Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyakit menular seksual AIDS masih menjadi perbincangan


utama dalam permasalahan global. AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma
akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Tubuh manusia mempunyai kekebalan
untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit.
HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan atau
merusak sistem pertahanan tubuh, sehingga akhirnya tubuh mudah terserang
berbagai jenis penyakit (IKAPI, 2010).
HIV-AIDS merupakan masalah kesehatan yang sangat erat kaitannya
dengan berbagai isu sosial-budaya. Epidemi HIV dapat menimbulkan
kematian disegala usia di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sejak tahun 1994, penyakit AIDS diterima sebagai persoalan multi sektor,
bukan semata masalah kesehatan. Berbagai sektor perlu dilibatkan terkait
intervensi pendidikan, psikososial, dan ekonomi karena tingkat kematian
yang tinggi, pembiayaan pengobatan serta stigma yang melekat pada
mereka yang tertular HIV. Oleh karena itu semua kelompok, baik pengidap
penyakit, masyarakat yang peduli kesehatan, pemerintah serta organisasi
sosial peduli AIDS harus menyadari pentingnya usaha terpadu untuk
melakukan tindakan promosi dan prevensi terhadap penyebaran HIV-AIDS
(DepKes RI, 2010).
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun
2011 terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV-AIDS.
Beberapa Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan tren
penurunan untuk infeksi baru HIV. Trend kematian yang disebabkan oleh
AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian Negara. Di
Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal karena AIDS
meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika Utara
meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari
24.000 menjadi 56.000. Secara global, infeksi HIV baru mengalami
penurunan sebesar 24% antara 2001 dan 2011 (WHO, Progress Report
2011).
Di indonesianya pun kasus HIV/ AIDS juga cukup tinggi. Kondisi ini
begitu memprihatinkan, melihat generasi sekarang banyak yang telah
tertular infeksi menular seksual dan HIV/ AIDS.
Penularan penyakit menular seksual dan HIV/ AIDS perlu dicegah dan
jika telah sudah tertular untuk segera diberikan pengobatan agar tidak terjadi
keterlambatan ataupun menjadi suatu komplikasi. Namun sampai saat ini,
obat untuk mengatasi HIV/ AIDS belum ada. Hanya saja perlu diberikan
ARV (Anti Retro Viral) yang kerjanya untuk memperlambat kerja dari virus
yang menyerang imun tubuh seseorang.
Dalam upaya meningkatkan pemahaman remaja tentang infeksi
menular seksual dan HIV/ AIDS menjadikan remaja tegar dalam
menghadapi masalah dan mampu mengambil keputusan terbaik bagi
dirinya. Maka, pelayanan konseling sangat diperlukan oleh remaja.
Meskipun kepedulian pemerintah, masyarakat, maupun LSM dalam
memperluas penyediaan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi
sudah semakin meningkat namun dalam akses pemberian pelayanan
konseling masih terbatas. Hal ini antara lain disebabkan karena jumlah
fasilitas pelayanan konseling bagi remaja yang terbatas disamping itu
kemampuan tenaga konselor dalam memberikan konseling kepada remaj di
pusat-pusat pelayanan informasi, dan konsultasi kesehatan reproduksi
remaja masih terbatas. Atas dasar itulah tenaga konselor, remaja, dan
masyarakat perlu mengetahui tentang infeksi menular seksual dan HIV/
AIDS.
Sehinggaa peran bidan sebagai tenaga kesehatan sekaligus sebagai
konselor dalam memotivasi dan pemberi informasi seputar cara pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS utamanya bagi perempuan yang sangat
rentan mengidap penularan HIV/AIDS. Dan membantu memberdayakan
perempuan untuk menyatukan visi dan misi yaitu mencegah dan
menanggulagi bahaya HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Makalah


1. Apa itu Women Empowering?
2. Apa Tujuan Women Empowering?
3. Apa itu HIV/AIDS?
4. Apa peran bidan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS?
5. Bagaimanakah konsep Women Empowering dalam usaha
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Women Empowering
2. Untuk mengetahui tujuan Women Empowering
3. Untuk mengetahui pengertian HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui peran bidan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui konsep Women Empowering dalam usaha
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Women Empowering in Midwifery

2.1.1 Pengertian Women empowering

Pemberdayaan berdasarkan dari kata “daya” yang mendapat


awalan ber- yang menjadi kata “berdaya” yang artinya memiliki atau
mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, sedangkan berdaya
memiliki arti mempunyai kekuatan, lalu pemberdayaan artinya
membuat sesuatu mempunyai daya atau mempunyai kekuatan.
Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari
empowerment dalam bahasa inggris.

Pemberdayaan atau empowerment ini berdasarkan makna


katanya diartikan sebagai kekuatan yang bersal dari dalam yang
dapat diperkuat dengan unsur-unsur dari luar (kartasasmita:1996)

Menurut cook dan macauly (1997) memandang


pemberdayaan sebagai upaya membebaskan seseorang dari kendali
yang kaku dan memberikan pada orang tersebut kebebasan untuk
mempertanggung jawabkan idenya, keputusan dan tindakannya.

Novian (2010), Empowering women (pemberdayaan


perempuan) adalah upaya untuk memperoleh akses dan control
terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya agar
perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri
untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan
masalah sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri.

2.1.2 Tujuan women empowering

Tujuan program pemberdayaan perempuan adalah


perempuan semua usia yang tidak memiliki
kemampuan/keterampilan, miskin dan rawan terhadap tindak
diskriminasi. Selain itu, untuk menantang ideology patriarki yaitu
dominasi laki-laki dan sub ordinasi perempuan, merubah struktur
dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender
dan ketidak adilan social.

Tujuan pemberdayaan perempuan sebagian , meliputi:

1. Meningkatkan kedudukan dan peran perempuan di berbagai


bidang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2. Meningkatkan peran perempuan sebagai pengambil keputusan
dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
3. Meningkatkan kualitas peran kemandirian organisasi perempuan
dengan mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan.
4. Meningkatkan komitmen dan kemampuan semua lembaga yang
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
5. Mengembangkan usaha pemberdayaan perempuan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat serta perlindungan anak.

2.1.3 Pentingnya pemberdayaan perempuan

Dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN) tahun 1999,


menjelaskan bahwa upaya meningkatkan derajat hidup perempuan
masih merupakan salah satu bidang prioritas strategis pembangunan
nasional. Upaya ini ditetapkan dalam visi program pembangunan
pemberdayaan perempuan, yaitu terwujudnya keadilan sdan
kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan
bernegara. Selanjutnya misi program pembangunan ini terjabar
dalam 5 konsep yaitu:

1. meningkatkan kualitas hidup perempuan dalam berbagai


program strategis.
2. Sosialisasi keadilan dan kesetaraan gender
3. Penghapusan tindak kekerasan terhadap permpuan
4. Penegakan hak asasi manusia perempuan
5. Meningkatkan kelembagaan.
Kalau dilihat dari konsep GBHN tersebut kita melihat betapa
pentingnya pemberdayaan perempuan Karena memberdayakan
perempuan berarti memberdayakan bangsa. Secara fakta fungsi
pendidikan, partisipasi perempuan yang total di sector domestic,
maupun public sangat menentukan dalam peningkatan kualitas
generasi penerus dan peningkatan kualitas relasional dengan
suami maupun dengan masyarakat luas.

2.1.4 Sasaran pemberdayaan perempuan

Secara umum sasaran dari program pemberdayaan


perempuan, pertama adalah meningkatnya sumber daya perempuan
di berbagai sector dan sub sector serta lembaga dan sublembaga
yang mengutamakan peningkatan kemampuan dan profesionalisme
atau keahlian kaum perempuan. Kedua mewujudkan kepekaan,
kepedulian gender dari seluruh masyarakat, penentu kebijakan,
pengambil keputusan, perencana dan penegak hukum serta
pembaruan produk hukum yang bermuatan nilai social dan budaya
serta keadilan yang berwawasan gender. Kemudian sasaran yang
ketiga yaitu mengoptimalkan koordinasi dan keterpaduan dalam
pengelolaan pemberdayaan perempuan yang meliputi aspek
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan
pelaporan.

