Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah kolesistitis akut,
kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu
yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih
90% kasus kolesistitis melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan
sebanyak 10% termasuk kolesistitis akalkulus.

Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan sepertiganya


berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk kolik bilier rekuren atau
kolesistitis akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama yang dilakukan oleh ahli
bedah umum, dan kurang lebih 500.000 operasi dilakukan per tahunnya.

Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia. Penjelasan secara


fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada. Peningkatan insidensi pada laki-
laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio androgen-estrogen.

Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki, sehingga
lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar progesteron selama
kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga penyakit kandung empedu
meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan, kolesistitis akalkulus lebih sering
terjadi pada laki-laki usia lanjut.

Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat prevalensinya pada orang
Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun dan jarang pada individu yang
berasal dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat, penduduk kulit putih lebih
sering terkena kolesistitis daripada penduduk kulit hitam.

Meskipun telah ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis namun


penyakit ini masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang cukup tinggi
terutama pada orang lanjut usia. Referat ini membahas mengenai kolesistitis dengan batasan-
batasan tertentu.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Nn. F
No. CM : 02031107
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status Menikah : Belum menikah
Alamat : Cikoko Barat Dalam 02/04
Tanggal masuk RSMS : 27 November 2017
Tanggal periksa : 27 November 2017

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri ulu hati
b. Keluhan tambahan
Mual dan BAB kadang sulit & keras
 Onset : 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
 Kuantitas : Keluhan perlahan-lahan kemudian menetap
 Kualitas : Mengganggu aktivitas
 Faktor memperberat :-
 Faktor memperingan :-
c. RPS :
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 17 November 2017 dengan keluhan
nyeri ulu hati sejak 1 minggu SMRS. Keluhan muncul perlahan-lahan, kemudian
menetap sampai sekarang. Pasien juga mengeluh mual (+) muntah (-) dan buang air
besar sulit dan keras. Buang air kecil diakui pasien masih dalam batas normal, baik
jumlah maupun warnanya. Pasien menyangkal terdapat keluhan demam. Pasien
menyangkal lidah terasa asam atau pahit. Pasien menyangkal terdapat kontak pada
pasien dengan keluhan yang sama.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Penyakit dengan keluhan sama : disangkal
b. Darah tinggi : disangkal
c. Kencing manis : disangkal
d. Asma : disangkal
e. Alergi obat : disangkal
f. Alergi makanan : disangkal
g. Penyakit kuning : disangkal
h. Penyakit jantung : disangkal
i. Penyakit ginjal : disangkal
j. Riwayat transfusi darah : disangkal
k. Riwayat operasi : disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit dengan keluhan sama : disangkal
b. Darah tinggi : disangkal
c. Kencing manis : disangkal
d. Asma : disangkal
e. Alergi obat : disangkal
f. Alergi makanan : disangkal
g. Penyakit kuning : disangkal
h. Penyakit jantung : disangkal
i. Penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Cikoko bersama keluarganya. Hubungan antara pasien dengan
keluarga dan tetangga baik.
b. Home
Pasien tinggal di rumah sederhana. Lantai rumah beralaskan keramik dengan
ventilasi yang cukup. Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar
matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang pelajar .Pembiayaan rumah sakit ditanggung oleh
BPJS Non PBI.
d. Drugs and diet
Pasien tidak pernah menggunakan obat-obatan sebelumnya. Pasien tidak
mempunyai alergi makanan.
e. Personal habit
Pasien tidak pernah merokok, minum alkohol, ataupun mengkonsumsi obat-
obatan terlarang.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38 C
Status Generalis :
1. Kulit : Warna sawo matang
2. Kepala : Simetris, mesocephal, luka(-)
3. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 2
mm/2 mm, reflek cahaya (+/+)
4. Hidung : Discharge (-), deviasi septum nasi (-)
5. Telinga : Simetris kanan kiri, discharge (-) , Otore (-/-) , Deformitas (-/-) ,
Nyeri Tekan (-/-)
6. Hidung : Nafas Cuping Hidung (-/-) , Deformitas (-/-) , Nyeri Tekan (-/-)
7. Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-)
8. Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-), paratiroid (-),dan kelenjar limfe (-),
pembesaran dan nyeri tekan trakea (-), JVP (-)↑
9. Thorak
a. Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas
(-)
Palpasi : vocal fremitus Apex dextra = sinistra
Basal dextra = sinistra
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi : suara sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Auskultasi : suara dasar vesikuler pada apex dan basal paru kanan dan kiri
menurun. Suara tambahan rhonki basah kasar (-/-) ronkhi basah halus (-/-)
Wheezing (-/-)
b. Paru-paru
Inspeksi : IC tampak pada SIC V LMCS
Palpasi : IC teraba di SIC V, 2 jari medial LMCS, tidak kuat
angkat
Perkusi
Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD

Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS

Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD

Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)


c. Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas (+), sikatrik (-), venektasi (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Tympani di seluruh lapang abdomen, pekak sisi (-),
pekak alih (-).
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) epigastrium, massa (-),
hepar/lien tidak teraba, tes undulasi (-), defance muscular (-)
d. Ekstremitas
Inspeksi : Gerak involunter ( - )
Palpasi : Akral hangat, capillary refill time < 2 detik
Kekuatan motorik : 5/5/5/5
Tonus : N/N/N/N
Reflek Fisiologis :+
Reflek Patologis :-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Darah lengkap Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,4 11,2 – 17,3
Leukosit 12510 H 3800 – 10600
Hematokrit 38 40 – 52
Eritrosit 4,3 4,4 – 5,9
Trombosit 534.000 H 150000 – 440000
MCV 77,0 L 80 – 100
MCH 25,3 L 26 – 34
MCHC 32,8 32 – 36
RDW 14,5 11,5 – 14,5
MPV 8,3 L 9,4 – 12,4
Hitung Jenis
Basofil 0,6 0–1
Eosinofil 1,6 L 2–4
Batang 0,5 L 3–5
Segmen 70,7 H 50 – 70
Limfosit 17,3 L 25 – 40
Monosit 9,3 H 2–8
Kimia Klinik
SGOT 13 L
SGPT 16
Glukosa Sewaktu 99
Natrium 139
Kalium 4,0
Klorida 101

Urin lengkap Hasil


Warna Kuning muda
Kejernihan Jernih
Bau Khas
Urobilinogen Noormal
Glukosa Negatif
Bilirubin Negatif
Keton Negatif
Berat Jenis 1.015
Eritrosit 0
Protein Negatif
Silinder hialin Negatif
Silinder lilin Negatif
Silinder eritrosit Negatif
Silinder leukosit Negatif
Granuler halus Negatif
Granuler kasar Negatif
Bakteri Negatif
Trikomonas Negatif

2. USG Abdomen (23 November 2017)

Gambar 2.1. USG Abdomen

Hepar besar dbn, permukaan licin, tepi tajam, normoekoik, tak tampak nodul. V.
Porta, v. Hepatika, dan v. Kava inferior dbn.
Kandung empedu besar, bentuk dbn, dinding menebal, tak tampak batu empedu.
Saluran empedu tidak melebar.
Pankreas besar, bentuk, dan struktur dbn. Limpa dbn. V. Lienalis tidak melebar.
Tak tampak pembesaran KGB Paraaortal.
Ginjal kanan dan kiri besar-konturnya dbn, tak tampak batu dan tanda obstruksi.
Struktur eko, batas, dan rasio kortikomeduler dbn.
Buli tak jelas kelainan, tak tampak batu.
Uterus dan parametrium tidak jelas kelainan.
Tidak tampak cairan bebas dan tumor intraabdomen

Kesan :
- Gambaran Cholesistitis, tak tampak kelainan organ abdomen lainnya, tak
tampak kelainan ginekologik.

E. Diagnosis Kerja
1. Abdominal pain
2. Cholesistitis

F. Tatalaksana
1. Medikamentosa
a. IVFD RL : NaCl 0.9% 20 tpm
b. Inj Cefixime 2x200mg
c. Urdahex 1x1
d. Omeprazole 2x1
e. Scopma 3x1
f. PCT 3x500 mg
2. Edukasi
a. Edukasi keluarga tentang penyakit dan prognosis penyakit
b. Edukasi pasien untuk mengurangi makanan berminyak atau berlemak serta
tinggi kalori
G. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Sanam : Dubia ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Bonam

H. Follow Up

S O A P
28/11/2017
Nyeri ulu hati TD : 100/60 Abdominal pain IVFD RL : NaCl 0.9% 20
Mual (-) N : 72 tpm
Muntah (-) RR : 20 Inj Buscopan 2x1 amp
S : 37.3 C Inj OMZ 2x1 amp
Po ceftriaxone 2x1 tab
PO sukralfat 3x1cth
PO scopma 3x1
PO PCT 3x500mg
Cek Urin Lengkap
29/11/2017
Nyeri ulu hati jika TD : 90/70 Abdominal pain IVFD RL : NaCl 0.9% 20
menarik nafas N : 72 Kolesistitis tpm
panjang RR : 24 Cefixime 2x200 mg
Pusing (+) S : 37,1 C Urdahex 1x1
Mual (-) OMZ 2x1
Muntah (-) Scopma 3x1
PCT 3x500 mg
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi
menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu


yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis


kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan
kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala
yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan,
kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-
lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal
dan tidak menonjol.

2.2 Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis
akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan
stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya
batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase
limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak
faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi.

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu,


stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin
merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh
dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan
cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor
hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan
tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi
penyebab terbentuknya batu empedu.

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam
kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu
akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka
waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin
merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada
pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang
terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga
berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.

Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin


dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya
mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga
menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan
stasis kandung empedu.
2.3 Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang
bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat
darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah
serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul,
dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri
bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ).
Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap
pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan
sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi
mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas
abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat
inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien
berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda
peritonitis lokal dan demam.

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan


leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan
peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase
(ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG),
computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik,
dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas.
Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan
pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau
99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada
USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi
sangat menyokong kolesistitis akut.
Gambar 2.3 Koleskintigram normal

Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian
kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:

 Gejala dan tanda lokal


o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
 Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau
skintigrafi yang mendukung.
2.4 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
 Aneurisma aorta abdominal
 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut

2.5 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat.
Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan
lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah
metode pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran
besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di
duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara
di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti Escherichia
coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis
akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi,
diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.
2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada tidaknya


komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan
pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan
meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena,
koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk
kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan
terapi yang dapat diberikan:

 Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada kasus


berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin.
 Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
 Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
 Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.

Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan dengan
syarat:

1. Tidak demam dan tanda vital stabil


2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.
Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

 Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.


 Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol mual
dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
 Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.


Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian
menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di
rumah sakit semakin berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

 Resiko tinggi untuk anestesi umum


 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau
fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus
dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan
ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat
menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis
akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode endoskopi
dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic retrograde
cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan
sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic ultrasound-
guided transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan cukup baik dalam terapi
pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang
endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien
kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien dan secara
klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.

2.7 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu


menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang menjadi gangren, empiema
dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat. Hal ini
dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan
bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping
kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

1.1 Simpulan
1. Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
2. Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis kalkulus dan
akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi kolesistitis akut dan kronik.
3. Diagnosis kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan Tokyo
guidelines.
4. Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak, pemberian
analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi pembedahan berupa
kolesistektomi.
5. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah terjadinya
komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema, emfisema, perforasi kandung
empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.

1.2 Saran
1. Perlunya pengenalan dan pemahaman tanda dan gejala kolesistitis yang lebih baik
sehingga diagnosis kolesistitis dapat ditegakkan lebih cepat dan tepat.
2. Perlunya pemberian terapi yang adekuat dan tepat sesuai dengan kondisi pasien
sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan mencegah terjadinya
komplikasi kolesistitis.
DAFTAR PUSTAKA

Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.


Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.

Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in Emergency
Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.

Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi
keempat. Jakarta: EGC, 1994.

Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.

Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al. Background:


Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.

Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic
Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.

Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for the
diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J
Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.

Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.

Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.

Anda mungkin juga menyukai