Anda di halaman 1dari 4

A.

ILMU KEDOKTERAN GIGI DAN FENOMENA KOMPETENSI DALAM HAL KODE


ETIK PERAWAT GIGI

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang diera


global dewasa ini, diprediksikan akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan
dibidang kesehatan. Peran ilmu dan tehnologi sangat menonjol dalam memajukan
sektor dibidang kesehatan, hal ini terbukti dengan semakin canggih dan mutakhirnya
peralatan yang digunakan, peningkatan sumber daya manusia kesehatan dan
pelayanan kesehatan spesialistik dan subspesialistik di masyarakat. Kondisi ini diikuti
pula oleh perkembangan ilmu kedokteran gigi yang merupakan bagian integral yang
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia.

Perkembangan ilmu dibidang kedokteran gigi harus diimbangi dengan kualitas


pelayanan kesehatan yang lebih baik, dengan mengutamakan kepuasan masyarakat
sebagai user dalam pelayanan kesehatan dengan tetap mengacu pada pelayanan
kesehatan dalam dimensi ekonomi, bisnis dan etika.

Untuk mengimbangi perkembangan ilmu kedokteran gigi, sumber daya manusia


kesehatan dalam hal ini dokter gigi selalu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya. Sehingga sebagai provider pelayanan kesehatan mampu memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, dokter gigi tidak dapat menjalankan sendiri tugas pokok
dan fungsinya dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada
masyarakat, melainkan harus bermitra kerja dengan perawat gigi.

Masalah yang timbul saat ini adalah pertama : Keterbatasan jumlah dokter gigi
yang bekerja di pelayanan kesehatan di Indonesia dengan ratio terhadap penduduk 1 :
21.500, dimana ideal ratio 1 : 2000 dan itupun penyebarannya tidak merata. Kedua :
tugas ganda dokter gigi selain sebagai penangung jawab pelayanan kesehatan gigi dan
mulut juga sebagai pejabat struktural yang menyita perhatian dan konsentrasi lebih
dalam pelaksanaannya. Sehingga seringkali tugas pokok dan fungsinya tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, sementara pelayanan di masyarakat harus berjalan dengan
baik. Untuk mengatasi hal tersebut, dokter gigi akan melimpahkan tugas dan
wewenangnya kepada perawat gigi sebagai mitra kerjanya.

Tugas limpah yang diberikan oleh dokter gigi kepada perawat gigi kadang tidak
jelas, sehingga perawat gigi harus menyelesaikan semua tugas dokter gigi di
Puskesmas sebagai pemberi pelayanan, walaupun yang dilakukan oleh perawat gigi
bukan kompetensi dan kewenangannya. Akan tetapi hal tersebut berjalan sebagai
sesuatu yang wajar dan biasa tanpa memperhatikan dampak etika dan hukum. Perawat
gigi dalam melaksanakan tugas dokter gigi, meskipun bukan kompetensi dan
kewenanganya menjadi suatu kebiasaan dan kewajaran untuk membantu masyarakat
dalam mengatasi masalah kesehatan di luar jam kerja/praktek dirumah.

1. FENOMENA KOMPETENSI PERAWAT GIGI DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Keperawatan gigi sebagai suatu ilmu merupakan pendatang baru dalam kancah
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi bagi bangsa Indonesia dan masih
memerlukan perjalanan panjang, jika menginginkan kesetaraan dengan ilmu-ilmu yang
lain, Ilmu keperawatan gigi dilahirkan dari ilmu kedokteran gigi. Sehingga perawat gigi
sebagai profesi belum memiliki body of knowledge keparawatan gigi.

Sebagai profesi perawat gigi harus mampu mengambil keputusan secara mandiri
yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman di bidang keperawatan gigi. Namun
demikian tidak ada satupun masalah kesehatan dapat diatasi oleh salah satu disiplin
ilmu, karenanya kerjasama dengan pelbagai profesi lain tetap sangat penting.

Pemberian kewenangan / pendelegasian wewenang yang diberikan oleh dokter


gigi kepada perawat gigi untuk memutuskan bentuk pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat maupun pembagian tanggungjawab dengan dokter gigi atau tugas-tugas
kolaborasi dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut akan membuahkan
konsekuensi hukum.

Berdasarkan hasil pengamatan dan kajian yang dilakukan oleh Departemen


Kesehatan, dapat disimpulkan bahwa perawat gigi yang bekerja di pelayanan
kesehatan khususnya di Puskesmas, masih bekerja tidak sesuai dengan kemandirian,
kewenangan serta kompetensi profesi. Sebab 98 % perawat gigi bekerja/melaksanakan
tugas diluar kompetensi dan kewenangannya. Dan kondisi tersebut bertententangan
dengan Kepmenkes No.378/Menkes/SK/III/2007 tahun 2007 tentang Standar profesi
Perawat Gigi dan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 1996.

2. FENOMENA KOMPETENSI PERAWAT GIGI DALAM PERSPEKTIF ETIKA

Kesalahan perawat gigi yang memungkinkan bisa terjadi adalah pada tindakan
dalam tugas-tugas mandiri dan atau tugas kolaborasi serta tugas-tugas yang
merupakan pendelegasian wewenang.
Kondisi semacam ini, dianggap merupakan suatu kewajaran dan kelaziman,
bahkan dampak etis akibat dari tindakan yang dilakukan diabaikan. Sehingga dengan
leluasa perawat gigi membuka peluang bisnis/praktek kedokteran gigi yang semestinya
bukan grey area kompetensi perawat gigi.

Akibat dari tindakan perawat gigi, maka akan berdampak etis sebagai berikut :

1. Ketidakadilan : karena ada profesi lain yang dirugikan.

2. Kerisauan sosial : dengan munculnya bentuk mall praktik yang dilakukan perawat gigi

3. Pelemahan peraturan dan sanksi : dengan tidak adanya tindakan dan sanksi atas
tindakan yang dilakukan, maka dianggap peraturan tidak dapat berfungsi dengan benar.

B. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


1. PEMECAHAN MASALAH BERDASAR PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI

Kompetensi Perawat Gigi merupakan sebagian dari kompetensi Dokter Gigi.


Pada hakekatnya kompetensi Perawat Gigi didasarkan pada standar profesi yang
dibangun dari ilmu keperawatan gigi. Sedangkan ilmu keperawatan gigi merupakan
akar pengetahuan yang bersumber dari ilmu kedokteran gigi, sehingga perawat gigi
tidak memiliki body of knowledge / Kemandirian kompetensi yang didasarkan pada
dasar ilmu pengetahuan.

Alternatif pemecahan masalah yang tepat adalah perawat gigi sebagai mitra
kerja dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada
masyarakat harus memiliki ilmu dan kompetensi mandiri, sehingga tidak bersentuhan
dengan profesi lain (dokter gigi).

Ilmu pengetahuan dan Kompetensi mandiri didasarkan oleh needs and demand
masyarakat yang kemudian dikemas dalam bentuk kurikulum yang dikembangkan
dalam pendidikan tenaga perawat gigi.

2. PEMECAHAN MASALAH BERDASAR PERSPEKTIF AKSIOLOGI

Kesalahan perawat gigi yang dianggap wajar dan lazim dalam memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut, merupakan pelanggaran terhadap etika. Karena
etika merupakan pedoman bagi manusia tentang bagaimana seharusnya bertindak baik
dan buruk. Fenomena kompetensi perawat gigi dapat dikatakan kurang sesuai dengan
etika khususnya etika profesi, karena perawat gigi bekerja tidak sesuai dengan
kompetensi, sehingga dokter gigi dan masyarakat merasa dirugikan.
Alternatif pemecahan masalah yang tepat adalah pemberian bekal dan pemahaman
kepada perawat gigi tentang etika dan agama. Karena apabila kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan sadar maka termasuk dalam perbuatan “dzalim” Dan Rasulullah
Muhammad SAW bersabda : Barang siapa yang telah berbuat dzalim terhadap
saudaranya, maka segeralah minta dihalalkan. Karena di akhirat tidak berguna lagi
dinar dan dirham, sebelum saudaranya mengambil kebaikan darinya. Jika dia tidak
memiliki suatu kebaikan, maka akan diambil untuknya keburukan dari saudaranya itu
(orang yang terdzalimi) HR. Bukhari”

3. PEMECAHAN MASALAH BERDASAR PERSPEKTIF ONTOLOGI

Alternatif pemecahan tang lain untuk mengatasi fenomena kompetensi perawat gigi
adalah penegakan sanksi hukum, sehingga ada efek jera bagi perawat gigi yang
melakukan mal praktek.

RUJUKAN

1. Kuswarjono, Arqom.,2009. Intergrasi Ilmu dan Agama. Perspektif Filsafat Mulla


Sadra. Filsafat UGM. Yogyakarta.
2. Mustansyir, Rizal. dkk. 2009. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
3. Purnomo, B., 1991. Hukum Kesehatan. Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
4. Drost, J., 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan.Terjemahan. Gramedia.Jakarta.
5. Shah, AB., 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Yayasan Obor Mas. Jakarta.
6. Koehn, Daryl.,2000., Landasan Etika Profesi. Pustaka Filsafat. Kanisius.
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai