Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

RINOSINUSITIS MAKSILARIS

DISUSUN OLEH:
Romi Andriyana (11.2016.304)

PEMBIMBING
dr. Erna Marbun, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT HUSADA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 6 NOVEMBER S/D 9 DESEMBER 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan referat saya dengan judul “Rinosinusitis Maksilaris”.
Saya berterimakasih kepada banyak pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung
membantu saya didalam pembuatan referat ini, salah satunya kepada dr. Erna M. Marbun,
Sp.THT-KL sebagai pembimbing saya yang telah memberikan banyak bantuan, informasi kritik,
dan saran.

Saya membuat referat ini untuk dapat lebih dalam memahami mengenai rinosinusitis
maksilaris sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan saya.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Jakarta, 14 November 2017

Romi Andriyana

2
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………………………....1

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….....2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...3

BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………………………………..4

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………....5

BAB III: KESIMPULAN………………………………………………………………………...17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………18

3
BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal, dan merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek kedokteran sehari-hari.
Umumnya sinusitis disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut dengan rinosinusitis.
Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu penyakit yang
sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik.1

Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi
yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis
dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati. Rinosinusitis berdasarkan waktu
terjadinya dibagi menjadi rinosinusitis akut, subakut dan kronik.1

Penyebab utama rinosinusitis adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinusis paranasal disebut pansinusitis. Yang paling
sering terkena adalah sinus etmoid dan sinus maksila, sedangkan sinus frontalis dan sinus spenoid
sangat jarang ditemukan.1,2

Secara anatomi, sinus maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut
dan merupakan lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus maupun
lewat rongga mulut. Masalah gigi seperti penyakit pada periodontal dan lesi periapikal dilaporkan
menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa sinus maksilaris.1

Data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Farhat di Medan mendapatkan insiden sinusitis dentogen di
Departemen THT-KL/RSUP H. Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh
abses apikal yaitu sebanyak 71.43%.1,2

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada rongga sinus
paranasal. Sinusitis selalu melibatkan mukosa pada hidung dan jarang terjadi tanpa disertai
dengan rhinitis maka sering juga disebut rinosinusitis. Rinosinusitis dapat terjadi pada
salah satu dari ke empat sinus yang ada (maksilaris, ethmoidalis, frontalis, sphenoidalis).
Rinosinusitis lebih sering terkena pada sinus maksilaris dikarenakan (1) merupakan sinus
paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret
atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.2
Rinosinusitis dapat terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan
bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Berdasarkan waktu terjadinya,
konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi 3, yaitu:
a. Rinosinusitis akut, terjadi kurang dari 4 minggu.
b. Rinosinusitis subakut, terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan.
c. Rinosinusitis kronik, terjadi lebih dari 3 bulan.

B. Anatomi Sinus Paranasal


Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum
nasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga didalam beberapa tulang wajah dan diberi nama
sesuai dengan tulang tersebut yaitu sinus maksilaris, sinus sphenoidalis, sinus frontalis dan
sinus ethmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami
modifikasi, yang mampu menghasilkan mukus dan bersilia. Mukus yang dihasilkan
disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus berisi udara.2
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding

5
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung. Dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah
prosessus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.2,3
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
- Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
- Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
- Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang
baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

Gambar 1. Anatomi sinus paranasal.

6
C. Fungsi Sinus Paranasal
Fungsi dari sinus paranasal, sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat
mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain 1)
sebagai pengatur kondisi udara, 2) sebagai penahan suhu, 3) membantu keseimbangan
kepala, 4) membantu resonansi suara, 5) peredam perubahan tekanan udara, dan 6)
membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung.3

D. Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) terdiri dari sel-sel udara dari etmoid anterior dan
ostiumnya, infundibulum etmoid, ostium sinus maksila, ostium sinus frontal dan meatus
media. Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosesus unsinatus,
bula etmoid, hiatus semilunaris inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM
berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontal, maksila dan etmoid
anterior.3

Gambar 2. Letak Kompleks Ostiomeatal.

