolus cairan 10-20 ml/kg dan nilai tanda vital.
- Dekstrose dosis rendah dapat dibutuhkan oleh neonatus dan mereka yang
berisiko mengalami hipoglikemia; cek kadar gular darah secara reguler.
- Cairan maintenans post operatif: berikan cairan isotonik dengan dekstrose
5% dan hitung kebutuhan cairan menggunakan aturan Holiday dan Segar
dan aturan 4-2-1.
- Berikan cairan tambahan untuk koreksi defisit, berikan saline 0,9% bila
dicurigai terdapat kehilangan cairan yang terus menerus.
Hartman/ringer/plasma lyte, koloid, atau darah juga diindikasikan.

Studi FEAST

Studi FEAST melakukan studi kontrol acak dengan skala besar pada 6 rumah
sakit di Afrika (Kenya, Uganda, dan Tanzania), yang diterbitkan pada 2011. Anak
yang berusia 2 bulan sampai 12 tahun dengan doagnosis penyakit demam berat
(mengalami gangguan kesadaran dan/atau distress pernafasan dengan gangguan
perfusi) secara acak menerima bolus cairan 20 ml/kg dari saline 0,9% atau 20
ml/kg dari albumin 5 % ketika mereka datang ke rumah sakit; atau mereka masuk
dalam kelompok kontrol dan ditangani dengan cairan maintenans rutin
menggunakan aturan 4-2-1. Lebih dari 3000 anak dimasukkan dalam uji in,
dimana ini merupakan studi terbesar mengenai resusitasi cairan pada anak. Anak
dengan gastroenteritis, luka bakar atau yang membutuhkan operasi TIDAK
dimasukkan pada studi ini.

Hasilnya mengejutkan, dan menyebabkan uji dihentikan lebih awal untuk alasan
keamanan. Pasien yang mendapatkan bolus cairan, 3,3% lebih banyak meninggal
dalam 48 jam pertama setelah masuk rumah sakit dibandingkan anak pada
kelompok kontrol yang menerima cairan maintenans rutin. Anak pada studi
semuanya dalam kondisi yang parah berat (76% mengalami gangguan kesadaran,
83% mengalami distress pernafasan); 57% dengan malaria, dan 32% memiliki Hb
kurang dari 5 g/dl, namun efek samping bolus cairan masih terlihat pada yang
tidak malaria dan mereka yang tidak memiliki anemia berat. Alasan tingginya
mortalitas pada pemberian bolus cairan belum jelas, pasien pada awal pemberian
menunjukkan gejala baik, namun keuntungan klinis tidak dipertahankan. Tidak
terdapat fasilitas pelayanan intensif pada studi rumah sakit dan kejadian terminal
terbanyak pada kasus adalah syok kardiogenik. Hal ini dianggap bahwa syok
kardiogenik merupakan kemungkinan alasan mortalitas, dan pemberian bolus
yang berlebihan pada adaptasi ini, atau mungkin terdapat efek yang tidak
diketahui lainnya pada cairan bolus yang berhubungan dengan asidosis
hiperkloraemik. Penelitian lebih banyak dibutuhkan.

Kesimpulan penting dari studi ini adalah penyakit kritis pada anak dengan sepsis
di Afrika tidak boleh menerima resusitasi cairan cepat dengan saline atau albumin,
tapi harus menerima cairan intravena pada kecepatan maintenans yang normal,
dan terapi definitif harus untuk sepsis segera diberikan (misalnya antibiotik atau
antimalaria). Penulis berkesimpulan bahwa anak dengan gastroenteritis akut atau
luka bakar atau kondisi pembedahan mungkin masih membutuhkan cairan
resusitasi, yang sesuai dengan studi FEAST pada anak di negara dengan
pendapatan tinggi masih belum jelas, namun protokol terapi saat ini harus di
evaluasi ulang.

KESIMPULAN
Anak tidak boleh puasa dalam periode yang lama sebelum operasi, dan cairan oral
harus diberikan. Cairan intravena harus diberikan secara hati-hati, dengan
beberapa obat:

- Mayoritas anak sehat yang menjalani bedah minor akan kembali


mendapatkan intake oral dalam fase post operatif awal dan tidak perlu
diberikan cairan intravena rutin.
- Hipovolemia harus dikoreksi dengan infus cepat dengan cairan isotonik,
sedangkan dehidrasi dikoreksi lebih lambat dalam 14-72 jam. Kehilangan
cairan yang terus berlanjut harus diukur dan diganti.
- Selama operasi, sebagian besar anak usia lebih 1 bulan akan
mempertahankan kadar gula darah normal ketika cairan isotonik, non-
dekstrose diberikan.
- Cairan hipotonik harus digunakan pada perawatan periode perioperatif,
dan tidak boleh diberikan dalam infus dalam volume besar atau lebih dari
cairan maintenans. Saline 0,18% dekstrose 4% TIDAK BOLEH
digunakan.
- Idealnya, kadar elektrolit plasma, glukosa, dan hemoglobin (atau
hematokrit) harus diukur secara reguler pada anak yang menerima cairan
intravena volume besar, atau yang mendapatkan cairan intravena lebih dari
24 jam.
- Anak dengan penyakit kritis dengan sepsis harus menerima cairan
intravena dengan kecepatan maintenans normal dan juga memberikan
terapi definitif. Mereka tidak boleh menerima cairan intravena bolus untuk
resusitasi.

Anda mungkin juga menyukai