Anda di halaman 1dari 5

IPENDAHULUAN

ndikator, standar, dan mutu adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan
dikatakan bermutu dalam dimensi tertentu apabila indikator pelayanan
mencapai atau melampaui suatu standar tertentu. Mutu, dengan demikian tidak
akan tercapai tanpa suatu perencanaan dan wawasan yang terkait dengan mutu
tersebut. Dengan kata lain, bila kita menginginkan pelayanan yang bermutu di
rumah sakit, maka manajemen rumah sakit perlu memperluas wawasan
mengenai mutu pelayanan tersebut dan merencanakan serangkaian aksi untuk
mencapai suatu tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-aksi tersebut
diukur dengan indikator.

Indikator, dengan demikian, perlu dirancang bersama dengan serangkaian


proses yang akan diambil dalam upaya peningkatan mutu. Memimpin
serangkaian proses ini, termasuk menyusun indikator, menjadi sangat penting.
Memimpin sistem mikro klinik dalam meningkatkan mutu sudah pernah saya
bahas dalam tulisan ini. Maksud tulisan ini adalah membahas beberapa hal yang
sering ditanyakan para pimpinan sistem mikro klinis dalam menyusun indikator
mutu pelayanan. Sebagai tambahan yaitu gagasan untuk melakukan analisis
lebih lanjut dengan bantuan ilmu statistika.

Indikator Mutu
Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan/atau luaran
pelayanan (Collopy 2000) dan diwujudkan dalam angka (Takaki et al. 2013).
Indikator mutu, dengan demikian, selalu merupakan pengukuran kuantitatif
atau semi kuantitatif yang memiliki numerator (pembilang) dan denominator
(penyebut / pembagi). Umumnya, denominator adalah populasi tertentu dan
numerator adalah kelompok dalam populasi yang memiliki karakteristik
tertentu.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) di Amerika Serikat


mempublikasikan empat kelompok indikator mutu, yaitu prevention quality
indicator, inpatient quality indicator, patient safety indicator, dan pediatric
quality indicator (dapat diakses di sini). Sementara itu, Joint Commission
International juga menerbitkan International Hospital Inpatient Quality Measures
yang terdiri dari sepuluh kelompok indikator klinis (dapat diunduh di sini).
Contoh dari kedua sumber tersebut sering dipakai bergantian dalam ceramah
mengenai akreditasi rumah sakit di Indonesia.
Di Indonesia, penetapan indikator dipandu Peraturan Menteri Kesehatan No. 129
Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam
lampiran Permenkes tersebut, diatur 21 jenis pelayanan dan 107 indikator yang
telah ditetapkan standar minimalnya dengan nilai tertentu. Kementrian
Kesehatan menetapkan standar ini menjadi tolak ukur pelayanan rumah sakit
badan layanan umum daerah.

Tabel 1. Dimensi mutu (World Health Organization 2006).

Dimensi Mutu Maksud Dimensi Mutu

Efektif / Effective Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil
dalam meningkatkan luaran kesehatan individu atau
komunitas berdasarkan kebutuhan.

Efisiensi / Efficient Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya


dan menghindari pemborosan.

Mudah diakses Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara


/ Accessible geografis, dan disediakan dalam kerangka yang tepat dari
sisi keterampilan dan sumber daya untuk memeuhi
kebutuhan.

Diterima / Accepted Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan pilihan dan


(Patient-centred) aspirasi individu pengguna layanan dan budaya
komunitasnya.

Tidak berpihak Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas


/ Equity karena karakteristik personal seperti gender, ras, etnis,
lokasi geografis, dan status sosio ekonomi.

Aman / Safe Pelayanan kesehatan yang meminimalisasi resiko dan harm.

Terlepas dari beberapa nilai standar dalam SPM tersebut yang tidak dapat
dilampaui, acuan tersebut memberikan sistematika yang baik dalam membuat
indikator. Setiap indikator dijelaskan dengan beberapa aspek seperti judul
indikator, definisi operasional, tujuan, dimensi mutu, numerator, denominator,
frekuensi pengukuran, sumber data, dan penanggung jawab pengumpulan data.

Pengukuran dapat dilakukan bila tahu apa yang diukur. Dengan demikian, judul
dan definisi operasional indikator telah jelas. Definisi operasional yang
dimaksud di sini termasuk definisi operasional numerator dan denominator.
Dimensi mutu sesuai permenkes mengacu pada dimensi mutu World Health
Organization (WHO), yaitu efektif, efisien, mudah diakses, diterima/berpusat
pada pasien, tidak berpihak, dan aman (World Health Organization 2006).
Maksud masing-masing dimensi mutu disajikan dalam tabel 1.

Merancang Pengumpulan Data Indikator


Mengumpulkan data adalah proses yang mungkin paling melelahkan dalam
petualangan menguak mutu pelayanan lewat indikator mutu pelayanan. Salah
satu penyebabnya adalah pengumpulan data kurang dipertimbangkan secara
matang ketika indikator mutu disusun. Cara pengumpulan data berkaitan erat
dengan tujuan indikator dan aspek-aspek lain dalam indikator. Mari kita ambil
contoh indikator kejadian infeksi pascaoperasi pada standar pelayanan minimal
rawat inap dalam permenkes di atas.

Dalam Permenkes disebut bahwa numerator adalah jumlah pasien yang


mengalami infeksi dalam satu bulan. Selanjutnya, denominator dalam lampiran
tersebut tidak jelas disebutkan namun kemungkinan adalah jumlah pasien yang
dioperasi dalam satu bulan. Di sini jelas, bahwa angka yang dimaksud dalam
permenkes ini adalah angka insidensi. Menilik keterangannya, muncul beberapa
pertanyaan misalnya: Apakah ini dihitung untuk seluruh rumah sakit atau untuk
satu bangsal tertentu? Data ini menunjukkan mutu pelayanan rawat inap atau
menunjukkan mutu layanan sterilisasi atau menunjukkan mutu layanan
pembedahan?

Infeksi pasca operasi saat ini lebih sering disebut sebagai infeksi daerah operasi
(IDO) atau surgical site infection (SSI). Infeksi ini lebih sering didiagnosis setelah
pasien pulang dan merupakan hasil kontaminasi pada daerah luka operasi pada
akhir pembedahan (National Collaborating Centre for Women's and Children's
Health 2008). Bila mengikuti panduan permenkes tersebut, rumah sakit perlu
menyediakan dua sarana pengumpulan data, satu untuk mengumpulkan IDO
yang baru ditemukan dan satu untuk mengumpulkan jumlah pasien yang
menjalani operasi pada bulan tersebut.

Dalam kerangka berpikir, indikator mutu pelayanan rawat inap, pimpinan ruang
rawat inap bedah dapat memodifikasi indikator ini untuk mendapatkan manfaat
lebih. Mari kita simak tabel berikut.

Tabel 2. Contoh modifikasi indikator SPM.

Sesuai Permenkes Modifikasi

Numerator Jumlah pasien yang mengalami Jumlah hari rawat dengan IDO.
infeksi dalam satu bulan.
Denominator Jumlah pasien yang dioperasi dalam Jumlah hari rawat pasien
satu bulan. pascaoperasi.

Dengan modifikasi ini, pimpinan ruang rawat inap bedah memudahkan tim
untuk mengumpulkan data karena setiap hari cukup mendata ada berapa pasien
pasca operasi yang dirawat dan ada berapa pasien yang mengalami IDO. Jumlah
tersebut ditambahkan mulai tanggal satu sampai akhir bulan dan dimasukkan
ke dalam rumus. Sekarang, rumah sakit tahu prevalensi IDO bulan tersebut dan
sebagai bonus, pimpinan ruang rawat inap bedah bisa menghitung berapa
banyak sumber daya yang dipakai untuk mengurus IDO dan apakah prevalensi
ini menurun atau tidak dari bulan ke bulan (menunjukkan mutu layanan luka
pascaoperasi di ruang rawat inap bedah).

Merancang Analisis Data Indikator


Analisis yang diminta dalam akreditasi versi lama maupun baru seringkali
terbatas pada pembuatan grafik indikator berbanding waktu dan penjelasan
mengenai analisis penyebab. Dengan kerangka berpikir seperti audit medis dan
audit klinis, sebenarnya pimpinan sistem mikro klinis di rumah sakit dapat
memanfaatkan uji beda dalam statistika untuk melihat peningkatan mutu di
unitnya.

Statistika dapat membantu pimpinan rumah sakit untuk melihat apakah ada
beda bermakna pada ruang perawatan satu dengan yang lain pada indikator
yang sesuai. Selain itu, pimpinan rumah sakit dapat mengevaluasi juga apakah
benar ada perubahan yang bermakna setelah intervensi perbaikan mutu
dilakukan di suatu unit kerja. Pengujian dengan statistika lebih lanjut dapat juga
mengungkap apakah benar suatu perlakukan meningkatkan mutu pelayanan
tertentu.

Namun sebelum melakukan analisis tersebut, perlu dilakukan pemilihan uji


statistik yang sesuai. Untuk itu pada saat merancang indikator mutu perlu
dipikirkan mengenai uji statistik tersebut. Mulai dari apakah data yang
dikumpulkan menggunakan sampel atau populasi. Populasi berarti semua
dihitung. Contoh IDO di atas memanfaatkan data populasi. Semua pasien yang
menjalani operasi dihitung sebagai denominator. Ada keuntungan dan kerugian
masing-masing dalam memakai populasi atau sampel. Bila populasinya tidak
banyak, menggunakan sampel tentu tidak bijaksana.

Persiapan lainnya adalah menentukan tipe data. Apakah data tersebut


merupakan data nominal, ordinal, interval, atau rasio. Tipe data tertentu dapat
memerlukan uji statistik yang berbeda dengan tipe data lainnya untuk melihat
hal yang sama.

Dengan penghitungan indikator yang telah dirancang dengan hati-hati


ditambah dengan uji statistik yang sesuai, pimpinan rumah sakit dan pimpinan
unit kerja dapat menarik kesimpulan mengenai mutu pelayanan. Tentu
penarikan kesimpulan ini perlu kehati-hatian. Penurunan secara signifikan
waktu respon triase merah di instalasi gawat darurat tidak lantas disimpulkan
bahwa ada perbaikan pelayanan gawat darurat. Hasil ini dapat saja murni
merupakan hasil modifikasi akses masuk pasien saja dan tidak berhubungan
sama sekali dengan mutu pelayanan instalasi gawat darurat secara umum.

Penutup
Indikator mutu rumah sakit adalah ukuran kuantitatif yang diukur untuk lebih
memahami mutu pelayanan di rumah sakit. Indikator perlu dirancang dengan
seksama dengan mempertimbangkan dimensi mutu yang ingin diukur, cara
pengumpulan data, dan strategi analisisnya. Dengan hati-hati merancang
indikator mutu pelayanan, sumber daya bisa dihemat, hasil lebih akurat, dan
pengambilan keputusan di tingkat sistem mikro maupun sistem makro bisa
lebih strategis.

Anda mungkin juga menyukai