Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama

Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit

yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap

tahunnya dikarenakan penyakit ini.

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang

menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang

belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga

ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut

menjadi jelas. Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang

dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat

ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami

perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-

anak.

Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang

sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus – kasus tertentu diperlukan

tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum

ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI VERTEBRAE

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5

buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap

dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu

membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat

kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya

nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan

gerakan kepala dan batang tubuh).

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai

mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari

tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung semakin

membesar daricranial hingga caudalsampai kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju

tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca. Korpus vertebra selain dihubungkan oleh

diskus intervertebralis juga oleh suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas

tulang punggung, kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk

mempertahankan stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis

yang berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan

kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.

2
DEFINISI

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan

granulomatosa yg bersifat kronisdestruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula

dengan nama Pottds disease of the spine atau tuberculousvertebral osteomyelitis bila disertai

paraplegi atau defisit neurologis.

Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebraT8 – L3 dan paling jarang pada

vertebraC1,2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang

menyerang arkus vertebrae. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun tulang

yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan

cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang

belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian

3
oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan

tangan jarang terkena.

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat 9.27 juta

kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per 100.000 populasi). Dari 9.27 kasus baru

ini, diperkirakan 44% atau 4.1 juta (61 per 100.000 populasi) adalah kasus baru dengan

smear-positif. India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan menduduki peringkat

pertama hingga kelima dalam hal jumlah total insiden kasus. Menurut laporan WHO tahun

2009, insidensi tuberkulosa di Indonesia pada tahun 2007 adalah 528.000 kasus atau 228 per

100.000 populasi per tahun. Dari jumlah ini, 236.000 merupakan kasus dengan smear positif

atau 102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2007adalah 566.000

atau 244 per 100.000 populasi per tahun.

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang

paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies

Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti

Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine

tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita

HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola

resistensi obat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang

bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang

konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri

tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin

4
merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk

membedakannnya dengan spesies lain.

PATOLOGI/KLASIFIKASI

Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder

dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya

penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui

pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi

lambat di bagian depan (anterior vertebral body).

Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuanakan menghalangi proses

pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi

TBCakan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas

atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior.

Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan

mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.

Kerusakan progresif bagiananterior vertebra akan menimbulkan kifosis. Perjalanan penyakit

spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:

1. Stadium implantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,

bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.

Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada

daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal

5
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada

diskus. Proses ini berlangsungselama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa

kaseosa serta pus yangberbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium

destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuksekuestrum dan kerusakan diskus

intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan

(wedginganterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya

kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi

ditentukan oleh tekanan abses kekanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai

kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudahterjadi di

daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan

paraplegia yaitu:

i. Derajat I Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.

Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

ii. Derajat II Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan

pekerjaannya.

iii. Derajat III Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas

penderita disertai denganhipoestesia atau anestesia.

iv. Derajat IV Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan

miksi.TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung

dari keadaan penyakitnya.Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan

6
ekstradural dari abses paravertebral ataukerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh

adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidakaktif atau sembuh terjadi

karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosisyang

progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan

dapat terjadidestruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residua, Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium

implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karenakerusakan vertebra yang massif di

depan.

MANIFESTASI KLINIK

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala

tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan

menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada

punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.

Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti

dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan

refleks Babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang

vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri

spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan

tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut.

Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan

medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda

yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah

paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas. Pada

tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan

7
menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada

mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama

gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian

posterior tulang juga terlibat.

DIAGNOSIS

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.

Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi gejala-

gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun;

sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

Anamnesa dan inspeksi :

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam

yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada

pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering

tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang

gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu

makan akan terlihat dengan jelas.

2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri

dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di

subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi

yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang

menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan

intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke

8
bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri

pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.

4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek,

karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,

mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh

satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat

asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin

mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak

pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong

trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor

respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan

tetraparesis.Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah

satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu

diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.

6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik

ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil

sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap

kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan

mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika

menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan

menyebabkan paralisis.

7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di

atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan

9
mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip

dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas

paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang)

skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.

9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada

kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan

pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari

alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik

dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung

kemih dan anorektal.

10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti

pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung

bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

Palpasi :

1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa

sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba

panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di

belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar

dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan

kuantitas pus dalam cold abscess.

2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

10
Perkusi : 1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus

vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.

Pemeriksaan Penunjang :

1. Laboratorium :

1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.

1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative

(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang

baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area

berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam

setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus (Tandon and Pathak 1973;

Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas

selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)

1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan

bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)

1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat

relatif.

1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,

typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan

dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.

1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).

Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.

11
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.

Cairan serebrospinal akan tampak: Xantokrom Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan

menggumpal. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut

responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970;

Traub et al 1984). Kandungan protein meningkat. Kandungan gula normal pada tahap awal

tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan. Pada

keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan menunjukkan

genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein

menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan kejadian

paralisis. Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini. Kandungan protein cairan

serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml. Kultur cairan

serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini

tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.

Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion

(concertina), sehingga disebut juga concertina collapse.

1. Sinar-X

Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan dan berguna

untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral.

Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan

osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya

kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran

fusiformis. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk

angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang

merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess

12
dengan baik Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan

metode Konstam.

Destruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang paling

bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis tuberkulosa dengan

sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (>79%).

2. CT Scan

CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan

vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT

myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak

tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi

lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan. Selain hal yang

disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan

menentukan luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan

pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.

13
3. MRI

MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan

vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat

dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya

dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah

terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan

jaringan. Peningkatan sinyalT1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan

radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala

klinis. Bagaimana membedakan spondilitis TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan

dijelaskan pada bagian diagnosis diferensial setelah ini.

4. Pencitraan lainnya

Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah lumbar. Dengan

pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume abses/massa iliopsoas yang mencurigakan

suatu lesi tuberkulosis. Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemeriksaan ini

hanya bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak spesifi

k dan ber-resolusi rendah. Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi, keganasan dan

trauma dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada spondilitis TB. Pencitraan

14
dengan Gadolinium diketahui berguna untuk mendeteksi infeksi TB diseminata. Penggunaan

pencitraan ini masih belum lazim pada spondilitis TB.

Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis

Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang belakang atau

aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan dipandu dengan CT scan

atau fluoroskopi. Spesimen kemudian dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan histologis,

kultur dan pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA positif

pada 60–89 persen kasus.

Studi histologi jaringan penting untuk memastikan diagnosis jika kultur negatif,

pewarnaan BTA negatif, sekaligus menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Temuan

histologi pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma epiteloid), sel

datia langhans dan nekrosis kaseosa. Sel epiteloid adalah sel mononuklear yang mem-

fagositosis basil tuberkulosis dengan sisa-sisa lemak kuman pada sitoplasmanya. Granuloma

epiteloid dapat ditemukan pada 89 persen spesimen yang merupakan gambaran khas histologi

infeksi TB. Superinfeksi kuman piogenik telah dilaporkan pada beberapa kasus. Jika biopsi

jarum tidak dapat memastikan diagnosis, biopsi bedah yang diikuti dengan kultur dapat

dipertimbangkan. biopsi bedah umumnya dilakukan pada keadaan dimana biopsi jarum

sangat berbahaya dan tidak menghasilkan spesimen (dry tap).

Kultur umumnya memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu 2 minggu. Kultur

sebaiknya diikuti dengan uji resistensi OAT. Spesimen yang cocok untuk dijadikan kultur

adalah organ-organ dalam, tulang, pus, cairan sinovial, atau jaringan sinovial. Media yang

dapat digunakan adalah media berbasis telur, seperti media Lowenstein-Jensen dan media

berbasis cairan, seperti BectonDickinson dan BACTECTM. Pajanan pasien dengan

fluorokuinolon sebelumnya akan memperlambat pertumbuhan kultur hingga 2 minggu.

15
DIAGNOSA BANDING

1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).

Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan

adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang

berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial

lain.

2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).

Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.

3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,

aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma)

Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda

dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara

radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara

untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.

4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena

tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior

bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

Penanganan Spondilitis Tuberkulosis

Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan penyakit

dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal.

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis menganjurkan

pemberian obat-obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan pemberian obat-obatan

dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis tuberkulosa bersifat individual

pada tiap kasus. Strategi manajemen optimal bergantung pada luas dan lokasi destruksi

16
tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis.

Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal

dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.

1. Pemberian Nutrisi yang Bergizi

2. Istirahat dan Immobilisasi

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang

dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini

ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut.

Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang

dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Immobilisasi leher dapat

dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18 bulan.

3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa

Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada individu

dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan

penatalaksanaan selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat

antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang

menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi dengan pemberian obat yang

lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and

American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan. Respon

pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya

defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi,

pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif

terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4

jenis obat, yaitu isoniazid (H) (5mg/kgBB/hari 10 mg/kgBB/hari hingga 300 mg/hari) ,

17
rifampicin (R) (10 mg/kgBB/hari hingga 600 mg/hari), pyrazinamide (Z) (15-

30mg/kgBB/hari) dan etambutol (E) (15-25 mg/kgBB/hari) , diikuti dengan fase lanjutan

4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin. Menurut The Medical Research Council,

terapi pilihan untuk spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah

isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan. Menurut pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang adalah 9 - 12

bulan, dengan panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE/ 7-10 RH.

TERAPI OPERATIF

Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami

perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk

pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya

kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur

selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian

terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak

memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi

secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester

tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang

terlibat. Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga

diindikasikan bila:

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi

2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau

kifosis berat saat ini

18
5. Penyakit yang rekuren

Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi

(Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:

A. Indikasi absolut

1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila

timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan

motorik

2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi

konservatif

3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi

terapi konservatif

4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring

dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya

nekrosis karena tekanan pada kulit.

5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar

yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena

trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa.

6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya

sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan

(indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif).

B. Indikasi relatif

1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya

19
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan

pengaruh buruk dari immobilisasi

3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau

kompresi syaraf

4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

C. Indikasi yang jarang

1. Posterior spinal disease

2. Spinal tumor syndrome

3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal

4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendektan

dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi

dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior

maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan

menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur

yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.

Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah

penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan.

Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus

tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan

perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian

rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan

20
langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi

dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior

dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus vertebra, adanya intabilitas

karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat serta tidak dapat

dilakukan pendekatan dari anterior.

Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan

bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak

mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior. Terapi operatif juga biasanya selain

tetap disertai pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-

24 bulan selanjutnya menggunakan spinal bracing. Pada pasien dengan lesi-lesi yang

melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan

eksternal dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi. Operasi pada

kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada pasien dengan

intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang

dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter.

Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur

utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior

akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di

anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di

laminar atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi

anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:

1. Pottds paraplegiaa.

21
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun

sequester atau invasi jaringangranulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan

tindakan operatif dengan cara dekompresi medulaspinalis dan saraf.

b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan

granulasi atau perlekatantulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

2. Ruptur abses paravertebraa.

a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga

menyebabkan empiema tuberculosis

b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas

abses yang merupakan coldabsces (Lindsay, 2008).

3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury).

Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pustuberkulosa,

sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pottds paraplegia “

prognosabaik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan

granulasi tuberkulosa (contoh :menigomyelitis “ prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering

berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis padatumor). MRI dan mielografi dapat

membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dancorda spinalis.

PROGNOSIS

Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak lesi,

4) defi sit neurologis, 5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid, 9) tingkat

edukasi dan sosioekonomi.

Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik. Namun, Parthasarathy dkk41

menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o

22
cenderung tidak responsif terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika,

dapat mengurangi kemampuan bernafas. Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan

vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan

yang sempurna pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis

spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk.

Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi

pasien untuk datang berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas

datang berobat sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia.

BAB III

KESIMPULAN

Spondilitis TB merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif

yng disebabkan oleh mikrobakterium TB. Spondilitis TB atau yang dikenal juga sebagai

penyakit Poot, paraplegi Pott, merurpakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.

Nyeri spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi tulang yang

lebih lanjut. Pengobatan tuberklosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk

menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.

Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan

tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa

23
neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi

serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.

24

Anda mungkin juga menyukai