TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Hiperplasia prostat benigna (Benign Prostatic Hyperplasia-BPH) adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria
(Muttaqin dkk, 2012 ).
Hiperplasia prostat benigna adalah pertumbuhan prostat yang cukup
mengobstruksi (menghambat) jalan keluar uretra, yang menyebabkan gejala
LUTS yang mengganggu, ISK, dan hematuria. (Black, 2014).
Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui
secara pasti tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses
penuaan.
Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat, yaitu sebagai berikut.
1. Dihydrotestoteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testoteron dan estrogen
pada usia lanjut. Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testoteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat.
4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stoma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan (Nursalam dkk, 2011).
C. Manifestasi Klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruktif
b. Hesistansi (sulit memulai miksi).
c. Pancaran miksi lemah.
d. Intermiten (miksi berhenti dan memancar lagi.
e. Miksi tidak puas.
f. Menetes setelah miksi (Black, 2014).
g. Gejala iritasi
h. Frekuensi meningkat.
i. Nokturia (miksi di malam hari).
j. Urgensi (miksi yang mendesak)
k. Disuria (terasa panas dan nyeri saat miksi) (Black, 2014).
3. Pemeriksaan lain
a. Residual urine, yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi (Muttaqin,
2012).
b. Pancaran urine (flow rate) atau dengan alat urofometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urine (Muttaqin, 2012).
c. Pemeriksaan serum Kreatinin dan BUN untuk mengevaluasi fungsi ginjal
(Muttaqin, 2012)
d. Serum PSA untuk mengetahui adanya kanker tetapi mungkin terdapat
peningkatan pada BPH.
Diagnosis pilihan untuk evaluasi lanjutan, yaitu:
1) Urodynamic
2) USG
3) Cytourethroscope untuk mengamati uretra, kandung kemih, dan ukuran
prostat (Muttaqin, 2012)
G. Penatalaksanaan Medis/Operatif
1. Pengobatan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjamin tindakan
medik. Kadang-kadang mereka mengeluh LUTS ringan, namun dapat sembuh
sendiri tanpa terapi. Bila keadaan lebih parah dilakukan tindakan medik dan
terapi medikamentosa (Black, 2014).
Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan
ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan yaitu
obat golongan penghambat alfa (prazosin, terasozin, doksasozin, dan
alfosozin) dan obat penurun kadar dihidrotestoteron, yaitu finasteride yang
merupakan penghambat 5 alfa reduktase yang mencegah terjadinya perubahan
testoteron menjadin dihidrotestoteron dan menyebabkan ukuran prostat
mengecil. Adapun tujuan terapi medikamentosa :
a. Mengurangi retensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan a blocker
(penghambat alfa adrenergik).
b. Mengurangi volume prostat dengan menentukan kadar hormon testoteron /
dehidro testoteron (DHT) (Black, 2014).
2. Teknik operasi
a. Bedah TURP (Reseksi Prostat Transumental)
Teknik yang digunakan untuk menangani BPH. Dimana resektoskop
dimasukkan melalui uretra. Dokter bedah melihat bagian dalam kandung
kemih dengan memasukkan sistoskop (lensa teleskop) melalui resektoskop.
Lengkungan yang dapat digerakkan, dimasukkan melalui resektoskop yang
memotong jaringan dan membekukan (koagulasi) pembuluh yang berdarah
menggunakan arus listrik frekuensi tinggi. (Resektoskop bertekanan dingin
yang memukul lepas jaringan, potongan demi potongan, dengan pisau
sirkuler kini jarang digunakan) (Black, 2014).
Cairana irigasi diinfuskan ke dalam kandung kemih melalui stetoskop,
memungkinkan visualisasi untuk tidakan reseksi. Irigasi dan drainase
berulang cairan ini memastikan bahwa jaringan dan debris yang direseksi
dikeluarkan dari kandung kemih.cairan irigasi steril digunakan untuk bedah
transuretral yang memungkinkan hantaran listrik yang dibutuhkan untuk
reseksi dan koagulasi (Black, 2014).
b. Prostatektomi suprapubik
c. Prostatektomi Retropubik.
d. Prostatektomi Perineal
a. Elektrovaporisasi Transurental.
Elektrovaporisasi Transurental pada prostat (prosedur VaporTrode)
menggunakan peralatan yang serupa dengan yang dibutuhkan pada TURP,
dengan pengecualian atas bola atau batang yang dirancang khusus yang
dimasukkan melalui portal kerja resektoskop dan melekat pada sumber tenaga
elektrokauter. Alat ini melakukan vaporisasi pada jaringan prostat dan
bermanfaat untuk mengurangi perdarahan (Black, 2014).
b Prosedur berbantuan leser.
Insisi laser transuretral yang diarahkan melalui USG pada prostat (TULIP)
adalah prosedur minimal invasif dimana digunakan laser untuk membuat
insisi ke dalam prostat. Oleh karena hilangnya darah yang minimal, irigasi
tidak dibutuhkan dan klien tidak selalu membutuhkan kateter setelah
pembedahan. Ada dua prosedur yang baru yaitu enukleasi laser pada prostat
(HoLEP) dan vaporisasi fotoselektif pada prostat (Laser Sinar Hijau) (Lewis
Dirksen, 2014).
d Terapi Hipertermia dan Termal.
Terapi Hipertermia dan termal adalah prosedur yang lebih baru.
Hipertermia merujuk pada pemberian suhu dibawah 450 C; tetapi termal
merujuk kepada pemberian suhu yang lebih tinggi (Black, 2014).
e Sten Prostat
Sten prostat diindikasikan untuk klien yang memiliki resiko operasi sangat
buruk . tabung seperti jaring – jaring (juga digunakan alat berbentuk
gulungan) di masukkan melalui endoskop ke dalam uretra prostatika, yang
akan tetap mempertahankan uretra yang terbuka secara mekanis (Black,
2014).
H. Perawatan Praoprasi dan Pascaoprasi
1. Perawatan Preoprasi
a. Nilailah kemampuan klien mengosongkan kandung kemih dan harus diperkusi
terhadap adanya distensi (Black, 2014).
b Jika klien tidak dapat berkemih, kateter uretra mungkindapat dipasangkan
(Black, 2014).
c Klien yang menggunakan obat atau suplemen dengan efek antikoagulan harus
menghentikannya sebelum pembedahan. Perawat harus meninjau dengan hati
– hati semua obat yang diresepkan, medikasi bebas, dan agens herbal terhadap
sifat antikoagulan seperti vitamin E dosis tinggi atau multivitamin (Black,
2014).
d Perhatian terhadap harapan mengenai prosedur, seperti perubahan dalam
berkemih dan fungsi seksual yang dapat diantisipasi dengan memperkuat
pengajaran praoperasi yang diberikan oleh ahli urologi dan dengan
menyakinkan klien dan pasangannyamengerti hasil prosedur yang dapat
diantisipasi (Black, 2014).
e. Berikan respons terhadap kekuatiran klien dan orang terdekatnya dengan
mendengarkan secara empatik, memberikan informasi yang akurat dan
dukungan yang berkelanjuta (Black, 2014).
f Infomed consent, menyatakan kembali penjelasan dokter dan mengharuskan
klien memahami resiko (misalnya disfungsi seksualitas, infertilitas) serta
manfaat jangka panjang dan jangka pendek (misalnya hilangnya manifestasi
urine dan promosi fungsi ginjal yang optimal) (Black, 2014).
2. Perawatan pascaoprasi
a. Lakukan pengkajian dengan mengobservasi tanda- tanda vital dan
mempertahankan drainase urine. Kaji dan dokumentasikan asupan dan
keluaran urine serta harus meliputi jumlah yang dimasukkan melalui irigasi
(Black, 2014).
b. Pastikan patensi kateter dengan sering untuk memastikan kateter mengalir.
Posisi kateter dan sistem drainase penting karena dapat mencegah obstruksi
pada sistem seperti pembekuan darah, selang yang tertekuk, sumbatan mukus,
debris prostat atau pergeseran kateter serta kateter dapat meningkatkan
produksi mukus uretra (Black, 2014).
c. Mempertahankan irigasi
Jaga area penis dan meatus dengan mecuci menggunakan sabun dan air
setidaknya dua kali sehari (Black, 2014).
Klien biasa lupa bahwa ia menggunakan kateter dan tidak sengaja menarik
kateter keluar. Tunjukkan kepada pasien bangaimana naik danturun dari tempat
tidur atau tempat duduk. Ingatkan klien bahwa ada tabung dalam kandung
kemihnya melalui penis atau abdomen dan instruksikan untuk tidak
menyentuhnya (Black, 2014).
f. Mencegah infeksi.
Observasilah indikasi infeksi lokal dan sistemik dengan hati- hati, tangani
kateter, alat drainase dan pengumpulan urine untuk menghindari memasukkan
mikroorganisme ke dalam saluran kemih (Black, 2014).
g. Monitor terhadap resistensi dimana resistensi urine terjadi selama beberapa
jam hingga 1 hari setelah pelepasan kateter tidak dapat diabaikan (Black,
2014).
h. Mencengah cedera
Menyerankan klien tidak mengejan saat buang air besar selama
setidaknya 6 minggu setelah pembedahan karena dapat menyebabkan
perdarahan.menghindari meminum alkhol dan merokok (Black, 2014).
i. Mengajari rehabilitasi otot pelvis
Memberikan pengajaran dengan menyampaikan kepada klien untuk mengikuti
perintah dokter bedah dengan membatasi aktivitas seperti mengangkat beban
berat, duduk lama, aktivitas seksual, mengemudi dan menaiki mobil selama 2
minggu atau olahraga berat juga dikontraindikasikan selama 4 – 6 minggu
(Black, 2014).
I. Landasan Teoritis Asuahan Keperawatan :
1. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan
Canobbio (2008) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit
hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status
social ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas
kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini,
orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko
lebih tinggi.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan
waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit BPH.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban
berat. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana
pasien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua
seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh
pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien
biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka
operasi.
J. Analisa dan Sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data
tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang
mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin,
resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi ketidak
efektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan,
inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .
K. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan
detrusor (dekompensasi otot detrusor).
2. Nyeri akut berhubungan Agen injuri biologis (Penumpukan cairan urin
divesika urinaria)
3. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Post op
1. Nyeri akut berhubungan Agen injuri fisik (kerusakan jaringan)
2. Hambatan Mobilitas Fisik b/d Nyeri saat bergerak
3. Kerusakan Integritas jaringan b/d faktor mekanik dan gesekan
4. Resiko Infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, AD., Waren, S., Situmurang, E., Asputra, H., dan Siahan, SS. 2009.
Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipeetensi pada
pasien yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang
Periode Januari sampai Juni 2008.
Black & Hawks, 2014: “Medical Surgical Nursing” edisi 2, elsevier: Singapore
Dwisang, Evi Luvina. 2014. Anatomi & Fisiologi untuk Perawat dan Bidan.
Jakarta : BINARUPA AKSARA Publiser
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala, 2014: “Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan “. Jakarta : Salemba Medika