Hermeneutika Al-Qur'an Fazlur Rahman
Hermeneutika Al-Qur'an Fazlur Rahman
A. Pendahuluan
Dewasa ini menggema gagasan-gagasan untuk melakukan rekonstruksi total atas warisan
kesejarahan umat Islam. Gagasan ini muncul karena ketidakmampuan warisan kesejarahan klasik
tersebut dalam menghadapi tantangan zaman. Sungguhpun demikian, karena corak dasar
peradabannya adalah teks, rekonstruksi yang dimaksud harus berangkat dari teks (al-Qur’an).
Untuk memenuhi kebutuhan itu, para pemikir Islam modern membuat perangkat metodologi
sesuai dengan basis keilmuan yang dikuasainya. Salah satu di antara mereka adalah pemikir besar
dari Pakistan Fazlur Rahman.
Fazlur Rahman lahir di Hazara Pakistan 21 September 1919. Ia lahir di tengah suasana
perseteruan tiga kubu, kaum modernis, tradisionalis, dan fundamentalis. Kaum modernis
merumuskan Negara Islam dalam bingkai ideologi modern. Kaum tradisionalis menawarkan
konsep Negara Islam tradisional; khilafah dan imamah. Sedangkan kaum fundamentalis
mengusung ide ‘kerajaan Tuhan’. Latar belakang ini menjadi pemicu baginya untuk mendalami
seluk-beluk keilmuan Islam dan berbagai metodologi pemikiran. Di tengah perdebatan inilah,
setelah menyelesaikan studinya di Lahore dan Oxford University, Rahman tampil mengemukakan
gagasan pembaharuannya.
1. Pendekatan Sosio-Historis
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat kembali sejarah yang melatari
turunnya ayat. Ilmu asbabun nuzul sangat penting dalam hal ini. Atas dasar apa dengan motif apa
suatu ayat diturunkan akan terjawab lewat pemahaman terhadap sejarah. Pendekatan historis
hendaknya dibarengi dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang
terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan. Dalam ranah sosiologis ini, pemahaman terhadap al-
Qur’an akan senantiasa menunjukkan elastisitas perkembangannya tanpa mencampakkan warisan
historisnya. Dengan demikian universalitas dan fleksibilitas al-Qur’an senantiasa terjaga.
Di sini perlu dibedakan antara Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif adalah
sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan. Ia bersifat universal. Sedangkan
Islam historis merupakan Islam yang diterjemahkan oleh umat Islam sepanjang sejarah. Meskipun
Islam normatif sebagai penilai terhadap Islam historis, yang terakhir ini tidaklah lantas dibuang
begitu saja karena diperlukan untuk pengoperasian sosio-historis. Dengan begitu umat Islam akan
memiliki landasan untuk membicarakan ajaran agamanya.
3. Pendekatan Sintetis-Logis
Jika dalam memahami ayat-ayat hukum dan sosial Rahman menggunakan pendekatan
sosio-historis dan gerakan ganda, tidak demikian halnya ketika Rahman berhadapan dengan ayat-
ayat metafisi-teologis. Untuk wilayah ini, Rahman menggunakan pendekatan sintetis-logis.
sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat
yang berhubungan dengan tema yang dibahas.
Potong Tangan
Dalam hukum potong tangan bagi pencuri, menurut Rahman, ideal moralnya adalah
memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara historis-sosiologis, mencuri
menurut kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga
kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan perkembangan jaman,
mencuri hanyalah kejahatan ekonomi, tidak ada hubungannya dengan pelecehan harga diri.
Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah. Mengamputasi segala kemungkinan yang
memungkinkan ia mencuri lagi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi,
misalnya penjara atau denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.
2. Metafisika
Tuhan
Dalam interpretasi tentang Tuhan, Rahman merespon dua pemikiran, Barat dan Muslim.
Orang Barat banyak yang menggambarkan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai suatu konsentrasi
kekuatan semata, bahkan sebagai kekuatan yang kejam; raja zalim. Di kalangan Muslim
Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mereduksi makna hubungan Tuhan dan manusia. Mu’tazilah
memberi peran yang besar kepada manusia dan mengecilkan peran Tuhan sehingga manusia
tampak benar-benar ”bertanggungjawab”. Asy’ariyah memandang manusia tidak memiliki
kekuatan sama sekali, sehingga Tuhan tampak sebagai yang maha kuasa. Sementara kaum sufi
menganut paham pantheisme, semua adalah Tuhan.
Menurut Rahman, ada tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya pemberian
peringatan kepada manusia, (1) segala sesuatu selain Tuhan bergantung kepada tuhan, (2) Tuhan
adalah Maha Pengasih, dan (3) aspek-aspek ini mensyaratkan hubungan yang tepat antara Tuhan
dan manusia, hubungan yang dipertuan dan hamba-Nya, yang pada akhirnya mengkonsekuensikan
hubungan yang tepat pula di antara sesama manusia.
E. Simpulan
Di antara poin penting dalam mkalah ini adalah bahwa metode hermeneutika Al-qur’an
Fazlur Rahman tidak semata pendekatan ‘gerakan ganda’ (double movement) melainkan juga
pendekatan ‘sosio-historis’ dan ‘sintetis-logis’. Pendekatan historis dibarengi dengan pendekatan
sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan.
Pendekatan gerakan ganda adalah masuk ke akar sejarah untuk menemukan ideal moral suatu ayat
dan membawa ideal moral itu ke dalam konteks kekinian. Pendekatan ini digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat hukum. Sedangkan sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu
tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas.
Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat metafisis-teologis. Jelas, di sini ditekankan
keterpaduan wahyu. Inilah salah satu kritik Rahman terhadap pendekatan ulama abad pertengahan
yang cenderung melihat wahyu sebagai sesuatu yang bersifat parsial dan atomistis, tidak utuh.
(disadur dari Buku Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman karya SIbawaih)