Anda di halaman 1dari 30

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Ny. T
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ledug RT 01/02 Kembaran
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk IGD : 06 Januari 2018
Tanggal periksa : 07 Januari 2018
No.CM : 00-79-36-45

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Mual dan muntah.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien baru datang ke IGD RSMS dengan keluhan mual dan muntah sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit dan dirasakan semakin memberat. Pasien mengatakan, pasien
muntah berisi makanan 2 kali dalam sehari. Setelah muntah pasien meminun teh manis
hangat dan merasa keluhan sedikit berkurang. Keluhan mual dan muntah juga disertai
dengan keluhan pusing berputar sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengeluhkan lemas dan berat badannya turun hingga 2 kilogram. Pasien juga
mengeluhkan sering berkeringat pada malam hari, namun pasien menyangkal adanya
penurunan nafsu makan. Pasien menygkal adanya keluhan demam. BAK dan BAB pasien
dalam batas normal.
Pasien sedang dalam pengobatan TB bulan kedua dan rutin mengkonsumsi obat yang
berwarna merah. Pasien mengaku sebelumnya pasien sudah pernah menjalani pengobatan
paru dan rutin meminum obat selama 11 bulan. Saat itu pasien rutin kontrol dan
dinyatakan sembuh oleh puskesmas Kembaran 7 bulan yang lalu.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : (+)
b. Riwayat konsumsi OAT : (+)
c. Riwayat darah tinggi : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
h. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
i. Riwayat sakit tenggorokan/ kulit : disangkal
j. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat konsumsi OAT : disangkal
c. Riwayat darah tinggi : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat sakit ginjal : disangkal
h. Riwayat penyakit jantung : disangkal
i. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
j. Riwayat sakit tenggorokan/ kulit : disangkal
k. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
5. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien menikah dan tinggal bersama 2 anggota keluarganya, yaitu anak dan
cucunya. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat dan baik.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan 2 orang anggota keluarganya yang lain.
Rumah terdiri dari 2 kamar dan masing-masing dihuni oleh 1-2 orang dan disertai
dengan satu kamar mandi. Kamar mandi dan jamban di dalam rumah. Atapnya
memakai genteng dan lantai terbuat dari keramik. Ruangan rumah cukup terang
walaupun lampu tidak dinyalakan serta matahari cukup masuk ke dalam rumah serta
ventilasi cukup.
c. Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
d. Personal habit
Pasien tidak mempunyai kebiasaan merokok, dan jarang olahraga.
e. Drugs and Diet
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan. Menu makan pasien terdiri dari
nasi dan sayur-mayur, terkadang lauk-pauk. Pasien makan sehari 3 kali.
f. Biaya pengobatan
Sumber pembiayaan kesehatan berasal pasien padaa saat ini menggunakan BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign tanggal
a. Tekanan darah : 140/100 mmHg
b. Nadi : 64 ×/menit reguler, isicukup
c. Pernapasan : 22 ×/menit
d. Suhu : 36.7 °C
4. Berat badan : 45 kg
5. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam dan mulai beruban, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
kering (-), refleks cahaya (+/+) normal, pupil isokor diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)

6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Palpasi : JVP 5+ 2cmH2O
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : SD vesikuler, RBH-/-, RBK -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC VI 2 jari medial LMCS
P.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok costo vertebrae
(-/-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), nyeri tekan
epigastrium (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 21/12/2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.9 12 - 16 gr/dl
Leukosit 840 4.800 –10.800/µL
Hematokrit 39 37 - 47%
Eritrosit 4.7 4.2 – 5.4 juta/µL
Trombosit 37500 150.000 -400.000/µL
MCV 81.6 80 – 96 fL
MCH 27.2 27 – 32 pg
MCHC 33.3 33 – 37 gr/dL
Hitung Jenis
Basofil 0.6 0–1%
Eosinofil 0.4 (L) 1–3%
Batang 0.6 (L) 2–6%
Segmen 77.4 (H) 50 – 70 %
Limfosit 16.4 (L) 20 – 40 %
Monosit 9.6 2 -8 %
Kimia Klinik
Total protein 8.37 (H) 6,40 – 8,20 g/dl
Albumin 3.78 3,40 – 5,00 g/dL
Globulin 4.59 (H) 2,70 – 3,20 g/dL
SGOT 31 15 – 37 U/L
SGPT 20 14 – 59 U/L
Ureum 31.2 14,98 – 38,52 mg/dL
Kreatinin 1.17 (H) 0,55 – 1,02 mg/dL
GDS 214 <= 200 mg/dL
Natrium 136 134 – 146 mmol/L
Kalium 2.8 (L) 3,4 – 4,5 mmol/L
Klorida 89 (L) 96 – 108 mmol/L
MCHC 32,4 33 – 37 gr/dL
Pemeriksaan rontgen thoraks 06/01/18
E. ASSESSMENT
1. TB TCM (+) kasus kambung
2. Sensitive rifampisin
3. Efek samping obat streptomisin
4. Hypokalemia

F. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD D5% 20 tpm
2) Inf. Aminofluid 1x/hari
3) Inj. Ondansentron 3x1 amp
4) Inj. Mecobalamin 1x1 amp
5) Po. Betahistin 2x1
6) Po. Curcuma 3x1 tab
b. Non Farmakologi
1) Perawatan di ruang isolasi
2) Edukasi pasien dan keluarga mengenai pentingnya menggunakan masker dan
etika batuk.
3) Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit TB, pengobatan, penularan, dan
komplikasinya.
4) Screening pada anggota keluarga yang lain untuk tindakan pencegahan dan
pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
5) Edukasi tentang kebersihan lingkungan rumah, seperti buka ventilasi setiap hari
agar sinar matahari masuk dan terjadi pertukaran udara.
6) Monitoring
a) Keadaan umum dan kesadaran
b) Tanda vital
c) Evaluasi klinis
 Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan ketiga pengobatan,
selanjutnya tiap 1 bulan sampai bulan kedelapan
 Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi
 Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d) Evaluasi bakteriologis (BTA)
 Satu minggu pada akhir bulan ke 3 pengobatan (setelah fase intensif)
 Akhir bulan ketujuh sampai dengan kedelapan pengobatan
e) Evaluasi radiologi
 Akhir bulan kedua (akhir fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
f) Evaluasi efek samping
g) Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
h) Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
i) Periksa GDS, asam urat
j) Pemeriksaan visus
k) Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
Evaluasi keteraturan obat

G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal S-O A P

08/01/18 Subjektif:  TB TCM (+) - IVFD D5% 20 tpm


kasus kambuh
- Inf. Aminofluid 1x/hari
HP-1 - Pusing berputae  Sensitive
- Mual (+) rifampisin - Inj. Ondansentron 3x1 amp
- Muntah (-)  Efek samping
Objektif : - Inj. Mecobalamin 1x1 amp
obat streptomisin
- Po. Betahistin 2x1
TD : 140/100 mmHg
- Po. Curcuma 3x1 tab
N : 64x/menit

S : 36.7 C

RR : 22 x/menit

09/01/18 Subjektif:  TB TCM (+) - IVFD D5% 20 tpm


kasus kambuh
HP-2 - Pusing sudah berkurang  Sensitive - Inf. Aminofluid 1x/hari
- Mual (-) rifampisin - Inj. Ondansentron 3x1 amp
 Efek samping - Inj. Mecobalamin 1x1 amp
Objektif : obat streptomisin
- Po. Betahistin 2x1
TD : 140/100 mmHg
- Po. Curcuma 3x1 tab
N : 79x/menit - Po 4 FDC 1xII
S : 3.8 C - Po B6 1x1

RR : 22 x/menit - Po Levofloksasin 1x500


- Po Mertigo 3x1
10/01/18 Subjektif:  TB TCM (+) kasus - IVFD D5% 20 tpm
kambuh
HP-3 - Pusing sudah sangat  Sensitive - Inf. Aminofluid 1x/hari
berkurang rifampisin - Inj. Ondansentron 3x1 amp
- Mual (+)  Efek samping obat - Inj. Mecobalamin 1x1 amp
- Muntah (+) streptomisin
 Hipokalemi - Po. Betahistin 2x1
Objektif : - Po. Curcuma 3x1 tab
TD : 140/100 mmHg - Po 4 FDC 1xII
N : 78x/menit - Po B6 1x1

S : 36.8 C - Po Levofloksasin 1x500


- Po Mertigo 3x1
RR : 22 x/menit
- Korksi KCL 25 mg dalam
infus 4-6 D5 4- jam
- KSR 2x1
BAB II

TUBERCULOSIS PARU

A. Definisi dan Epidemiologi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel
imunoresponsif .

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan
oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit
biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya
pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang
kronik, dan berakhir dengan kematian.

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.


Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33% dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap
tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB, Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia.

B. Etiologi

Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri
tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru-paru kadang disebut
sebagai Koch Pulmonum (KP)

C. Cara Penularan

Penyakit Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada anak-
anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering
masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh
darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar
getah bening, dan lainlain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu
paru-paru.
Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan
segera akan tumbuh koloni bakteri y ang berbentukglobular (bulat). Biasanya melalui
serangkaian reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha dihambat melalui
pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan
dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri Tuberkulosis
akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat
sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant
sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah
banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang
inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah
memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih
dan positif terinfeksi Tuberkulosis.

Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan
dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum
optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang
tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya
tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang
memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi Tuberkulosis.

D. Patogenesis
a. Tubekulosis primer

Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman


dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas,
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya

Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma


makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier.

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:

1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak


terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia
yang luasnya > 5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi
lagi karena kuman yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya. Salah satu
contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat
ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
yang disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum
dan ludah sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang
yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan yang cukup gawat seperti TB milier,
meningitis TB, typhobachillosis Landouzy.
b. Tuberkulosish pasca primer (Tuberculosis sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun


kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post
primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol,
penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior
lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan
tidak ke nodus hiler paru

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini
ini dapat menjadi:

1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukkan keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-
mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi
jaringan firbroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena
adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya.

Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang
terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi
bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi:

a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi


kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk
lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa
juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila
ruptur ke pleura
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi
kronik kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus
dan kemudian menjadi mycetoma,
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk
seperti bintang yang disebut stellate shape.
E. Klasifikasi

Klasifikasi Tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil Tahan


Asam / BTA), TB paru dibagi atas:

1) TB paru BTA (+), adalah :


a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif,
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
2) TB paru BTA (-), adalah :
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radologi menunjukkan Tuberkulosis aktif.
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. Tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:

1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk


tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang dari
satu bulan.
2) Kasus pengobatan ulang :
a) Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
b) Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani
pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal, ditandai
dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan obat anti
tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c) Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-
turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah pengobatan
ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
4) Kasus Bekas TB :
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak
ada perubahan gambaran radiologik.
F. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
Pada Konsensus TB dari PDPI tahun 2006. Gejala klinis TB terdiri atas gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik yang terdapat pada pasien ini antara
lain adalah sesak nafas, batuk berdahak. Gejala sistemik pada pasien ini terdiri atas
malasie, berat badan berkurang dan keringat malam.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien TB tergantung dari organ yang terlibat.
Pada pasien dengan TB paru, temuan pemeriksaan fisik ditentukan juga oleh luas kelainan
struktur paru. Awalnya mungkin tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan fisik,
biasanya kelaian pada awal perkembangan penyakit terdapat pada daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior. Pada auskultasi paru dapat ditemukan suara
nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, dan ronki basah. Pasien dengan pleuritis TB
mungkin didapatkan adanya efusi pada rongga pleura, sehingga pada perkusi ditemukan
pekak. Pasien dengan limfadenitis TB dapat terlihat pembesaran keenjar getah bening di
daerah leher dan ketiak (Depkes RI, 2014; PDPI, 2006).
c. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakteriologis
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai potensi
penularan dan menilai keberhasilan terapi. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengumpulkan sampel uji dahak 3 kali dalam dua hari kunjugan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (PDPI, 2006):
a) Sewaktu
Dahak yang ditampung pada saat pasien TB berkunjung ke fasilitas kesehatan.
Lalu pasien membawa dua pot dahak kerumah.
b) Pagi
Dahak yang ditampung pada pagi hari kedua setelah kunjungan ke fasilitas
kesehatan.
c) Sewaktu
Dahak yang ditampung pada saat pasien TB menyerahkan dahak pagi pada
hari kedua kunjungan ke fasilitas kesehatan .
Pada pasien pemeriksaan dahak mikroskopis sedang dilakukan akan tetapi
belum ada hasil sampai saat ini sehingga belum bisa menentukan status BTA
pasien.
2) Pemeriksaan biakan dahak
Pemeriksaan biakan bertujuan untuk mengidentifikasi M.tb dan
menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien TB ekstra paru, TB anak, atau
pemeriksan dahak dengan hasil BTA negatif. Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan biakan dahak.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasanya digunakan adalah pemeriksaan foto thorax PA dengan
atau tanpa foto lateral. Gambaran radiologi dengan kecurigaan TB aktif adalah (PDPI,
2006):
1) Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus superior paru
dan segmen superior lobus inferior paru
2) Kavitas labih dari satu dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
3) Bayangan bercak milier
4) Efusi pleura unilateral
Sedangkan pada TB inaktif terdapat gambaran
1) Fibrotik pada segmen apikal superior dan atau posterior lobus superior
2) Kalsifikasi atau fibrotik
3) Fibrotoraks
Pada saat melihat hasil radiologi foto thorax pasien TB penentuan luas lesi harus
dilakukan terutama pada pasien dengan BTA dahak negatif. Penetuan lesi dapat
dibagi menjadi dua yaitu
a) Lesi minimal
Lesi mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak melebihi dari
volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua depan
dan processus spinosus dari vertebrae torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis
5 atau sela iga 2 dan tidak didapatkan kavitas.
b) Lesi luas
Luas lesi melebihi lesi minimal
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien dengan kecurigaan TB
yaitu (PDPI, 2006):
1) Polymerase chain reaction (PCR)
2) Serologi
3) BACTEC
4) Cairan pleura
5) Histopatologi jaringan
6) Pemeriksaan darah
7) Uji tuberkulin
G. Alur Diagnosis TB

Diagnosis TB paru dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan bakteriologis


untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan bakteriologis yang dianjurkan adalah
pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan, atau tes cepat. Apabila hasil pemeriksaan
bakteriologis menunjukkan hasil negatif, maka penegakkan diagnosis TB dilakukan dengan
menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (minimal foto thorax), Selain itu, jika
tidak terdapat fasilitas penunjang, dapat dilakukan pemberian antibiotik spektrum luas non
OAT dan non quinolon untuk melihat respon terapi. Jika tidak terdapat perbaikan dengan
tanda klinis TB maka pasien dapat didiagnosis TB. Diagnosis TB tidak boleh hanya
mengandalkan pemeriksaan serologis saja, foto thorax saja, dan uji tuberkulin saja (Depkes
RI, 2014).
H. Pentalaksanaan
1. Prinsip pengobatan TB (Depkes RI, 2014).
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara lansgung oleh Pengawas Menelan obat
(PMO) sampai selesai pengobatan
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
2. Tahapan pengobatan TB (Depkes RI, 2014).
a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Tahap ini bertujuan untuk menurunkan jumlah
kuman secara efektif dan meminimalisir pengaruh kuman yang mungkin resisten.
Tahap ini dilakukan sealma 2 bulan. Biasanya setelah melewati tahap awal secara
teratur daya penularan pasien TB akan menurun setelah 2 minggu tahap awal.
b. Tahap lanjutan
Tahap ini berfungsi untuk membunuh sisa kuman yang masih ada didalam tubuh
khususnya kuman peristen agar tidak terjadi kekambuhan.
3. Obat anti tuberkulosis (OAT) (Depkes RI, 2014).

OAT lini pertama (Depkes RI, 2014).

Dosis OAT lini pertama (Depkes RI, 2014).


OAT pada TB MDR (Depkes RI, 2014).
4. Panduan OAT lini pertama
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
OAT dapat berupa kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) yang terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat. Dosis disesuaikan dengan berat badan pasien. Selain OAT-KDT, obat
dapat berupa paket kombipak yang merupakan obat lepas yang terdiri dari isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. OAT
kategori 1 diberikan kepada pasien:
1) TB paru terkonfirmasi bakteriologis
2) TB paru terdiagnosis klinis
3) TB ekstra paru
Dosis OAT-KDT kategori 1 (Depkes RI, 2014).

Dosis Kombipak kategori 1 (Depkes RI, 2014).


b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
OAT kategori 2 diberikan kepada pasien:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
3) Putus berobat

Dosis OAT-KDT kategori 2 (Depkes RI, 2014).

Dosis Kombipak kategori 2


c. Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10 hari
5. Pemantauan kemajuan pengobatan
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak
tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien
sebelum memulai pengobatan harus dicatat (Depkes RI, 2014).
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk
menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan
hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA
negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan
apabila tidak mengalami konversi) (PDPI, 2006).
Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada
bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan
(Depkes RI, 2014).
a. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
1) Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan
tahap lanjutan
2) Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan
Akhir Pengobatan)
b. Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :
1) Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
2) Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu
bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan
uji kepekaan obat.
3) Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT
kategori 2):
1) Lakukan penilaian apakah pengobatan teratur atau tidak. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
2) Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
3) Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR.
4) Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
Pada bulan ke 5 atau lebih :
1) Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh
dosis pengobatan selesai diberikan
2) Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan
gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
3) Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
4) Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
5) Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan
OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal
mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pussat
Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan
penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).
6. Penatalaksanaan efek samping OAT

Efek samping ringan (Depkes RI, 2014).

Efek samping berat (Depkes RI, 2014).


BAB III

KESIMPULAN

1. Pasien kasus kali ini didiagnosis dengan tuberkulosis (tb) TCM (+) kasus kabuh dengan
sensitif rifampisin dan efek samping obat streptoisin.
2. Penegakan diagnosis penyakit tuberkulosis (tb) TCM (+) kasus kambuh, sensitive rifampisin
dan efek samping obat streptomisin dan hypokalemia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Pengobatan pada TB Paru adalah dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
4. Tujuan pengobatan pada pasien TB Paru adalah untuk mengurangi gejala, membunuh bakteri
tuberkuloosis, serta mencegah penularan.
5. Pada pasien TB Paru perlu diperhatikan tentang kepatuhan berobat karena terkait dengan
kesembuhan penyakit,
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idris et al. 2015. Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam : Panduan Praktik
Klinis. Jakarta : PAPDI.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2014. Jakarta:
Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter: di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta: Depkes RI.

Kansal, H. M., S. Srivastava, dan S. K. Bhargava. 2015. Diabetes and Tuberculosis. JIMSA.
28(1): 58 – 60.

Kemenkes, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian


Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika.

Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta:


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.

Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006.

Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume
2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.

Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476. Jakarta: Media
Aesculapius, 2001.

Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru. Panduan


Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.

Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6.


Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.

Anda mungkin juga menyukai