“ SC (SECTIO CAESARIA) “
1. DEFINISI
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan
diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh
(Gulardi & Wiknjosastro, 2006).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002).
2. JENIS – JENIS
a. Sectio Cesaria Transperitonealis Profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah :
o Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak
o Bahaya peritonitis tidak besar.
o Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian
hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa
banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat
sembuh lebih sempurna.
b. Sectio Cacaria Klasik Atau Section Cecaria Korporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini
yang agak mudah dilakukan, hanya diselenggarakan apabila ada halangan
untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi
memanjang pada segmen atas uterus.
3. ETIOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari
janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa
faktor sectio caesaria diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesaria
sebagai berikut :
a. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul
ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang
panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga
panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan
lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan
patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris
dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira
0,27-0,5 %.
Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada
posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu,
biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau
letak belakang kepala.
o Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni
presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi
bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
4. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan
tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan
lunak, plasenta previa dan lain – lain untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah
gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan
mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang
pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk
oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya
sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entres bagi kuman. Oleh karena itu
perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri
adalah yang paling utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa
nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anastesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anastesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu, sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan apnea
yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia
uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu
jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yang berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anastesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan
dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko
terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas
yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi
(Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002).
Pathway SC
5. TEKHNIK PENATALAKSANAAN
a. Bedah Cesaria Klasik/ Corporal.
o Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah
korpus uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting
sampai sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin
dengan dua jari operator.
o Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan
dengan meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
o Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
o Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan
uterotonika kedalam miometrium dan intravena.
o Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal
(lambert) dengan benang yang sama.
Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara
jelujur menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
o Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa
darah dan air ketuban.
o Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
b. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
o Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara
melintang, kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan
samping.
o Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang
lebih 1 cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian
diperlebar dengan gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat
menggunting lindungi janin dengan dua jari operator.
o Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan
dengan cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
o Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
o Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
o Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan
uterotonika kedalam miometrium dan intravena.
o Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal
(lambert) dengan benang yang sama.
Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan
benang plain catgut no.1 dan 2
o Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa
darah dan air ketuban.
o Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
c. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
o Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum
kemudia digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika
urinaria.
o Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar
transperitoneal profunda demikian juga cara menutupnya.
d. Histerektomi Caersarian ( Caesarian Hysterectomy)
o Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal
demikian juga cara melahirkan janinnya.
o Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan
menggunakan klem secukupnya.
o Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
o Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2)
pada tepi segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas
kedua klem tersebut.
o Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan
pada tunggul serviks uteri diatasi.
o Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang
sutera no. 2.
o Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic
catgut ( no.1 atau 2 ) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
o Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul
serviks uteri.
o Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah panggul dan visera
abdominis.
o Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
SC (Sectio Caesaria)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang
itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
e. Uji laboratorium
o Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
o Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
o Panel elektrolit
o Skrining toksik dari serum dan urin
o AGD
o Kadar kalsium darah
o Kadar natrium darah
o Kadar magnesium darah
7. KOMPLIKASI
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
o Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas
dibagi menjadi:
Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan
perut sedikit kembung
Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
o Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan
cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
o Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing,
embolisme paru yang sangat jarang terjadi.
o Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal
8. PENATALAKSANAAN
a. Perawatan awal
o Letakan pasien dalam posisi pemulihan
o Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam
pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat
kesadaran tiap 15 menit sampai sadar.
o Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
o Transfusi jika diperlukan.
o Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca
bedah
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
o Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
o Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang
sedini mungkin setelah sadar.
o Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
o Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler).
o Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Fungsi gastrointestinal
o Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
o Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
o Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
o Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
e. Perawatan fungsi kandung kemih
o Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam.
o Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
o Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang
sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
o Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per
oral per hari sampai kateter dilepas
o Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
f. Pembalutan dan perawatan luka
o Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak
terlalu banyak jangan mengganti pembalut.
o Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester
untuk mengencangkan.
o Ganti pembalut dengan cara steril
o Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
o Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit
dilakukan pada hari kelima pasca SC
g. Jika masih terdapat perdarahan
o Lakukan masase uterus
o Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau
RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
o Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien
bebas demam selama 48 jam :
Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
h. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
o Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
o Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
o Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
i. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
j. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan
o Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan
komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
o Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya
hematoma.
o Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut
ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
o Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
o Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
o Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
o Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat
menaikkan tekanan intra abdomen.
o Pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi
obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin
disebabkan karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena
tekanan diafragma. Selain itu juga penting untuk mempertahankan
sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia
kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan
kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.
o Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan
kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya
orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas
dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
o Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah,
frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin
Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya
penyimpangan.
o Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional
atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai
indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit
pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter
fole
2.1. Tinjauan Teori Preeklampsia Berat
2.1.1. Fisiologi kehamilan
Kehamilan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baik anatomis maupun
fisiologis pada ibu. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan perubahan dalam
nilai-nilai normal berbagai hasil pemeriksaan laboratorium.
2.1.1.1. Perubahan pada alat genital dan payudara
a. Uterus
Besar uterus sampai aterm dapat mencapai 1000 kali besarnya sebelum hamil,
beratnya mencapai 30 kali, dan kapasitas isinya kurang lebih adalah 5 liter. Uterus
yang membesar ini memberikan penekanan-penekanan terhadap alat-alat sekitarnya
sehingga memberikan pula keluhan-keluhan gastrointestinal, respirasi,
kardiovaskuler dan sistem urinaria. Aliran darah ke uterus naik 60 kali, menjadi
kira-kira 600 ml/menit (kira-kira 10% cardiac output).
b. Vagina dan serviks
Banyak wanita mengeluh keputihan selama kehamilan. Bila tidak disertai rasa
gatal/panas, biasanya ini hanya disebabkan oleh sekresi serviks yang meningkat
sebagai akibat stimulasi estrogen. Pengobatan pada umumnya tidak perlu.
c. Ovarium
Korpus luteum mengalami regresi pada minggu ke-8. Selanjutnya, ovarium menjadi
inaktif karena hormon-
hormon pituitaria ditekan oleh estrogen dan progesteron plasenta.
d. Payudara
Payudara tumbuh membesar karena proliferasi asini maupun duktus laktiferus.
Pertumbuhan mammae dipacu oleh estrogen dan prolaktin. Pada kulit timbul striae
dan beberapa vena tampak membesar, muncul di permukaan. Areola dan pappila
lebih hiperpigmentasi. Pada beberapa bulan kehamilan, dari papilla dapat keluar
kolostrum bila dilakukan masase ringan. Laktasi sendiri baru terjadi beberapa hari
setelah persalinan.
2.1.1.2. Perubahan sistem endokrin
Perubahan-perubahan hormonal selama kehamilan terutama akibat produksi
estrogen dan progesteron plasenta dan juga hormon-hormon yang dikeluarkan oleh
janin.
a. Estrogen
Produksi estrogen plasenta terus naik selama kehamilan dan pada akhir kehamilan
kadarnya kira-kira 100 kali sebelum hamil.
b. Progesteron
Produksi progesteron bahkan lebih banyak dibanding estrogen. Kira-kira Pada akhir
kehamilan produksinya 250 mg/hari. Progesteron menyebabkan tonus otot polos
menurun dan juga diuresis.
c. Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
Hormon ini dapat terdeteksi beberapa hari setelah pembuahan dan merupakan dasar
tes kehamilan. Puncak sekresinya terjadi kurang lebih 60 hari setelah konsepsi.
Fungsi utamanya adalah mempertahankan korpus luteum.
l. Parathormon
Hormon ini relatif tidak dipengaruhi oleh kehamilan.
2.1.1.3. Perubahan sistem kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular selama kehamilan memberikan banyak implikasi
terhadap manajemen penyakit jantung pada wanita hamil. Perubahan tersebut
mempengaruhi manajemen persalinan dan perawatan selama dan setelah
kehamilan. Perubahan dasar pada sistem kardiovaskular adalah:
a. Volume darah. Pada kehamilan 32 minggu, volume total darah meningkat 40%,
dengan peningkatan volume total plasma mencapai 50%. Akan tetapi, oleh karena
tidak diikuti peningkatan sel darah merah yang sesuai (hanya meningkat 20%) maka
terjadi pengenceran konsentrasi darah yang bisa berakibat anemia.
b. Cardiac output. Naiknya stroke volume menimbulkan peningkatan cardiac output
sebesar 30-50% pada kehamilan 20-24 minggu. Penurunan cardiac output juga
terjadi bila wanita hamil dalam posisi supinasi karena adanya kompresi vena cava.
c. Penurunan hambatan vaskuler sistemik Selama kehamilan. Puncaknya terjadi
selama trimester kedua dan kemudian menurun kembali seperti masa sebelum
kehamilan pada usia aterm.
d. Redistribusi aliran darah. Selama kehamilan, aliran darah ke ginjal, kulit dan
uterus menjadi meningkat. Aliran darah ke uterus bisa mencapai 5000 mL/menit
pada usia aterm.
e. Perubahan hemodinamik saat persalinan. Tekanan vena meningkat selama
persalinan karena kontraksi uterus menimbulkan peningkatan aliran venosa dari
vena uterine. Akibatnya, cardiac output meninggi, tekanan ventrikuler kanan dan
tekanan arterial rata-rata pun meningkat.
f. Perubahan hemodinamik setelah persalinan. Pada masa postpartum, kompresi
vena cava menurun sehingga menimbulkan peningkatan volume darah. Cardiac
output yang tinggi memungkinkan munculnya reflex bradikardia. Oleh karena
banyak darah hilang, perubahan hemodinamik ini tidak begitu kentara pada pasien
operasi sesar.
2.1.1.4. Perubahan sistem respiratorius
a. Perubahan struktur. Mukosa saluran respiratorius atas menjadi edema dan
produksi mucus meningkat yang menyebabkan rasa sumpek dan gejala flu kronik.
Sudut subcosta meningkat selama hamil. Diameter transversal dan lingkaran dada
juga meningkat awal selama kehamilan. Pada akhir kehamilan, diafragma naik,
tetapi gerakan diafragma pada setiap nafas menjadi bertambah.
b. Konsumsi oksigen
1) Meskipun ventilasi menit 30-40% selama hamil, konsumsi oksigen hanya
meningkat 15-20%. Akibatnya, tingkat PO2 meningkat hingga 104-108 mmHg.
Meningkatnya konsumsi oksigen terutama dikaitkan dengan kecukupan konsumsi
oksigen fetus dan plasenta, meningkatnya cardiac output maternal, meningkatnya
kecepatan filtrasi glomerulus, dan meningkatnya massa jaringan payudara dan
uterus.
2) Meskipun produksi karbondioksida naik selama hamil, kadar PCO2 turun hingga
27-32 mmHg karena naiknya ventilasi menit. Penurunan ini membantu pertukaran
karbondioksida antara ibu dan janin. Meningkatnya pH arterial hanya sedikit karena
penurunan kadar PCO2 diimbangi dengan penurunan kadar serum bikarbonat
hingga 18-31 mEq/L akibat peningkatan kecepatan ekskresi ginjal.
c. Volume tidal meningkat 30-40% selama kehamilan. Progesterone menurunkan
ambang karbondioksida dalam pusat respirasi. Volume cadangan ekspirasi dan
kapasitas residual fungsi menurun selama hamil, tetapi kecepatan respirasi dan
kapasitas vital sama.
d. Resistensi Forced expiratory volume dan peak expiratory flow rate tidak berubah
selama kehamilan.
Perubahan sistem urinaria
1) Perubahan struktur. Selama kehamilan, panjang ginjal bertambah 1 cm,
volumenya bertambah 30% dan ukuran system kolektivus meningkat lebih dari
80%, dengan dilatasi lebih banyak.
2) Fungsi ginjal. Wanita hamil mengalami akumulasi natrium 500-900 mEq dan 6-
8 L air. Oleh karena bertambahnya volume cairan, aliran plasma ginjal meningkat
60-80% pada pertengahan trimester dua dan menetap hingga trimester tiga,
selanjutnya 50% selama kehamilan. Kecepatan filtrasi glomerulus mulai
meningkat pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai puncak pada akhir trimester
pertama.
3) Fungsi tubulus. Resorpsi tubuler menurun selama hamil sehingga menimbulkan
peningkatan ekskresi glukosa, asam amino dan protein. Meningkatnya glukosa urin
membuat wanita hamil lebih rentan terhadap infeksi saluran kencing dan bakteriuri.
4) Penilaian fungsi ginjal. Proteinuria harus diperiksa pada kunjungan antenatal.
Nilai +1 harus diikuti dengan penilaian selanjutnya seperti urin midstream untuk
kultur dan pemeriksaan mikroskopik.
2.1.1.5. Perubahan sistem gastrointestinal
Perasaan tidak enak di ulu hati disebabkan oleh perubahan posisi lambung dan
aliran balik asam lambung ke esophagus bagian bawah. Produksi asam lambung
menurun. Pada trimester I sering terjadi nausea dan muntah karena pengaruh HCG.
Penderita sering meludah dan tidak enak makan. Hemoroid sering terjadi karena
pengaruh estrogen. Selama kehamilan enzim hati tetap normal dan mungkin
menurun karena hemodilusi. Kadar lipid, fibrinogen dan alkali fosfatase meningkat
tajam selama kehamilan dan kadar albumin menurun 20% pada awal trimester satu.
Dengan membesarnya uterus ke abdomen atas, hepar terdesak ke belakang kanan.
Perubahan tempat ini mengurangi ukuran perkiraan waktu pemeriksaan fisik. Hepar
yang teraba selama hamil harus dianggap abnormal dan perlu tindakan lanjut.
2.1.1.6. Perubahan sistem skeletal
Uterus yang membesar akan memperbesar derajat lordosis sehingga sering
menyebabkan sakit pinggang. Bila wanita mengalami defisiensi kalsium, dapat
terjadi demineralisasi tulang dan/gigi. Sendi-sendi panggul menjadi lebih mobile.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa preeklampsia adalah suatu keadaan dimana terjadi
kenaikan tekanan darah sistolik 160/110 mmHg dan diastolik > 110 mmHg pada
usia kehamilan 20 minggu, yang disertai dengan proteinuria serta terjadi
penimbunan cairan pada ekstreimtas tubuh.
2.1.4. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi preeklampsia, yaitu:
2.1.4.1. Abnormalitas invasi trofoblas.
2.1.4.2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)- fetal.
2.1.4.3. Maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses
kehamilan normal.
2.1.4.4. Fator genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.
2.1.4.5. Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
2.1.4.6. Faktor risiko
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim.
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia.
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada selama hamil.
f. Obesitas.
2.1.5. Patofisiologi
Berdasarkan perjalanan penyakit teori 2 tahap, preeklampsia dibagi menjadi 2 tahap
penyakit tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa
gejala), dengan karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester
pertama. Perkembangan abnormal plasenta terutama proses angiogenesis
mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya material plasenta memasuki
sirkulasi ibu.
Dua fakta klinis tersebut menuntun pada hipotesis kuat bahwa plasenta memegang
peranan penting dalam patogenesis preeklampsia. Terapi paling efektif dari
preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Selain itu bila plasenta
berkembang berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada mola hidatidosa atau
gemeli, seringkali berkembang menjadi preeklampsia berat. Hal tersebut didukung
oleh pemeriksaan patologi bahwa pada plasenta dengan preeklampsia terdapat
infark luas, sklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri dan arteriol serta
terdapat remodeling yang in adekuat pada arteri spiralis.
Pada tahap asimtomatik meskipun gejala klinik belum terlihat, tetapi pemeriksaan
tertentu dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi. Pemeriksaan USG doppler
arteri uterina dapat menilai adanya perubahan pada aliran darah yang disebabkan
karena peningkatan resistensi vaskular sebelum gejala klinis timbul. Selanjutnya
peningkatan vasokontriksi ateri uterina akan menimbulkan hipertensi, proteinuria,
dan endoteliosis glomerular. Gejala-gejala tersebut yang mendukung untuk
ditegakkannya diagnosis preeklampsia, dan merupakan suatu tahap kedua atau
preeklampsia dengan manifestasi gejala klinik. Sehingga adanya ganguan histologi,
fungsi, dan metabolisme plasenta diduga sangat besar peranannya pada patofisologi
preeklampsia (Pribadi et al, 2015).
Skema 2.1 Pathway Preeklampsia
Sumber (NANDA & NIC NOC, 2013)
2.1.6. Tanda dan gejala
Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
mengancam kematian ibu. Efek yang sama terjadi pula pada janin, mulai dari yang
ringan, PJT dengan komplikasi pascasalin sampai kematian intrauterin.
2.1.6.1. Gejala
Kebanyakan ibu hamil pada awal preeklampsia tidak menunjukkan gejala.
Sementara preeklampsia fase lanjut sering menimbulkan gejala yang berhubungan
dengan kurangnya perfusi jaringan, misalnya terjadi sakit ulu hati, mual, muntah,
sakit punggung, dll. Gejala hipoksia terjadi sakit kepala, kurangnya kesadaran,
penurunan penglihatan, skotomata, dll. Parestesia, pegal, dapat terjadi bila saraf
terganggu karena kompresi. Terdapat gejala yang sangat serius ditangani terutama
bila menyangkut organ vital seperti jantung, dan perdarahan antepartum karena
preeklampsia akan meningkatkan risiko untuk solutio plasenta.
2.1.6.2. Tanda
Tanda preeklampsia meliputi :
a. Tanda tersering adalah hipertensi.
b. Proteinuria.
c. Perubahan retinal.
d. Hiperrefleksia.
e. Tanda spesifik kelainan organ seperti dekompensasi jantung menimbulkan
edema tungkai yang masif kadang disertai asites dan hidrotoraks. Pembesaran hepar
menyebabkan nyeri tekan, pecahnya pembuluh darah perifer seperti ptechiae,
purpura, dan bila berat menyebabkan gangguan pembekuan darah sistemik (seperti
disseminated intracorpuscular/DIC).
2.1.7. Pemeriksaan penunjang
2.1.7.1. Maternal
a. Asam urat
Hipertensi yang disertai peningkatan asam urat berhubungan dengan PJT.
Hiperurikemia merupakan tanda dini penyakit karena terjadi penurunan klirens
asam urat sebelum penurunan filtrasi glomerular filtration rate (GFR) ginjal terjadi.
Peningkatan asam urat dalam darah tidak hanya gangguan fungsi ginjal tetapi dapat
pula disebabkan peningkatan stres oksidatif.
b. Kreatinin
Terjadi peningkatan kreatinin pada preeklampsia berat tetapi biasanya belum terjadi
perubahan pada preeklampsia ringan.
c. Tes fungsi hepar
Peningkatan aspartat aminotranferase (AST/SGOT) dan alanine aminotransferase
(ALT/SGPT) merupakan tanda prognosis buruk pada ibu dan janin. Konsentrasi
dari protein ini berhubungan dengan beratnya penyakit preeklampsia dengan
komplikasi berat pada hepar.
d. Faktor pembekuan
Terjadi penurunan dari faktor III, faktor VIII selain trombositopenia. Gangguan ini
menimbulkan risiko terjadi perdarahan pasca persalinan.
e. Analisis urine (proteinuria).
f. Pencocokan ulang : cross matching.
g. Pemeriksaan urine untuk ekskresi protein 24 jam.
2.1.7.2. Fetal
a. Klik chart (rekaman gerakan janin).
b. CTG (kardiografi).
2.1.8. Penatalaksanaan medis
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
2.1.8.1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhri atau diterminasi ditambah
pengobatan medisinal.
2.1.8.2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan
medisinal.
Perawatan aktif
a. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan
pemeriksaan fetal assaement (NST & USG).
b. Indikasi
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
b) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia.
c) Kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan medikamentosa
terjadi kenaikan tekanan darah atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada
perbaikan.
2) Janin
a) Hasil fetal assesment jelek (NST & USG).
b) Adanya tanda IUGR.
3) Laboratorium
a) Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar,
trombositopenia).
c. Pengobatan medikamentosa
1) Segera masuk rumah sakit.
2) Tidur baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri), tanda vital diperiksa setiap 30
menit, refleks patella setiap jam.
3) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam)
500 cc.
4) Antasida.
5) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
6) Pemberian obat anti kejang: diazepam 20 mg IV dilanjutkan dengan 40 mg dalam
Dekstrose 10% selang 4-6 jam atau MgSO4 40% 5 gram IV pelan-pelan dilanjutkan
5 gram dalam RL 500 cc untuk 6 jam.
7) Diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV.
8) Antihipertensi diberikan bila: tekanan darah sistolik e”180 mmHg, diastolik e”
110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Dapat diberikan catapres ½-1 ampul IM
dapat diulang tiap 4 jam, atau alfametildopa 3 x 250 mg, dan nifidipine sublingual
5-10 mg.
9) Kardiotonika, indikasinya, bila ada tanda-tanda payah jantung, diberikan
digitalisasi cepat dengan cedilanid.
10) Lain-lain:
a) Konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata.
b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih dari 38,5 derajat celcius
dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylamidon 2 cc
IM.
c) Antibiotik diberikan atas indikasi, diberikan ampicilin 1 gr/6 jam/IV/hari.
d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus, dapat
diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum
jalan lahir.
d. Pengobatan obstetrik
1) Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
a) Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan
dengan fetal heart monitoring.
b) Sectio caesarea bila:
(1) Fetal assesment jelek
(2) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya
kontraindikasi tetesan oksitosin.
(3) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
(4) Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan sectio
caesarea.
2) Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala I
a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan sectio caesarea.
b) Fase aktif : amniotomi saja, bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi
pembukaan lengkap maka dilakukan sectio caesarea (bila perlu dilakukan tetesan
oksitosin).
Kala II
a) Pada persalinan per vaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.
Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah
pemberian terapi medikamentosa. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila
keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan
kortikosteroid.
Perawatan konservatif
a. Indikasi: bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa: sama dengan terapi medikamentosa pada pengelolaan
aktif, hanya laoding dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskular
saja dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c. Pengobatan obstetri:
1) Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti perawatan
aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
2) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap terapi medikamentosa
gagal dan harus diterminasi.
4) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4
20% 2 gram intravenous.
d. Penderita dipulangkan bila:
1) Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda preeklampsia ringan dan telah
dirawat selama 3 hari.
2) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia ringan: penderita
dapat dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan (diperkirakan lama
perawatan 1-2 minggu).
2.1.9. Prognosis
The morbidity and mortality of both the mother and fetus are considered:
Fetal mortality and morbidity. The fetal mortality is 2% in a preeclamptic
pregnancy. Reccurence of preeclampsia, preeclampsia fetus in 25% of subsequent
pregnances for early onset (< 32 weeks), and in 5-8% of subsequent pregnancies
for late onset preeclampsia. Maternal complications of preeclampsia,
preeclampsia is a life-long disease, and has an impact on maternal cardiovascular
health. There is a risk of hypertension in later life and an eight-fold increase in risk
of death from stroke for those with preeclampsia prior to 37 weeks gestation
(Cameron et al, 2009).
2.1.10. Komplikasi
Bergantung pada derajat preeklampsia yang dialami. Namun yang termasuk
komplikasi antara lain sebagai berikut:
2.1.10.1. Pada ibu
a. Eklampsia.
b. Solusio plasenta.
c. Perdarahan subskapula hepar.
d. Kelainan pembekuan darah (DIC).
e. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated, liver, enzymes, dan low platelet count).
f. Ablasio retina.
g. Gagal jantung hingga syok dan kematian.
2.1.10.2. Pada janin
a. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus.
b. Prematur.
c. Asfiksia neonatorum.
d. Kematian dalam uterus.
e. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea adalah sebuah tindakan pembedahan
yang dilakukan guna mengeluarkan janin dan plasenta melalui insisi pada abdomen
dan uterus dengan syarat berat janin tidak kurang dari 500 gram.
2.2.2. Etiologi
Seorang ibu yang akan melahirkan perlu dilakukan tindakan persalinan sectio
caesarea tentu berdasarkan indikasi terlebih dahulu. Indikasi tersebut
dapat dilakukan dengan alasan medis antara lain: karena ibu maupun bayinya
berisiko tinggi, bukan karena alasan pribadi dari ibu sendiri/elektif. Adapaun
indikasi dilakukannya sectio caesarea pada klien karena keadaan berikut:
2.2.2.1. Faktor ibu
a. Distosia
Distosia merupakan suatu keadaan persalinan yang lama karena adanya kesulitan
dalam persalinan yang disebabkan oleh beberapa faktor dalam persalinan, baik
faktor dari ibu sendiri maupun faktor dari bayi dalam proses persalinan, seperti:
kelainan tenaga (his), kelelahan mengedan, kelainan jalan lahir, kelainan letak dan
bentuk janin, kelainan dalam besar/bobot janin, serta psikologis ibu.
b. Chepalopelvic disproportion (CPD)
Chepalopelvic disproportion (CPD) is a condition in which the size, shape, or
position of the fetal head prevents it from passing through the lateral aspect of the
maternal pelvis or when the maternal pelvis is of a size or shape that prevents the
descent of the fetus through the pelvis (Durham & Chapman, 2013).
CPD merupakan keadaan panggul ibu yang tidak sesuai dengan keadaan panggul
normal yang dimiliki kebanyakan wanita. Keadaan panggul yang tidak normal tidak
baik untuk dilakukan tindakan persalinan pervaginam.
c. Preeklampsia berat dan eklampsia
PEB dan eklampsia sangat rawan untuk dilakukan persalinan pervaginam karena
ibu dan bayinya berisiko tinggi terjadinya injuri. Pada umumnya, ibu hamil yang
menderita PEB ataupun eklampsia acap kali berakhir dengan persalinan sectio
caesarea.
d. Gagal proses persalinan
Gagal induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya sectio caesarea untuk
segera menyelamatkan ibu dan bayinya.
e. Sectio ulang
Jika seorang ibu mempunyai riwayat persalinan sectio, maka persalinan berikutnya
harus melalui tindakan persalinan sectio caesarea karena khawatir terjadi robekan
pada rahim.
f. Plasenta previa
Plasenta previa yaitu plasenta yang letaknya abnormal, yaitu plasenta yang terletak
pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium internum).
g. Solutio plasenta
Solutio plasenta disebut juga dengan nama abrupsio plasenta. Solutio plasenta
adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta sebelum janin lahir.
h. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
Tumor tersebut seperti mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim. Hal ini
bergantung pada jenis dan besarnya tumor tersebut. Hal yang perlu
dipertimbangkan, apakah persalinan dapat dilakukan secara pervaginam atau secara
sectio caesarea.
i. Ruptur uteria
Adalah keadaan robekan pada rahim yang telah terjadi hubungan langsung antara
rongga amnion dan rongga peritoneum. Ruptur uteri, baik yang terjadi pada masa
hamil atau proses persalinan merupakan suatu kondisi bahaya yang besar pada
wanita dan janin yang dikandungnya.
j. Takut persalinan pervaginam
Pengalaman buruk yang dialami oleh orang lain saat persalinan pervaginam pun
dapat menjadi pencetus bagi seorang ibu untuk melakukan persalinan dengan sectio
caesarea.
k. Pengalaman buruk melahirkan pervaginam
Pengalaman buruk melahirkan pervaginam yang dialami ibu pada saat persalinan
sebelumnya, seperti adanya nyeri serta kecemasan yang sangat, dan menimbulkan
trauma bagi seorang ibu untuk menjalani persalinan pervaginam untuk melahirkan
berikutnya.
l. Adanya keinginan untuk melahirkan pada hari yang telah ditentukan.
Indikasi ini bukan merupakan indikasi medis, melainkan indikasi elektif akibat
keinginan pribadi seorang ibu atau keluarganya yang memilih persalinan sectio
caesarea.
m. Disfungsi uterus
Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan
tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
p. Usia ibu lebih dari 35 tahun
Kehamilan di atas usia 35 tahun memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk
terjadinya persalinan dengan tindakan sectio caesarea dibandingkan dengan usia di
bawah 35 tahun. Usia lebih dari 35 tahun termasuk ke dalam golongan usia berisiko
tinggi dalam kehamilan dan persalinan. Pada usia ini, berbagai masalah sering kali
menyertai kehamilannya, seperti plasenta previa totalis preeklampsia berat,
kelelahan dalam mengedan, dan sebagainya.
q. Herpes Genital Aktif
Herpes genital merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh virus bernama
Herpes Simpleks Virus (HSV). Virus ini ditularkan melalui kontak langsung kulit
atau membran mukus dengan lesi yang aktif. Lesi herpes yang aktif pada genital
ibu hamil dapat menular ke bayi pada saat proses persalinan pervaginam.
Penyebaran virus herpes dari ibu hamil kepada janinnya dapat terjadi pada saat
proses persalinan.
2.2.2.2. Alasan janin
a. Terjadinya gawat janin (distress)
Terjadinya gawat janin antara lain disebabkan: syok, anemia berat, preeklampsia
berat, eklampsia, dan kelainan kongenital. Keadaan gawat janin biasanya dinilai
dengan menghitung Denyut Jantung Janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan
adanya mekonium di dalam cairan amnion. Janin disebut gawat janin apabila
ditemukan denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut
jantung tak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal kehamilan.
b. Letak janin
Kelainan dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda atau majemuk
merupakan faktor penyulit dalam persalinan.
c. Kehamilan ganda
Kehahamilan ganda (kembar) adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih dalam
satu rahim dengan satu atau dua plasenta. Kehamilan kembar dapat berisiko tinggi,
baik terhadap ibu maupun bayinya.
d. Adanya bobot badan bayi yang ukurannya lebih dari normal
Bobot bayi lahir normalnya antara 2.500-4000 gram. Bobot bayi di atas 4000 gram
atau lebih dinamakan bayi besar (giant baby). Hal ini mengakibatkan bayi sulit
keluar dari jalan lahir ibu.
e. Cacat atau kematian janin sebelumnya
Khususnya pada ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi yang cacat atau mati
dilakukan sectio caesarea elektif
f. Prolapsus funiculus umbilicalis
Prolapsus funiculus umbilicalis dengan cervix yang tidak berdilatasi sebaiknya
diatasi dengan sectio caesarea, asalkan bayinya berada dalam keadaan baik.
g. Insufisiensi placenta
Pada kasus retardasi pertumbuhan intrauterin atau kehamilan post matur dengan
pemeriksaan klinis dan berbagai test menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan
bahaya, maka kelahiran harus dilaksanakan. Jika induksi tidak mungkin terlaksana
atau mengalami kegagalan, sectio caesarea menjadi indikasi.
h. Inkompabilitias rhesus
Kalau janin mengalami cacat berat akibat antibodi dari ibu Rh-negatif yang menjadi
peka dan kalau induksi serta persalinan per vaginam sukar teralaksana, maka
kehamilan dapat diakhiri dengan sectio caesarea bagi keselamatan janin.
i. Postmortem caesarean
Kadang-kadang bayi masih hidup, bilamana sectio caesarea segera dikerjakan pada
ibu hamil yang baru saja meninggal dunia.
2.2.4. Prognosis
Previous history of classical caesarean section or hysterotomy makes the woman
vulnurable to unpredictable rupture of the uterus. This may occur either late during
pregnancy or during labor and when it does, the maternal mortality is to the extent
of 5% and the perinatal mortality to 75%. The risk of lower segment scar-rupture
is low (0.2-1.5%) and even if it does occur, maternal death is much less and the
perinatal mortality is about one in eight (Konar, 2015).
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa
sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi,
penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.
Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilias operasi yang baik dan
oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin yang
ditolong secara sectio caesarea sangat tergantung dari keadaan janin sebelum
dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal
yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar
4-7 %.
2.2.5. Komplikasi
Berbeda dengan persalinan normal, pasca sectio caesarea kemungkinan bisa saja
terjadi infeksi nifas, perdarahan pasca persalinan akibat teratnya pembuluh darah
cabang di rahim. Bisa juga terjadi luka kerat tak disengaja pada kandung kemih
yang letaknya memang di bawah rahim, selain kemungkinan emboli paru-paru,
yakni terhanyutnya butiran bekuan darah, atau apa saja yang terbawa ke dalam
aliran darah, dan tiba di paru-paru, sehingga terjadi sumbatan yang fatal akibatnya.
Komplikasi lainnya, bagaimana pun kuatnya jahitan pada rahim yang sudah pernah
disayat tidak lebih kuat dibanding rahim yang masih utuh. Risiko rahim untuk sobek
lebih besar dibanding rahim yang masih utuh. Selain itu, tentu bagaimana layaknya
tindakan pembedahan, persalinan dengan sectio caesarea memerlukan hari
perawatan yang lebih panjang ketimbang persalinan normal.
DAFTAR RUJUKAN
Burnside, Jhon W & McGlynn, Thomas J. (2008). Diagnosa Fisik. Ed. 17. Jakarta: EGC
Cameron, Peter., Jelinek, George., Kelly, Maree. A., Murray, Lindsay & Brown, Anthony.
FT. (2009). Textbook Of Adult Emergency Medicine. Third Edition. China: Elsevier
Damayanti, Ika Putri., Pitriani, Risa & Ardhiyanti, Yulrina. (2015). Panduan Lengkap
Keterampilan Dasar Kebidanan II. Ed. 1. Yogyakarta: Deepublish
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan selatan. (2013, 2014, 2015). Rekapitulasi Jumlah
Kematian Ibu dan Neonatal di Puskesmas dan Rumah Sakit Propinsi Kalimantan
Selatan.
Djannah Nur, S & Arianti Sukma, I. (2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Gambaran
Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSKU PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2007-2009. Vol. 13 No. 4, Hal. 378.
Durham, Roberta & Chapman, Linda. (2013). Maternal-Newborn Nursing: The Critical
Components of Nursing Care. Philadelpia: F.A. Davis Company
Felicia, Devi., Fredy Chikita, f. & Iskandar Jayadi, W. (2008). Jurnal Mahasiswa Kedokteran
Ilmiah Indonesia. Suplementasi Asam Folat Sebagai Upaya Pencegahan
Preeklampsia Pada Ibu Hamil di Indonesia. Vol. III No. 01, Hal. 31
Hartono, Andry. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher
Hidayat, A.Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika
Humas RSHS. (2014). Tahapan Mobilisasi Dini Post Operasi SC. Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung
James, David K & Steer, Philip J. (2011). High Risk Pregnancy Management Options. China:
Elsevier
Kementerian Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi. Kementerian
Kesehatan RI.
Konar, Hiralal. (2015). DC Dutta’s Textbook Of Obstetrics. Eight Edition. Elsevier: China
Latin. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Leveno, Kenneth J., Cunningham, Gary F., Gant, Norman F., Alexander, James M & Bloom,
Steven L. (2009). Williams Panduan Ringkas. Editor bahasa Indonesia, Egi Komara
Yudha, Nike Budhi Subekti. Ed. 21. Jakarta: EGC
Manuaba, Chandranita Ayu I., Manuaba, Fajar Gde Bagus I & Manuaba, Gde Bagus, I.
(2009). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC
Marshall, Jayne & Raynor, Maureen. (2014). Myles Textbook For Midwives. Sixteenth
Edition. China: Elsevier
Medical record RSUD Ulin Banjarmasin. (2015, 2016). Buku Sensus Tahunan Ruang Nifas.
RSUD Ulin Banjarmasin.
Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Kiat Sehat Pranikah. Menjadi Calon Ibu, Membesarkan Bayi
dan Membangun Keluarga Muda. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Nanien, Indriani. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Preeklampsia/Eklamsia Pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah
Kardinah Kota Tegal Tahun 2011. Skripsi, Universitas Indonesia.
Norwitz, Errol. R & Schorge, Jhon. O. (2007). At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Gelora Aksara Pratama
Nugroho, Taufan. (2012). Obsgyn : Obstetri dan Ginekologi Untuk Mahasiswa Kebidanan
dan Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action
Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4, Cet.
4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Pribadi, Adhi., Mose, Johannes. C & Anwar, Deborah A. (2015). Kehamilan Resiko Tinggi.
CV. Jakarta: Sagung Seto
Rahmadani, Apri., Noerjasin, Herlambang. & Zamri, Aywar. (2012). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Terjadinya Preeklampsia-Eklampsia. Hal. 3
Setiyaningrum, Erna. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternitas (Asuhan Kebidanan
Patologi). Jakarta: In Media
Siswosudarmo, Risanto & Emilia, Ova. (2008). Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Solehati, Tetti & Kosasih, Eli. C. (2015). Konsep dan Aplikasi Relaksasi Dalam
Keperawatan Maternitas. Jakarta: Refika Aditama
Sumarni, Sri., Hidayat, Syaifurrahman. & Mulyadi, Eko. (2012). Jurnal Kesehatan Wirajaja
Medika. Hubungan Gravida Ibu Dengan Kejadian Preeklampsia. Hal. 3
Tharpe, Nell. L & Farley, Cindy. L. (2012). Kapita Selekta : Praktik Klinik Kebidanan.
Editor Edisi Bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni. Ed. 3. Jakarta: EGC
Uliyah, Musrifatul & Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Praktikum Keterampilan Dasar
Praktik Klinik: Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medik