Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan Stroke Non Hemoragik


Oleh Wita Widiani 1506800905
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM SARAF


Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan sel
Schwann). Neuron adalah sel-sel sistem saraf khusus peka rangsang yang menerima masukan
sensorik atau aferen dari ujung-ujung saraf perifer khusus atau dari organ reseptor sensorik dan
menyalurkan masukan motorik atau masukan eferen ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar, yaitu
organ-organ efektor. Neuron tertentu, disebut interneuron, hanya mempunyai fungsi menerima
dan mengirim data neural ke neuron-neuron lain. Interneuron tersebut disebut juga neuron
asosiasi sangat banyak pada substansia grisea, tempat antarhubungan menyebabkan banyak
fungsi integratif medula spinalis. Neuroglia merupakan penyokong, pelindung, dan sumber
nutrisi bagi neuron-neuron otak dan medula spinalis. Sel Schwann merupakan pelindung dan
penyokong neuron-neuron dan tonjolan neuronal di luar sistem saraf pusat (Price & Wilson,
2005).

Gambar 1. Anatomi sel saraf


Sistem saraf dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi
(PNS). SSP terdiri dari otak dan medula spinalis. SSP dilindungi oleh tulang tengkorak dan
tulang belakang. SSP juga dilindungi oleh suspensi cairan serebrospinal yang diproduksi dalam
ventrikel otak. SSP diliputi oleh tiga lapis jaringan yang secara bersama-sama disebut sebagai
meninges (dura mater, araknoid, pia mater). Otak dibagi menjadi otak depan, otak tengah, dan
otak belakang berdasarkan perkembangan embriologik. Batang otak merupakan sebutan untuk
otak tengah, pons, dan medula oblongata secara bersama-sama. Medula spinalis merupakan
suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen
magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbalis
pertama (L1) orang dewasa. Medula spinalis terbagi menjadi 31 segmen yang menjadi tempat
asal dari 31 pasang saraf spinal. Segmen-segmen tersebut dinamakan sesuai dengan vertebra
tempat keluarnya radiks saraf yang bersangkutan, sehingga medula spinalis dibagi menjadi
bagian servikal, torakal, lumbal, dan sakral (Price & Wilson, 2005).

Gambar 2. Meninges
PNS terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem
autonom (viseral). Secara anatomis, PNS dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang
saraf kranial. Saraf perifer terdiri dari neuron-neuron yang menerima pesan-pesan neural
sensorik (aferen) yang menuju ke SSP tubuh dan ekstremitas. Saraf eferen terutama
berhubungan dengan otot rangka tubuh. Sistem saraf somatis menangani interaksi dan respons
terhadap lingkungan luar. Sistem saraf autonom merupakan sistem saraf campuran. Serabut-
serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral (menangani pengaturan denyut
jantung, diameter pembuluh darah, pernapasan, pencernaan makanan, rasa lapar, mual,
pembuangan, dan sebagainya). Sistem saraf autonom terutama menangani pengaturan fungsi
viseral dan interaksinya dengan lingkungan internal. Sistem autonom dibagi menjadi dua
bagian, yaitu sistem saraf autonom parasimpatis (parasympathethic autonomic nervous system,
PANS) dan sistem saraf autonom simpatis (sympathethic autonomic nervous system, SANS).
Bagian simpatis meninggalkan SSP dari daerah torakal dan lumbal (torakolumbal) medula
spinalis. Bagian parasimpatis keluar dari otak (melalui komponen-komponen saraf kranial) dan
bagian sakral medula spinalis (kraniosakral). Beberapa fungsi simpatis adalah peningkatan
kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta penurunan aktivitas saluran cerna. Tujuan
utama SANS adalah mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stres atau yang disebut
respons fight or flight. Sebaliknya, sistem saraf parasimpatis autonom menurunkan kecepatan
denyut jantung dan pernapasan, serta meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan
kebutuhan pencernaan dan pembuangan (Price & Wilson, 2005).

Gambar 3. Saraf spinal


Gambar 4. Sistem saraf parasimpatik dan simpatik

Tabel 1. Fungsi-Fungsi Saraf Kranial


Saraf Kranial Komponen Saraf Fungsi
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas
Konstriksi pupil
Sebagian besar gerakan ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter
(menutup rahang, mengunyah);
gerakan rahang ke lateral
Sensorik Kulit wajah dan dua per tiga depan
kulit kepala; mukosa mata; mukosa
hidung dan rongga mulut, lidah, serta
gigi
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral
VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk
otot dahi, sekeliling mata, dan mulut
Lakrimasi dan salivasi
VIII Vestibulokoklearis
Cabang vestibularis Sensorik Keseimbangan
Cabang koklearis Sensorik Pendengaran
IX Glosofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa
pahit
X Vagus Motorik Faring, laring: menelan, refleks
muntah, fonasi; visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah; visera
leher, toraks, dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan
bagian atas dari otot trapezius:
pergerakan kepala dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Gerakan lidah

A. Pengertian
Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai
arteri otak (Price & Wilson, 2005). Menurut Batticaca (2008), stroke adalah suatu keadaan
yang timbul karena terjadi gangguan peradaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya
kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau
kematian. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark
serebrum. Stroke terbagi menjadi dua yaitu stroke hemoragik dan stroke nonhemoragik
(iskemik). Stroke iskemik merupakan stroke yang diakibatkan adanya obstruksi atau bekuan di
satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada
trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ
seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus
(Price & Wilson, 2005). Stroke iskemik merupakan komplikasi dari penyakit vaskular yang
ditandai dengan gejala penurunan tekanan darah yang mendadak, takikardia, pucat, dan
pernapasan yang tidak teratur (Batticaca, 2008).
Terdapat empat subtipe dasar pada stroke iskemik berdasarkan penyebab (Price &
Wilson, 2005):
 Stroke lakunar
Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan menyebabkan
sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama.
Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin-
lipid salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau
arteria vertebralis dan basilaris. Terdapat empat sindrom lakunar yang sering ditemui: (1)
hemiparesis motorik murni akibat infark kapsula interna posterior, (2) hemiparesis motorik
murni akibat infark pars anterior kapsula interna, (3) stroke sensorik murni akibat infark
talamus, dan (4) hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan yang
canggung akibat infark pons basal.
 Stroke trombotik pembuluh besar
Sebagian besar stroke ini terjadi saat pasien tidur, di mana pasien relatif mengalami
dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda stroke ini bergantung pada
lokasi sumbatan dan tingkat aliran kolateral di jaringan otak yang terkena. Stroke ini sering
berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di
arteria karotis interna.
 Stroke embolik
Asal stoke embolik dapat suatu areteri distal atau jantung (stroke kardioembolik). Stroke
yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan
efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien sedang
beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di bagian pembuluh darah yang
mengalami stenosis.
 Stroke kriptogenik
Stroke kriptogenik merupakan stroke yang terjadi tanpa penyebab yang jelas meskipun
telah dilakukan pemeriksaan diagnostik dan evaluasi klinis yang ekstensif.

Patogenesis
Sumbatan aliran di arteria karoti interna merupakan penyebab stroke pada orang berusia
lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga
terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna merupakan tempat tersering
terbentuknya aterosklerosis. Darah terdorong melalui sistem vaskular oleh gradien tekanan,
tetapi pada pembuluh darah yang menyempit, aliran darah yang lebih cepat melalui lumen yang
lebih kecil akan menurunkan gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis
mencapai suatu tingkat krisis tertentu, maka meningkatnya turbulensi di sekitar penyumbatan
akan menyebabkan penurunan tajam kecepatan aliran. Secara klinis, titik kritis stenosis pada
manusia adalah 80% sampai 85% dari luar potongan melintang lumen. Jika aliran darah ke tiap
bagian otak terhambat karena trombus atau emboli, maka mulai terjadi kekurangan suplai
oksigen ke jaringan otak. Kekurangan oksigen dalam satu menit dapat menunjukkan gejala
yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu
yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area yang
mengalami nekrosis disebut infark. Penyebab lain stroke iskemik adalah vasospasme, yang
merupakan respons vaskular reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapidan
araknoid dan pia mater meninges. Darah dan vasoaktif yang dilepas mendorong spasme arteri
yang berakibat menurunnya perfusi serebral. Spasme serebri atau vasospasme biasa terjadi
pada hari ke-4 sampai ke-10 setelah terjadinya perdarahan dan menyebabkan konstriksi aretri
otak. Vasospasme merupakan komplikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal
neurologis, iskemik otak, dan infark (Batticaca, 2008; Price & Wilson, 2005).