E. Etiologi
Rinosinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring
seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta M1, M2,
M3 (dentogen). Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama,
dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.1

7
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada rinosinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophylus influenza (20-40%), dan
Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Sedangkan sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat.2
Pada sinusitis kronik ini, faktor predisposisi lebih berperan sehingga perlu dicari
dan diobati, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong kearah bakteri gram negative
dan anaerob. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.2

F. Epidemiologi
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak
signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi
pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar
dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan rinosinusitis. Pada tahun 2007 di
Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta
individu.3
Di Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering
ditemukan pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.1

G. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi
oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua
yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan
oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama

8
udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan.4
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis
yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan
menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan
epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan,
akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya
terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan.4
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Dengan ini dapat
disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi
ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan
merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.4

H. Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Dari anamnesis biasanya didapatkan hidung terasa tersumbat yang disertai nyeri
tumpul pada pipi dan rasa tekanan atau penuh pada wajah. Keluar ingus kental dari
hidung berwarna kekuningan (purulent) dan terkadang berbau busuk, lalu sering kali
ingus turun ke tenggorokan (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Keluhah nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa ditempat lain
(referred pain) seperti nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain biasanya berupa sakit

9
kepala, hiposmia/anosmia, batuk dan sesak nafas pada anak akibat dari ingus yang
turun ke tenggorokan (post nasal drip), dan juga biasanya memiliki riwayat gigi
berlubang atau ada infeksi gigi pada rahang atas.1,2,4,6
Nyeri pipi merupakan tanda dari sinusitis maksila, nyeri dibelakang kedua bola
mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontalis, dan nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan
daerah mastoid menandakan sinusitis sfenoid.2
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit untuk didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post
nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan
kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-brokitis),
bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.
Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.2,6

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sinusitis maksilaris dapat dilakukan dengan pemeriksaan
inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi, pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya
pembengkakan pada muka atau pipi. Pada palpasi, biasanya didapatkan nyeri tekan
pada pipi yang sakit. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema, sekret (nasal drip), deviasi septum. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus
di nasofaring (post nasal drip).1,2,4

Gambar 3. Pus pada meatus medius.

10
Gambar 4. Pembengkakan pipi pada sinusitis.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos
posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan seperti air-fluid
level, atau penebalan mukosa. Rontgen sinus dapat menunjukkan kepadatan parsial
pada sinus yang terlibat akibat pembengkakan mukosa atau dapat juga menunjukkan
cairan apabila sinus mengandung pus. Pilihan lain dari rontgen adalah ultrasonografi
terutama pada ibu hamil untuk menghindari paparan radiasi.1,2,4

Gambar 5. Sinusitis maksilaris dextra pada posisi waters

11
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. CT scan mampu memberikan gambaranyang bagus
terhadap penebalan mukosa, air-fluid level, struktur tulang, dan kompleks osteomeatal.
Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis
yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.4

Gambar 6. Sinusitis maksilaris pada CT-Scan


Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan
nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit. Pemeriksaan ini
sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya. Endoskopi nasal kaku atau
fleksibel dapat digunakan untuk pemeriksaan sinusitis. Endoskopi ini berguna untuk
melihat kondisi sinus ethmoid yang sebenarnya, mengkonfirmasi diagnosis,
mendapatkan kultur dari meatus media dan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi. Ketika dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi dari
hidung, kultur meatus media sesuai dengan aspirasi sinus yang mana merupakan baku
emas. Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme
penyebab, maka kultur dianjurkan.4,5

I. Tatalaksana
Tujuan terapi rinosinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah
komplikasi, dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
12
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami.2,4,6
a. Medikamentosa
- Antibiotik (diberikan selama 10-14 hari)
 Lini Pertama
o Amoxycilline (anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis, dewasa: 3 x 500
mg).
o Erythromycine (anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam, dewasa: 4 x 250-
500mg).
 Lini Kedua
Bila ditemukan kuman menghasilkan enzim beta-laktamase diberikan
kombinasi Amoxycilline+Clavulanic acid, atau Sefalosporin generasi ke-2 atau
3 oral.
- Dekogestan
 Topikal:
o Solusio Efedrin 1% tetes hidung
o Oxymethazoline 0,025% tetes hidung untuk anak, 0,05% semprot hidung.
Jangan digunakan lebih dari 5 hari
 Sistemik:
o Fenil Propanolamine
o Pseudoefedrine 3x60mg
- Mukolitik: N-acetytilcystein, bromhexine
- Analgesik/antipiretik (bila perlu): Parasetamol 3x500mg.
- Antihistamin (diberikan pada penderita dengan latar belakang alergi)
 CTM (Chlorpheniramin Maleat)
 Loratadine
b. Non-medikamentosa
- Pungsi percobaan dan pencucian
Terapi bedah pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada

13
sekret yang tertahan oleh sumbatan. Pada sinusitis maksila dapat dilakukan
tindakan pungsi dan irigasi.
Fungsi dan irigasi sinus merupakan suatu tindakan untuk mengeluarkan
sekret yang terkumpul dalam rongga sinus maksila. Tujuan dari tindakan ini adalah
untuk memperbaiki drainase dan pembersihan sekret dari sinus maksila sehingga
mengaktifkan silia kembali dan untuk mengambil bahan bagi tes kultur dan
sensitivitas jika pengobatan antibiotik secara empiris tidak berhasil.
Pada pasien dewasa, pungsi dan irigasi sinus dapat dilakukan dengan
anestesi lokal, sedang pasien anak-anak biasanya dalam anestesi umum. Terdapat
dua cara untuk melakukan pungsi sinus maksila yaitu lewat meatus inferior atau
lewat fossa canina. Kedua daerah itu mudah dicapai dan relatif sedikit mengandung
pembuluh darah.
Dengan anestesi lokal, trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus
inferior dan ditusukkan menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan
cairan garam faal steril ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali
kedalam tabung suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian infeksi
belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi intranasal.

Gambar 7. Pungsi dan irigasi sinus maksilaris


- Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
Merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak

14
radikal. Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan
yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.2,4
J. Komplikasi
a. Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling
sering adalah sinusitis ethmoid kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul adalah edema palpebral, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
thrombosis sinus kavenosus.2
b. Kelainan intracranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis
sinus kavenosus.2
c. Osteomyelitis dan abses subperiostal
Akibat sinus frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.2,4
d. Kelainan paru
Ada nya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitisnya disembuhkan.2,4
K. Pencegahan
a. Menghindari penularan infeksi saluran pernapasan atas dengan menjaga kebiasaan cuci
tangan yang ketat dan menghindari orang-orang yang menderita pilek atau flu.
b. Disarankan mendapatkan vaksinasi influenza tahunan untuk membantu mencegah flu
dan infeksi berikutnya dari saluran pernapasan bagian atas.
c. Pengurangan stres dan diet yang kaya antioksidan terutama buah-buahan segar dan
sayuran berwarna gelap, dapat membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh.
d. Rencana serangan alergi musiman.
- Jika infeksi sinus disebabkan oleh alergi musiman atau lingkungan, menghindari
alergen sangat penting. Jika tidak dapat menghindari alergen, obat bebas atau obat

15
resep dapat membantu. OTC antihistamin atau semprot dekongestan hidung dapat
digunakan untuk serangan akut.
- Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat antihistamin
yang tidak sedasi (non sedative) selama bulan musim-alergi.
- Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim alergi.
Menutup jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat digunakan untuk
menyaring alergen serta penggunaan humidifier juga dapat membantu.
- Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam mengurangi
atau menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan dikelola oleh ahli alergi secara
teratur selama 3 sampai 5 tahun, tetapi sering terjadi pengurangan remisi penuh
gejala alergi selama bertahun-tahun.
e. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan:
- Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan supaya sekresi
hidung tipis.
- Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga saluran
hidung agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius. Menghirup uap dari
semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap juga dapat membantu.
- Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan semprotan
dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga bagian sinus agar
terbuka dan sering menggunakan saline nasal spray selama penerbangan.
F. Prognosis
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,
sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang
dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan
tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan
sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan
yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %.
Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi
kembali.2,4

16
BAB III

KESIMPULAN

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi
virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis
akut, subakut, dan kronis. Rinosinositis maksilaris merupakan rinosinusitis yang sering dijumpai.
Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu. Hidung tersumbat disertai rasa nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorok. Penciuman terganggu dan ada
perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.

Pada pemeriksaan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi
anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus
di nasofaring (post nasal drip). Pemeriksaan Penunjang seperti foto rontgen posisi waters dan CT-
Scan dapat membantu kita dalam menegakan diagnosis.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Augesti G, Oktarlina RZ, Imanto M. Sinusitis maksilaris sinistra akut et causa dentogen.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 2016.
2. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. h.127-130.
3. Selvanti, Kristyono I. Patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2014.
4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Dalam: Buku ajar penyakit
tht. Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.
5. Husni T. Gambaran Transiluminasi terhadap penderita sinusitis maksilaris dan sinusitis
frontalis di poli tht rsud dr. zainoel abiding. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala; 2012.
6. Mark A. Zacharek, Preeti N. Malani, Michael S. Benninger. An approach to the diagnosis
and management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005. Diunduh dari
informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271 . 14 Novermber 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai