Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang

menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud

bukan hanya masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan dan juga

ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara

berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam

memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,

kesejahteraan, sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta masih

ditakuti masyarakat, keluarga termasuk petugas kesehatan, hal ini

disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang

keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional

Pemberantasan Kusta, DEPKES RI 2009).

Indikator yang biasa digunakan untuk menilai situasi kusta suatu

wilayah adalah jumlah kasus baru yang ditemukan, Prevalence Rate (PR)

atau penderita yang tercatat dalam register dibandingkan dengan 10.000

penduduk serta angka penemuan kasus baru dalam satu tahun (Case

Detection Rate/CDR) per 100.000 penduduk.

Prevalensi kusta di dunia sudah mengalami penurunan selama 50

tahun terakhir akan tetapi penularan masih terjadi dan kusta masih menjadi
2

masalah kesehatan masyarakat ditandai dengan masih ditemukannya

250.000 kasus baru yang terdaftar setiap tahun (Kemenkes RI, 2007).

Indonesia merupakan salah satu wilayah Asia Tenggara yang

menempati urutan ke-3 di dunia dengan angka kejadian 23.169 penderita,

sementara India menempati peringkat pertama dan diikuti Brazil sebagai

kedua (WHO, 2012).

Menurut World Health Organization Weekly Epidemiological

Report mengenai kusta tahun 2010, selama tahun 2009 terdapat 17.260

kasus baru di Indonesia dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus

kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe menular. Dari data

kasus kusta baru tahun 2009 tersebut 6.887 kasus diantaranya di derita

kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.

Data kementerian kesehatan menyebutkan pada tahun 2012 tercatat

NCDR (New Case Detection Rate) 8,3 per 100.000 penduduk dengan tipe

pembagian NCDR tipe MB (Multi Basiler) dan tipe PB (Pausi Basiler). Di

wilayah Jawa Tengah pada tahun 2014 dilaporkan tipe MB sebanyak

1.252 kasus dan tipe PB sebanyak 207 kasus (Dinkes Jateng 2015).

Sedangkan data yang diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten

Purbalingga pada tahun 2014 terdapat 28 kasus baru dengan keadaan

pasien di akhir pengobatan adalah: RFT (Release From Treatment)

sebanyak 23 orang, meninggal dunia 2 orang, Drop out 1 orang dan pindah

2 orang. Data tahun 2015 terdapat 24 kasus baru dengan angka prevalensi

0,3/10.000 penduduk, dari 24 kasus baru tersebut proporsi penderita kusta


3

tipe MB sebesar 98,9 % dan 6,9 % merupakan kasus anak serta proporsi

cacat tingkat 2 sebesar 29,2 %.

Statisnya penurunan angka penderita kusta menyebabkan beban

akibat penyakit kusta di Indonesia juga masih besar. Seperti diketahui

bahwa penderita kusta terutama yang telah mengalami kecacatan yang

terlihat sebagian besar menjadi tidak produktif karena mereka tidak dapat

hidup mandiri memenuhi kebutuhannya sendiri, menjadi ketergantungan

secara fisik dan finansial, dengan demikian penderita kusta yang tidak

dapat mandiri memberikan kontribusi beban penyakit di Indonesia.

Penanggulangan kusta di Indonesia bertujuan untuk mengurangi

beban akibat penyakit kusta dengan menurunkan transmisi penyakit,

mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui

pengobatan dan perawatan yang benar, serta menghilangkan stigma sosial

dalam mayarakat (Kemenkes RI, 2007). Hal ini sejalan dengan strategi

WHO dalam penanganan kusta yaitu dengan menciptakan pelayanan

berkualitas bagi pasien kusta dan mengurangi beban kusta yang dilakukan

tidak hanya dengan meningkatkan penemuan kasus dini tapi juga dengan

mengurangi kecacatan, stigma dan diskriminasi serta rehabilitasi sosial

dan ekonomi bagi pasien kusta (WHO, 2010).

World Heath Organization (WHO) membatasi istilah dalam cacat

kusta sebagai berikut: impairment, disability dan handicap. Sedangkan

WHO Expert Comitte on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
4

Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi

penderita kusta yaitu: tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Atlas kusta, 2005).

Kondisi penemuan penderita di kabupaten Purbalingga dengan

proporsi cacat tingkat 2 yang tinggi menandakan keterlambatan dalam

penemuan dini penderita kusta sehingga menyebabkan penderita seringkali

tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya

pasien kusta akan berusaha untuk menyembunyikan keadaannya sebagai

orang yang menderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan

dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat.

Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih

menonjol dibandingkan masalah medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh

adanya stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai

paham dan informasi yang keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan

perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali

menyebabkan penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di

keluarganya dan lingkungan masyarakat (Kuniarto, 2006).