B. Faktor Risiko
1. Hipertensi – faktor risiko utama. Pengendalian hipertensi adalah kunci untuk
mencegah stroke.
2. Penyakit kardiovaskuler – embolisme serebral berasal dari jantung (
Penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri,
abnormalitas irama khususnya fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif).
3. Kolesterol tinggi.
4. Obesitas.
5. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral.
6. Diabetes – dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi.
7. Kontrasepsi oral (disertai dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi).
8. Merokok.
9. Penyalahgunaan obat (kokain).
10. Konsumsi alkohol.
(Brunner & Suddarth, 2002).

C. Manifestasi Klinis
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat,
dan jumlah aliran darah kolateral. Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya.

a. Hemiparesis dan hemiplagia.


Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) dan hemiplagia (paralisis pada salah satu sisi
tubuh) dari satu sisi tubuh dapat terjadi setelah stroke. Defisit ini biasanya disebabkan oleh
stroke pada arteri serebral anterior atau arteri serebral medial, yang menyebabkan infark
pada korteks frontal. Hemipegia lengkap melibatkan setengah dari wajah dan lidah serta
lengan dan kaki dari sisi lateral tubuh. Infark di sisi kanan otak menyebabkan hemiplegia
sisi kiri dan sebaliknya, karena serabut saraf menyeberang di saluran piramida ketika
rangsangan saraf berjalan dari otak ke korda spinalis.
Stroke menyebabkan hemiparesis atau hemiplegia yang biasanya mempengaruhi area
kortikal lain selain area motorik. Akibatnya, hemiparesis dan hemiplegia sering disertai
dengan manifestasi lain dari stroke, termasuk kehilangan hemisensory, hemianopia, apraxia,
agnosia, dan aphasia. Otot-otot dada dan perut biasanya tidak terpengaruh karena mereka
diinervasi dari kedua belahan otak. Ketika otot kelebihan kontrol volunternya kekuatan otot
fleksi tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan kontraktur serius.
Sebagai contoh, lengan terkena klien hemiplegi yang cenderung untuk rotasi internal dan
adduksi karena otot adduktor lebih kuat dari otot abductor. Siku, pergelangan tangan, dan
jari juga cenderung fleksi. Kaki cenderung dipengaruhi oleh rotasi eksternal pada sendi
panggul, fleksi di lutut dan plantar fleksi, dan supine di kaki.

b. Afasia
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin melibatkan salah satu
atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara, membaca, menulis, dan pemahaman
bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa terletak di belahan otak kiri dan diperdarahi oleh
arteri serebri medial kiri.
a) Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman komunikasi
dimana kemampuan komunikasi hanya lancar mengeluarkan isi pikiran, berbicara
dengan memakai kalimat yang panjang namun yang dibicarakan tidak mempunyai arti.
Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya
pada pasien tersebut terlihat tidak nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak
mampu menginterpretasikan pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik.
Afasia Wernicke berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan
infark pada lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata, seperti
“duduk!” atau “makan!”, juga tidak dipahaminya. Pasien tersebut hanya mengerti bila
dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak melalui penglihatan.
b) Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara. Namun,
penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan tubuh
sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan kerusakan di area Broca. Area
Broca adalah bagian dari otak manusia yang terletak di gyrus frontalis superior pada
lobus korteks otak besar. Area Broca letaknya berdampingan dengan area Wernicke.
Karena kerusakan terjadi berdampingan dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot
tubuh, penderita juga lumpuh di otot-otot tubuh sebelah kanan.

c. Disfagia
Menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan beberapa fungsi saraf
kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup bibir (CN VII: N. Pachialis), dan
lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus). Mulut merasakan rasa dan banyaknya bolus
makanan yang masuk (CN V dan VII) dan mengirim pesan ke pusat menelan (CN V dan
IX). Selama menelan, lidah mengerakkan bolus makanan ke arah orofaring tersebut. Faring
diangkat dan glotis menutup. Kontraksi otot-otot faring mengangkut makanan dari faring ke
esofagus. Peristaltik menggerakkan makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah sistem
vertebrobasilar menyebabkan disfagia.

d. Dysarthria
Dysarthria adalah artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan dalam berbicara.
Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia. Dengan dysarthria klien mengerti
bahasa tetapi memiliki kesulitan mengucapkan kata-kata. Tidak ada gangguan jelas dalam
tata bahasa atau dalam konstruksi kalimat. Seorang klien dysarthric dapat memahami
komunikasi verbal dan dapat membaca dan menulis (kecuali tangan dominan adalah
lumpuh, tidak ada, atau terluka).
Dysarthria disebabkan oleh distidakfungsi nervus cranial dari penyumbatan pembuluh darah
di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal ini akan menyebabkan kelemahan atau
paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan laring atau kehilangan sensasi. Tambahan, klien
dengan dysarthria akan mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan karena
kehilangan control otak.

e. Apraxia
Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik secara kompleks. Oleh
karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di beberapa area otak. Klien apraxia tidak
dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memakai baju. Klien dengan apraxia mampu
mengkonseptualisasikan isi dari pesan yang akan disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut
tidak dapat direkonstruksikan oleh otot.

f. Perubahan Visual
Penglihatan adalah proses komplek yang dikontrol oleh beberapa area di otak. Penyumbatan
di lobus parietal dan temporal dapat memotong serat saraf visual di traktus optikus dalam
perjalanan ke korteks oksipital dan memnyebabkan gangguan ketajaman penglihatan.
Persepsi tentang penglihatan mungkin terganggu. Gangguan penglihatan dapat
mempengaruhi terhadap ketidakmampuan klien untuk mempelajari keterampilan motorik.
Infark dapat menyebabkan fungsi dari CN III, IV, dan VI lumpuh dan diplopia.

g. Sindrom Horner’s
Sindrom Horner’s adalah paralisis saraf simpatis mata yang dapat menyebabkan
tenggelamnya bola mata, kontriksi pupil dan penurunan produksi air mata.

h. Agnosia
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mempersepsikan sensasi yang ada. Biasanya lebih
banyak terjadi tipe visual dan auditori. Agnosia mungkin dapat disebabkan dari oklusi di
arteri serebral medial dan posterior yang mensuplai aliran darah ke lobus temporal atau
oksipital. Klien dengan visual agnosia dapat melihat objek tetapi tidak dapat
mempersepsikan objek tersebut. Disorientasi dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk
mengenal lingkungan, suatu yang familiar atau simbol-simbol tertentu. Visual agnosia dapat
menigkatkan resiko injuri karena tidak dapat mengenal tanda-tanda atau symbol-simbol
bahaya. Klien dengan agnosia auditori tidak dapat mengartikan suara yang klien dengar
karena penurunan fungsi pendengaran atau kesadaran.

i. Defisit Sensorik.
Beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke dalam perubahan sensorik
dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus parietalis yang disuplai oleh arteri serebral
anterior atau medial. Defisit tersebut pada sisi kontralateral tubuh dan sering disertai dengan
hemiplegia atau hemiparesis. Sensasi rasa sakit yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan
temperatur yang mempengaruhi variasi tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai
persisten, rasa sakit terbakar berupa mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau
kepekaan yang meningkat. Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi kaki yang salah
saat berjalan.

j. Perubahan Perilaku.
Berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan emosi. Korteks serebral
interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal dan limbik memodulasi tanggapan
emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan kelenjar pituitary berkerja sama dengan
dengan korteks motorik dan area bahasa. Otak dapat dilihat sebagai modulator emosi, dan
ketika otak tidak berfungsi sepenuhnya, reaksi emosional dan tanggapan kekurangan
modulasi ini. Orang dengan stroke di otak kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat, dan
tidak terorganisir. Orang dengan stroke di otak kanan, atau tidak dominan, hemisfer sering
impulsif, melebih-lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang perhatian menurun, yang
meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal dari stroke di arteri serebral anterior
atau medial dapat menyebabkan gangguan pada memori, penilaian, berpikir abstrak,
wawasan, hambatan, dan emosi. Klien mungkin menunjukkan pengaruh yang datar,
kurangnya spontanitas, dan pelupa.

k. Inkontinensia
Stroke dapat menyebabkan disfungsi usus dan kandung kemih. Salah satu jenis neurologis
kandung kemih, kadang-kadang terjadi setelah stroke. Saraf mengirim pesan untuk
pengisian kandung kemih ke otak, tapi otak tidak menafsirkan pesan tersebut dan tidak
mengirimkan pesan untuk tidak buang air kecil ke kandung kemih. Hal ini menyebabkan
frekuensi, urgensi, dan inkontinensia. Penyebab lain dari inkontinensia mungkin
penyimpangan memori, kurang perhatian, faktor emosional, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi, gangguan mobilitas fisik, dan infeksi. Durasi dan keparahan disfungsi
tergantung pada tingkat dan lokasi infark tersebut.

Perbandingan Stroke Hemisferik Kiri dan Kanan

Stroke Hemisfer Kiri Stroke Hemisfer Kanan


Paralisis pada tubuh kanan Paralisis pada sisi kiri tubuh
Defek lapang pandang kanan Defek lapang penglihatan kiri
Afasia Defisit persepsi – khusus
Perubahan kemammpuan intelektual Peningkatan distraktibilitas
Perilaku lambat dan kewaspadaan Perilaku impulsif dan penilaian buruk

D. Patofisiologi
Terlampir.

E. Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral, dan
meluasnya area cedera. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
darah adekuat ke otak. Fungsi otak tergantung pada ketersediaan okksigen yang
dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.

Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan
viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi
ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan
potensi meluasnya area cedera.

F. Pemeriksaan Penunjang
a) Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti:
perdarahan, atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau rupture
b) CT Scan : memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark,
Catatan: mungkin tidak dengan segera menunjukkan semua perubahan tersebut
c) Lumbal pungsi; menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis,
emboli srebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intrakranial. Kadar
protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan adanya proses inflamasi.
d) MRI: menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
( MAV).
e) Ultrasonografi Dopler: mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem karotis
arterioskerotik seperti aliran darah/muncul plak)
f) EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g) Sinar X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah yang berlawanan dari massa yang meluas : kalsifikasi karotis interna
terdapat pada trombosis serebral; kalsifikasi dinding parsial dinding aneurisma
pada perdarahan subarakhnoid.

1. Kekuatan Otot
Tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0-5 (0 berarti lumpuh sama
sekali dan 5 normal). Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot/lumpuh total (0);
terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian yang
harus digerakkan oleh otot tersebut (1); ada gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu
melawan gaya gravitasi (2), dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat (3); dapat
melawan gaya berat dan dapat mengatasi sedikit tahanan yang diberikan (4); tidak ada
kelumpuhan/normal (5).

G. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

A. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


 Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, edema serebral,
interupsi aliran darah, gangguan oklusif
Intervensi Rasional Ket
Tentukan factor- factor yang Mempengaruhi penetapan intervensi,
berhubungan dengan keadaan/ kerusakan/ kemunduran tanda/gejala
penyebab khusus selama neurologist atau kegagalan
koma/ penurunan perfusi memperbaikinya setelah fase awal
serebral dan potensial memerlukan tindakan pembedahan
terjadinya peningkatan TIK dan/atau klien harus dipindahkan
keruang perawatan kritis (ICU) untuk
melakukan pemantauan terhadap
peningkatan TIK
Pantau/ catat status Mengetahui kecenderungan tingkat
neurologist sesering mungkin kesadaran dan potensial peningkatan
dan bandingkan dengan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan
keadaan normalnya/ standar kemajuan/resolusi kerusakan SSP.
Dapat menunjukkan TIA yang
merupakan tanda terjadinya trombosis
CVS baru
Pantau tanda- tanda vital, Variasi mungkin terjadi oleh karena
seperti catat adanya: tekanan/ trauma serebral pada daerah
hipertensi/ hipotensi. vasomotor otak. Hipertensi atau
Bandingkan tekanan daerah hipotensi postural dapat menjadi faktor
yang terbaca pada kedua pencetus. hipotensi terjadi karena syok
lengan. Frekuensi dan irama (kolaps sirkulasi perifer). Peningkatan
jantung, auskultasi bunyinya. TIK dapat terjadi (karena edema,
Catat pola dan irama dari adanya formasi pembekuan darah).
pernafasan , seperti;adanya Tersumbatnya arteri subklavia dapat
periode apneasetelah dinyatakan dengan adanya perbedaan
pernafasan hiperventilasi, tekanan dengan. adanyaperbedaan
pernafasan cheyne-stokes tekanan pada kedua lengan. Perubahan
terutama adanya bradikardia dapat
terjadi sebagai akibat adanya kerusakan
otak. Disaritmia dan murmur mungkin
mencerminkan adanya penyakit
jantung yang mungkin telah menjadi
pencetus CSV (seperti stroke setelah
IM atau penyakit katup).
Ketidak teraturan pernafasan dapat
memberikan gambaran lokasi
kerusakan serebral/peningkatan TIK
dan kebutuhan untuk intervensi
selanjutnya termasuk kemungkinan
perlunya dukungan terhadap
pernafasan.

 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neurovaskuler; kelemahan,


parestesia; flaksid/ paralysis hipotonik (awal) ; paralysis spastis
Intervensi Rasional Ket
Kaji kemampuan secara Mengidentifikasi kekuatan/
fungsional/ luasnya kelemahandan dapat memberikan
kerusakan awal dan dengan informasi mengenai pemulihan. Bantu
cara yang teratur. dalam pemilihan terhadap intervensi,
Klasifikasikan melalui skala sebab tekhnik yang berbeda digunakan
0- 4 untuk paralysis spatik dengan flasid.
Ubah posisi minimal setiap 2 Menurunkan resiko terjadinya trauma/
jam ( terlentang, miring), dan iskemia jaringan daerah yang terkena
sebagainya jika mengalami perburukan/ sirkulasi yang
memungkinkan bisa lebih lebih jelek dan menurunkan sensasi dan
sering jika diletakkan dalam lebih besar menimbulkan kerusakan
posisi bagian yang terganggu pada kulit/ dekubitus.
Letakkan pada posisi Membantu mempertahankan ekstensi
telungkup satu kalu atau dua pinggul fungsional; tetapi
kali sehari jika klien dapat kemungkinan akan meningkatkan
mentolelirnya ansietas terutama mengenai
kemampuan klien untuk bernafas
 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral;
kerusakan neuromuskuler; kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral;
kelemahan/kelelahan umum
Intervensi Rasional Ket
Kaji tipe/derajat disfungsi, Membantu menentukan daerah dan
seperti klien tidak tampak derajat kerusakan serebral yang
memahami kata atau mengalami terjadi dan kesulitan klien dalam
kesulitan berbicara atau
beberapa atau nseluruh proses
membuat pengertian sendiri komunikasi. Klien mungkin
mempunyai kesulitan memahami kat
yang diucapkan (afasia
sensorik/kerusakan pada area
wernick); mengucapkan kata- kata
dengan benar ( afasia
ekspresif/kerusakan pada area bicara
broca) atau mengalami kerusakan
pada kedua area tersebut
Bedakan antara afasia dengan Intervensi yang dipilih tergantung
disartria pada tipe kerusakannya. Afasia
adalah gangguan dalam
menggunakan dan
menginterpretasikan symbol- symbol
bahasa dan muyngkin melibatkan
komponen sensorik dan / atau
motorik, seperti ketidakmampuan
untuk memahami tulisan/ucapan atau
menulis kat, membuat tanda,
berbicara. Seseorang dengan
disartria dapat memahami, membaca,
dan menulis bahasa tetapi kesulitan
dalam membentuk/mengucapkan
kata sehubungan dengan kelemahan/
paralise dari otot- otot daerah oral
Perhatikan kesalahan dalam Klien mungkin kehilangan
komunikasi dan berikan umpan kemampuan untuk memantau ucapan
balik tyang keluar dan tidak menyadari
bahwa komunikasi yang
diucapkannya tidak nyata. Umpan
balik membantu klien merealisasikan
kenapa pemberi asuhan tidak
mengerti/berespon sesuai dengan
memberikan kesempatan untuk
mengklarifikasikan isi/makna yang
terkandung dalam ucapannya.

