Anda di halaman 1dari 7

Pemikiran Arkoun dan Nashr

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengetahuan (knowledge) adalah bagian yang esensial manusia, karena pengetahuan


adalah buah dari berpikir. Berpikir (natiqiyyah) adalah sebagai pembeda yang memisahkan
manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan
keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya, karena manusia adalah hewan
yang berpikir (hayawan an-nathiq). Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan
yang dimilikinya. Begitu urgennya, sehingga ketika pengetahuan manusia mengalami
kemunduran, maka tidak sedikit manusia yang mencoba mengkritisi, mencari tahu persoalannya
kemudian merumuskan solusinya. Hal ini lah yang tampak dalam perkembangan pemikiran Islam.
Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia Islam memiliki watak
keilmuan yang stagnan atau statis. Para cendekiawan muslim kontemporer berpendapat bahwa
dalam Islam telah ada semacam indoktrinasi terhadap khazanah warisan keilmuan klasik. Mereka
antara lain Muhammad Arkaoun, menurutnya dalam Islam telah terjadi pensyakralan pemikiran
keagamaan, hal ini karena wacana Al-Qur’an yang semula bersifat terbuka, memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Berangkat dari kesadaran terhadap watak
pemikiran Islam yang statis tersebut, maka tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir
muslim liberal dan kritis, mereka antara lain Nasrh Hamid Abu Zayd (Mesir) Namun ide pemikiran
brillian mereka berupa pemikiran pembaharuan (Tajdid) bukannya disambut, melainkan dicemooh
dan tak jarang diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam, bahkan sampai vonis pada kekafiran
berfikir, hal ini karena corak pemikiran mereka yang dianggap liberal bahkan kafir.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas kegelisahan intelektual
mereka memiliki akar, serta bertumpu pada permasalahan epistemologi. Permasalahan yang
dispesifikasikan dalam term metodologi ini pada dasarnya memang menjadi poros bagi tumbuhnya
wacana-wacana modernitas. Epistemologi adalah sebuah persoalan yang mendasar dalam setiap
bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau mengkaji secara filosofis tentang asal mula,
susunan, metode-metode, validitas pengetahuan, teori-teori dalam ilmu pengetahuan, dan segala
sesuatu yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kritik nalar Islam menurut Muhammad Arkoun?
2. Bagaimanakah kritik nalar Islam menurut Nashr Hamid Abu Zayd?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Nalar Islam Muhammad Arkoun
Perkembangan pemikiran Islam selalu mengalalami perubahan dan perluasan kualitas
keilmuan. Permasalahan yang muncul disini adalah pertautan dua term yang berbeda antara nalar
Islami dan nalar modern. Nalar Islami yang didasarkan pada landasan tekstual cenderung otoritas
dan kaku. Sedangkan nalar modern yang mengedepankan rasionalitas tanpa landasan yang cukup
kuat, hingga sering terhenti pada sebuah asumsi dan wacana semata. Dalam hal ini, Arkoun yang
termasuk pada pemikiran postradisionalistik, yang berupaya membongkar otoritas teks.
Menurutnya, teks suci dan tradisi tidak bisa lepas dari sejarah. Akan tetapi sebaliknya,
justru terbentuk dan terbakukan dalam sejarah. Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar
Islamnya hendak menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu
pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di pihak
pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan disiplin ilmu yang bersifat
antropologis, ia ingin menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Quran tidak lepas dari historisitas,
dan bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan sebagai
penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh informasi yang
menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Quran. Sekalipun seluruh informasi itu bisa
diuji dan dibuktikan keilmiahannya.
Melihat Al-Qur'an sebagai panduan hidup bagi manusia, maka mau tidak mau Al-Qur'an
harus mampu menjawab berbagai problematika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu
Arkoun mencoba berbagai pembacaan terhadap Al-Qur'an yang mana dari situ diharapkan akan
menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan muslim.
Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer dengan ide-ide islamologi
terapannya, yang diajukannya untuk mengimbangi islamologi barat yang menurutnya tidak
rasional pendekatannya, sedangkan islamologi klasikpun mempunyai kelemahan, yaitu tidak
memilki satu refleksi pemikiran dan metodologi. Ia mengkhususkan dirinya dalam bidang teologi,
filsafat, dan hukum.Ia banyak mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam memahami Al-
Qur'an. Baik itu ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya. Namun Arkoun tidak
mengambil begitu saja produk Barat tersebut, terkadang ia mengubah makna dari suatu konsep
yang sudah mapan pemaknannya. Dan juga tidak semua pemikiran orientalis ia terima, terkadang
ia mengambil sebagian pemikirannya dan tidak setuju dengan pemikirannya yang lain. Kritik
terhadap pemikiran Arkoun ini mencakup adanya ontologi tentang al-Quran dan metodologi yang
mempengaruhi pemikirannya yaitu historis, antropologis dan linguistik.[1] Dalam hal ini, penulis
menguraikan tentang pandangan Mohammad Arkoun terhadap Al-Qur'an, dan metodologinya
dalam menginterpretasi al-Qur'an dan disertai beberapa catatan ktritis.
1. Wahyu dan Teks Al- Qur'an
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa teks al-Qur’an oleh Arkoun disebut sebagai teks
pembentuk. Berkenaan dengan hal ini, bahwa kedudukan agung al-Qur’an sebagai al-Nas al-
Mu’assis tersebut ternyata tidak secara tiba-tiba terberi secara transcendental. Untuk kepentingan
analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkat anggitan tentang wahyu. Pertama sebagai firman
Allah yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas
wahyu semacam ini biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfuz atau Umm al-Kitab. Tingkat
kedua menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur'an ini menunjukkan
pada realitas Firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad saw
selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah
tertulis dalam mushaf yang dikodifikasi pada zaman Usman bin Affan atau lebih dikenal dengan
sebutan al-Mushaf al-usmani yang dipakai orang-orang muslim sampai hari ini.
Arkoun menganalisis dengan pendekatan historis-fenomologis yang menyimpulkan bahwa
secara historis, al-Qur’an yang kita terima sekarang ini tidak terkait lagi dengan kalam transenden.
Ia adalah fenomena bacaan yang diterima oleh nabi Muhammad SAW dalam wujud bahasa Arab.
Sebelum ditransformasi menjadi teks tertulis al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan secar
lisan pada periode kenabian. Al-Qur’an dalam bentuk teks (tertulis) sudah tidak lagi
mencerminkan bahasa lisannya. Wahyu pada tingkat pertama, adalah wahyu sakral transenden
yang manusia tidak bisa menjaungkaunya. Ia disebut Ummu al-Kitab (kitab induk) yang terjaga
di Lauh al-Mahfudz. Sedangkan bentuk edisi kedua adalah fenomena wahyu dalam sejarah. Ia
adalah realitas firman Allah. Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada manusia melalui
para nabi. Untuk itu, Tuhan memakai bahasa yang dapat dimengerti manusia, tetapi
mengartikulasikan kalimat-kalimat-Nya. Wahyu jenis ketiga adalah merujuk kepada wahyu yang
tertulis dalam mushaf Ustman bin Affan. Wahyu pada tataran ini, sudah banyak yang tereduksi
oleh prosedur-prosedur manusiawi. Inilah bentuk fisik wahyu, yang terkondisikan oleh kreasi
manusiawi yang tidak sempurna. Mushaf ini menurut Arkoun adalah fakta historis dan budaya.
Oleh sebab itu, fungsi proyek Kritik Nalar Islam-nya adalah mendekonstruksi wacana keagamaan
yang telah diproduksi oleh para ulama’. Sebab, wacana al-Qur’an tidaklah tetap, ia terus
berkembang sesuatu kondisi budaya dan ideologi. Dalam hal ini ia menerapkan metode historis
untuk kajian al-Qur’an.
2. Hermeneutik Al-Qur'an Menurut Arkoun
Menurut Arkoun, hermeneutik itu tidak terpisahkan dari tiga unsur, yaitu bahasa, pemikiran, dan
sejarah. Ia membedakan antara dua model teks, yaitu pertama, teks pembentuk (an-nash al-mu’assis) di
satu pihak, kedua, teks yang menjelaskan atau menginterpretasikan teks pembentuk yang disebut juga
dengan teks hermeneutis (an-nash al-tafsiri).[2] Arkoun memberikan ilustrasi terhadap dua model teks di
atas dengan mengambil peristiwa sejarah, yaitu revolusi Perancis yang terjadi tahun 1789. Akibat peristiwa
ini telah merangsang lahirnya komentar dan teori yang begitu luas sejak munculnya hingga
sekarang.[3] Karena peristiwa tersebut, muncul banyak sekali literatur, interpretasi, dan penjelasan yang
begitu beragam, bahkan saling bertentangan. Keadaan tersebut dapat dibandingkan dengan keadaan yang
terjadi dengan teks al-Quran. Teks al-Quran telah melahirkan sedemikian banyak literatur, interpretasi, dan
penjelasan sejak lahirnya hingga sekarang. Hal yang serupa, antara revolusi Perancis dan kasus al-Quran,
adalah teks pertama atau pembentuk, sedangkan literatur-literatur yang muncul kemudian yang
memberikan interpretasi terhadap al-Quran adalah teks kedua atau teks hermeneutic.
Untuk memahami epistemologi hermeneutik, ada dua istilah yang erat kaitannya, yaitu dekonstruksi
(pembongkaran) dan rekonstruksi (membangun kembali).[4]Arkoun, mengungkapkan adanya tugas
terbesar sekarang adalah untuk membongkar literatur-literatur heresiografis dan keluar dari ideologi-
dogmatis dengan selubung legitimasi teologis. Kemudian meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan
penyelewengan wacana sebelumnya. Dengan demikian, dimungkinkan dibukanya wacana baru pemikiran
Islam yang merupakan upaya hermeneutik terhadap al-Quran sejalan dengan tantanan historis yang
sedang dihadapi umat Islam.[5]
B. Nalar Islam Nashr Hamid Abu Zayd
Abu Zayd merupakan pemikir Mesir dilahirkan di Teheran, Iran pada tanggal 10 Juli 1943.
Pemikirannya yang sangat kontroversial karena karya-karyanya yang telah mengundang perdebatan di
dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang
mempromosikan pencerahan dalam studi Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan
pengadilan Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dituduh menyeleweng. Vonis pengkafiran ini
memaksa Abu Zayd hijrah ke Leiden kemudian menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan
profesor pada Universitas for Humanistics di Utrecthan. Meski mendapatkan aspresiasi luas, karya-
karyanya tak jarang dibaca secara reduktif oleh sebagian kalangan konservatif sehingga menimbulkan
kesalahpahaman.Ia mengenalkan studi al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nash) dan
interpretasi (takwil). Menurutnya, teks dan interpretasi adalah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan,
seperti dua sisi mata uang. Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan
antara teks dan takwil, takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengkibatkan teks
menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak tercapai. Sehingga menurutnya, perlu
untuk meninggalkan metode yang menurutnya tradisional,.[6]
Menurut Nashr Hamid, Al-Qur’an merupakan teks manusiawi. Proses pemanusiaan ini,
menurutnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw dalam bentuk bahasa
Arab. Dengan meyakini bahwa Al-Qur’an adalah teks berbahasa arab yang menyejarah, Abu Zayd lalu
mendudukan Al-Qur’an sebagai teks yang mungkin dianalisis melalui perangkat kajian linguistik dan
historis. Di samping itu, ia menegaskan tekstualitas Alqur’an. Abu Zayd hendak mengkaitkan kembali kajian
ilmu Alqur’an dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, menurutnya, layaknya seperti teks-teks lain,
Alqur’an mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern.[7] Sebagaimana
dikatakannya, Alqur’an adalah teks bahasa yang bisa digambarkan sebagai teks sentral dalam peradaban
Arab. Jika demikian, mendudukan Alqur’an sebagai teks histories tidak berarti mereduksi keilahiannya.
Justru historisitas tekslah yang menjadikan Alquran sebagai subjek pemahaman dan takwil. Dengan
demikian lanjutnya, analis sosiohistoris diperlukan dalam proses pemahaman Alqur’an, dan pemanfaatan
metodelogi linguistik modern menjadi sesuatu yang niscaya dalam praktik takwil. [8] Oleh karena itu, dalam
pandangan Nashr Hamid perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks Alqur’an dan
kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks
Alqur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena
kemanusiaan. Disamping itu karena teks Alqur’an menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi
teks yang lain, maka kemudian Alqur’an juga menjadi produk budaya. Dalam hal ini, Nashr Hamid Abu
zayd memberikan pandangan terhadap al-qur'an.
1. Al-Qur’an Sebagai Teks
Pengembangan teori tentang teks oleh Nashr Hamid, dikaitkan dengan bahasa dan budaya. Sehingga
sebagaimana teks-teks yang lain, kajian terhadap Al-Qur’an yang sudah merupakan teks manusiawi
dengan menggunakan analisa wacana (discourse analysis). Dalam analisis wacana, teks didefinisikan
sebagai system tanda linguistik yang memproduksi makna. Selanjutnya dalam analisis wacananya Abu
Zayd membagi teks menjadi dua, yakni teks primer dan teks sekunder. Teks primer dalam pemikiran Islam
adalah Qur’an, sedangkan teks sekunder adalah sunnah Nabi, yakni komentar tentang teks primer. Nashr
Hamid mendekonstruksi proses pewahyuan dan konsep Alqur’an kepada nabi Muhammad saw melalui
dua tahapan. Pertama adalah adalah tahap tanzil yaitu proses turunnya teks Alqur’an dari Allah swt kepada
malakiat Jibril, teks masih berupa teks non bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat-ayat
Alqur’an dalam tahap ini masih berupa makna saja. Kedua adalah, proses takwil yaitu proses dimana Nabi
Muhammad saw menyampaikan teks Alqur’an dengan bahasanya yaitu bahasa Arab. Dalam proses
ini, nash Alqur’an
2. Al-Qur’an sebagai Produk Budaya
Disamping sebagai teks sastra, Nashr Hamid juga menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan
produk budaya. Hal ini karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial dan budaya selama dua puluh tahun,
proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama dua puluh tahun tersebut adalah
merupakan fase keterbentukan. Fase berikutnya adalah fase pembentukan, dimana al-Qur’an selanutnya
membentuk suatu budaya baru, sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi produk budaya. Nashr
Hamid beralasan bahwa ketika Allah mewahyukan al-Qur’an kepada nabi Muhammad dengan memilih
bahasa manusia sebagai kode dari wahyu tersebut. Atas dasar ini, tidaklah mungkin bahasa terpisah dari
budaya dan relitas, sebagaimana teks yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan realitas juga.
3. Problem Tekstulaitas Al-Qur’an
Nashr Hamid berusaha untuk membuktikan bahwa al-Qur’an adalah teks yang menyejarah, hal ini
menurutnya diindikasikan oleh karekteristik al-Qur’an itu sendiri.Pertama, al-Qur’an memuat pesan-pesan
ajaran Allah untuk manusia yag diwujudkan dalam sebuah teks berbahasa Arab yang dirutunkan (wahyu)
kepada utusanNya, Muhammad saw. Karena wahyu secara semantic sejajar dengan perkataan Tuhan
(kalam Allah) dan karena al-Qur’an juga merupakan sebuah pesan, maka tidak salah apabila masyarakat
Muslim mengaitkan al-Qur’an sebagai sebuah teks. Oleh karena itu, Nashr berpendapat bahwa ada tiga
petunjuk dalam al-qur'an. Petama, sebagai doktrin yang berisi petunjuk terhadap moral dan hukum yang
menjadi dasar syari'at dan mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Kedua, al-qur'an adalah berisi
petunjuk dan ringkasan sejarah eksistensi duniawi manusia. Ketiga, al-qur'an berisi sesuatu yang sulit
dijelaskan dalam bahasa modern.[9]
4. Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd
Dengan menyelami realitas disekitar teks, maka Nashr Hamid mempromosikan mekanismenya
dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung
oleh analisa linguistik. Inilah hakekat ‘proyek penyelidikan ilmiah’ versi Nashr Hamid. Sebab teks-teks
agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-
teks tersebut bersandr pada kerangka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi)
sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai system
pemaknaannya yang sentral.[10]
Dalam pendapatnya bahwa al-Qur’an sebagai teks manusiawi, kebenaran al-Qur’an tidak lagi
dinyatakan mutlak, sebaliknya dianggap telah bergeser dari makna yang relatif. Maka bagi kaum Islam
Liberal, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi keagamaan. Pendapat Nashr Haid
ini diperkuat oleh muridnya Moch Nurikhwan dengan mengatakan bahwa hermeneutika dimaknai sebagai
teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikataan problem,
mengingat sejak diwahyukan, al-Quraan dirasakan sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem itu rumit
manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yag menggantikannya. Oleh karena
itu, penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini
hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan
penerapan ilmu-ilmu dan humanitas. Nashr Hamid memandang al-Qur’an secaara dikhotomis yang
memiliki dua dimensi: yaitu dimensi historis ( relative dan berubah) dan dimensi ketuhanan (mutlak dan
tetap).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memperhatikan permasalahan epistemologi dalam pemikiran Barat dan Islam, dapat diringkas
menjadi tiga teori kebenaran, yakni rasional, inderawi, dan ilham. Sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan yang terus berkembang maka tidak cukup hanya mengandalkan satu epistemologi
saja. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang holistik dengan mengetengahkan teori-teori
epistemologi lain seperti empiris atau yang lainnya. Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-
kontra, demikian halnya dengan ide-ide liberal Muhammad Arkoun yang notabennya dikritik
berbagai pihak baik itu dari pihak orientalis maupun pihak ulama muslim terutama masa klasik.
Namun tujuan dari penelitian Arkoun tidaklah jelas, apakah penelitiannya tersebut adalah kajian
Al-Qur'an atau kajian metodologi. Tidak sulit untuk melihat bahwa Arkoun tidak mengkaji
metodologi untuk kepentingan Al-Qur'an, tetapi dia mengkaji Al-Qur'an untuk kepentingan
metodologi.
Al-Qur’an merupakan pegangan hidup umat Islam, dalam pemikiran Nashr Hamid Al-Qur'an
merupakan kitab suci yang tidak lagi agung dalam artian kitab yang sakral. Hal ini dibuktikannya dengan
memberikan pernyataan, bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci tetap dipertahankan maka akan menghalangi
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, para ulama tradisional yang memberikan batasan
penafsiran al-Qur’an, mengandung kepentingan atau sebuah ideologi tertentu. Oleh karena itu, sebuah
keniscayan guna membongkar bangunan lama yang telah mengakar tersebut dengan menghadirkan
metodelogi kritik bahasa dan sastra. Sehingga al-Qur’an yang kita percaya sebagai teks murni dari Tuhan,
dapat ditafsirkan menurut pembacanya tanpa harus adanya pembatasan-pembatasan dalam
penafsirannya.

DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemah oleh Hidayatullah, Bandung : Pustaka, 2000.
Irfan Safrudin, Kritik Terhadap Modernisme, Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, 2005.
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, terj Hidayatullah, Bandung: Pustaka Setia,1998.
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu
Zayd, Jakarta: Teraju, cet.pertama, 2003.
Mukhtar Sholihin, Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali : Studi Analisis Kitab Risalah al-Laduniyah,
Bandung : Puslit IAIN Sunan Gunung Jati, 1999.
Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, Bandung: RQiS, cetakan 1, 2003.
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina, 1997.

[1] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, terj Hidayatullah (Bandung: Pustaka Setia,1998),
hlm, 48.
[2] Arkoun, Al-Fikr al-Islam Naqd wa Ijtihad, Terjemah Hasyim Salih (London : Dar al Saqi,
1990), hlm. 234.
[3] Mukhtar Sholihin, Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali : Studi Analisis Kitab Risalah al-
Laduniyah, (Bandung : Puslit IAIN Sunan Gunung Jati, 1999), hlm, 79.
[4] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 58-61.
[5] Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terjemah oleh Hidayatullah, (Bandung : Pustaka, 2000),
hlm. 246.

[7] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid
Abu Zayd, ( Jakarta: Teraju, cet.pertama, 2003), hlm, 42.
[8] Ibid., 71.
[9] Irfan Safrudin, Kritik Terhadap Modernisme (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik,
2005), hlm, 202-203.
[10] Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, ( Bandung: RQiS,
cetakan 1, 2003), hlm, 91.

Anda mungkin juga menyukai