Anda di halaman 1dari 3

Bahasa Indonesia jurnalistik tidak sekadar

komunikatif
Jumat, 27 Oktober 2017 12:55 WIB

Mural bahasa di kawasan Rawamangun, Jakarta, Minggu (25/10/2017). (ANTARA FOTO/Puspa


Perwitasari)

D.Dj. Kliwantoro *)

Semarang (ANTARA News) - Penggunaan bahasa Indonesia di media massa tidak sekadar harus
komunikatif, tetapi harus juga mampu membangkitkan semangat kebangsaan demi keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Oleh karena itu, bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik
kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca yang telah diatur oleh Pemerintah.

Pemerintah terakhir menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Namun, belum seluruh media massa di Tanah Air mengikuti aturan tersebut, misalnya dalam
penggunaan tanda hubung (-) sebagai kata tugas "dan". Padahal, dalam PUEBI, pengganti kata
"dan" adalah tanda garis miring (/). Tanda ini juga sebagai pengganti kata "atau" dan "setiap".

Contoh pemakainnya adalah penulisan "Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno". Penggunaan tanda hubung ini sudah merupakan salah
kaprah. Bahkan, kalau menggunakan tanda garis miring (/), kemungkinan ada yang menganggap
aneh.

Begitu pula, tanda hubung yang merangkai huruf dan angka, misalnya Diploma 1 (D-1),
Diploma 2 (D-2), dan Strata 1 (S-1). Sering kali media menulisnya tanpa tanda hubung (D1, D2,
dan S1).

Dalam PUEBI disebutkan bahwa tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan angka jika
angka tersebut melambangkan jumlah huruf. Misalnya, BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dan P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan).

Begitu pula, penggunaan tanda koma (,). Ada yang yang beranggapan dalam kalimat tidak
langsung tidak perlu konjungtor "bahwa" atau menggantinya dengan tanda koma. Padahal, di
antara predikat dan objek tidak boleh ada koma, kecuali tanda koma yang mengapit keterangan
yang berupa anak kalimat atau tanda koma yang memisahkan kutipan langsung dan predikat
induk kalimat.

Vide contoh kalimat tidak langsung di bawah ini: " Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan bahwa sesama politikus tidak perlu
saling menjatuhkan ketika melakukan komunikasi politik."

Contoh tanda koma tetap dipakai untuk mengapit keterangan tambahan.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si.
mengatakan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa Pemerintah perlu menerbitkan
peraturan perundang-undangan terkait dengan larangan politikus mengelola media dalam
Undang-Undang tentang Penyiaran.

Dalam PUEBI disebutkan bahwa tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang
berasal dari pembicaraan naskah, atau bahan tertulis lain.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si.
mengatakan, "Sesama politikus tidak perlu saling menjatuhkan ketika melakukan komunikasi
politik."

Tanda koma setelah konjungtor antarkalimat ada pula yang meniadakannya. Sesuai dengan
kaidah tanda baca, tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan peng-hubung
antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, dan
meskipun demikian.

Selain tanda koma, tanda titik (.) juga perlu diperhatikan oleh insan pers, terutama singkatan
nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat. Misalnya, Toegiran S.H. dan Toegiran, S.H.
Contoh pertama merupakan singkatan nama dari Toegiran Sastro Hardjo, sedangkan contoh
kedua singkatan gelar Toegiran Sarjana Hukum.

Vide Kamus

Bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang
ditetapkan di dalam kamus, termasuk cara penulisannya.

Jurnalis sebaiknya mengacu pada kamus terbaru atau klik kbbi.kemdikbud.go.id. Laman ini
dikelola oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.

Kenapa terbaru? Karena terjadi perubahan dalam penulisan sublema. Misalnya, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring) kata dasar "sosialisasi" setelah mendapat
awalan menjadi "menyosialisasikan". Sebelumnya, dalam KBBI Edisi III penulisannya
"mensosialisasikan". Kata dasar lainnya yang penulisannya tidak sama, yakni "menyinergikan".
Semula, dalam KBBI Edisi III "mengnyinergikan".

Namun, dalam kamus terbaru itu masih ada kata dasar sama ketika mendapat awalan "me-"
penulisannya berbeda. Ada yang luluh ketika kata dasar yang huruf awalnya k, p, t, dan s
bertemu dengan imbuhan "me-". Ada pula yang tidak lebur. Misalnya, kata dasar "kaji". Ketika
bermakna membaca Alquran penulisannya "mengaji". Namun, tidak luluh jika artinya
mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan dan sebagainya),
menguji, atau menelaah. Penulisan sublema ini "mengkaji".

Seiring dengan perkembangan zaman, apabila masyarakat sudah terbiasa menggunakan sublema
"mendaras" (membaca), kemungkinan penerapan kaidah k, p, t, s berlaku pada semua kata dasar
yang mendapat prefiks "me-".

Ungkapan lain yang penulisannya berubah, yakni "insyaallah". Dalam KBBI Edisi IV, ungkapan
yang digunakan untuk menyatakan harapan atau janji yang belum dipenuhi (maknanya jika Allah
mengizinkan) penulisannya "insya Allah".

Dalam KBBI Daring, terdapat pula lema "ngabuburit". Sebelumnya, pengguna bahasa Indonesia
sering kali menggunakan kata serapan dari bahasa Sunda itu. Bahkan, sekarang ini jika kita
mencari melalui mesin pencari Google, lema tersebut tercatat 3.150.000. Begitu pula, istilah dari
bahasa Inggris "fashion" menjadi "fesyen". Kata bermakna "mode" ini digunakan hingga
8.700.000.

Namun, ada pula kata yang sering digunakan, misalnya, "milenial" (2.630.000 kata) dan
"unregistrasi" (1.790.000) belum ada di dalam KBBI Daring. Khusus "unregistrasi", sebaiknya
penulisannya tetap menggunakan bahasa Inggris (unregistration) karena imbuhan "un-" belum
diatur dalam PUEBI. Imbuhan yang diserap dari unsur asing, baru "-isme", "-man", "-wan", dan
"-wi".

Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia dengan mematuhi kaidah tata bahasa, kaidah
ejaan, dan tanda baca yang telah diatur oleh Pemerintah demi keutuhan NKRI, perlu mendapat
perhatian dari anak bangsa sendiri.

Anda mungkin juga menyukai