Mintalah klien untuk mengikuti Melakukan penilaian terhadap


perintah sederhana ( seperti; adanya kerusakan sensorik (afasia
sensorik).
“buka mata “) ulangi dengan
kata/ kalimat yang sederhana
Tunjukkan obyek dan minta Melakukan penilaian terhadap
klien untuk menyebutkan nama adanya kerusakan motorik (afasia
benda tersebut motorik), seperti; klien mungkin
mengenalinya tetapi tidak dapat
menyebutkannya
Mintalah klien untuk Mengidentifikasi adanya disartria
mengucapkan suara sederhana, Sesuai komponen motorik dari bicara
seperti “ sh” atau “pus” ( seperti; lidah, gerakan bibir, control
nafas) yang dapat mempengaruhi
artikulasi dan mungkin juga tidak
disertai afasia motorik.
Minta klien untuk menulis nama Menilai kemampuan menulis
dan atau kalimat yang pendek. (agrafia) dan kekurangan dalam
Jika tidak dapat menulis, membaca yang benar ( aleksia) yang
mintalah klien untuk membaca juga merupakan bagian dari afasia
kalimat yang pendek sensorik dan afasia motorik
Tempatkan tanda Menghilangkan ansietas klien
pemberitahuan pada ruang sehubungan dengan ketidak
perawat dan ruang pasien mampuannya untuk berkomunikasi
tentang adanya gangguan bicara. dan perasaan takut bahwa kebutuhan
Berikan bel khusus bila perlu. klien tidak akan terpenuhi dengan
segera. Penggunaan bel yang
diaktifkan dengan tekanan minimal
akan bermanfaat ketika klien tidak
dapat menggunakan system bel
reguler

 Perubahan persepsi-sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/ atau


integrasi.
Intervensi Rasional Ket
Evaluasi/ pantau secara Fungsi serebral bagian atas biasanya
teratur perubahan orientasi, terpengaruh lebih dahulu oleh
kemampuan berbicara, alam adanya gangguan sirkulasi,
perasaan/afektif, sensorik dan oksigenasi, Kerusakan dapat terjadi
proses pikir saat trauma awal atau kadang-
kadang berkembang setelahnya
Kaji kesadaran sensorik, Informasi penting untuk keamanan
seperti: respon terhadap klien. Semia system sensorik dapat
sentuhan, panas/ dingin terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan
peningkatan atau penurunan
sensitivitas atay kehilangan sensasi
Observasi respon perilaku, Respon individu mungkin berubah-
seperti; rasa bermusuhan, ubah namun umumnya seperti
emosi yang labil, frustasi, apatis dan
menangis, afekstif yang tidak muncul tingkah laku impulsive
sesuai, agitasi selama proses penyembuhan trauma
kepala

REFERENSI

Black and matasarin Jacobs. (1997). Medical Surgical Nursing: Clinical management for
continuity of care. (Edisi V). Philadelphia: Wb Sounders Company.
Ackley, B.J & Ladwig, G.B. (2011). Nursing diagnosis handbook: an evidence-based guide to
planning care. USA: Mosby Elsevier.

Black,J.M & Hawks, J.H. (2005). Medical surgical nursing: clinical management for positive
outcomes. 7th Edition. USA: Mosby Elsevier.

Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi VIII). Jakarta: EGC.
Donna D. Ignatavicius, dkk. (1999). Medical Surgical Nursing: Across the Health Care
Continum. (Edisi III). Philadelphia: Wb Sounders Company
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan holistic. (Edisi VI). Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. (1995). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. (Edisi
IV). Jakarta: EGC.
Lumbantobing, S.M. (1998). Neurologi klinik: Pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: FKUI
Doenges Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. (Edisi III). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai