Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Hiperplasia prostat benigna (Benign Prostatic Hyperplasia-BPH) adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria
(Muttaqin dkk, 2012 ).
Hiperplasia prostat benigna adalah pertumbuhan prostat yang cukup
mengobstruksi (menghambat) jalan keluar uretra, yang menyebabkan gejala
LUTS yang mengganggu, ISK, dan hematuria. (Black, 2014).
Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui
secara pasti tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses
penuaan.
Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat, yaitu sebagai berikut.
1. Dihydrotestoteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testoteron dan estrogen
pada usia lanjut. Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testoteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat.
4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stoma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan (Nursalam dkk, 2011).

C. Manifestasi Klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruktif
b. Hesistansi (sulit memulai miksi).
c. Pancaran miksi lemah.
d. Intermiten (miksi berhenti dan memancar lagi.
e. Miksi tidak puas.
f. Menetes setelah miksi (Black, 2014).
g. Gejala iritasi
h. Frekuensi meningkat.
i. Nokturia (miksi di malam hari).
j. Urgensi (miksi yang mendesak)
k. Disuria (terasa panas dan nyeri saat miksi) (Black, 2014).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


a. Obstruksi
b. Nyeri pinggang
c. Terdapat benjolan di pinggang yang merupakan tanda dari hidronefrosis.
d. Demam tanda infeksi atau urosepsis (Black, 2014).
Untuk menilai tingkat keparahan dilakukan sistem skoring secara subjektif
yang diisi oleh pasien sendiri. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO yaitu
Skor Internasional Gejala Prostat (International Prostatic Symptom Score-I-PSS)
(Muttaqin, 2012).
Sistem perhitungan skor I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi dan diberi nilai 0-5, sedangkan keluhan menyangkut
kualitas hidup pasien diberi nilai 1-7 (Muttaqin, 2012).
Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
ringan 0-7; sedang 8-19; dan berat 20-35. Timbulnya gejala LUTS merupakan
manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat
otot buli-buli akan mengalami kepayahan (fatique) hingga fase dekompensasi
yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut (Muttaqin, 2012).
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor
pencetus, seperti:
a. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
berkemih terlalu lama, mengonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol dan kopi) dan minum air dalam jumlah
berlebihan.
b. Massa prostat tiba-tiba membesar, mengalami infeksi prostat akut.
c. Setelah mengonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot
destruksor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain
golongan antikolinergik atau alfa adrenergik (Muttaqin, 2012).
c. Gejala di luar saluran kemih
Pasien berobat ke dokter dengan keluhan hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intrabdomen. Pada
pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
terabanya massa di daerah supra simpisis akibat retensi urine. Kadang-kadang
didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien dan keadaan
ini merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.Pada colok dubur
pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, konsistensi prostat keras/teraba nodul, dan
kemungkinan diantara lobus prostat tidak simetris (Muttaqin, 2012).
D. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia (pembesaran). Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen
uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan
tekanan intrevesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan ini. Kontraksi secara terus-
menerus menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan di ventrikel buli-buli
(Black, 2014).
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary track symtom (LUTS) yang
dulu dikenal dengan gejala prostatismus (Muttaqin dkk, 2012).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureterini
akan menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi
refluksvesiko-ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus, dapat mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. (Muttaqin dkk, 2012).
Patofisologi dari hematuria yang disebabkan oleh BPH todak sepenuhnya
dimengerti. Diketahui bahwa angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah)
adalah bagian dari hiperplasia dan bahwa pembuluh darah ini rentan terhdapat
kerusakan dan pembedaan. Perbedaan yang berkepenjangan juga dapat terjadi
setelah katerissasi, sistoskopi, atau bedah prostat transurental. Insiden hematuria
pada laki – laki dengan BPH tidak diketahui, namun tercactat bahwa hematuria
adalah indikasi utama pembedahan transsuretral pada BPH pembedahan
transurentral pada BPH pada 12 % pria yang terdiagnosis BPH (Black, 2014).
E. Stadium Dan Grade Bph
Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. ada rasa tidak enak BAK
atau dysuria dan menjadi nocturia.
Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira 150 cc.
Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urin menetes secara
periodic (over flow inkontinen)
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong
Grade 0 : penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum
Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm
Grade 3 : Penonjolan Prostat 3-4 cm kedalam rectum
Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter
Normal : tidak ada sisa
Grade I : sisa 0-50 cc
Grade II : sisa 50-150 cc
Grade III : Sisa > 150 cc
F. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
1. Laboratorium
a. Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensivitas kuman terhadap
beberapa anti mikroba yang diujikan (Muttaqin, 2012)
b. Pemeriksaan faal ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit
yang mengenai saluran kemih bagian atas (Muttaqin, 2012)
c. Pemeriksaan gula darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya
penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan
pada buli-buli (Muttaqin, 2012)
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen, untuk menilai adanya batu saluran kemih. Adanya
batu / kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan
urine sebagai tanda retensi urine (Black, 2014)
b. Pemeriksaan uroflowmetri (Black, 2014)
c. Pemeriksaan IVP, untuk menilai danya komplikasi pada ureter dan ginjal,
seperti hidroureter atau hidronefrosis; memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di bagian distal yang berbentuk
seperti mata kail (hooked fish) ; penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli (Muttaqin, 2012)
d. Pemeriksaan USG transektal untuk mengetahui: besar atau volume kelenjar
prostat, menentukan jumlah residual urine, dan mencari kelainan lain yang
mungkin ada dalam buli-buli (Muttaqin, 2012)

3. Pemeriksaan lain

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur :

a. Residual urine, yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi (Muttaqin,
2012).
b. Pancaran urine (flow rate) atau dengan alat urofometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urine (Muttaqin, 2012).
c. Pemeriksaan serum Kreatinin dan BUN untuk mengevaluasi fungsi ginjal
(Muttaqin, 2012)
d. Serum PSA untuk mengetahui adanya kanker tetapi mungkin terdapat
peningkatan pada BPH.
Diagnosis pilihan untuk evaluasi lanjutan, yaitu:
1) Urodynamic
2) USG
3) Cytourethroscope untuk mengamati uretra, kandung kemih, dan ukuran
prostat (Muttaqin, 2012)
G. Penatalaksanaan Medis/Operatif
1. Pengobatan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjamin tindakan
medik. Kadang-kadang mereka mengeluh LUTS ringan, namun dapat sembuh
sendiri tanpa terapi. Bila keadaan lebih parah dilakukan tindakan medik dan
terapi medikamentosa (Black, 2014).
Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan
ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan yaitu
obat golongan penghambat alfa (prazosin, terasozin, doksasozin, dan
alfosozin) dan obat penurun kadar dihidrotestoteron, yaitu finasteride yang
merupakan penghambat 5 alfa reduktase yang mencegah terjadinya perubahan
testoteron menjadin dihidrotestoteron dan menyebabkan ukuran prostat
mengecil. Adapun tujuan terapi medikamentosa :
a. Mengurangi retensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan a blocker
(penghambat alfa adrenergik).
b. Mengurangi volume prostat dengan menentukan kadar hormon testoteron /
dehidro testoteron (DHT) (Black, 2014).
2. Teknik operasi
a. Bedah TURP (Reseksi Prostat Transumental)
Teknik yang digunakan untuk menangani BPH. Dimana resektoskop
dimasukkan melalui uretra. Dokter bedah melihat bagian dalam kandung
kemih dengan memasukkan sistoskop (lensa teleskop) melalui resektoskop.
Lengkungan yang dapat digerakkan, dimasukkan melalui resektoskop yang
memotong jaringan dan membekukan (koagulasi) pembuluh yang berdarah
menggunakan arus listrik frekuensi tinggi. (Resektoskop bertekanan dingin
yang memukul lepas jaringan, potongan demi potongan, dengan pisau
sirkuler kini jarang digunakan) (Black, 2014).
Cairana irigasi diinfuskan ke dalam kandung kemih melalui stetoskop,
memungkinkan visualisasi untuk tidakan reseksi. Irigasi dan drainase
berulang cairan ini memastikan bahwa jaringan dan debris yang direseksi
dikeluarkan dari kandung kemih.cairan irigasi steril digunakan untuk bedah
transuretral yang memungkinkan hantaran listrik yang dibutuhkan untuk
reseksi dan koagulasi (Black, 2014).

b. Prostatektomi suprapubik

Pendekatan bedah yang melibatkan insiasi abdomen rendah. Hal ini


dapat dilakukan jika : (1) prostat terlalu besar untuk direseksi secara
transuretral (2) terdapat lobus prostat tengah atau lateral yang besar dan
menggantung (3) abnormalitas kandung kemihmemerlukan koreksi; atau
(4) diperlukan eksplorasibedah abdominal (Black, 2014).

c. Prostatektomi Retropubik.

bedah mencapai prostat melalui insisi abdomen rendah tanpa masuk ke


dalam kandung kemih. Ini dilakukan jika prostat sangat besar dan terdapat
striktur uretra yang berat (Black, 2014).

d. Prostatektomi Perineal

Insiasi dilakukan ke dalam perineum antara anus dan skrotum. Operasi


ini jarang digunakan untuk menangani BHP karena berpotensi besar
menyebabkan ED (Black, 2014)
3. Terapi Minimal Invasif
Insisi Prostat Transurental (TUIP Adalah pilihan untuk klien dengan
prostat kecil yang menyebabkan obstruksi jalan keluar. Insisi dibuat ke dalam
jaringan prostat untuk memperbesar lumen uretra prostatika (Black, 2014).

a. Elektrovaporisasi Transurental.
Elektrovaporisasi Transurental pada prostat (prosedur VaporTrode)
menggunakan peralatan yang serupa dengan yang dibutuhkan pada TURP,
dengan pengecualian atas bola atau batang yang dirancang khusus yang
dimasukkan melalui portal kerja resektoskop dan melekat pada sumber tenaga
elektrokauter. Alat ini melakukan vaporisasi pada jaringan prostat dan
bermanfaat untuk mengurangi perdarahan (Black, 2014).
b Prosedur berbantuan leser.
Insisi laser transuretral yang diarahkan melalui USG pada prostat (TULIP)
adalah prosedur minimal invasif dimana digunakan laser untuk membuat
insisi ke dalam prostat. Oleh karena hilangnya darah yang minimal, irigasi
tidak dibutuhkan dan klien tidak selalu membutuhkan kateter setelah
pembedahan. Ada dua prosedur yang baru yaitu enukleasi laser pada prostat
(HoLEP) dan vaporisasi fotoselektif pada prostat (Laser Sinar Hijau) (Lewis
Dirksen, 2014).
d Terapi Hipertermia dan Termal.
Terapi Hipertermia dan termal adalah prosedur yang lebih baru.
Hipertermia merujuk pada pemberian suhu dibawah 450 C; tetapi termal
merujuk kepada pemberian suhu yang lebih tinggi (Black, 2014).
e Sten Prostat
Sten prostat diindikasikan untuk klien yang memiliki resiko operasi sangat
buruk . tabung seperti jaring – jaring (juga digunakan alat berbentuk
gulungan) di masukkan melalui endoskop ke dalam uretra prostatika, yang
akan tetap mempertahankan uretra yang terbuka secara mekanis (Black,
2014).
H. Perawatan Praoprasi dan Pascaoprasi
1. Perawatan Preoprasi
a. Nilailah kemampuan klien mengosongkan kandung kemih dan harus diperkusi
terhadap adanya distensi (Black, 2014).
b Jika klien tidak dapat berkemih, kateter uretra mungkindapat dipasangkan
(Black, 2014).
c Klien yang menggunakan obat atau suplemen dengan efek antikoagulan harus
menghentikannya sebelum pembedahan. Perawat harus meninjau dengan hati
– hati semua obat yang diresepkan, medikasi bebas, dan agens herbal terhadap
sifat antikoagulan seperti vitamin E dosis tinggi atau multivitamin (Black,
2014).
d Perhatian terhadap harapan mengenai prosedur, seperti perubahan dalam
berkemih dan fungsi seksual yang dapat diantisipasi dengan memperkuat
pengajaran praoperasi yang diberikan oleh ahli urologi dan dengan
menyakinkan klien dan pasangannyamengerti hasil prosedur yang dapat
diantisipasi (Black, 2014).
e. Berikan respons terhadap kekuatiran klien dan orang terdekatnya dengan
mendengarkan secara empatik, memberikan informasi yang akurat dan
dukungan yang berkelanjuta (Black, 2014).
f Infomed consent, menyatakan kembali penjelasan dokter dan mengharuskan
klien memahami resiko (misalnya disfungsi seksualitas, infertilitas) serta
manfaat jangka panjang dan jangka pendek (misalnya hilangnya manifestasi
urine dan promosi fungsi ginjal yang optimal) (Black, 2014).
2. Perawatan pascaoprasi
a. Lakukan pengkajian dengan mengobservasi tanda- tanda vital dan
mempertahankan drainase urine. Kaji dan dokumentasikan asupan dan
keluaran urine serta harus meliputi jumlah yang dimasukkan melalui irigasi
(Black, 2014).
b. Pastikan patensi kateter dengan sering untuk memastikan kateter mengalir.
Posisi kateter dan sistem drainase penting karena dapat mencegah obstruksi
pada sistem seperti pembekuan darah, selang yang tertekuk, sumbatan mukus,
debris prostat atau pergeseran kateter serta kateter dapat meningkatkan
produksi mukus uretra (Black, 2014).
c. Mempertahankan irigasi
Jaga area penis dan meatus dengan mecuci menggunakan sabun dan air
setidaknya dua kali sehari (Black, 2014).

d. Monitor terhadap perdarahan. Kadang – kadang hematuria terjadi selama


beberapa hari setelah pembedahan (Black, 2014).
e. Mencegah pergeseran kateter.

Klien biasa lupa bahwa ia menggunakan kateter dan tidak sengaja menarik
kateter keluar. Tunjukkan kepada pasien bangaimana naik danturun dari tempat
tidur atau tempat duduk. Ingatkan klien bahwa ada tabung dalam kandung
kemihnya melalui penis atau abdomen dan instruksikan untuk tidak
menyentuhnya (Black, 2014).
f. Mencegah infeksi.
Observasilah indikasi infeksi lokal dan sistemik dengan hati- hati, tangani
kateter, alat drainase dan pengumpulan urine untuk menghindari memasukkan
mikroorganisme ke dalam saluran kemih (Black, 2014).
g. Monitor terhadap resistensi dimana resistensi urine terjadi selama beberapa
jam hingga 1 hari setelah pelepasan kateter tidak dapat diabaikan (Black,
2014).
h. Mencengah cedera
Menyerankan klien tidak mengejan saat buang air besar selama
setidaknya 6 minggu setelah pembedahan karena dapat menyebabkan
perdarahan.menghindari meminum alkhol dan merokok (Black, 2014).
i. Mengajari rehabilitasi otot pelvis
Memberikan pengajaran dengan menyampaikan kepada klien untuk mengikuti
perintah dokter bedah dengan membatasi aktivitas seperti mengangkat beban
berat, duduk lama, aktivitas seksual, mengemudi dan menaiki mobil selama 2
minggu atau olahraga berat juga dikontraindikasikan selama 4 – 6 minggu
(Black, 2014).
I. Landasan Teoritis Asuahan Keperawatan :
1. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan
Canobbio (2008) ada berbagai macam, meliputi :

a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit
hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status
social ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas
kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini,
orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko
lebih tinggi.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan
waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit BPH.

e. Pola kesehatan fungsional


1). Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu
ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk
berkemih (nokturia), kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada
pasien apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran
kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti
konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah
minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang
mengganggu nutrisi seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri
punggung bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan,
penggunaan alkhohol.

6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban
berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana
pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien
biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka
operasi.
J. Analisa dan Sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data
tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang
mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin,
resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi ketidak
efektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan,
inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .
K. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan
detrusor (dekompensasi otot detrusor).
2. Nyeri akut berhubungan Agen injuri biologis (Penumpukan cairan urin
divesika urinaria)
3. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Post op
1. Nyeri akut berhubungan Agen injuri fisik (kerusakan jaringan)
2. Hambatan Mobilitas Fisik b/d Nyeri saat bergerak
3. Kerusakan Integritas jaringan b/d faktor mekanik dan gesekan
4. Resiko Infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, AD., Waren, S., Situmurang, E., Asputra, H., dan Siahan, SS. 2009.
Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipeetensi pada
pasien yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang
Periode Januari sampai Juni 2008.

Asmadi 2008. Konsep Keperawatan DasarJakarta: EGC.

Agoes, Goeswin. (2008). Pengembangan Sediaan Farmasi.Bandung: ITB


Press.Hal. 195, 297

Black & Hawks, 2014: “Medical Surgical Nursing” edisi 2, elsevier: Singapore

Dwisang, Evi Luvina. 2014. Anatomi & Fisiologi untuk Perawat dan Bidan.
Jakarta : BINARUPA AKSARA Publiser

Lemone & Burke, 2008: “Medical Surgical Nursing”(critical thinking in


patient care” Fifth Edition

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala, 2014: “Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan “. Jakarta : Salemba Medika

Nugroho, AE., 2012, Farmakologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Nursalam & Batticaca, 2011: “Asuhan Keperawatan pada Pasien denga


GangguanSistem Perkemihan”. Jakarta: Salemba Medika

Wiley Blackwell, 2015-2017 Nusing Diagnosis

Anda mungkin juga menyukai