Anda di halaman 1dari 5

Komponen pengukuran tingkat pembangunan manusia suatu negara yang cukup

berpengaruh yaitu komponen pendidikan. Perubahan yang terjadi secara terus menerus
pada perilaku masyarakat disebabkan oleh semakin meningkatnya tingkat pendidikan.
Pendidikan juga merupakan salah satu syarat mutlak pencapaian tujuan pembangunan
manusia, dan merupakan target pembangunan sekaligus sarana pembangunan
nasional.
(profil kesehatan indonesia 2015)

Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang (RPPNJP) 2005—2025


menyatakan bahwa visi 2025 adalah Menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan
Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna). Visi ini masih amat relevan untuk
dipertahankan, dengan tetap mempertimbangkan integrasi pendidikan dan kebudayaan
kedalam satu kementerian. Makna insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas
secara komprehensif, yaitu cerdas spiritual, emosional, sosial, intelektual, dan
kinestetik.

prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen. Urutan ke
19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur;
(2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan
Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku
Utara; (12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16)
Sumatera Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi

1. Status gizi anak umur 5–12 tahun


Gambar 3.14.7. menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi pendek pada anak umur 5-
12 tahun adalah 30,7 persen (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat
pendek terendah di DI Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5 %).

Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi sangat pendek di atas prevalensi nasional


yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Nusa Tenggara Barat,
Gorontalo, Bengkulu, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat,
Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Papua

Gambar 3.14.8. menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi kurus (menurut IMT/U)
pada anak umur 5-12 tahun adalah 11.2 persen, terdiri dari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2
persen kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa
Tenggara Timur (7,8%). Sebanyak 16 provinsi dengan prevalensi sangat kurus diatas
nasional, yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur.
Hal 254,

Rendahnya mutu kemahiran membaca siswa di Indonesia ditunjukkan antara


lain, survei PISA Tahun 2012 dengan perolehan nilai sebesar 396. Posisi
Indonesia di bawah nilai rata-rata Malaysia (398) dan Thailand (441). Kendala
peningkatan mutu kemahiran membaca siswa dipengaruhi oleh kompetensi
pendidik, standar mutu penggunaan bahasa pembelajaran, sistem
pembelajaran, dan sumber daya pembelajaran bahasa dan sastra. Lebih
lanjut, studi USAID (2014) menunjukkan bahwa rata-rata 47,2% murid kelas 1
dan 2 di Indonesia yang siap naik kelas 3 karena membaca lancar dan paham
artinya. Sisanya sebanyak (i) 26,3% meski membaca lamban namun mengerti
arti bacaan (ii) 20.7% tergolong pemula yakni gabungan pembaca lancar dan
lamban namun tidak mengerti artinya; dan (iii) 3% tergolong non-pembaca
(non-reader) karena walau telah dua tahun bersekolah, mereka belum
mengenal huruf. Secara nasional, kemampuan membaca murid rendah yang
diperparah oleh kondisi lebarnya ketimpangan literasi antara wilayah barat
dan wilayah timur Indonesia serta antara perkotaan dan pedesaan di dalam
kabupaten. Mereka pada umumnya murid dari keluarga miskin yang
orangtuanya pun buta huruf, komunitasnya adalah penutur tunggal bahasa
ibu, dan bersekolah di sekolah dasar di pedesaan dan daerah terpencil. (renstra kemdik)

[JAKARTA] Masa depan anak banyak ditentukan kebiasaan mereka, salah satunya
adalah membiasakan diri untuk sarapan yang bergizi. Ironisnya, hampir 60% anak
di Indonesia belum memiliki kebiasaan sarapan.

Guru Besar Departmen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor (IPB) sekaligus Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof Hardinsyah
mengatakan, sarapan atau kegiatan makan dan minum yang dilakukan sebelum
jam 9 pagi dapat memenuhi 15-30% kebutuhan gizi harian sebagai bagian darigizi
seimbang untuk hidup sehat, bugar, aktif, dan cerdas. Sayangnya banyak anak
Indonesia yang tidak sarapan.

Bagi orang tua, khususnya ibu, masalah utama untuk membiasakan sarapan pada
anak, adalah 59% sulit membangunkan anak dari tidurnya untuk sarapan, 19% sulit
mengajak anak untuk sarapan, sulit meminta anak menfhabiskan sarapan dan
khawatir anak terlambat sekolah sebanyak 6%. Selain tidak mau sarapan, tidak
semua orang menyadari dan mengetahui pentingnya manfaat sarapan.

“Sarapan memiliki sejumlah manfaat bagi anak sekolah karena mencukupi


kebutuhan akan gizi seimbang agar mereka dapat tumbuh baik secara fisik dan
mental, sehingga penting bagi anak untuk mengawali kebiasaan sarapan rutin setiap
hari,” kata Hardinsyah, di sela-sela media conference Blue Band dengan tema
“Masa depan besar berawal dari sarapan”, di Jakarta, Selasa (26/3).

Menurutnya, usia sekolah terutama 7-13 tahun merupakan masa pertumbuhan


paling pesat kedua setelah masa balita di mana kesehatan yang optimal
menghasilkan pertumbuhan yang optimal pula. Namun, faktanya status gizi anak
usia sekolah saat ini masih memprihatinkan.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010), secara nasional


prevalensi anak pendek (kerdil) dengan usia 6-18 tahun masih tinggi, yakni di atas
3%. Prevalensi anak pendek juga mencerminkan adanya riwayat kurang gizi, yang
bisa mengancam masa depan mereka.

Data juga menunjukkan, akibat tidak sarapan sebanyak 44, 54% anak Indonesia
tidak terpenuhi energinya, dan mengalami masalah defisiensi gizi mikro, seperti
vitamin dan mineral. Sedangkan 23% anak hanya sarapan dengan karbohidrat dan
minum, serta 44,6% sarapan namun berkualitas rendah.

Di perkotaan, seringkali tidak sarapan karena kesibukan dan kesulitan menghadapi


anak. Misalnya sulitnya membangunkan anak sebesar (59%), sulit mengajak anak
sarapan (19%), sulit meminta anak menghabiskan sarapan (10%)., dan khawatir
anak terlambat sekolah (6%).

“Melewatkan sarapan adalah masalah serius bagi Indonesia, karena dapat


menghambat pertumbuhan fisik dan mental, sehingga melahirkan generasi yang
memiliki masa depan kerdil. Masa depan kerdil secara fisik karena pertumbuhan
yang terhambat, maupun kerdil secara prestasi karena kecerdasan yang tidak
optimal".

Menurutnya, sarapan itu sangat penting, agar anak lebih baik konsentrasi
belajarnya, staminanya, dan status gizinya. Selain itu, jarang keluhan pusing dan
sakit, lebih disiplin, lebih cerdas dan lebih baik nilai rapornya, tercegah dari risiko
obes (gendut) Tidak sarapan akan melahirkan generasi lemah, sakit, miskin, dan
kehilangan masa depan yang semakin besar.

Dokter spesialis anak dan konsultan tumbuh kembang dr Soedjatmiko mengatakan,


setiap hari anak usia sekolah (7-12 tahun) membutuhkan 1800 kilo kalori (kkal)
hingga 2050 kkal, dan protein 45gram sampai 50 gram untuk memenuhi kebutuhan
gizi mereka. Kondisi gizi yang tidak seimbang, baik kekurangan maupun kelebihan,
akan mempengaruhi tumbuh kembang anak dan pengembangan potensinya.

Aktivitas anak usai sekolah akan meningkat dimulai sejak jam 6 pagi. Oleh karena
itu kebiasaan sarapan menyediakan energi dan nutrisi yang diperlukan untuk
menjalani aktivitas bersekolah, belajar, bermain secara optimal. “Apabia anak tidak
sarapan, kebutuhan gizi tidak akan mencukupi aktivitas sehari-hari. Dan akibatnya
kualitas tumbuh kembang anak akan lebih rendah daripada anak yang terbiasa
sarapan.[D-13]

Pakar gizi Institut Pertanian Bogor, Hadinsyah, menyebutkan 20 - 40 persen anak-


anak Indonesia tidak terbiasa sarapan.
"Padahal sarapan ini sangat penting dalam mencetak sumber daya manusia yang
berkualitas," kata Hadinsyah dalam Kampanye Sarapan Sehat di Kampus IPB
Dramaga, Kabupaten Bogor, Minggu.
Hadinsyah menyebutkan berdasarkan hasil Riskesdas 2010 kontribusi energi dan zat
gizi sarapan anak Indonesia usia 2-12 tahun di bawah 25 persen dari kebutuhan
Angka Kebutuhan Gizi (AKG).
Sarapan sehat setidaknya menyumbang 25 persen asupan gizi. Dia menyebutkan,
rata-rata 50 persen anak mempunyai kebiasaan sarapan sehat sebelum berangkat
sekolah.
Sementara itu, berdasarkan referensi dari hasil survey Hardinsyah dan Aris pada
2012 terhadap 35.000 anak usia sekolah (6-12 tahun) diketahui 26,1 persen anak
hanya sarapan dengan minuman (air, teh dan susu).
"Hasil survey lainnya 44,6 persen anak sarapan dengan kualitas rendah atau jumlah
konsumsi energi kurang dari 15 persen AKG," katanya.
Handinsyah mengemukakan, kualitas kesehatan dan perilaku makan anak sekolah
secara nasional masih rendah.
"Berdasarkan hasil peneltian, anak usai sekolah dengan status gizi kurang apabila
tidak sarapan akan terjadi penurunan kemampuan kognitif atau daya tangkap,"
katanya.
Menurutnya, saraan penting sebagai pilar gizi seimbang sesuai amanat Undang-
Undang 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa salah satu upaya perbaikan gizi
masyarakat baik perorangan ataupun kelompok adalah dengan gizi seimbang.
Sementara itu, Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor menggelar
kampanye sarapan sehat yang diikuti oleh 300 warga masyarakat di lingkar kampus
Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu.
"Kampanye ini diikuti oleh 300 masyarakat dari 10 desa yang berada di lingkar
kampus IPB Dramaga," kata Divisi Humas IPB, Septian Suhandono.
Ia menjelaskan ada tiga rangkaian acara dalam Kampanye Sarapan Sehat ini yakni
seminar populer Sarapan Sehat, lomba memasak sarapan sehat berbasis pangan
lokal yang diikuti ibu-ibu dan lomba dongeng tentang sarapan yang diikuti oleh
anak-anak sekolah dasar (SD).
Latar belakang dilaksanakannya Kampanye Sarapan Sehat karena melihat kebiasaan
sarapan masyarakat Indonesia masih rendah dan kurang memahami pentingnya
sarapan.
"Lewat Kampanye Sarapan Sehat ini dapat menambah wawasan masyarakat akan
pentingnya sarapan dan menyediakan sarapan sehat dan bergizi," katanya.
Ia berharap melalui kegiatan ini ada peningkatan kuantitas anak-anak yang sarapan
meningkat dengan menu sarapan yang lebih baik dan bergizi.
"Sarapan sangat penting, memudahkan anak-anak untuk menyerap pelajaran, tidak
mudah sakit dan mendorong prestasi belajar lebih bagus," katanya.
Peserta Kampanye Sarapan Sehat terdiri atas ibu-ibu pengajian, kader PKK,
Posyandu, tokoh masyarakat dan anak-anak sekolah yang berada di 10 desa di
lingkar Kampus IPB.
"Ini merupakan tahap awal, dengan melibatkan masyarakat di 10 desa di lingkar
kampus IPB. Mereka akan menjadi duta sarapan sehat yang diharapkan nanti bisa
menjadi penyebar informasi dan rujukan bagi daerah lain," katanya.
Kampanye Sarapan Sehat dibuka secara resmi oleh Kepala Departemen Gizi
Masyarakat, FEMA IPB Dr Ir Budi Setiawan, MS, yang mengapresiasi
penyelenggaraan kegiatan tersebut. (IRIB Indonesia/Antara/PH)

Anda mungkin juga menyukai