2.1.5 Peran bidan dalam pemberdayaan perempuan

Adapun peran bidan dalam pemberdayaan perempuan yaitu


bidan sebagai partnership bagi perempuan, partnership berarti
kemitraan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pelayanan kebidanan adalah


penerapan ilmu kebidanan dalam memberikan asuhan kepada klien
yang menjadi tanggung jawab bidan mulai dari kehamila, persalinan,
nifas, sampai keluarga berencana serta kesehatan reproduksi serta
pelayanan kesehatan masyarakat sehingga melihat dari definisi
tersebut dengan menerapkan pelayanan kebidanan, bidan sebagai
mitra bagi perempuan akan sangat membantu terhadap
pemberdayaan perempuan. Karena bidan akan lebih mudah
memahami bagaimana komunikasi dan mengingat dari sifat seorang
wanita menjadikan bidan mampu dengan mudah untuk melakukan
perannya terhadap pemberdayaan perempuan.

Bidan mempunyai tugas penting yaitu dalam konseling


pendidikan kesehatan kepada masyarakat khususnya perempuan.
Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggungjawab
dan akuntabel yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk
memberikan dukungan, asuhan serta nasihat kepada perempuan.

2.2 Konsep Women Empowering dalam Pencegahan dan


penanggulangan HIV

2.2.1 Pengertian

HIV adalah( human immune deficiency virus ) adalah virus


penyebab penyakit AIDS ( acquired immune deficiency syndrome)
yang menyerang sel darah putih manusia yang merupakan bagian
terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia.

AIDS (acquired immune deficiency syndrome) adalah suatu


sindrom atau kumpulan tanda atau gejala penyakit yang terjadi
akibat tertular/ terinfeksi virus HIV yang merusak sistem kekebalan
tubuh, bukan karena diturunkan atau dibawa sejak lahir.

IMS (Infeksi menular seksual) adalah merupakan salah satu


faktor yang berpengaruh dalam penularan HIV melalui hubungan
seksual. Seseorang yang mempunyai penyakit kelamin akan lebih
mudah tertular/ terinfeksi HIV apabila berhubungan seksual tidak
aman dengan seseorang yang terinfeksi HIV dan bila pengidap akan
mudah menularkan kepada orang lain.

PMTCT ( Prevention of Mother To Child Transmission of


HIV)

Atau pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada dasarnya


merupakan salah satu upaya untuk memutus rantai penularan HIV
khususnya pada perempuan usia reproduksi dan anak-anak.

ODHA (orang dengan HIV dan AIDS) adalah pengidap


HIV dan AIDS.

OHIDHA (orang hidup dengan HIV dan AIDS) adalah


orang yang hidup dengan pengidap HIV dan AIDS (Keluarga, teman
sekerja dan teman sepergaulan).

Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga


yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mempunyai
kemampuan fisik materiil dan psikis mental spiritual guna hidup
mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.

2.2.2 Penularan dan Pencegahan

Penularan HIV akan terjadi bila ada kontak atau pertukaran


cairan tubuh yang mengandung virus, yaitu:

1. melalui hubungan seksual yang tidak terlindung dengan orang


yang terinfeksi HIV dan AIDS. Hubungan seksual ini bisa homo
seksual (sesame jenis). Maupun heteroseksual (lawan jenis).
Virus dapat masuk ke tubuh melalui lapisan vagina, vulva, penis,
rectum atau mulut.
2. Melalui tranfusi darah dan transplantasi organ yang terinfeksi
atau tercemar HIV. Tranfusi darah yang tercemar HIV secara
langsung akan menularkan HIV ke dalam sistem peredran darah
dari si penerima.
3. Melalui jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik,
tato) yang terinfeksi atau tercemar HIV. Oleh sebab itu
pemakaian jarum suntik secara bersama-sama oleh pecandu
narkotika akan mudah menularkan HIV diantara mereka, bila
salah satu diantaranya pengidap HIV.
4. Penularan ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang
dikandungnya, penularan dapat terjadi selama kehamilan, atau
persalinan atau selama menyusui.