Akibatnya penderita cacat kusta cenderung hidup menyendiri dan

mengurangi kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung kepada

orang lain, merasa tertekan dan malu untuk berobat. Dari segi ekonomi

penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan ataupun

ketidakmampuan dalam bekerja maupun mendapat diskriminasi untuk

mendapatkan hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan

penyakitnya sehingga kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi


5

mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke

bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga

memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan

mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto, 2006).

WHO (2002) mendefinisikan bahwa kualitas hidup adalah persepsi

individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya,

sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan

hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup

kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik,

status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan lingkungan

dimana mereka berada.

Mengingat pentingnya informasi tentang kualitas hidup, muncul

berbagai cara untuk mencoba mengukur kualitas hidup seseorang dari

berbagai aspek kehidupan manusia. Misalnya WHO yang telah mencoba

membuat alat ukur/instrumen untuk mengukur kualitas hidup manusia

yang dikenal sebagai World Health Organization Quality Of Life 100

(WHOQOL-100) serta versi pendeknya yaitu World Health Organization

Quality Of Life-BREF (WHOQOL-BREF). Instrumen ini mencoba

mengukur kualitas hidup manusia dari berbagai domain seperti fisik,

psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Instrumen ini telah

dipergunakan secara luas terhadap berbagai jenis penyakit termasuk untuk

mengetahui kualitas hidup penderita kusta.


6

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk

meneliti bagaimana gambaran kualitas hidup pasien kusta rawat jalan di

Puskesmas wilayah kabupaten Purbalingga.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

“ Bagaimanakah gambaran kualitas hidup penderita kusta rawat jalan di

puskesmas wilayah kabupaten Purbalingga?”

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran tingkat kualitas hidup penderita kusta

rawat jalan di puskesmas wilayah kabupaten Purbalingga.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat kesehatan dan penampilan fisik juga besarnya

tingkat kecacatan pasien kusta di kabupaten Purbalingga.

b. Mengetahui permasalahan dalam melakukan aktivitas fisik pasien

kusta di kabupaten Purbalingga.

c. Mengetahui permasalahan psikologis atau kejiwaan yang dialami

pasien kusta di kabupaten Purbalingga.

d. Mengetahui gambaran kehidupan sosial dan dukungan sosial pada

pasien kusta di kabupaten Purbalingga.


7

e. Mengetahui gambaran kehidupan spiritual pasien kusta di

kabupaten Purbalingga.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan gambaran secara

nyata, mengembangkan teori yang ada serta menambah wawasan ilmu

pengetahuan tentang gambaran kualitas hidup pasien kusta dan

bermanfaat bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Sebagai pengalaman pertama bagi penulis dalam penelitian dan

memberikan informasi kepada penulis mengenai gambaran kualitas

hidup pasien kusta.

b. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten

Sebagai informasi tentang kualitas hidup pasien kusta sehingga

dapat memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan

meningkatkan cakupan penemuan dini penderita kusta.

c. Bagi perawat

Untuk menambah wawasan atau pengetahuan tentang gambaran

kualitas hidup pasien kusta.

d. Bagi responden
8

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi

responden untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik

dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini antara lain

Tabel 1.1

Nama Judul Metode Persamaan Perbedaan


Penelitian/Tahun Penelitian
Victor S. Functional Metoda Variabel yang Jenis
Santos, Activity penelitian diteliti kualitas
penelitian
Laudice S. Limitation and korelasi cross- hidup dengan dengan
Oliveira, Quality Of Life of sectional alat ukur
deskriptif
Fabricia D. Leprosy Case in terhadap 104 WHOQOL- kuantitatif
N. Castro an Endemic Area pasien kusta di BREF terhadap
in Northeastern Bazil. Variabel pasien kusta
Brazil (2015) yang di teliti rawat jalan di
adalah puskesmas
keterbatasan wilayah
fisik dan kabupaten
kualitas hidup. Purbalingga
Amaliatus Hubungan Penelitian Penelitian di Variabel yang
Solekhah Tingkat dengan metoda lakukan dalam diteliti
Pengetahuan korelasi cross wilayah mengenai
Tentang Kusta sectional. Kabupaten kualitas hidup
Dengan Variabel yang pasien kusta
Perawatan Diri diteliti tingkat
Pada Penderita pengetahuan dan
Kusta Di Wilayah perawatan diri
Kabupaten pasien kusta
Sukoharjo (2016)
Sartika Hubungan Penelitian Jenis Populasi
Dewi Dukungan deskriptif penelitian pasien rawat
Lestari, Keluarga Dengan korelasi cross dengan cross jalan di
Arwani, Harga Diri sectional. sectional puskesmas,
SKM. MN, Penderita Kusta Variabel yang variabel yang
Purnomo, Rawat jalan Di diteliti diteliti kualitas
SKM. Rumah Sakit dukungan hidup
M.Kes.Epi Rehatta Donorojo keluarga dan
d Jepara (2013) harga diri pasien
9

Anda mungkin juga menyukai