Pencegahan tehadap HIV dan AIDS

Upaya pencegahan adalah dengan meningkatkan


keterampilan (skill) dengan pengetahuan (knowledge) dengan
cara metode yang sesuai dengan kepercayaan dan budaya
masyarakat setempat. Penyebaran pengetahuan melalui
pendidikan formal dan non formal merupakan salah satu
alternative yang dapat dipilih. Upaya peningkatan pengetahuan
selama ini dikenal dengan KIE (komunikasi, informasi, dan
edukasi ).

Upaya yang selama ini dilakukan untuk menghambat


penyebaran HIV adalah:
1. Meningkatkan pelaksanaan komunikasi, informasi, dan
edukasi.
2. Meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap dan
mempromosikan perilaku positif untuk mencegah
penyebaran HIV.
3. Mengurangi kerentanan. Hal ini dapat dicapai dengan
peningkatan status pendidikan, status ekonomi dan
kesetaraan gender.
4. Meningkatkan penggunaan kondom untuk
mempromosikan penggunaan kondom pada perilaku seks
berisiko.
5. Meningkatkan sediaan darah yang aman. Setiap donor
darah harus diperiksa apakah terinfeksi HIV karena
sangat berisiko tinggi terjadi penyebaran melalui
transfuse.
6. Meningkatkan upaya untuk melakukan prevalensi infeksi
menular seksual, karena pasien IMS mempunyai resiko
2-9 kali lebih besar terinfeksi HIV dibandingkan dengan
orang yang tidak menderita IMS. Sehingga upaya
penurunan IMS harus segera di tinggikan.
7. Meningkatkan tindakan pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayi. Penggunaan obat ARV (anti retroviral virus )
selama prosedur persalinan aman, dan penggunaan susu
formula dapat membantu mencegah penularan dari ibu ke
bayi
8. Meningkatkan upaya penanggulangan secara bersama-
sama dan berkelanjutan

2.2.3 Tujuan Women Empowering dalam Pencegahan dan


penanggulangan HIV.

Tujuan Umum yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan


kemandirian perempuan dalam mengatur fungsi dan proses
reproduksinya termasuk kehidupan seksualitasnya dapat terpenuhi
yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidup untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Tujuan khususnya yaitu:


1. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku serta
tanggungjawab social perempuan dalam upaya pencegahan
penularan HIV dan AIDS.
2. Meningkatkan kemandirian perempuan dalam memutuskan hak-
hak reproduksinya.
3. Mendorong terwujudnya dukungan dari faktor social dan budaya
yang menunjang perempuan untuk membuat keputusan yang
berkaitan dengan hak reproduksi dan kesehatan reproduksinya,
4. Meningkatkan tanggung jawab laki-laki dalam upaya pemenuhan
hak reproduksi perempuan.
5. Mendorong dan memobilisasi serta meningkatkan peran serta
keluarga terhadap upaya-upaya pencegahan penularan HIV ke
ibu ke bayi.
6. Mendorong peningkatan peran serta keluarga terhadap upaya-
upaya pencegahan dan penularan HIV dan AIDS dalam
membangun ketahanan keluarga.

2.2.4 Sasaran Women Empowering dalam pencegahan dan


penanggulangan HIV dan AIDS

Kelompok sasaran pemberdayaan perempuan dalam


pencegahan dan penanggulangan HIV terbagi atas:

 Kelompok sasaran langsung terdiri dari 7 kelompok usia


dalam siklus kehidupan yaitu:
1. Remaja
Informasi mengenai kesehatan reproduksi sangat
dibutuhkan dalam upaya menurunkan jumlah
hubungan seksual di luar nikah di kalangan remaja.
Kehamilan remaja dan prospek meningkatnya jumlah
kepala keluarga perempuan tanpa suami merupakan
kondisi social yang tidak di inginkan di kalangan
masyarakat. Perkawinan pada usia terlalu muda
dikhawatirkan berdampak meningkatnya frekuensi
perceraian sehingga resiko penularan IMS lebih
tinggi termasuk HIV dan AIDS.
Di daerah perkotaan dan pedesaan, remaja putus
sekolah (khususnya remaja putri) sering dijadikan
objek pemenuhan kebutuhan seks laki-laki dewasa
yang dapat membiayai hidup keluarga pihak
perempuan.
2. Pasangan dan Perempuan usia subur
Penularan IMS dapat terjadi walau istri hanya
berhubungan seks dengan suami, sehingga dalam
upaya melindungi diri dari ancaman IMS serta HIV
dan AIDS maka pasangan dan perempuan usia subur
perlu memiliki informasi dan pengetahuan atau
pemahaman mengenai kesehatan reproduksi, IMS,
serta HIV dan AIDS.
Perbaikan akses dan sumber informasi harus selalu
dikaitkan dengan upaya meningkatkan pengetahuan,
kepedulian dan perlindungan suami serta anggota
keluarga lainnya, termasuk dalam hal ini, adalah
kemapuan perempuan untuk memutuskan mengenai
kebutuhan hubungan seksualnya.
3. Perempuan hamil
Penularan HIV dari ibu HIV positif ke bayi yang
dikandungnya merupakan akhir dari rantai penularan
yang kemungkinan berawal dari seorang laki-laki
HIV positif menularkan kepadaa pasangannya
melalui hubungan seksual tidak aman dan selanjutnya
perempuan itu menularkan kepada bayi yang
dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya,
perempuan tersebut secara potensial memiliki resiko
untuk menularkan HIV kepada bayi berikutnya jika ia
kembali hamil.
Dukungan yang kuat dari keluarga dan masyarakat
dimana mereka tinggal sangat dibutuhkan, disamping
konseling dari petugas kesehatan, tokoh agama, dan
tokoh masyarakat.
4. Ibu bersalin
Banyak kalangan yang termasuk juga tenaga
kesehatan berasumsi bahwa semua bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang HIV positif pastilah akan
terinfeksi HIV karena darah bayi menyatu denga
darah ibu di dalam kandunga. Ternyata sirkulasi
darah ibu dan janin dipisahkan oleh plasenta oleh
beberapa lapisan sel. Oksigen, makanan, antibody
dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta,
namun virus HIV tidak dapat menembus plasenta dan
plasenta justru melindungi janin dari HIV. Namun
jika plasenta meradang, terinfeksi maupun rusak
maka bisa jadi virus akan lebih mudah menembus
plasenta sehingga akan lebih banyak resiko
penularan HIV ke bayi.
Penularan HIV umumnya terjadi pada saat persalinan
ketika kemungkinan terjadi percampuran darah ibu
dan lender ibu dengan bayi. Tetapi sebagian besar
bayi dari ibu HIV positif tidak tertular HIV. Maka
mutlak diperlukan pelayanan persalinan dan nifas
yang sesuai dengan standar pelayanan minimal.
Resiko terbesar penularan HIV dari ibu ke bayi
terjadi saat proses persalinan oleh karena itu
disarankan persalinan kepada ibu dengan HIV positif
adalah dengan bedah Caesar untuk meminimalisir
resiko penularan HIV.
5. Ibu menyusui
Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV
negative selama masa kehamilan dan proses
persalinan tetapi mungkin akan terinfeksi HIV
melalui pemberian ASI. HIV terdapat dalam ASI
meskipun konsentrasinya lebih sedikit daripada HIV
dalam darah. Antara 10-20% bayi yang dilahirkan
oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui
pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih).

6. Anak dibawah lima tahun (balita)


Hanya sejumlah kecil bayi yang lahir dengan HIV
positif bisa bertahan hidup sampai usia 6 tahun. Bayi
dengan HIV positif sekitar 40% akan meninggal
sebelum usia 18 bulan, dan lebih dari 50% akan
meninggal sebelum usia 2 tahun. Pada usia sekitar 3
sampai 4 bulan, biasanya timbul gejala infeksi pada
kulit, meningitis, di ikuti dengan pembengkakan
kelenjar getah bening, pembengkakan hati dan limpa,
gangguan pertumbuhan dan sariawan di
mulut.padahal umumnya anak-anak normal pada
tahap ini mengalami pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang cepat, sedangkan anak-
anak dengan HIV positif biasanya mengalami
keterlambatan dalam berjalan dan berbicara.
7. Anak usia sekolah
Penularan HIV dan AIDS pada anak-anak sekolah
lebih sering terjadi akibat kekrasan seksual dan bila
ada anggota keluarga yang menderita AIDS,
kehidupan anak usia sekolah akan diliputi
kekhawatiran akan stigmatisasi dan kematian di
dalam rumah, sehingga hal ini dapat menggagalkan
pendidikan dasar, keterampilan dan atau dukungan
keluarga. Anak-anak ini cenderung menjadi
kelompok rawan gangguan psikososial.
 Kelompok sasaran tidak langsung
Kelompok sasaran tidak langsung terdiri dari:
1. Organisasi perempuan
Semua organisasi perempuan khususnya yang
mempunyai jaringan kegiatan sampai di tingkat lini
lapangan serta mempunyai potensi dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan KIE pencegahan
HIV dan AIDS.
2. Eksekutif (pimpinan daerah, sektorat, dan tokoh
kunci )
3. Legislative (DPR,DPRD)
4. Aparat penegak hukum
5. Tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat.
6. Organisasi profesi (IDI, POGI, IBI, IAKMI,IDAI )
7. LSM khususnya yang bergerak dan peduli dalam
penanggulangan bahaya HIV dan AIDS.
8. Institusi keagamaan
Organisasi keagamaan, baik dari agama islam,
ktisten, katholik, hindu, budha, maupun kong hu chu.
9. Media massa ( media elektronik, seperti internet, TV,
dan radio serta media cetak seperti Koran, majalah,
dan tabloid)
10. Swasta
Perusahaan dan pengusaha yang peduli dengan
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
2.2.4 Pemberian Terapi Antiretroviral
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV-
AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam
tubuh dapat ditekan sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup
layaknya orang sehat.
Terapi ARV bertujuan untuk:
• Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,

• Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan


dengan HIV,

• Memperbaiki kualitas hidup ODHA,

• Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan

• Menekan replikasi virus secara maksimal.

Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan


memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua
obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada
pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan
jadwal yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara
teratur untuk menghindari timbulnya resistensi. Diperlukan peran
serta aktif pasien dan pendamping/ keluarga serta bidan dalam terapi
ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus
mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai.

Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV


mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral
pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011). Penentuan saat
yang tepat untuk memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada
ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis
WHO) atau hasil pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien
TB dan penderita Hepatitis B kronik aktif yang terinfeksi HIV,
pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun atau tanpa
menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan
untuk pemantauan pengobatan.
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan
kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah
mungkin.

Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV


adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI).
Seminimal mungkin hindari triple nuke (3 NRTI).

Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman


Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa,
Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan
dengan kondisi klinis ibu dan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

• Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV.

• Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum


hamilan, dan pasien sudah mendapatkan ART, maka saat hamil
ART tetap diteruskan dengan regimen yang sama seperti saat
sebelum hamil.

• Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur


kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART.
Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu hingga
umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan
sesuai dengan kondisi klinis ibu.

• Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur


kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai
CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai
dengan kondisi klinis ibu.

• Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat


menjelang persalinan, segera diberikan ART sesuai kondisi klinis
ibu. Pilihan kombinasi regimen ART sama dengan ibu hamil yang
lain.

Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada


ibu selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah
intervensi PPIA yang paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga
mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi.
Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil sebagai upaya untuk
mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, termasuk untuk
tujuan pengobatan jangka panjang.

2.2.5 Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak

Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang


risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak
perawatan antenatal atau sebelum persalinan. Pengambilan
keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara
lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.

Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar
HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya.
Dalam Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health
Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam
terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child
survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh
dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6
bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12
bulan, disertai dengan pemberian makanan padat.

Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus
dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari
mixed feeding.

Tabel . Perbandingan risiko penularan HIV dari ibu ke anak


pada pemberian ASI eksklusif, susu formula, dan mixed
feeding

ASI eksklusif Susu formula Mixed feeding

5 – 15% 0% 24,1%
Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki
risiko minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga
susu formula diyakini sebagai cara pemberian makanan yang
paling aman. Namun, penyediaan dan pemberian susu formula
memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu yang
bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di
Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan. Selain itu,
keterbatasan kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli
susu formula dan adanya norma sosial tertentu di masyarakat
mengharuskan ibu menyusui bayinya.

Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya


diberikan ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang
bagi dinding usus bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan
perubahan mukosa dinding usus, sehingga mempermudah
masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah.

Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan informasi dan edukasi


untuk membantu mereka membuat keputusan apakah ingin
memberikan ASI eksklusif atau susu formula kepada bayinya. Mereka
butuh bantuan untuk menilai dan menimbang risiko penularan HIV ke
bayinya. Mereka butuh dukungan agar merasa percaya diri dengan
keputusannya dan dibimbing bagaimana memberi makanan ke
bayinya seaman mungkin. Agar mampu melakukan hal itu, tenaga
kesehatan perlu dibekali pelatihan tentang informasi dasar HIV dan
pemberian makanan untuk bayi

Rekomendasi untuk pemberian informasi dan edukasi, baik tentang


pemberian makanan bayi dalam pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak maupun pemeliharaan kesehatan anak secara umum adalah
sebagai berikut:

a. Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan konseling sehubungan


dengan keputusannya untuk menyusui atau memberikan susu formula.
Dengan adanya komunikasi dengan si ibu, petugas dapat menggali
informasi kondisi rumah ibu dan situasi keluarganya, sehingga bisa
membantu ibu untuk menentukan pilihan pemberian makanan pada
bayi yang paling tepat.
Petugas harus memberikan penjelasan tentang manfaat dan risiko
menyusui untuk kelangsungan hidup bayi/anak, serta pentingnya
terapi ART sebagai kunci upaya mencegah penularan HIV dari ibu
ke anaknya. Bayi yang diberi ASI dari ibu yang sudah dalam terapi
ARV dan minum obatnya secara teratur, memiliki risiko sangat
kecil untuk menularkan HIV, karena jumlah virus dalam tubuhnya
jauh berkurang. Pemberian susu pengganti ASI yang tidak higienis

b. berpotensi menimbulkan penyakit infeksi lain yang mungkin


mengancam kelangsungan hidup bayi.

c. Petugas harus dapat mendemonstrasikan bagaimana praktek


pemberian makanan pada bayi yang dipilih dan memberikan br\osur
atau materi KIE yang bisa dibawa pulang.

d. Petugas perlu memberikan konseling dan dukungan lanjutan.

e. Saat kunjungan pasca persalinan, petugas kesehatan dapat melakukan:

• Monitoring pengobatan ARV ibu dan profilaksis ARV bayi;

• Monitoring tumbuh kembang bayi;

• Memberikan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal imunisasi dasar,


kecuali bila ada tanda-tanda infeksi oportunistik;
• Memberikan obat kotrimoksazol pada bayi untuk mencegah
timbulnya infeksi lain mulai pada usia 6 minggu;
• Memeriksa tanda-tanda infeksi termasuk infeksi oportunistik;

• Memeriksa praktik pemberian makanan pada bayi dan apakah ada


perubahan yang diinginkan;
• Mendiskusikan pemberian makanan selanjutnya setelah ASI untuk
bayi usia 6 – 12 bulan.

2.2.6 Mengatur kehamilan dan Keluarga Berencana


Semua jenis kontrasepsi yang dipilih oleh ibu dengan HIV harus
selalu disertai penggunaan kondom untuk mencegah IMS dan HIV.

Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif:


• Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat
menggunakan kontrasepsi jangka panjang.
• Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih
kontrasepsi mantap

PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV


BAB III

PEMBAHASAN

Pemberdayaan Perempuan dalam upaya pencegahan tehadap HIV


dan AIDS adalah dengan meningkatkan keterampilan (skill) dengan
pengetahuan (knowledge) dengan cara metode yang sesuai dengan
kepercayaan dan budaya masyarakat setempat. Penyebaran pengetahuan
melalui pendidikan formal dan non formal merupakan salah satu alternative
yang dapat dipilih. Upaya peningkatan pengetahuan selama ini dikenal
dengan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi ). Tujuannya untuk
meningkatkan kesadaran dan kemandirian perempuan dalam mengatur
fungsi dan proses reproduksinya termasuk kehidupan seksualitasnya dapat
terpenuhi yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidup untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Kelompok sasaran pemberdayaan perempuan dalam pencegahan dan


penanggulangan HIV terbagi atas klompok sasaran langsung terdiri dari 7
kelompok usia dalam siklus kehidupan yaitu: Remaja, Pasangan dan
Perempuan usia subur, Perempuan hamil, Ibu bersalin, Ibu menyusui, Anak
dibawah lima tahun (balita), Anak usia sekolah. Kelompok sasaran tidak
langsung yaitu : Organisasi perempuan, Eksekutif, Legislative. Aparat
penegak hokum, Tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, Organisasi
profesi, LSM , Institusi keagamaan, Media massa dan Swasta.

Peran bidan juga membantu memberdayakan perempuan salah


satunya dengan tidak memberlaukakan diskiriminasi terhadap mereka yang
sakit, misalnya dengan sentuhan tangan dan tidak merasa jijik saat
bersalaman karena penularan HIV terjadi akibat hubungan seksual,
transfuse darah, terkena jarum suntik bekas penderita, ibu ke bayi.
Mendukung mereka yang sakit. Hargai setiap keputusan yang diambil oleh
si penderita. Bersikap biasa, seperti ketika si penderita masih sehat.
Sentuhlah dengan rangkulan atau pelukan yang hangat, dan ini bisa
membuat dia tahu bahwa kita masih perduli padanya. Berbagi pengalaman
yang menyenangkan dan menggembirakan untuk menghiburnya. Mengajak
mereka yang sehat berkunjung ketempat ODHA, memberikan pengetahuan
bahwa mereka tidak berbahaya dan menjelaskan tentang bagaimana virus
tersebut dapat menular serta cara menanggulangani agar kekhawatiran
terhadap penularan penyakit pun menurun dan mereka yang sehat dapat
bergaul tanpa mendiskriminasi yang sakit.
Salah satu penanggulangan ibu hamil yang positif HIV untuk
mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah pemberian ARV
untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan
kadar HIV serendah mungkin. Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan
HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada
Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011). Pemberian ARV
disesuaikan dengan kondisi klinis ibu dan mengikuti ketentuan. ARV dapat
mengurangi resiko penularan serta tujuan pengobatan jangka panjang. Ibu
dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat
rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Pemilihan makanan bayi
harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV melalui
ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau sebelum
persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat
informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus
didukung. Begitu juga semua jenis kontrasepsi yang dipilih oleh ibu dengan
HIV harus selalu disertai penggunaan kondom untuk mencegah IMS dan
HIV. Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat
menggunakan kontrasepsi jangka panjang. Ibu yang memutuskan tidak
punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi mantap.
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Negara pemberdayaan perempuan RI, Peningkatan


peran perempuan dalam pencegahan penyebaran HIV dan AIDS dan
pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Jakarta : 2008

Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pedoman nasional pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA). Jakarta : 2012
Mandal. Penyakit Infeksi. 2008. Erlangga : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai