Anda di halaman 1dari 134

BAB II

PEMBAHASAN

A. Deteksi dini terhadap komplikasi dan kelainan pada ibu bersalin


Pemeriksaan dan pengawasan terhadap ibu hamil sangat perlu
dilakukan secara teratur. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan seoptimal
mungkin fisik dan mental ibu dan anak selama dalam kehamilan,persalinan
dan nifas sehingga didapatkan ibu dan anak yang sehat. Selain itu juga untuk
mendeteksi dini adanya kelainan, komplikasi dan penyakit yang biasanya
dialami oleh ibu hamil sehingga hal tersebut dapat dicegah ataupun diobati.
Dengan demikian maka angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi dapat
berkurang.
1. Pemeriksaan Kehamilan Dini (Early ANC Detection)
Idealnya wanita yang merasa hamil bersedia untuk memeriksakan
diri ketika haidnya terlambat sekurang-kurangnya 1 bulan. Dengan
demikian, jika terdapat kelainan pada kehamilannya tersebut akan lekas
diketahui dan segea dapat diatasi. Oleh karena itu, setiap wanita hamil
sebaiknya melakukan kunjungan antenatal sedikitnya 1 kali pada
trimester 1 ( sebelum minggu ke 14 ). Pemeriksaan yang dilakukan pada
kehamilan dini, yaitu :
a. Anamnesa
Anamnesa adalah tanya jawab antara penderita dan pemeriksa.
Dari anamnesa ini banyak keterangan yang diperoleh guna
membantu menegakkan diagnosa dan prognosa kehamilan.
1) Anamnesa Sosial ( biodata dan latar belakang sosial )
2) Anamnesa Keluarga
3) Anamnesa Medik
4) Anamnesa Haid
5) Anamnesa Kebidanan

1
b. Pemeriksaan Umum
1) Tinggi badan
Pada wanita hamil yang pertama kali memeriksakan perlu
diukur tinggi badannya. Seorang wanita hamil yang terlalu
pendek, yang tinggi badannya kurang dari 145 cm tergolong
resiko tinggi karena kemungkinan besar persalinan berlangsung
kurang lancar. Perbandingan tinggi dan berat badan memberi
gambaran mengenai keadaan gizi dan balita.
2) Berat badan
Pada tiap pemeriksaan wanita hamil baik yang pertama
kali atau ulangan, berat badan perlu ditimbang. Kenaikan berat
badan yang mendadak dapat merupakan tanda bahaya
komplikasi kehamilan yaitu preeklampsi. Dalam trimester I
berat badan wanita hamil biasanya belum naik bahkan biasanya
menurunkarena kekurangan nafsu makan. Dalam trimester
terakhit terutama karena pertumbuhan janin dan uri berat badan
naik sehingga pada akhir kehamilan berat badan wanita hamil
bertambah kurang lebih 11 kg dibanding sebelum hamil. Pada
trimester terakhir berat badan kurang lebih 0.5 kg seminggu, bila
penambahan berat badan tiap minggu lebih dari 0.5 kg harus
diperhatikan kemungkinan preeklampsi.
3) Tanda-tanda vital
Dalam keadaan normal tekanan darah daloam kehamilan
trimester terakhir sistolik tidak melebihi 140 mmHg, dan
diastolik tidak melebihi 90 mmHg. Bila terdapat tekanan darah
melebihi diatas maka kemungkinan adanya preeklampsi.
4) Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan inspeksi. Pemeriksaan ini meliputi seluruh bagian
kepala dan leher. Jika pada pemeriiksaan mata sklera ikterik dan
konjungtiva anemis maka kemungkinan anemia.

2
5) Pemeriksaan payudara
Pada wanita hamil payudara terlihat besar dan tegang serta
sedikit nyeri. Hal ini karena pengaruh estrogen dan progesteron
yang merangsang duktus dan alveoli payudara. Pemeriksan
payudara dengan cara palpasi meliputi bentuk dan ukuran
payudara, putting susu menonjol atau tidak, adanya retraksi,
masa dan pembesaran pembuluh limfe.
6) Pemeriksaan jantung, paru dan organ dalam tubuh lainnya
7) Pemeriksaan abdominal
8) Pemeriksaan abdominal dilakukan dengan palpasi. Dari
pemeriksaan ini diperoleh mengenai ukuran dan bentuk uterus.
9) Pemeriksan genetalia
Untuk memeriksa genetalia biasanya dengan pemeriksaan
ginekologi. Pada pemeriksaan ini vulva, vagina dan porsio
diperiksa dan dilihat inspekulo.
10) Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya
varises dan oedema.
c. Pemeriksaan laboratorium
Test laboratorium perlu dilakukan pada ibu hamil. Pemeriksan
ini ditujukan untuk memeriksa golongan darah, Hb, protein urine,
dan glukosa urine. Pemeriksaan urine pada awal kehamilan bertujuan
untuk mengetahui adanya kehamilan. Selain itu pemeriksaan urin
juga bertujuan untuk mengetahui adanya protein urine dan glukosa
urine. Protein dalam urine merupakan hasil kontaminasi dair vagina
atau dari infeksi saluran kencing atau penyakit ginjal. Pada saat
hamil jika dihubungkan dengan hipertensi dan oedem, hal ini akan
menjadi tanda serius dari preeklampsi. Untuk glukosa urin
berhubungan dengan diabetes.
2. Kontak Dini Kehamilan Trimester I
Pada trimester I, menurunnya keinginan untuk melakukan
hubungan seksual sangat wajar. Apabila dalam anamnesis ada riwayat

3
abortus sebelum kehamilan yang sekarang, sebaiknya koitus ditunda
sampai kehamilan 16 minggu. Pada waktu itu plasenta telah terbentuk
serta kemungkinan abortus menjadi lebih kecil. Pada umumnya koitus
diperbolehkan pada masa kehamilan jika dilakukan dengan hati hati.
Pada akhir kehamilan, jika kepala sudah masuk panggul koitus sebaiknya
dihentikan karena dapat menimbulkan perasaan sakit dan perdarahan.
3. Pelayanan ANC berdasarkan kebutuhan individu.
Pelayanan ANC yang diberikan petugas kesehatan kepada setiap
ibu hamil berbeda – beda tergantung dari kebutuhan dan kondisi dari
setiap individunya. Misalnya persetujuan ANC yang diberikan terhadap
ibu hamil dengan hipertensi tentunya akan berbeda dengan pelayanan
yang diberikan kepada ibu hamil dengan varises.
Pada ibu hamil dengan hipertensi sebaiknya dilakukan pemantauan
tekanan darah, urin, dan kondisi janin setiap minggunya. Anjurkan
kepada ibu untuk mentaati pemeriksaan antenatal yang teratur dan jika
perlu dikonsultasikan kepada ahli. Selain itu anjurkan ibu pula untuk
cukup istirahat menjauhi emosi dan jangan bekerja terlalu berat. Pada
pola nutrisi sebaiknya ibu dianjurkan untuk diet tinggi protein rendah
hidrat arang, rendah lemak, dan rendah garam. Hal ini bertujuan untuk
mencegah pertambahan berat badan yang agresif.
Pengawasan terhadap janin harus lebih teliti, disamping
pemeriksaan biasa, dapat dilakukan pemeriksaan monitor janin lainnya
seperti elektrokardiografi fetal, ukuran biparietal (USG), Penentuan kadar
estriol, amnioskopi, pH darah janin, dan sebagainya.
Pengakhiran kehamilan baik yang muda maupun yang sudah cukup
bulan harus dipikirkan bila ada tanda – tanda hipertensi ganas (tekanan
darah 200/120 atau pre-eklamsi berat). Apalagi bila janin telah
meninggal dalam kandungan pengakhiran kehamilan ini sebaikanya
dirundingkan antar disiplin : dengan ahli penykit dalam ; apakah ada
ancaman terhadap jiwa ibu.
Sedangkan pada ibu hamil dengan varises pelayanan ANC yang
diberikan antara lain :

4
a. Anjuran ibu untuk jangan berdiri atau duduk terlalu lama dan
jangan memakai ikat pinggang terlalu kencang.
b. Anjurkan kepada ibu supaya jalan – jalan dan senam hamil untuk
memperlancar peredaran darah.
c. Anjurkan ibu untuk memakai kaos kaki atau pembalut tungkai
elastis.
d. Dapat diberikan obat – obatan : Venosan, Glyvenol, Venoruton,
dan Varemoid.
4. Skrining untuk deteksi dini.
a. USG
USG merupakan suatu media diagnostik dengan menggunakan
gelombang ultrasonik untuk mempelajari struktur jaringan
berdasarkan gambaran ecko dari gelombang ultrasonik.
Pemeriksaaan USG saat ini dipandang sebagai metode pemeriksaan
yang aman.
Pemeriksaan USG pada kehamilan normal usia 5 minggu
struktur kantong gestasi intrauterin dapat dideteksi dimana
diameternya sudah mencapai 5-10 mm. Jika dihubungkan dengan
kadar HCG pada saat itu kadarnya sudah mencapai 6000-6500 mlU/
ml. Dari kenyataan ini bisa juga diartikan bahwa kadar HCG yang
lebih dari 6500 mlU/ ml tidak dijumpai adanya kantong gestasi
intrauterin, maka kemungkinan kehamilan ektopik.
Gambaran USG kehamilan ektopik sangat bervariasi,
tergantung pada usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamiulan
(ruptura, abortus) serta banyak dan lamanya perdarahan intra
abdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa
ditegakkan jika terlihat kantong gestasi berisi janin hidup yang
letaknya diluar kavum uteri.
Pada kehamilan 7 minggu diameter kantong gestasi telah
mencapai 25 mm. Panjang embrio mencapai 10 mm dan menjadi
lebih mudah dilihat. Struiuktur kepala sudah dapat dibedakan dari
badan. Selain denyut jantuing mungkin juga dapat dideteksi adanya

5
gerakan embrio yang dapat dirangsang dengan melakukan perkusi
pada dinding perut. Jika tidak ada tanda-tanda kehidupan seperti
yang telah disebutkkan maka kemungkinan terjadi miss abortion.
Jika dijumpai lebih dari 1 embrioyang menunjukkan tanda-tanda
kehidupan maka kemungkinan kehamilan multiple.
Pada kehamilan 8 minggu kantong gestasi telah berdiameter 30
mm. Struktur embrio dapat dilihat lebih jelas lagi. Sering kali terlihat
kuning telur dalam ( yolk salk ) berupa struktur vasikuler
berdiameter kira-kira 5 mm yang letaknya diluar selaput amnion.
Jika tidak dijumpai adanya struktur embrio dan kantong kuning telur
maka kemungkinan kehamilan anembrionik.
B. Polihidramnion, oligo hidramnion, KPSW
1. Oligohidramnion
a. Pengertian
Oligohidramnion adalah jumlah cairan amnion yang terlalu
sedikit. Saat kehamilan cukup bulan, jumlah cairan amnion adalah
sekitar 300 – 500 ml, tetapi jumlah tersebut dapat berfariasi dan
bahkan dapat lebih sedikit dari jumlah tersebut. Ketika didiaknosis
pada pertengahan pertama kehamilan, kelainan ini sering berkaitan
denga agenesis renal (tidak adanya ginjal) atau sindro potter, yaitu
bayi juga menderita hipoplasia pulmoner.
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban
kurang dari normal,yaitu kurang dari 500cc. Oligohidramnion adalah
keadaan jika air ketuban kurang dari 500cc. Ada beberapa definisi
oligohidramnion yang dipakai, diantaranya :
1) Berkurangnya volume air ketuban (VAK)
2) Volumenya kurang dari 500 cc saat usia 32-36 minggu
3) Ukuran satu kantong (kuadran) < 2 cm
4) Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < presentil kelima

6
b. Etiologi
Oligohidramnion berkaitan dengan kelainan ginjal janin,
trisomi 21 atau 13, atau hipoksia janin. Penyebab rendahnya cairan
ketuban seperti dikutip dari Americanpregnancy.org, adalah :
1) Adanya masalah dengan perkembangan ginjal atau saluran
kemih bayi yang menyebabkan produksi air seninya sedikit, hal
ini akan membuat cairan ketuban rendah.
2) Adanya masalah pada plasenta, karena jika plasenta tidak
memberikan darah dan nutrisi yang cukup untuk bayi akan
memungkinkan ia untuk berhenti mendaur ulang cairan.
3) Ada kebocoran atau pecahnya dinding ketuban yang membuat
air ketuban keluar dari rahim.
4) Usia kehamilan sudah melewati batas, hal ini menyebabkan
turunnya fungsi plasenta yang membuat cairan ketuban
berkurang.
5) Adanya komplikasi pada sang ibu, misalnya dehisrasi,
hipertensi, pre-eklamsia, diabetes dan hipoksia kronis.
Selain itu, penyebab Oligohidramnion dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
1) Fetal :
a) Kromosom
b) Kongenital
c) Hambatan pertumbuhan janin dalam Rahim

7
d) Kehamilan postterm
e) Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)
2) Maternal :
a) Dehidrasi
b) Insufisiensi uteroplasental
c) Preeklamsia
d) Diabetes
e) Hypoxia kronis
3) Induksi Obat :
Indomethacin and ACE inhibitors Idiopatik
c. Patofisiologi
Secara umum, oligohidramnion berhubungan dengan :
1) rupture membrane amnion / rupture of amniotic membranes
(ROM)
2) gangguan congenital dari jaringan fungsional ginjal atau
obstructive uropathy.
3) keadaan-keadaan yang mencegah pembentukan urin atau
masuknya urin ke kantung amnion.
4) fetal urinary tract malformations: seperti renal agenesis, cystic
dysplasia, dan atresia uretra.
5) reduksi kronis dari produksi urin fetus sehingga menyebabkan
penurunan perfusi renal.
6) Sebagai konsekuensi dari hipoksemia yang menginduksi
redistribusi cardiac output fetal
7) Pada growth-restricted fetuse, hipoksia kronis menyebabkan
kebocoran aliran darah dari ginjal ke organ-organ vital lain
8) Anuria dan oliguria
d. Gambaran Klinis
Beberapa gejala klinis yang timbul pada kasus oigohidramnion
yaitu :
1) Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada
ballotemen

8
2) Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
3) Sering berakhir dengan partus prematurus
4) Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan
terdengar lebih jelas.
5) Persalinan lebih lama dari biasanya.
6) Sewaktu his akan sakit sekali.
7) Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada
yang keluar.
Selain itu terdapat beberapa factor-faktor yang sangat berisiko
pada wanita yang dapat meningkatkan insidensi kasus
oligohidramnion yaitu:
1) Anomali kongenital ( misalnya : agenosis ginjal,sindrom patter )
2) Retardasi pertumbuhan intra uterin
3) Ketuban pecah dini ( 24-26 minggu )
4) Sindrom pasca maturitas
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang biasa dilakukan :
1) USG ibu (menunjukkan oligohidramnion serta tidak adanya
ginjal janin atau ginjal yang sangat abnormal)
2) Rontgen perut bayi
3) Rontgen paru-paru bayi
4) Analisa gas darah.
f. Akibat Oligohidramnion
1) Bila terjadi pada permulaan kehamilan maka janin akan
menderita cacat bawaan dan pertumbuhan janin dapat terganggu
bahkan bisa terjadi partus prematurus yaitu picak seperti kertas
kusut karena janin mengalami tekanan dinding Rahim.
2) Jika terjadi pada trimester kedua kehamilan, akan amat
mengganggu tumbuh kembang janin.
3) Bila terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut akan terjadi cacat
bawaan seperti club-foot, cacat bawaan karena tekanan atau
kulit jadi tenal dan kering (lethery appereance).

9
4) Jika terjadi menjelang persalinan, meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi selama kelahiran. Seperti tidak efektifnya
kontraksi rahim akibat tekanan di dalam rahim yang tidak
seragam ke segala arah. Buntutnya, persalinan jadi lama atau
malah “berhenti”.
g. Tindakan Konservatif
1) Tirah baring.
2) Hidrasi.
3) Perbaikan nutrisi.
4) Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin,
NST, Bpp).
5) Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion.
Amnion infusion.
6) Induksi dan kelahiran.
h. Prognosis
Prognosis janin buruk pada oligohidramnion awitan dini dan
hanya separuh janin yang hidup. Sering terjadi persalinan premature
dan kematian neonatus.Oligohidramnion dilaporkan berkaitan
dengan pelekatan antara amnion dan bagian-bagian janin serta dapat
menyebabkan cacat serius termasuk amputasi. Selain itu,dengan
tidak adanya cairan amnion, janin mengalami tekanan dari semua
sisi dan menunjukkan penampilan yang aneh disertai cacat
musculoskeletal seperti jari tubuh.
i. Diagnosis Oligohidramnion
Untuk mengetahui oligohidramnion dengan jelas dapat
dilakukan tindakan “amnioskopi” dengan alat khusus amnioskop.
Indikasi amnioskopi adalah :
1) Usia kehamilan sudah di atas 37 minggu
2) Terdapat preeclampsia-berat atau eklampsia
3) Bad obstetrics history
4) Terdapat kemungkinan IUGR
5) Kelainan ginjal.

10
6) Kehamilan post date
2. Polihidramnion
a. Definisi
Polihidramnion adalah penumpukan air ketuban yang berlebihan
selama masa kehamilan. Kondisi abnormal ini membutuhkan
pemantauan secara rutin dari dokter agar terhindari dari
kemungkinan komplikasi.

b. Etiologi
1) Gangguan kesehatan pada janin, contohnya adanya kelainan
pada jantung, saluran pencernaan, sistem saraf pusat, serta
sindrom Beckwith-Wiedemann. Kondisi-kondisi ini
menyebabkan janin tidak bisa menyerap dan meminum air
ketuban dengan jumlah yang seharusnya.
2) Ibu hamil yang mengidap diabetes.
3) Mengandung anak kembar, khususnya kembar identik.
4) Berbagai infeksi kongenital, misalnya toksoplasma atau
rubella.
5) Penumpukan cairan pada salah satu bagian tubuh janin
(hydrops fetalis). Kondisi ini bisa disebabkan oleh perbedaan
jenis rhesus pada ibu dan janin.
6) Janin yang mengalami kekurangan sel darah merah atau
anemia.
7) Ibu yang menggunakan obat-obatan terlarang.
8) Metabolisme yang tidak normal pada sang ibu.

11
c. Diagnosis dan pengobatan
Kondisi ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan rutin
yang dijalani oleh ibu hamil, khususnya USG. Jika dokter menduga
pasien mengalami polihidramnion, dokter juga akan menganjurkan
tes darah untuk memastikan diagnosis.
Apabila Anda mengalami polihidramnion, dokter akan
menentukan langkah-langkah pengobatan berdasarkan pada tingkat
keparahan dan penyebabnya. Kondisi polihidramnion yang ringan
umumnya akan hilang dengan sendirinya tanpa penanganan khusus.
Anda biasanya akan disarankan untuk beristirahat sebanyak mungkin
dan menjalani pemantauan yang lebih rutin.
Sementara, kasus yang parah membutuhkan langkah
penanganan tertentu berdasarkan penyebabnya. Contohnya adalah
sebagai berikut:
1) Polihidramnion akibat diabetes yang diidap sang ibu akan
ditangani dengan mengendalikan kadar gula darah secara akurat,
misalnya dengan menjaga pola makan atau pemberian insulin.
2) Pemberian prostaglandin synthetase inhibitors (khususnya
indometacin) untuk mengurangi produksi urine janin dan aliran
darah pada ginjal janin.
3) Pengeluaran air ketuban dengan bantuan USG, terutama jika
pasien mengalami gejala-gejala seperti disebutkan di atas.
Penanganan ini biasanya dijalani lebih dari satu kali.
4) Ablasi dengan laser pada polihidramnion yang disebabkan oleh
kehamilan anak kembar identik, terutama jika terdeteksi Twin-
to-twin transfusion syndrome (TTTS). Prosedur ini digunakan
untuk menutup sebagian saluran plasenta yang menghubungkan
kedua anak kembar.
5) Prosedur induksi atau caesar jika polihidramnion mengancam
keselamatan janin.
3. KPSW
a. Definisi

12
Ketuban pecah sebelum waktunya adalah pecahnya ketuban
sebelum in partu, yaitu bila pembukaan primi kurang dari 3 cm dan
pada multipara kurang dari 5 cm (Sarwono Prawirohardjo, 2005)
KPSW adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi proses
persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau
kurang waktu (Cunningham, Mc. Donald, gant, 2002).
KPSW adalah rupturnya membrane ketuban sebelum
persalinan berlangsung (Manuaba, 2002)
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya
ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada
akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD
preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang
memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum
waktunya melahirkan.

b. Etiologi
Penyebab dari Premature Rupture of Membrane (PRM) tidak /
belum jelas, maka preventif tidak dapat dilakukan, kecuali usaha
menekan infeksi.
c. Penanganan
1) Konservatif
a) Rawat di RS

13
b) Berikan antibiotika ( ampisilin 4 x 500 mg atau eritomisin
bila tak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg
selama 7 hari
c) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum in partu, tidak
ada infeksi, tes busa negative : beri deksametason, observasi
tanda-tanda infeksi dan kesejateraan janin. Terminasi pada
kehamilan 37 minggu
d) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada
infeksi , berikam tokolitik ( salbutamol ), deksametason dan
induksi sesudah 24 jam
e) Jika usia kehamilan 32-37, ada infeksi, beri antibiotic dan
lakukan induksi.
f) Nilai tanda-tanda infeksi ( suhu, lekosit, tanda-tanda infeksi
interauterin )
g) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk
memacu kematangan paru janin dan kalau memungkinkan
periksa kadar lesitin dan spingiomielin tiap minggu. Dosis
betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari,
deksametaon IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
2) Aktif
a) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, induksi
dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula
diberikan misoprostol 50 μg intravaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali
b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotic dosis tinggi
dan persalinan diakhiri : Bila skor pelvic > 5, induksi
persalinan
C. Kala I
I. Partus lama
1. Definisi Partus Lama
Istilah partus lama, ada juga yang menyebutnya dengan partus
kasep dan partus terlantar.Persalinan pada primi biasanya lebih lama 5-6

14
jam dari pada multi.Bila persalinan berlangsung lama, dapat
mmenimbulkan kompilikasi-komplikasi baik terhadap ibu maupun
terhadap anak, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada
primi, dan lebih dari 18 jam pada multi.
Partus kasep menurut Harjono merupakan fase terakhir dari suatu
partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-
gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksi dan Kematian
Janin Dalam Kandungan (KJDK).(Mochtar, 1998).
Partus lama adalah persalinan dengan tidak ada penurunan kepala >
1 jam untuk nulipara dan multipara. (Sarwono, 2008)
Sebagian besar partus lama menunjukan pemanjangan kala I.
Adapun yang menjadi penyebabnya yaitu, serviks gagal membuka penuh
dalam jangaka waktu yang layak. (Harry, 2010)
Harus pula kita bedakan dengan partus tak maju, yaitu suatu
persalinan dengan his yang adekuat yang tidak menunjukkan kemajuan
pada pembukaan serviks, turunnya kepala dan putaran paksi selama 2
jam terakhir. Persalinan pada primi tua biasanya lebih lama. Pendapat
umum ada yang mengatakan bahwa persalinan banyak terjadi pada
malam hari, ini disebabkan keyataan bahwa biasanya persalinan
berlangsung selama 12 jam atau lebih, jadi permulaan dan berakhirnya
partus biasanya malam hari. Insiden partus lama menurut penelitian
adalah 2,8-4,9%.
2. Etiologi Partus Lama
Sebab-sebab terjadinya partus lama adalah multikomplek dan tentu
saja bergantung pada pengawasan selagi hamil, pertolongan persalinan
yang baik dan penatalaksanaannya. Faktor-faktor penyebab antara lain :
a. Kelainan letak janin
b. Letak sungsang
c. Letak lintang
d. Kelainan-kelainan panggul
e. Pimpinan partus yang salah

15
f. Janin besar atau ada kelainan kongenital.
g. Hidrosefalus
h. Makrosemia
i. Anensefalus
j. Kembarsiam
k. Primitua
l. Perut gantung, grande multi.
m. Ketuban pecah dini
3. Gejala klinik partus lama
d. Pada ibu
Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat,
pernafasan cepat, dan meteorismus. Di daerah lokal sering dijumpai
lingkaran Bandle tinggi, edema vulva ,edema serviks, cairan ketuban
berbau, terdapat mekonium.
e. Pada bayi
1) Denyut jantung janin cepat/hebat/tidak teratur, bahkan negatif.
2) Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijauan, berbau.
3) Caput sucsadaneum yang besar
4) Moulage kepala yang hebat
5) Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK)
6) Kematian Janin Intra Partal (KJIP). (Mochtar, 1998).
4. Tanda Dan Gejala Partus Lama
a. Ibu tampak kelelahan dan lemah.
b. Kontraksi tidak teratur tetapi kuat.
c. Dilatasi serviks lambat atau tidak terjadi.
d. Tidak terjadi penurunan bagian terbawah janin, walaupun kontraksi
adekuat.
e. molding sutura tumpang tindih dan tidak dapat diperbaiki.
5. Akibat Partus Lama
a. Ibu
Akibat untuk ibu adalah penurunan semangat, kelelahan,
dehidrasi, asidosis, infeksi dan resiko ruptura uteri.Perlunya

16
intervensi bedah meningatkan mortalitas dan
morbiditas.Ketoasidosis dengan sendirinya dapat mengakibatkan
aktivitas uterus yang buruk dan memperlama persalinan.
b. Janin
Akibat untuk janin meliputi trauma, asidosis, kerusakan
hipoksik, infeksi dan peningkatan mortalitas serta morbiditas
perinatal.
6. Penanangan Rujukan Partus Lama/Macet
a. Tujuan
Mengetahui dengan segera dan penanganan yang tepat keadaan
darurat pada partus lama/ macet
b. Pernyataan Standar
Bidan mengenali secara tepat dan dini tanda dan gejala partus
macet. Bidan akan mengambil tindakan yang tepat, memulai
perawatan, merujuk ibu dan/melaksanakan penanganan
kegawatdaruratan yang tepat.
c. Hasil
1) Mengenali secara dini gejala dan tanda partus lama serta
tindakan yang tepat
2) Penggunaan partograf secara tepat dan seksama untuk semua ibu
dalam proses persalinan
3) Penurunan kematian/kesakitan ibu/bayi akibat partus lama
4) Ibu mendapat perawatan kegawatdaruratan obstetric yang cepat
dan tepat
d. Prasyarat
1) Bidan dipanggil jika ibu sudah mulai mulas/ketuban pecah
2) Bidan sudah dilatih dengan tepat dan terampil untuk :
3) menggunakan partograf dan catatan persalinan
4) melakukan periksa dalam secara baik
5) mengenali hal-hal yang menyebabkan partus lama/macet
6) mengidentifikasi presentasi abnormal (selain vertex/presentasi
belakanag kepala) kehamilan

17
7) penatalaksanaan penting yang tepat untuk partus lama dan macet
8) Tesedianya alat untuk pertolongan persalinan DTT termasuk
beberapa pasang sarung tangan dan kateter steril/DTT
9) Tersedianya perlengkapan untuk pertolongan persalinan yang
bersih dan aman, seperti air bersih yang mengalir, sabun dan
handuk bersih, dua handuk/kain hangat yang bersih (satu untuk
mengeringkan bayi, yang lain untuk dipakai kemudian),
pembalut wanita, dan tempat plasenta. Bidan menggunakan
sarung tangan.
10) Tersedianya partograf dan Kartu Ibu, buku KIA. Partograf
digunakan dengan tepat untuk setiap ibu dalam proses
persalinan, semua perawatan dan pengamatan dicatat tepat
waktu. Tindakan tepat diambil sesuai dengan temuan yang
dicatat pada parograf
e. Proses
1) Bidan harus :
 Memantau dan mencatat secara berkala keadaan ibu dan
janin, his dan kemajuan persalinan pada partograf dan
catatan persalinan. Lengkapi semua komponen pada
partograf dengan cermat pada saat pengamatan dilakukan.
 Jika terdapat penyimpangan dlam kemajuan persalinan
(misalnya garis waspada pada partograf tercapai, his terlalu
kuat/cepat/lemah sekali, nadi melemah dan cepat, atau DJJ
menjadi cepat/tidak teratur/lambat), maka lakukan palpasi
uterus dengan teliti untuk mendeteksi gejala-gejala dan
tanda lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl
 Jaga ibu agar mendapat hidrasi yang baik salaam proses
persalinan, anjurkan ibu agar sering minum
 Menganjurkan ibu untuk berjalan-jalan, dan merubah posisi
selama proses persalinan dan kelahiran. Jangan biarkan ibu
berbaring terlentang selama proses persalinan dan kelahiran

18
 Mintalah ibu sering buang air kecil selama proses
persalinan (sedikitnya setiap 2 jam). Kandung kemih yang
penuh akan memperlambat penurunan bayi dan membuat
ibu tidak nyaman. Pakailah kateter hanya bil aibu tidak bisa
kencing sendiri dan kandung kemih dapat dipalpasi. Hanya
gunakan kateter dari karet. (hati-hati bila memasang kateter,
sebab uretra mudah terluka pada partus lama/ macet)
 Amati tanda-tanda partus macet dan lama dengan
melakukan palpasi abdomen, menilai penurunan janin, dan
periksa dalam, menilai penyusupan janin, dan pembukaan
serviks paling sedikit setiap 4 jam selama fase laten dan
aktif persalinan. Catat semua temuan pada partograf. Lihat
standar 9 untuk melihat semua pengamatan yang diperlukan
untuk partograf
 Selalu amati tanda-tanda gawat ibu atau gawat janin, rujuk
dengan cepat dan tepat jika hal ini terjadi
 Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
kemudian keringkan hingga betul-betul kering dengan
handuk bersih setiap kali sebelum dan sesudah melakukan
kontak dengan pasien (kuku harus dipotong pendek dan
bersih). Gunakan sarung tangan DTT/steril untuk semua
periksa dalam. Selalu menggunakan teknik aseptic pada saat
melakukan periksa dalam
 Periksa dengan teliti vagina dan kondisinya (jika vagina
panas/gejala infeksi dan kering/gejala ketuban minimal,
maka menunjukkan ibu dalam keadaan bahaya).Periksa juga
letak janin, pembukaan seviks serta apakah serviks tipis,
tegang, atau mengalami edema.Coba untuk menentukan
posisi dan derajat penurunan kepala.Jika ada kelainan atau
bila garis waspada pada partograf dilewati persiapkan
rujukan yang tepat.
2) Rujuk

19
 Rujuk dengan tepat untuk fase laten persalinan yang
memanjang (0-4 cm): berlangsung lebih dari 8 jam
 Rujuk dengan tepat untuk fase aktif yang memanjang,
kurang adri 1cm/jam dan garis waspada pada partograf telah
dilewati
 Rujuk dengan tepat untuk kala II persalinan yang
memanjang :
 2 jam meneran untuk primipara
 1 jam meneran untuk multipara
 Jika ada tanda dan gejala persalinan macet, gawat janin,
atau tanda bahaya pada ibu, maka ibu dibaringkan ke sisi
kiri dan berikan cairan IV RL. Rujuk ke rumah sakit.
Damping ibu untuk menjaga agar keadaan ibu tetap baik.
Jelaskan kepada ibu, suami/keluarganya apa yang terjadi
dan mengapa ibu perlu dibawa ke rumah sakit
 Jika dicurigai adanya rupture uteri (his tiba-tiba berhenti
atau syok berat), maka rujuk segera. Berikan antibiotika dan
cairan IV (RL), iasanya diberikan ampisilin1 gr IM, diikuti
pemberian 500mg setiap 6 jam secara IM, lalu 500mg per
oral setiap 6 jam setelah bayi lahir
 Bila kondisi ibu/bayi buruk, dan pembukaan serviks sudah
lengkap, maka bantu kelahiran bayi dengan ekstraksi
vacuum (lihat standar 19)
 Bila keterlambatan terjadi sesudah kepal lahir (distosia
bayi):
 Lakukan episiotomy
 Dengan ibu dalam posisi berbaring terlentang, minta ibu
melipat kedua paha, dan menekuk lutut kea rah dada
sedekat mungkin (minta dua orang untuk membantu,
mungkin suami atau anggota keluarga lainnya, untuk
menekan lutu ibu dengan mantap kearah dada. Maneuver
Mc Robert)

20
 Gunakan sarung tangan DTT/ steril
 Lakukan tarikan curam ke bawah untuk melahirkan bahu
depan. Hindarkan tarikan berlebihan pada kepal akarena
mungkin akan melukai bayi. Pada saat melakukan tarikan
pada kepala, minta seseorang untuk melakukan tekanan
suprapubis ke bawah untuk membantu kelahiran
bahu.Jangan pernah melakukan dorongan pada fundus.
Pemberian dorongan pada fundus akan dapat
mempengaruhi bahu lebih jauh dan menyebabkan rupture
uteri
3) Jika bayi tetap tidak lahir :
 Dengan menggunakan sarung tangan DTT/steril, masukkan
satu tangan ke dalam vagina
 Berikan tekanan pada bahu anterior ke arah sternum bayi
untuk mengurangi diameter bahu
4) Kemudian jika bahu masih tetap tidak lahir
 Masukkan satu tangan ke dalam vagina
 Pegang tulang lengan atas yang berada pada posisi
posterior, lengan fleksi dibagian siku, tempatkan lengan
melintang di dada. Cara ini akan memberikan ruang untuk
bahu anterior bergerak di bawah simpisis pubis
II. Rupture Uteri
1. Definisi Ruptura Uteri
Ruptur uteri merupakan salah satu ben¬¬tuk perdarahan yang
terjadi pada ke¬ha¬mil¬an lanjut dan persalinan, selain pla¬senta
pre¬via, solusio plasenta, dan gangguan pem¬¬¬bekuan
darah.Batasan perda¬rah¬an pa¬¬da kehamilan lanjut berarti
per¬da¬rahan pada kehamilan setelah 22 ming¬¬gu sampai sebelum
bayi dilahirkan, se¬dangkan per¬¬darahan pada persalinan adalah
perda¬rah¬¬an intrapartum sebelum kelahiran.
Menurut Chapman, 2006;h.288) Ruptur uteri adalah robekan di
dinding uterus, dapat terjadi selama periode antenatal saat induksi,

21
selama persalinan dan kelahiran bahkan selama stadium ke tiga
persalinan. Ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding
Rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium uteri.

2. Jenis Ruptura Uteri dan Macam Robekannya


a. Jenis ruptur uteri:
1) Ruptura uteri spontan
a) Terjadi spontan dan sebagian besar pada persalinan
b) Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga
menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang
berlebihan
2) Ruptur uteri traumatik
a) Terjadi pada persalinan
b) Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi
forsep, ekstraksi vakum, dll
3) Ruptur uteri pada bekas luka uterus
a) Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas
operasi pada uterus.
b. Pembagian ruptur uteri menurut robekannya dibagi menjadi :
1) Ruptur uteri kompleta
a) Jaringan peritoneum ikut robek
b) Janin terlempar ke ruangan abdomen

22
c) Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d) Mudah terjadi infeksi
2) Ruptura uteri inkompleta
a) Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b) Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
c) Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d) Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
3. Tanda dan Gejala Ruptur Uteri
a. Nyeri tajam, pada abdomen bawah saat kontraksi hebat
memuncak.
b. Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri
c. Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )
d. Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan
darah menurun dan nafas pendek ( sesak )
e. Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul
f. Bagian janin lebih mudah dipalpasi
g. Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun
menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih
didengar
h. Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan
disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ).
i. Kemungkinan terjadi muntah
j. Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen
k. Nyeri berat pada suprapubis
l. Kontraksi uterus hipotonik
m. Perkembangan persalinan menurun
n. Perasaan ingin pingsan
o. Hematuri ( kadang-kadang kencing darah ) karena kandung
kencing teregang atau tertekan
p. Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik
atau kontraksi mungkin tidak dirasakan

23
q. DJJ mungkin akan hilang karena anak mengalami hipoksia,
yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan
4. Penyebab terjadinya rupture uteri
Ruputur uteri bisa disebabkan karena :
a. Kecelakaan, seperti jatuh dan tabrakan
b. Disproporsi janin
c. Disproporsi panggul
d. Partus macet
e. Trauma
f. Parut uterus (seksio sesaria)
g. Abortus sebelumnya
h. Miomektomi
5. Penanganan rupture uteri
a. Berikan segera cairan isotonik (ringer laktat atau garam
fisiologis) 500 ml dalam 15-20 menit dan siapkan laparotomi
b. Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta,
fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke
rumah sakit rujukan
c. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan reparasi uterus
d. Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkhawatirkan lakukan histerektomi
e. Antibiotika dan serum anti tetanus.
III. Tali pusat menumbung
1. Definisi
Tali Pusat Menumbung adalah keadaan tali pusat ada di
samping atau di bawah bagian terbawah janin. Meskipun merupakan
komplikasi yang jarang – kurang dari 1 persen (0.3 sampai 0.6
persen) – tetapi artinya besar sekali oleh karena angka kematian
janin yang tinggi dan bahaya untuk ibu bertambah besar akibat
tindakan operatif yang digunakan dalam penanganannya. Penekanan
tali pusat antara bagian terbawah janin dengan panggul ibu

24
mengurangi atau menghentikan aliran darah ke janin dan bila tidak
dikoreksi akan menyebabkan kematian bayi.

2. Klasifikasi tali pusat menumbung


Presentasi tali pusat. Ketuban utuh. Tali pusat menumbung.
Ketuban pecah. Tali pusat menempati salah satu dari tiga
kedudukan:
a. Terletak di samping bagian terbawah janin di PAP.
Penumbungan yang tidak begitu nyata seperti ini lebih sering
dari yang umumnya diduga. Keadaan ini dapat menyebabkan
kematian bayi dalam persalinan tanpa meninggalkan bukti-bukti
sedikitpun pada persalinan per vaginam.
b. Turun ke vagina.
c. Melewati introitus dan ke luar dari vagina. ETIOLOGI Bila
bagian terbawah janin tidak menutup dan mengisi PAP dengan
sempurna maka ada bahaya terjadinya tali pusat menumbung.
Risikonya lebih besar pada presentasi majemuk dan bila ketuban
pecah.
3. Diagnosis tali pusat menumbung
a. Melihat tali pusat di luar vulva, da
b. Meraba tali pusat pada pemeriksaan vaginal. Oleh karena
kematian janin tinggi bila tali pusat sudah keluar melalui
introitus, harus dicari cara-cara untuk dapat menegakkan
diagnosis lebih awal.

25
4. Penanganan tali pusat menumbung
a. Bila janin sudah meninggal.
b. Bila janin diketahui abnormal (mis. anencephalus).
c. Bila janin masih sangat prematur sehingga tidak ada harapan
untuk dapat hidup. Tidak ada gunanya memberikan risiko pada
ibu.
IV. Distosia karena kelalaian presentasi dan posisi
1. Puncak kepala
a. Pengertian
Adalah apabila derajat defleksnya ringan, sehingga UUB
merupakan bagian terendah
b. Etiologi
1) Kelainan panggul
2) Kepala berbentuk bulat
3) Anak kecil/ mati
4) Kerusakan dasar panggul
c. Diagnosis
1) Pada persalinan normal :,saat melewati jalan lahir kepala
janin dalam keadaan flexi, dalam keadaan tertentu flexi
tidak terjadi, sehingga kepala defleksi.
2) Presentasi puncak kepala disebut juga presentasi sinput
terjadi bila derajat defleksinya ringan, sehingga ubun-ubun
besar merupakan bagian terendah.
3) Pada presentasi puncak kepala lingkar kepala yang melalui
jalan lahir adalah sirkumfleksia fronto oxipito dengan titik
perputaran yang berada dibawah simfisis adalah glabella.
d. Penanganan dan komplikasi
1) Penanganan :
a) Usahakan lahir pervaginam karena kira-kira 75% bisa
lahir spontan
b) Bila ada indikasi ditolong dengan vakum/ forsep
biasanya anak yang lahir didapati caput daerah UUB

26
2) Komplikasi
a) Ibu : terjadi robekan jalan lahir yang lebih luas
b) Anak : karena partus lama dan molase hebat sehingga
mortalitas anak agak tinggi
e. Mekanisme persalinan
Mekanisme persalinan sama dengan POPP, perbedaannya
: pada presentasi puncak kepala tidak terjadi fleksi kepala yang
maksimal, sedangkan lingkaran kepala yang melalui jalan lahir
adalah sirkumferensia frontooksipitalis dengan titik perputaran
yang berada dibawah simpisis adalah glabella.
2. Dahi
a. Definisi
Presentasi dahi adalah posisi kepala antara fleksi dan
defleksi, sehingga dahi merupakan bagian terendah. Posisi ini
biasanya akan berubah menjadi letak muka/ letak belakang
kepala.
b. Etiologi
1) Panggul sempit
2) Janin besar
3) Multiparitas
4) Kelainan janin (ansefalus)
5) Kematian janin intrauterine
c. Diagnosis
1) Pemeriksaan luar seperti pada presentasi muka, tapi bagian
belakang kepala tidak seberapa menonjol
2) Djj terdengar dibagian dada, disebelah yang sama dengan
bagian-bagian kecil janin
3) Pada persalinan : kepala janin tidak turun kedalam rongga
panggul bila pada persalinan sebelumnya normal
4) Periksa dalam : meraba sutura frontalis, ujung satu teraba
UUB dan ujung lain teraba pangkal hidung dan lingkaran
orbita, mulut dan dagu tidak teraba

27
d. Penanganan Dan Komplikasi
1) Penanganan :
2) Presentasi dahi dengan ukuran panggul dan janin yang
normal, tidak dapat lahir spontan pervaginam, jadi lakukan
SC (bila janin hidup). Janin mati pembukaan lengkap
kraniotomi.
3) Komplikasi :
a) Ibu : partus lama dan lebih sulit, bisa terjadi robekan
yang hebat dan rupture uteri
b) Anak : mortalitas janin tinggi
e. Mekanisme Persalinan
Kepala masuk PAP dengan sirkumferensia maksilo-
parietalis dan dengan sutura frontalis melintang/ miring. Setelah
dagu di depan dengan fosa kanina sebagai hipomoklion terjadi
fleksi sehingga UUB dan belakang kepala melewati perineum.
Kemudian terjadi defleksi sehingga mulut dan dagu lahir
dibawah simfisis. Yang menghalangi presentasi dahi untuk
menjadi presentasi muka, biasanya terjadi karena molase dan
caput sucsedaneum yang besar pada dahi waktu kepala
memasuki panggul, sehingga sulit terjadi penambahan defleksi.
3. Muka
a. Definisi
Adalah keadaan dimana kepala dalam kedudukan defleksi
maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka
merupakan bagian terendah janin menghadap kebawah.Primer
bila terjadi sejak kehamilan, sekunder bila terjadi pada proses
persalinan
b. Etiologi
1) Panggul sempit
2) Janin besar
3) Kematian intra uterin
4) Maltiparitas

28
5) Perut gantung
c. Diagnosisi
1) Tubuh janin dalam keadaan fleksi, sehingga pada
pemeriksaan luar dada akan teraba punggung.
2) Bagian kepala menonjol yaitu belakang kepala berada
disebelah yang berlawanan dengan letak dada.
3) Didaerah itu juga dapat diraba bagian-bagian kecil janin dan
djj lebih jelas
4) Periksa dalam teraba dagu, mulut hidung, pinggir orbita
d. Penanganan
1) Dagu anterior
a) Bila pembukaan lengkap :
 Lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam
 Bila kemajuan persalinan lambat lakukan
disitoksin drip.
 Bila kurang lancar lakukan forseps
b) Bila pembukaan belum lengkap
 Tidak didapatkan tanda obstruksi, lakuakn
oksitosin drip. Lakukan evaluasi persalinan sama
dengan persalinan vertex.
2) Dagu posterior
a) Bila pembukaan lengkap, lakukan penilaian penurunan
rotasi dan kemajuan persalinan, jika macet maka SC
b) Jika janin mati maka kraniotomi
e. Mekanisme Persalinan
Kepala turun melalui PAP dengan sirkumferensiatrakelo-
parietalis dan dengan dagu melintang/ miring. Setelah muka
mencapai dasar panggul terjadi PPD, sehingga dagu memutar
kedepan dan berada di bawah arkus oubis. Dengan daerah
submentum sebagai hipomoklion kepala lahir dengan gerakan
fleksi sehingga dahi, UUB, belakang kepala melewati perineum.
Setelah kepala lahir terjadi PPL dan badan janin lahir seperti

29
pada presentasi kepala. Kalau dagu berada dibelakang pada
waktu putaran dalam dagu harus melewati jarak yang lebih jauh
supaya dapat berada didepan. Kadang dagu tidak memutar
kedepan dan tetap berada dibelakang. Keadaan ini disebut posisi
mento posterior persisten dan janin tidak dapat lahir spontan,
kecuali bila janin mati atau kecil. Hal ini karena kepala sudah
berada dalam fleksi maksimal dan tidak mungkin menambah
defleksinya lagi, sehingga kepala dan bahu terjepit dalam
panggul dan persalinan tidak akan maju
4. Persisten oksipito posterior
a. Definisi
Presentasi occipito posterior adalah bagian kepala janin
yang pertama mencapai dasar panggul adalah occiput.
b. Etiologi
1) Diameter antero posterior panggul lebih panjang dari
diameter transversa
2) Segmen depan menyempit
3) Otot-otot dasar panggul yang lembek pada multipara
4) Kepala janin yang kecil dan bulat
c. Diagnosis
1) Pada persalinan : presentasi belakang kepala, kepala janin
turun melalui PAP dengan sutura sagitalis melintang/miring,
sehingga ubun-ubun kecil dapat berada dikiri melintang,
kanan melintang, kiri depan, kanan depan, kiri
belakang/kanan belakang.
2) Dalam keadaan flexi bagian yang pertama mencapai dasar
panggul adalah oksiput. Occiput akan memutar kedepan
karena dasar panggul dan muculus levator aninya membentuk
ruangan yang lebih sesuai dengan occiput.
d. Penanganan

30
1) Bila tidak ada kemajuan pada fase pengeluaran, ulangi
apakah ada obstruksi. Bila tidak ada tanda obstruksi oksitosin
drip.
2) Bila pembukaan lengkap dan kepala masuk sampai tidak
kurang 1/5 atau (0) maka E.V atau forceps
3) Bila ada tanda obstruksi/gawat janin maka SC Lakukan
pengawasan dengan seksama dengan harapan dapat lahir
sontan pervaginam
4) Tindakan baru dilakukan jika kalla II terlalu lama/ada tanda-
tanda bahaya terhadap janin
5) Pada persalinan dapat terjadi robekan perenium yang teratur
atau extensi dari episiotomi
6) Periksa ketuban. Bila intake, pecahkan ketuban
7) Bila pesisi kepala > 3/5 diatas PAP atau diatas 2 maka SC
8) Bila pembukaan serviks belum lengkap dan tidak ada tanda
obstruksi, beri oksitosin drip
V. Distosia karena kelainan tenaga / HIS: Hipotonik, hipertonik, dan his
tidak terkoordinasi
1. Definisi
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia
dapat disebabkan karena kelainan HIS (HIS hipotonik dan
hipertonik), karena kelainan mbesar anak, bentuk anak
(Hidrocefalus, kembar siam, prolaps tali pusat), letak anak (letak
sungsang dan lintang), serta karena kelainan jalan lahir.
2. Distosia karena kelainan HIS
a. Inersia Uteri (Hypotonic uterine contraction )
Adalah kelainan his dengan kekuatan yang lemah / tidak
adekuat untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong
anak keluar. Di sini kekuatan his lemah dan frekuensinya jarang.
Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang
baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat
hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia,

31
grandemultipara atau primipara, serta pada penderita dengan
keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi pada kala pembukaan
serviks, fase laten atau fase aktif, maupun pada kala
pengeluaran. Inersia uteri hipotonik terbagi dua, yaitu :
1) Inersia uteri primer
Terjadi pada permulaan fase laten. Sejak awal telah
terjadi his yang tidak adekuat ( kelemahan his yang timbul
sejak dari permulaan persalinan ), sehingga sering sulit
untuk memastikan apakah penderita telah memasuki
keadaan inpartu atau belum.
2) Inersia uteri sekunder
Terjadi pada fase aktif kala I atau kala II. Permulaan
his baik, kemudian pada keadaan selanjutnya terdapat
gangguan / kelainan. Penanganan :
a) Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi
selama kehamilan harus
b) diperhatikan.
c) Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan, dan
dijelaskan tentang, kemungkinan yang ada.
d) Teliti keadaan serviks, presentasi dan posisi,
penurunan kepala / bokong bila sudah masuk PAP
pasien disuruh jalan, bila his timbul adekuat dapat
dilakukan persalinan spontan, tetapi bila tidak berhasil
maka akan dilakukan sectio cesaria.
e) Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc
dektrosa 5% ,dimulai dengan 12 tetes
permenit,dinaikkan setiap 10-15 tetes permenit
sampai 40-50 tetes permenit.
f) Pemberian oksitosin tidak perlu terus menerus, sebab
bila tidak memperkuat HIS setelah pemberian
beberapa lama,hentikan dulu dan ibu disuruh istirahat.
Pada malam hari berikan obat penenang misalnya

32
valium10 mg dan esoknya dapat diulangi lagi
pemberian oksitosin drips.
g) Bila inersia disertai dengan disproporsi sefalopelvis,
maka sebaiknya dilakukan Secsio Sesarea
h) Bila semula HIS kuat kemudian terjadi inersia uteri
sekunder, ibu lemah dan partus berlangsung lebih dari
24 jam pada primi dan 18 jam pada multi, tidak ada
gunanya memberikan oksitosin drips, sebaiknya
partus segera diselesaikan sesuai dengan hasil
pemeriksaan dan indikasi obstetrik lainnya (ekstraksi
vakum atau forcep, atau secsio sesarea)
b. Tetania Uteri (Hypertonic uterine contraction )
Adalah HIS yang terlampau kuat dan terlalu sering
sehingga tidak ada relaksasi rahim. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya partus presipitatus yang dapat menyebabkan
persalinan diatas kendaraan, kamar mandi, dan tidak sempat
dilakukan pertolongan. Pasien merasa kesakitan karena his yang
kuat dan berlangsung hampir terus-menerus. Akibatnya
terjadilah luka-luka jalan lahir yang luas pada serviks, vagina
dan perineum, dan pada bayi dapat terjadi perdarahan
intrakranial,dan hipoksia janin karena gangguan sirkulasi
uteroplasenter.
Bila ada kesempitan panggul dapat terjadi ruptur uteri
mengancam, dan bila tidak segera ditangani akan berlanjut
menjadi ruptura uteri. Faktor yang dapat menyebabkan kelainan
ini antara lain adalah rangsangan pada uterus, misalnya
pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban pecah lama
dengan disertai infeksi, dan sebagainya. Penanganan:
1) Berikan obat seperti morfin, luminal, dan sebagainya asal
janin tidak akan lahir dalam waktu dekat (4-6 jam).
2) Bila ada tanda-tanda obstruksi, persalinan harus segera
diselesaikan dengan secsio sesaria.

33
3) Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan
karena janin lahir tiba-tiba dan cepat.
c. Aksi Uterus Inkoordinasi (incoordinate uterine action)
Sifat his yang berubah-ubah, tidak ada koordinasi dan
singkronisasi antara kontraksi dan bagian-bagiannya. Jadi
kontraksi tidak efisien dalam mengadakan pembukaan, apalagi
dalam pengeluaran janin. Pada bagian atas dapat terjadi
kontraksi tetapi bagian tengah tidak, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya lingkaran kekejangan yang
mengakibatkan persalinan tidak maju. Penanganan:
a) Untuk mengurangi rasa takut, cemas dan tonus otot, berikan
obat-obat anti sakit dan penenang (sedativa dan analgetika)
seperti morfin, petidin, dan valium.
b) Apabila persalinan sudah berlangsung lama dan berlarut-
larut selesaikanlah partus menggunakan hasil pemriksaan
dan evaluasi, dengan ekstraksi vakum, forseps atau seksio
sesaria.
3. Etiologi distosia karena kelainan his
Distosia karena kelainan HIS dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain:
a. Primigravida, multigravida dan grandemultipara.
b. Herediter, emosi dan ketakutan memegang peranan penting.
c. Salah pimpinan persalinan, atau salah dalam pemberian obat-
obatan.
d. Bagian terbawah janin tidak berhubungan rapat dengan segmen
bawah rahim. Ini dijumpai pada kelainan letak janin dan
disproporsi sefalopelvik.
e. Kelainan uterus, misalnya uterus bikornis unikolis.
f. Kehamilan postmatur.
4. His tidak terkoordinasi
Di sini sifat his berubah. Tonus otot terus meningkat, juga di
luar his, dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena

34
tidak ada sinkronisasi antara kontraksi bagian-bagiannya. Tidak
adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan bawah
menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan. Di
samping itu tonus otot uterus yang menarik menyebabkan rasa nyeri
yang lebih keras dan lama bagi ibu dan dapat pula menyebabkan
hipoksia pada janin. His jenis ini juga disebut sebagai uncoordinated
hypertonic uterine contraction. Penyebab inkoordinasi kontraksi otot
rahim adalah :
a. Faktor usia penderita relatif tua
b. Pimpinan persalinan
c. Karena induksi persalinan dengan oksitosin
d. Rasa takut dan cemas
Kadang-kadang pada persalinan lama dengan ketuban yang
sudah lama pecah, kelainan his ini menyebabkan spasmus sirkuler
setempat, sehingga terjadi penyempitan kavumuteri pada tempat itu.
Ini dinamakan lingkaran kontraksi atau lingkaran konstriksi. Secara
teoritis lingkaran ini dapat terjadi di mana-mana, akan tetapi
biasanya ditemukan pada batas antara bagian atas dan segmen bawah
uterus. Lingkaran konstriksi tidak dapat diketahui dengan
pemeriksaan dalam, kecuali kalau pembukaan sudah lengkap,
sehingga tangan dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri. Oleh
sebab itu jika pembukaan belum lengkap, biasanya tidak mungkin
mengenal kelainan ini dengan pasti. Adakalanya persalinan tidak
maju karena kelainan pada serviks yang dinamakan distosia
servikalis. Kelainan ini bisa primer atau sekunder.
Distosia servikalis dinamakan primer kalau serviks tidak
membuka karena tidak mengadakan relaksasi berhubung dengan
incoordinate uterine action. Penderita biasanya seorang
primigravida. Kala I menjadi lama, dan dapat diraba jelas pinggir
serviks yang kaku. Kalau keadaaan ini dibiarkan, maka tekanan
kepala terus menerus dapat menyebabkan nekrosis jaringan serviks
dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian tengah serviks secara

35
sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan oleh kelainan
organik pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau karena
karsinoma. Dengan his kuat serviks 5 bisa robek, dan robekan ini
dapat menjalar ke bagian bawah uterus. Oleh karena itu, setiap
wanita yang pernah mengalami operasi pada serviks, selalu harus
diawasi persalinannya di rumah sakit. Kelainan ini hanya dapat
diobati secara simtomatis karena belum ada obat yang dapat
memperbaiki koordinasi fungsional antara bagian-bagian uterus.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan ialah mengurangi tonus otot dan
mengurangi ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemberian analgetika, seperti morphin, pethidin dan lain-lain. Akan
tetapi persalinan tidak boleh berlangsung berlarut-larut apalagi kalau
ketuban sudah pecah. Dalam hal ini pada pembukaan belum
lengkap,perlu dipertimbangkan seksio sesarea.
Lingkaran konstriksi dalam kala I biasanya tidak diketahui,
kecuali kalau lingkaran ini terdapat di bawah kepala anak sehingga
dapat diraba melalui kanalis servikalis. Jikalau diagnosis lingkaran
konstriksi dalam kala I dapat dibuat persalinan harus diselesaikan
sengan seksio sesarea. Biasanya lingkaran konstriksi dalam kala II
baru diketahui, setelah usaha melahirkan janin dengan cunam gagal.
Dengan tangan yang dimasukkan ke dalam cavum uteri untuk
mencari sebab kegagalan cunam, lingkaran konstriksi, mudah dapat
diraba. Dengan narkosis dalam, lingkaran tersebut kadang-kadang
dapat dihilangkan, dan janin dapat dilahirkan dengan cunam.
Apabila tindakan ini gagal dan janin masih hidup, terpaksa dilakukan
seksio sesarea. Pada distosis servikalis primer dimbil sikap seperti
pada incoordinate uterine action. Pada distosia servikalis sekunder
harus dilakukan seksio sesarea sebelum jaringan parut serviks robek,
yang dapat menjalar ke atas sampai segmen bawah
VI. Distosia karena kelainan alat kandungan : vulva, vagina, uterus, serviks
1. Distosia karena kelainan vulva
a. Definisi

36
Distosia vulva adalah persalinan yang sulit disebabkan
karena atresia vulvae (tertutupnya vulva), ada yang
bawaanadajuga yang diperoleh misalnya karena radang atau
trauma.
b. Etiologi
Edema vulva dijumpai pada preeklamsia dan gangguan gizi
atau mal nutrisi atau pada persalinan yang lama atau persalinan
terlantar.Wanita hamil sering mengeluh melebarnya pembuluh
darah di tungkai, vagina, vulva dan wasir serta menghilang
setelah anak lahir. Hal ini karena reaksi sistem vena terutama
dinding pembuluh darah seperti otot-otot di tempat lain melemah
akibat pengaruh hormone steroid.
c. Kelainan yang dapat menyebabkan distosia vulva
Kelainan yang bisa menyebabkan distosia vulva ialah
oedema vulva, kelainan bawaan, varises, hematoma, peradangan,
kondiloma akuminata, fistula dan vulvitis diabetika.
d. Penatalaksanaan
Cara yang efektif untuk tindakan persalinan septum tersebut
adalah dengan robekan spontan atau di sayat dan diikat.Tindakan
ini dilakukan pula bila ada dispareuni. Sikap bidan dalam
menghadapi kelainan ini adalah menegakkan kemungkinan
septum vagina, vertical atau longitudinal pada waktu melakukan
pemeriksaan dalam dan selanjutnya merujuk penderita untuk
mendapat pertolongan persalinan sebagaimana mestinya.
2. Distosia karena kelainan vagina
a. Definisi
Pada aplasia vagina, diintroitus vagina terdapat cekungan
yang agak dangkal atau yang agak dalam.
b. Etiologi
Kelainan congenitalatau pertumbuhan atau pembentukan
organ janin yang tidak sempurna di dalam kandungan pada masa
kehamilan

37
c. Penatalaksanaan
Terapi terdiri atas pembuatan vagina baru, beberapa metode
sudah dikembangkan untuk keperluan itu, operasi ini sebaiknya
pada saat wanita bersangkutan akan menikah. Dengan demikian
vagina dapat digunakan dan dapat dicegah bahwa vagina buatan
dapat menyempit.
3. Distosia kelainan karena uterus/serviks
a. Definisi
Distosia serviks uteri adalah terhalangnya kemajuan
persalinan disebabkan kelainan serviks uteri.Walaupun his normal
dan baik, kadang-kadang pembukaan serviks jadi macet karena
ada kelainan yang menyebabkan serviks tidak mau membuka.
b. Etiologi
Penyebab distosia serviks uteri adalah adanya kelainan pada
letak rahim diantaranya: perut gantung (abdomen pendulum),
hyperanteflexio, retroplexio uteri, prolapsus uteri, mioma uterus,
kanker rahim.
c. Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan dengan beberapa kali moment
opname pemeriksaan dalamyaitu his baik tetapi pembukaan
serviks tidak bertambah dan pemeriksaan dilakukan 2-3 kali
antara 1-2 jam.
d. Penanganan
Pada kondisi serviks yang kaku setelah ditegakkan diagnosa
memang serviks kaku dan setelah pemberian obat-obatan seperti
valium dan pethidin tidak merubah sifat kekakuan tindakan kita
adalah melakukan Caesar. Jika adanya serviks gantung bila dalam
observasi keadaan tetap begitu dan tidak ada kemajuan
pembukaan ostium uteri internum, maka pertolongan yang tepat
adalah Caesar.

38
VII. Distosia karena kelainan jalan lahir : bayi besar, hidrocefalus,
anencefalus
1. Bayi besar
a. Definisi
Bayi besar adalah bayi lahir yang beratnya lebih dari
4000gram. menurut kepustakaan bayi yang besar baru dapat
menimbulkan dytosia kalau beratnya melebihi 4500gram.
Kesukaran yang ditimbulkan dalam persalinan adalah karena
besarnya kepala atau besarnya bahu. Karena regangan dinding rahim
oleh anak yang sangat besar dapat menimbulkan inertia dan
kemungkinan perdarahan postpartum lebih besar. Macrosomia atau
bayi besar adalah bayi yang lahir dengan berat lebih dari 4000 gram.
Rata - rata bayi baru lahir dengan usia cukup bulan ( 37 minggu-42
minggu ) berkisar antara 2500 gram hingga 4ooo gram. Pada kondisi
tertentu ada beberapa ibu hamil yang melahirkan bayi dengan berat
diatas 4000 gram

b. Faktor – faktor

39
1. Bayi dan ibu yang menderita diabetes sebelum hamil dan bayi
dari ibu yang menderita diabetes selama kehamilan.
2. Terjadinya obesitas pada ibu juga dapat menyebabkan kelahiran
bayi besar (bayi giant).
3. Pola makan ibu yang tidak seimbang atau berlebihan juga
mempengaruhi kelahiran bayi besar
c. Komplikasi
Bayi besar yang sedang berkembang merupakan suatu
indikator dari efek ibu. Walaupun dikontrol dengan baik dapat
timbul pada janin, maka sering disarankan persalinan yang lebih dini
sebelum aterm. Biasanya dinilai pada sekitar kehamilan 38 minggu.
Penilaian yang seksama terhadap pelvis ibu. Tingkat penurunan
kepala janin dan diatas serviks. Bersama dengan pertimbangan
terhadap riwayat kebidanan sebelumnya. Jika tidak maka persalinan
dilakukan dengan seksio sesarea yang direncanakan. Resiko dari
trauma lahir yang tinggi jika bayi lebih besar dibandingkan panggul
ibunya perdarahan intrakranial, distosia bahu, ruptur uteri,serviks,
vagina, robekan perineum dan fraktur anggota gerak merupakan
beberapa komplikasi yng mungkin terjadi. Jika terjadi penyulit-
penyulit ini dapat dinyatakan sebagai penatalaksanaan yang salah.
Karena hal ini sebenarnya dapat dihindarkan dengan seksio sesarea
yang terencana.
Walaupun demikian, yang perlu dingat bahwa persalinan dari
bayi besar (baby giant) dengan jalan abdominal bukannya tanpa
resiko dan hanya dapat dilakukan oleh dokter bedah kebidanan yang
terampil. Pemantauan glukosa darah ( Pada saat datang atau umur 3
jam, kemudian tiap 6 jam sampai 24 jam atau bila kadar glukosa ≥
45 gr% dua kali berturut-turut. Pemantauan elektrolit Pemberian
glukosa parenteral sesuai indikasi Bolus glukosa parenteral sesuai
indikasi Hidrokortison 5 mg/kg/hari IM dalam dua dosis bila
pemberian glukosa parenteral tidak efektif.

40
2. Hidrosefalus
a. Definisi
Hydrocephalus adalah suatu keadaan dimana terdapat
timbunan likuor serebrospinalis yang berlebihan dalam
ventrikel-ventrikel, yang disertai dengan tekanan intracranial
(sarwono, 2007). Hydrocephalus adalah jenis penyakit yang
terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan
serebrospinal). Penyakit ini juga dapat ditandai dengan dilatasi
vertical serebra, biasanya terjadi secara sekunder terhadap
obstruksi jalur cairan serebrospinalis, dan disertai oleh
penimbunan cairan serebrospinalis di dalam cranium; Secara
tipikal ditandai dengan pembesaran kepala, menonjolnya dahi,
deteriorasi mental, dan kejang-kejang (Sudarti dan Afroh
Fauziah, 2012). Hydrocephalus merupakan Penimbunan cairan
otak dalam tengkorak dan bilik-bilik otak sehingga kepala
menjadi besar. Kadang disebut air di otak (Suseno Tutu dan
Masruroh, 2009).

b. Bentuk umum
Ada beberapa type hydrocephalus berhubungan dengan
kenaikan tekanan intrakranial.

41
Tiga bentuk umum hydrocephalus berdasarkan sirkulasi :
1) Hidrocephalus Non-komunikasi (Non communicating
hydrocephalus)
Biasanya diakibatkan obstruksi dalam system
ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSF. Kondisi
tersebut sering dijumpai pada orang lanjut usia yang
berhubungan dengan malformasi congenital pada system
saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion)
ataupun bekas luka.Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai
akibat dari obstruksi lesi pada system ventricular atau
bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di
dalam system ventricular. Pada klien dengan garis sutura
yag berfungsi atau pada anak – anak dibawah usia 12 – 18
bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai
ekstrim, tanda – tanda dan gejala – gejala kenaikan ICP
dapat dikenali. Pada anak – anak yang garis suturanya tidak
bergabung terdapat pemisahan / separasi garis sutura dan
pembesaran kepala.
2) Hidrosefalus Komunikasi (communicating hidrocepalus)
Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSF
tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSF terdapat
dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional.
Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya
disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan
darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien
memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan
ICP)
3) Hidrosefalus Bertekan Normal (Normal Pressure
Hidrocephalus).
Di tandai pembesaran sister basilar dan fentrikel
disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi
atrofi serebral. Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala

42
– gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi ; dimentia,
ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan
dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau
thrombosis, mengitis; pada beberapa kasus (Kelompok
umur 60 – 70 tahun) ada kemungkinan ditemukkan
hubungan tersebut.
c. Tanda dan gejala
Lingkar kepala bayi aterm normal berkisar antara 32 dan
38 cm. pada hidrosephalus lingkar kepala sering lebih mencapai
dari 50 cm, dan terkadang mencapai 80 cm. volume cairan
biasanya berkisar antara 500- 1500 Ml , tetapi bisa juga sampai
5L . pada presentasi bokongditemukan pada sepertiga kasus .
pada presentasi apapun, hidrosefalus lazimnya disertai
disporposi sefalopelvik berat dengan distosia serius sebagai
konsekuensi umumnya .
d. Penanganan
1) Penanganan Sementara. Terapi konservatif medikamentosa
ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui
upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan resorbsinya.
2) Penanganan Alternatif (Selain Shunting) Misalnya :
pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A,
reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor
atau perbaikan suatu malformasi. Saat ini cara terbaik untuk
melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan
teknik bedah endoskopik. (Peter Paul Rickham, 2003)
3) Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara
aliran likuor dengan kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi
drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum. Biasanya
cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun
kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke

43
rongga subarakhnoid lumbar. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu:
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan
pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang
dipasang. Infeksi pada shunt meningatkan resiko akan
kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan
kematian. (Allan H. Ropper, 2005:360)
3. Anencepalus
a. Definisi
Anencephalus adalah suatu keadaan dimana sebagian
besar tulang tengkorak dan otak tidak terbentu. Anensefalus
merupakan suatu kelainan tabung saraf yang terjadi pada awal
perkembangan janin yang menyebabkan kerusakan pada
jaringan pembentuk otak. Anensefalus terjadi jika tabung saraf
sebelah atas gagal menutup, tetapi penyebabnya yang pasti tidak
diketahui.

b. Tanda dan gejala

44
Ibu polihididramnion, bayi tidak memiliki tulang
tengkorak tidak memiliki otak, terdapat kelainan gambaran
(rancu) tengkorak kepala pada pemeriksaan USG. Kelainan ini
ditandai dengan tidak adanya kubah cranium dan otak diatas
dasar tengkorak dan orbita. Kegagalan dalam memperoleh
penampakan diameter biparietalis yang adequate pada trimester
kedua seyogyanya menimbulkan kecurigaan.
c. Faktor resiko
Diantaranya : Hamil dengan kadar asam folat rendah,
fenilketonuria pada ibu yang tidak terkontrol, kekurangan gizi
(malnutrisi), mengkonsumsi kafein, tar, alkohol, dll selama masa
kehamilan. Faktor lingkungan yang multiple, 30% riwayat
keluarga, Multi gravid > 6 kali , Primigravida, Riwayat
melahirkan cacat.
d. Penatalaksanaan
1) Deteksi dini
2) Konseling tentang : evaluasi konsumsi nutrisi, kemungkinan
kesulitan pada proses perslainan, rencana persalinan
dirumah sakit
3) Kolaborasi daan rujukan
4) Deteksi terhadap CPD
5) Persalinan pervaginam dipertimbangkan dnegan syarat :
pertolongan persalinan ditolong oleh dokter, tenaga anestesi
harus ada, dan adanya dokter anak.
6) Melakukan observasi : DJJ, kontraksi uterus, posisi, caput /
molding dan kekuatan mengedan
7) Lakukan episiotomy lebar
8) Distosia bahu lakukan manufer Roberts
9) Jika dalam kala II mekanisme persalinan tidak ada
perkembangan lakukan sesar

45
D. Kala II
1. Persalinan Kala II Lama
a. Pengertian persalinan kala II lama
Persalinan lama adalah dimana fase laten lebih dari 8 jam ,dan
persalinan telahberlangsung 12 jam atau lebih bayi belum
lahir.Persalinan kala II lama atau di sebut juga partus tak maju
adalah suatu persalinan dengan his yang adekuat namun tidak
menunjukkan kemajuan pada pembukaan servik, turunnya kepala
dan putaran paksi selama 2 jam terakhir (Mochtar, 1998).
Menurut Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH (1998), pengertian
dari partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24
jam pada primigravida dan lebih dari 18 jam pada multigravida.
Dilatasi serviks di kanan garis waspada persalinan fase aktif.
Menurut winkjosastro, 2002. Persalinan (partus) lama ditandai
dengan fase laten lebih dari 8 jam, persalinan telah berlangsung 12
jam atau lebih tanpa kelahiran bayi, dan dilatasi serviks di kanan
garis waspada pada partograf.Definisi (Menurut Prof. Dr. dr. Gulardi
Hanifa Winkjosastro, SPOG, 2002. BukuPanduan
PraktisPelayananKesehatanMaternaldanNeonatal).
Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah
berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks
dikanan garis waspada persalinan fase aktif.Jadi, persalinan kala II
lama adalah persalinan yang telah berlangsung selama 12 jam atau
lebih bayi belum lahir,dan his adekuat namun tidak menunjukkan
kemajuan pada pembukaan servik.
b. Etiologi
1) Factor Ibu
a) His tidak efisien (adekuat)
Timbulnya his adalah indikasi mulainya persalinan,
apabila his yang timbul sifatnya lemah, pendek, dan jarang
maka akan mempengaruhi turunnya kepala dan pembukaan
serviks atau yang sering disebut dengan inkoordinasi

46
kontraksi otot rahim, dimana keadaan inkoordinasi
kontraksi otot rahim ini dapat menyebabkan sulitnya
kekuatan otot rahim untuk dapat meningkatkan pembukaan
atau pengusiran janin dari dalam rahim, pada akhirnya ibu
akan mengalami partus lama karena tidak adanya kemajuan
dalam persalinan.
b) Faktor jalan lahir (pinggul sempit, kelainan serviks, vagina,
tumor)
Penyebab partus lama sebagian besar adalah karena
panggul ibu yang terlalu sempit, atau gangguan penyakit
pada tulang sehingga kepala bayi sulit untuk berdilatasi
sewaktu persalinan. Faktor genetik, fisiologis, dan
ingkungan termasuk gizi mempengaruhi perawakan seorang
ibu. Perbaikan gizi dan kondisi kehidupan juga penting
karena dapat membantu mencegah terhambatnya
pertumbuhan. Selain itu servik yang terlalu kaku juga dapat
berdampak pada lambannya kemajuan persalinan, karena
akibat servik yang kaku akan menghambat proses penipisan
portio yang nantinya akan berdampak pada lamanya
pembukaan. Adanya tumor juga sangat berpengaruh
terhadap proses lamanya persalinan. Jika terjadi tumor di
organ reproduksi khususnya pada jalan lahir tentunya akan
menghalangi proses lahirnya bayi yang kemungkinan besar
akan mengakibatkan partus lama.
c) Usia
Jika dilihat dari sisi biologis manusia 20 - 35
merupakan tahun terbaik wanita untuk hamil karena selain
di usia ini kematangan organ reproduksi dan hormon telah
bekerja dengan baik juga belum ada penyakit-penyakit
degenerative seperti hipertensi, diabetes, serta daya tahan
tubuh masih kuat. Tidak semua ibu dengan usia kurang dari
20 tahun atau lebih dari 35 tahun dipastikan mengalami

47
partus lama, akan tetapi pada sebagian wanita dengan usia
yang masih muda organ reproduksinya masih belum begitu
sempurna dan fungsi hormon-hormon yang berhubungan
dengan persalinan juga belum sempurna pula. Ditambah
dengan keadaan psikologis, emosional dan pengalaman
yang belum pernah dialami sebelumnya dan mempengaruhi
kontraksi uterus menjadi tidak aktif, yang nantinya akan
mempengaruhi lamanya persalinan. Sedangkan pada ibu
dengan usia lebih dari 35 tahun diketahui kerja organ-organ
reproduksinya sudah mulai lemah, dan tenaga ibu pun sudah
mulai berkurang, hal ini akan membuat ibu kesulitan untuk
mengejan yang pada akhirnya apabila ibu terus menerus
kehilangan tenaga karena mengejan akan terjadi partus lama
(Amuriddin, 2009)
d) Paritas
Menurut Wiknjosastro salah satu penyebab kelainan
his yang dapat menyebabkan partus lama terutama
ditemukan pada primigravida khususnya primigravida tua,
sedangkan pada multipara ibu banyak ditemukan kelainan
yang bersifat inersia uteri. Salah satu penyebab terjadinya
partus lama menurut Moechtar (1998) adalah kelainan his,
his yang tidak normal baik kekuatan maupun sifatnya ridak
menghambat persalinan.
Kelainan his dipengaruhinya oleh herediter, emosi,
dan ketakutan menghadapi persalinan yang sering dijumpai
pada primagravida. Dikatakan bahwa terdapat
kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih
baik dari yang berperitas tinggi.
e) Respons stress
Stres psikologis memitiki efek fisik yang kuat pada
persalinan. Hormon stres, seperti adrenalin, berinteraksi
dengan reseptor-beta di dalam otot uterus dan menghambat

48
kontraksi, memperlambat persalinan. Ini merupakan respons
involunter ketika ibu merasa terancam atau tidak aman,
persalinannya berhenti baginya untuk mencari tempat yang
dirasakannya aman.
2) Factor janin
a) Faktor janin (mal presentasi, malposisi, janin besar)
 Mal presentasi dan mal posisi
Mal presentasi adalah semua presentasi janin
selain varteks,sedangkan mal posisi adalah posisi
kepala janin relative terhadap pelvis dengan oksiput
sebagai titik referensi. Padakejadian mal presentasi
kerja uterus kontraksinya cenderung lelah dan tidak
teratur.
 Bayi yang besar
Bayi yang besar merupakan faktor partus lama
yang sangat berkaitan dengan terjadinya malposisi dan
malpresentasi, janin yang dalam keadaan malpresentasi
dan malposisi kemungkinan besar akan menyebabkan
partus lama atau partus macet

c. Tanda dan gejala


1) Pembukaan serviks tidak melewati 3 cm sesudah 8 jam in partu
2) Frekuensi dan lamanya kontraksi kurang dari 3 kontraksi per 10
menit dan kurang dari 40 detik
3) Kelainan presentasi
4) Pembukaan serviks lengkap, ibu ingin mengedan, tetpi tak ada
kemajuan penanganan
d. Gejala Klinik
Menurut Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH (1998) gejala klinik
partus lama terjadi pada ibu dan juga pada janin.
1) Pada ibu :

49
Ibu merasakan gelisah , letih, suhu badan meningkat,
berkringat, nadi cepat, pernafasan cepat. Di daerah lokal sering
di jumpai : lingkaran bandl, edema vulva, edema servik, cairan
ketuban berbau, terdapat mekonium.
2) pada janin :
a) Denyut jantung janin cepat atau hebat atau tidak teratur
bahkan negative.
b) Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau- hijauan dan
berbau.
c) Caput succedaneum yang besar.
d) Moulage kepala yang hebat .
e) IUFD (intra uterin fetal death)
e. Dampak Persalinan Lama Pada Ibu-Janin
Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi
salah satu atau keduanya sekaligus.
1) Efek pada ibu
a) Infeksi Intrapartum
Infeksi bahaya yang serius yang mengancam pada ibu
dan janinnya pada partus lama, terutama bila disertai
pecahnya ketuban. Bakteri didalam cairan amnion
menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh
korion sehingga terjadi bakterimiaa dan sepsis pada ibu dan
janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion
yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.
Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan
bakteri vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus
dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai
terjadi persalinan lama.
b) Ruptura uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus
menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutama
pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan

50
riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala
janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak
cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen
bawah uterusmenjadi sangat teregang kemudian dapat
menyebabkan rupture. Pada kasus ini mungkinterbentuk
cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah
kista trasversal atau oblik yang berjalan melintang di uterus
antara simfisis dan umbilicus. Apabila dijumpai keadaan
ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.
c) Cincin retraksi patologis
Walaupun sangat jarang, dapat timbul kontriksi atau
cincin local uterus pada persalinan yang berkepanjang. Tipe
yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl,
yaitu pembebtukan cincin retraksi normal yang berlebihan.
Cincin ini sering timbul akubat persalinan yang terhambat,
disertai peregangan dan penipisan berlebihan segmen
bawah uterus. Pada situasi semacam ini cincin dapat terlihat
sebagai suatu identitas abdomen dan menandakan ancaman
akan rupturnya segnen bawah uterus. Kontriksi uterus local
jarang dijumpai saat ini karena terhanbatnya persalinan
secara berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Konstriksi local
ini kadang-kadang masih terjadi sebagai konstriksi jam
pasir (haourglass constriction) uterus setelah lahirnya
kembar pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut
kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesi umum
yang sesuai dan janin janin dilahirkan secara normal, tetapi
kadang-kadang seksio sesarea yang dilakukan dengna
segera menghasilkan progonis yang lebih baik bagi kembar
kedua.
d) Pembentukan Fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu
atas pinggul tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang

51
cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak diantaranya dan
dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan.
Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi narcosis yang akan
jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan
munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau
rektovaginal. Umumnya narcosis akibat penekanan ini pada
persalinan kala II yang berkepanjangan. Dulu saat tindakan
operasi ditunda selama mungkin, penyulit ini sering
dijumpai, tetapi saat ini jarang terjadi kecuali Negara-
negara yang belum berkembang.
e) Cedera otot-otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah dipegang adalah bahwa
cedera otot-otot dasar panggul atau persarfan ata fasia
penghubungannya merupakan konsekuensi yang tida
terlelakan pada persalinan pervaginam, terutama apabila
persalinannya sulit. Saat kelahiran bayi, dasar panggul
mendapat tekanan langsung dari kepala janin serta tekanan
kebawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya
inimeregangkan dan melebarkan dasar panggul selama
melahirkan ini akan menyebabakan inkontinensa urin dan
alvi serta prolaps organ panggul.
2) Efek pada janin :
Partus lama itu sendiri dapat dirugikan. Apabila panggul
sempit dan juga terjadi ketuban pecah lama serta infeksi
intrauterus, risiko janin dan ibu akan muncul. Infeksi
intrapartum bukan saja merupkan penyulit yang serius pada ibu,
tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin dan
neonates. Hal ini disebakan bakteri didalam cairan amnion
menembus selaput amnion dan menginvasi desidua serta
pembuluh korion, sehingga terjadi bakteremia pada ibu dan
janin. Pneumonia janin, akibat aspirasi cairan amnion yang
terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.

52
a) Kaput Suksedeneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering
terjadi kaput suksedeneum yang besar terjad terbawah
kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan
menyebabakan kesalahan diagnostic yang serius. Kaput
hamper dapat mencapai dasar panggul sementara kepala
sendiri belum cakap.
b) Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng
tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain
disutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase.
Biasannya batas median tulang parietal yang berkontak
dengan promotorium bertumpang tindih dengan tulang
disebelahnya; hal ini sama terjadi pada tulang-tulang
frontal. Namun tulang oksipetal terdorong kebawah tulang
parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa
menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila
distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan
robekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin, tanpa
perdarahan intra karinial pada janin. Fraktur tengkorak
kadang-kadang dijumpai, biasanya setelah dilakukan upaya
paksa pada persalinan. Fraktur ini juga dapat terjadi pada
persalinan spontan atau bahkan sekseo sesarea
f. Penanganan :
1) Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga
2) Mengobservasi keadaan umum ibu secara seksama
3) Mengobservasi denyut jantung janin
4) Berikan Larutan Glukosa 5% dan Larutan NaCL isotonic secara
IV
5) Memberikan dukungan emosi bila keadaan masih
memungkinkan anjurkan bebas bergerak.
6) Anjurkan kepada ibu untuk mengosongkan kandung kemih

53
7) Bila penderita memrasakan nyeri, berikan analgetik.
8) Pertolongan Dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep, manual aid pada letak sungsang, embriotomi
bila janin meninggal, seksio sesarea dan lain-lain.
2. Persalinan kala II memanjang
a. Pengertian
Persalinan kala II memanjang (prolonged expulsive phase)
atau disebut juga partus tak maju adalah suatu persalinan dengan his
yang adekuat namun tidak menunjukkan kemajuan pada pembukaan
serviks, turunnya kepala dan putaran paksi selama 2 jam terakhir.
Biasanya persalinan pada primitua dapat terjadi lebih lama. Menurut
Harjono, persalinan kala II memanjang merupakan fase terakhir dari
suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga
timbul gejala – gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu serta
asfiksia dan kematian janin dalam kandungan (IUFD).
Persalinan pada primitua biasanya lebih lama. Pendapat umum
ada yang mengatakan bahwa persalinan banyak terjadi pada malam
hari, ini di sebabkan kenyataan bahwa biasanya persalinan
berlangsung selama 12 jam atau lebih, jadi permulaan dan
berakhirnya partus biasanya malam hari (prof.Dr. rustam mochtar,
Mph 1998).
b. Etiologi
Faktor – faktor penyebabnya adalah : Kelainan letak janin,
Kelainan – kelainan panggul, Kelainan his dan mengejan, Pimpinan
partus yang salah, Janin besar atau ada kelainan congenital, Primitua,
Perut gantung atau grandemulti, Ketuban pecah dini.
c. Gejala Klinik
1) Pada ibu
a) Gelisah
b) letih,
c) suhu badan meningkat,
d) berkeringat,

54
e) nadi cepat,
f) pernafasan cepat.
g) Di daerah lokal sering dijumpai : Ring v/d Bandl, edema
vulva, edema serviks, cairan ketuban berbau dan terdapat
mekonium.
2) Pada janin
a) Denyut jantung janin cepat/hebat/tidak teratur bahkan
negatif.
b) Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan dan
berbau
c) Caput Succedeneum yang besar
d) Moulage kepala yang hebat
e) IUFD (Intra Uterin Fetal Death)
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan pada ibu dengan kala II
memanjang yaitu dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum,
ekstraksi forceps, sectio caesaria, dan lain-lain. Penatalaksanaannya
yaitu sebagai berikut :
1) Tetap melakukan Asuhan Sayang Ibu, yaitu : Anjurkan agar ibu
selalu didampingi oleh keluarganya selama proses persalinan
dan kelahiran bayinya.
Alasan : Hasil persalinan yang baik ternyata erat hubungannya
dengan dukungan dari keluarga yang mendampingi ibu selama
proses persalinan (Enkin, et al, 2000).
Anjurkan ibu untuk minum selama kala II persalinan
Alasan : Ibu bersalin mudah sekali mengalami dehidrasi selama
proses persalinan dan kelahiran bayi. Cukupnya asupan cairan
dapat mencegah ibu mengalami hal tersebut (Enkin, et al, 2000).
2) Adakalanya ibu merasa khawatir dalam menjalani kala II
persalinan. Berikan rasa aman dan semangat serta tentramkan
hatinya selama proses persalinan berlangsung. Dukungan dan
perhatian akan mengurangi perasaan tegang, membantu

55
kelancaran proses persalinan dan kelahiran bayinya. Beri
penjelasan tentang cara dan tujuan dari setiap tindakan setiap
kali penolong akan melakukannya, jawab aetiap pertanyaan
yang diajukan ibu, jelaskan apa yang dialami oleh ibu dan
bayinya dan hasil pemeriksaan yang dilakukan (misalnya TD,
DJJ, periksa dalam).
e. Melakukan kala II persalinan dan memulai meneran :
1) Cuci tangan (Gunakan sabun dan air bersih yang mengalir)
2) Pakai sarung tangan DTT/steril untuk periksa dalam
3) Beritahu ibu saat, prosedur dan tujuan periksa dalam
4) Lakukan periksa dalam (hati-hati) untuk memastikan
pembukaan sudah lengkap (10cm) lalu lepaskan sarung tangan
sesuai prosedur PI
5) Jika pembukaan belum lengkap, tentramkan ibu dan bantu ibu
mencari posisi nyaman (bila ingin berbaring) atau berjalan-
jalan disekitar ruang bersalin. Ajarkan cara bernafas selama
kontraksi berlangsung. Pantau kondisi ibu dan bayinya dan
catatkan semua temuan dalam partograf
6) Jika ibu merasa ingin meneran tapi pembukaan belum lengkap,
beritahukan belum saatnya untuk meneran, beri semangat dan
ajarkan cara bernafas cepat selama kontraksi berlangsung.
Bantu ibu untuk memperoleh posisi yang nyaman dan
beritahukan untuk menehan diri untuk meneran hingga
penolong memberitahukan saat yang tepat untuk itu.
7) Jika pembukaan sudah lengkap dan ibu merasa ingin meneran,
bantu ibu mengambil posisi yang nyaman, bimbing ibu untuk
meneran secara efektif dan benar dan mengikuti dorongan
alamiah yang terjadi. Anjurkan keluarga ibu untuk membantu
dan mendukung usahanya. Catatkan hasil pemantauan dalam
partograf. Beri cukup minum dan pantau DJJ setiap 5-10
menit. Pastikan ibu dapat beristirahat disetiap kontraksi.

56
8) Jika pembukaan sudah lengkap tapi ibu tidak ada dorongan
untuk meneran, bantu ibu untuk memperoleh posisi yang
nyaman (bila masih mampu, anjurkan untuk berjalan-jalan).
Posisi berdiri dapat membantu penurunan bayi yang berlanjut
dengan dorongan untuk meneran. Ajarkan cara bernafas
selama kontraksi berlangsung. Pantau kondisi ibu dan bayi dan
catatkan semua temuan dalam partograf.
9) Berikan cukup cairan dan anjurkan / perbolehkan ibu untuk
berkemih sesuai kebutuhan. Pantau DJJ setiap 15 menit,
stimulasi puting susu mungkin dapat meningkatkan kekuatan
dan kualitas kontraksi.
10) Jika ibu tidak ada dorongan untuk meneran setelah 60 menit
pembukaan lengkap, anjurkan ibu untuk mulai meneran
disetiap puncak kontraksi.
11) Jika bayi tidak lahir setelah 60 menit upaya tersebut diatas atau
jika kelahiran bayi tidak akan segera terjadi, rujuk ibu segera
karena tidak turunnya kepala bayi mungkin disebabkan oleh
disproporsi kepala-panggul (CPD).
12) Upaya mengedan ibu menambah resiko pada bayi karena
mengurangi jumlah oksigen ke plasenta. Dianjurkan mengedan
secara spontan (mengedan dan menahan nafas terlalu lama,
tidak dianjurkan)
3. Distosia Bahu
a. Definisi
Distosia bahu didefinisikan sebagai impaksi (hambatan)
lahirnya bahu bayi setelah lahirnya kepala dan berkaitan dengan
peningkatan insidensi morbiditas dan mortalitas bayi akibat cedera
pleksus brachialis dan asfiksia. Diagnosis ini harus dipikirkan ketika
dengan traksi kebawah yang memadai tidak dapat melahirkan bahu.
Tanda distosia bahu lainnya adalah jika setelah kepala melalui
serviks kemudian tampak kepala kembali tertarik balik ke dalam
(turtle sign).

57
Distosia bahu biasanya terdapat kasus makrosomia. Resiko nya
meningkat 11 kali lipat bayi dengan BB 4000 g dan 22 kali lipat
pada bayi 4500 g. sekitar 50 % kasus terjadi pada bayi dengan BB
kurang dari 4000 g. bayi posterm dan makrosomia beresiko
mengvalami distosia bahu karena pertumbuhan trunkal dan bahu
tidak sesuai dengan pertumbuhan kepala pada masa akhir kehamilan.
Faktor resiko lainnya adalah obesitas maternal, riwayat melahirkan
bayi besar, diabetes mellitus, dan diabetes gestational. Distosia bahu
harus dicurigai pada pemanjangan kala II atau pemanjangan fase
deselerasi pada kala I.
Distosia bahu ialah kelahiran kepala janin dengan bahu
anterior macet diatas sacral promontory karena itu tidak bisa lewat
masuk ke dalam panggul, atau bahu tersebut bisa lewat
promontorium, tetapi mendapat halangan dari tulang sacrum (tulang
ekor). Lebih mudahnya distosia bahu adalah peristiwa dimana
tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah kepala
janin dilahirkan. Salah satu kriteria diagnosis distosia bahu adalah
bila dalam persalinan pervagina untuk melahirkan bahu harus
dilakukan maneuver khusus. Spong dkk (1995) menggunakan
sebuah kriteria objektif untuk menentukan adanya distosia bahu
yaitu interval waktu antara lahirnya kepala dengan seluruh tubuh.
Nilai normal interval waktu antara persalinan kepala dengan
persalinan seluruh tubuh adalah 24 detik , pada distosia bahu 79
detik. Mereka mengusulkan bahwa distosia bahu adalah bila interval
waktu tersebut lebih dari 60 detik. American College of Obstetrician
and Gynecologist (2002) menyatakan bahwa angka kejadian distosia
bahu bervariasi antara 0.6 – 1.4% dari persalinan normal.

58
b. Penyebab (Etiologi)
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul,
kegagalan bahu untuk “melipat” ke dalam panggul (misal : pada
makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan persalinan kala II yang
pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat
menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau
kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah mengalami
pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat masuk ke dalam
panggul
c. Patofisiologi
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang
menyebabkan kepala berada pada sumbu normal dengan tulang
belakang bahu pada umumnya akan berada pada sumbu miring
(oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran
akan meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis, bila
bahu gagal untuk mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu
miring dan tetap berada pada posisi anteroposterior, pada bayi yang
besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis sehingga
bahu tidak bisa lahir mengikuti kepala
d. Tanda – tanda dan Gejala
1) Pada proses persalinan normal kepala lahir melalui gerakan
ekstensi. Pada distosia bahu kepala akan tertarik kedalam dan
tidak dapat mengalami putar paksi luar yang normal.

59
2) Ukuran kepala dan bentuk pipi menunjukkan bahwa bayi gemuk
dan besar. Begitu pula dengan postur tubuh parturien yang
biasanya juga obese.
3) Usaha untuk melakukan putar paksi luar, fleksi lateral dan traksi
tidak berhasil melahirkan bahu.
e. Komplikasi
1) Komplikasi Maternal
a) Perdarahan pasca persalinan
b) Fistula Rectovaginal
c) Simfisiolisis atau diathesis, dengan atau tanpa “transient
femoral neuropathy”
d) Robekan perineum derajat III atau IV
e) Rupture Uteri
2) Komplikasi Fetal
a) Brachial plexus palsy
b) Fraktura Clavicle
c) Kematian janin
d) Hipoksia janin , dengan atau tanpa kerusakan neurololgis
permanen
e) Fraktura humerus
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Palpasi dan Balotemen: Leopold I : teraba kepala (balotemen) di
fundus uteri
2) Vaginal Toucher : teraba bokong yang lunak dan iregular
3) X-ray : Dapat membedakan dengan presentasi kepala dan
pemeriksaan ini penting untuk menentukan jenis presentasi
sungsang dan jumlah kehamilan serta adanya kelainan
kongenital lain
4) Ultrasonografi: Pemeriksaan USG yang dilakukan oleh
operatorberpengalaman dapat menentukan :
a) Presentasi janin
b) Ukuran

60
c) Jumlah kehamilan
d) Lokasi plasenta
e) Jumlah cairan amnion
f) Malformasi jaringan lunak atau tulang janin
g. Penatalaksanaan
1) Kesigapan penolong persalinan dalam mengatasi distosia bahu
sangat diperlukan.
2) Pertama kali yang harus dilakukan bila terjadi distosia bahu
adalah melakukan traksi curam bawah sambil meminta ibu
untuk meneran.
3) Lakukan episiotomi.
4) Setelah membersihkan mulut dan hidung anak, lakukan usaha
untuk membebaskan bahu anterior dari simfsis pubis dengan
berbagai maneuver :
a) Tekanan ringan pada suprapubic
b) Maneuver Mc Robert
c) Maneuver Woods
d) Persalinan bahu belakang
e) Maneuver Rubin
f) Pematahan klavikula
g) Maneuver Zavanelli
h) Kleidotomi
i) Simfsiotomi
4. Konsep Teori Ekstraksi Vakum
a. Pengertian Ekstraksi vakum
Ekstraksi vakum merupakan tindakan obstetrik yang bertujuan
untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga
mengedanibu dan ekstraksi pada bayi (Maternal dan Neonatal;
495).Alat ini dinamakan ekstraktor vakum atau ventouse.
b. Etiologi
1) Kelelahan pada ibu

61
Terkurasnya tenaga ibu pada saat melahirkan karena
kelelahan fisik pada ibu (Prawirohardjo, 2005). Atau
memperpendek kala II, misalnya: Penyakit jantung kompensata,
Penyakit paru-paru fibrotik.
2) Partus tak maju
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya
menyebabkan bahwa rintangan pada jalan lahir yang lazim
terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga
persalinan mengalami hambatan atau kematian (Prawirohardjo,
2005).
3) Gawat janin (masih kontroversi)
Denyut jantung janin abnormal ditandai dengan: denyut
Jantung Janin irreguler dalam persalinan sangat bereaksi dan
dapat kembali beberapa waktu. Bila Denyut Jantung Janin tidak
kembali normal setelah kontraksi, hal ini mengakibatkan adanya
hipoksia.
c. Patofisiologi
Adanya beberapa faktor baik faktor ibu maupun janin
menyebabkan tindakan ekstraksi forsep/ekstraksi vakum. Vakum
dilakukan karena ketidakmampuan mengejan, keletihan, penyakit
jantung (eklampsia), section secarea pada persalinan sebelumnya,
kala II yang lama, fetal distress dan posisi janin oksiput posterior
atau oksiput transverse menyebabkan persalinan tidak dapat
dilakukan secara normal. Untuk melahirkan secara per vaginam
maka perlu tindakan ekstraksi vacum/forsep.Tindakan ekstraksi
foesep/vacuum menyebabkan terjadinya laserasi pada servuk uteri
dan vagina ibu.Disamping itu terjadi laserasi pada kepala janin yang
dapat mengakibatkan perdarahan intrakranial.
d. Syarat tindakan ekstraksi vakum
1) Pembukaan lengkap atau hampir lengkap.
2) Kepala di Hodge II-III;
3) Tidak ada disproporsi kepala panggul;

62
4) Konsistensi kepala normal;
5) Ketuban sudah pecah atau dipecahkan.
6) Cukup bulan (tidak prematur).
7) Anak hidup dan tidak gawat janin.
8) Kandung kencing ibu kosong.
e. Indikasi dan Kontraindikasi
1) Indikasi
a) Partus Partus tidak maju dengan anak hidup.
b) Kala II lama dengan presentasi kepala belakang.
2) Kontraindikasi
a) Letak muka (kerusakan pada mata);
b) Kepala menyusul;
c) Bayi premature (tarikan tidak boleh keras);
d) Gawat janin.
f. Persiapan Ekstraksi Vakum
Beberapa hal yang harus disiapkan sebelum tindakan ekstraksi
vakum yaitu :
1) Persiapkan ibu dalam posisi litotomi.
2) Kosongkan kandung kemih dan rektum.
3) Bersihkan vulva dan perineum dengan antiseptik
4) Pasang infus bila diperlukan.
5) Siapkan alat-alat yang diperlukan
g. Teknik Ekstraksi Vakum
Sebelum dilaksanakan teknik vacum ekstrasi harus mengetahui
indikasi ekstraksi vacum terlebih dahulu yaitu Partus tidak maju
dengananak hidup dan kala II lama dengan presentasi kepala
belakang.
Persiapan adalah sama pada ekstrksi forcipal, cup dilicinkan
dengan minyak kemudian di masukan ke dalam jalan lahir dan
diletakkan pada kepala anak. Titik yang ada pada cup sedapat-
dapatnya menunjukkan ke ubun-ubun kecil. Sedapat-dapatnya
digunakan cup yang terbesar supaya tidak mudah terlepas.

63
h. Keuntungan dan kerugian tindakan ekstraksi vacum :
1) Keuntungan tindakan ekstraksi vacum
a) Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III
atau kurang dari demikian mengurangi frekwensi SC.
b) Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, cup dapat
di pasang di belakang kepala, samping kepala ataupun dahi
c) Tarikan tidak dapat terlalu berat. Dengan demikian kepala
tidak dapat dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan
terlampau berat cup akan lepas dengan sendirinya.
d) Cup dapat di pasang meskipun pembukaan belum lengkap,
misalnya pada pembukaan 8-9 cm, untuk mempercepat
pembukaan.untuk ini dilakukan tarikan ringan yang kontinu
sehingga kepala menekan pada cervik. Tarikan tidak boleh
terlalu kuat untuk mencegah robekan cervik. Di samping itu
cup tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam untuk
menghindari kemungkinan timbulnya perdarahan pada otak.
e) Vacum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar
kepala dan mengadakan fleksi kepala (missal pada letak
dahi ).
2) Kerugian Tindakan Ekstraksi Vacum
Waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat
ditarik relative lebih lama (kurang lebih 10 menit) cara ini tidak
dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan
cepat seperti misalnya pada fetal distress (gawat janin) alatnya
relative lebih mahal disbanding dengan forcep biasa. Hal yang harus
diperhatikan dalam tindakan ektraksi vacum :
a) Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubun besar;
b) Penurunan tekanan harus berangsur-angsur;
c) Cup dengan tekanan negative tidak boleh terpasang lebih dari
½ jam;
d) Penarikan waktu ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada his
dan ibu mengejan;

64
e) Apabila kepala masih agak tinggi ( H III ) sebaiknya dipasang
cup terbesar (diameter 7 cm);
f) Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi;
g) Vacum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi prematur
i. Komplikasi
1) Komplikasi pada Ibu
Perdarahan akibat atonia uteri/ trauma, Trauma jalan lahir,
dan Infeksi.
2) Komplikasi pada Janin
Ekskoriasi kulit kepala, Sefalhematoma, Subgaleal
hematoma.Hematoma ini cepat direabsorbsi tubuh janin.Bagi
janin yang mempunyai fungsi hepar belum matur dapat
menimbulkan ikterus neonatorum yang agak berat. Nekrosis
kulit kepala (scapnecrosis), dpt menimbulkan alopesia,
Pendarahan intrakranial, Jaundice, Fraktur kalvikula, Kerusakan
N VI dan VII.
j. Tujuan Ekstaksi Forcep
1) Traksi
Yaitu menarik anak yang tidak dapat lahir spontan.
2) Koreksi
Yaitu merubah letak kepala dimana ubun-ubun kecil dikiri atau
dikanan depan atau sekali-kali UUK melintang kiri dan kanan
atau UUK kiri atau kanan belakang menjadi UUK depan
(dibawah simfisis pubis)
3) Kompresor: Untuk menambah moulage kepala
k. Jenis Ekstraksi Forcep
1) High Forceps
Forceps yang dilakukan pada saat kepala janin belum masuk
pintu atas panggul (floating).Saat ini tidak dilakukan lagi karena
sangat berbahaya bagi janin ataupun ibu. Sectio cesarean lebih
direkomendasikan
2) Mid Forceps

65
Forceps yang dilakukan pada saat kepala janin sudah masuk
pintu atas panggul (engaged), namun belum mencapai dasar
panggul. Saat ini tidak dilakukan lagi. Sectio Cesarea ataupun
vakum lebih direkomendasikan
3) Low Forceps/ Outlet Forceps
Forceps yang dilakukan pada saat kepala janin sudah mencapai
dasar panggul. Cara ini yang masih sering dipakai hingga saat
ini
l. Syarat Dalam Melakukan Ekstraksi Forcep
1) Pembukaan lengkap.
2) Panggul luas / tidak ada DKP
3) Ketuban sudah pecah.
4) Kepala sudah engaged, sudah berada di dasar panggul
5) Janin tunggal hidup
6) Ibu tidak gelisah atau kooperatif.
7) Kontraksi baik.
8) Posisi janin diketahui dengan pasti.
m. Jenis Tindakan
Berdasarkan pada jauhnya turun kepala, dapat dibedakan
beberapa macam tindakan ekstraksi forceps, antara lain:
1) Forceps rendah
Tindakan forceps rendah (forceps pintu bawah panggul)
adalah tindakan pemasangan forceps setelah kepala bayi
mencapai dasar perineum, sutura sagitalis berada pada diameter
anteroposterior dan kepala bayi tampak diintroitus vagina.
Dilakukan setelah kepala bayi mencapai H IV, kepala bayi
mendorong perineum, forceps dilakukan dengan ringan disebut
outlet forceps.
2) Forceps tengah
Tindakan forceps tengah (midforseps) adalah tindakan
pemasangan porceps sebelum kriteria untuk porceps rendah
dipenuhi, tetapi setelah engagement kepala bayi terjadi.Adanya

66
engagement biasanya dapat dibuktikan secara klinis oleh
penurunan bagian terendah kepala sampai atau dibawah spina
iskiadika dan pintu atas panggul biasanya lebih besar dari pada
ajarak dan pintu atas panggul biasanya lebih besar daripada
jarak diameter biparietal dengan bagian kepala bayi yang paling
bawah. (Menurut sumber dari buku Obstetri Williams)
Pada kedudukan kepala antara H II atau H III, salah satu
bentuk forcepstengah adalah forceps percobaan untuk
membuktikan disproporsi pangguldan kepala. Bila aplikasi dan
tarikan forceps berat membuktikanterdapat disproporsi kepala
panggul . Forceps percobaan dapat digantidengan ekstraksi
vaccum.
3) Forceps tinggi
Dilakukan pada kedudukan kepala diantara H I atau H II,
forcepstinggi sudah diganti dengan seksio cesaria.
n. Persiapan Ekstraksi Forcep
1) Persiapan untuk ibu
a) Rambut kemaluan dicukur.
b) Kandung kemih dikosongkan.
c) Atur posisi lithotomi.
d) Perineum dan sekitarnya di desinfeksi.
e) Pasang doek steril.
2) Persiapan penolong.
a) Cuci tangan secara furbringer.
b) Memakai baju steril.
c) Memakai sareng tangan steril
3) Persiapan alat
a) Doek steril.
b) Sarung tangan steril.
c) Alat persalinan normal.
d) Alat forcep.
e) Alat untuk episiotomy dan menjahit.

67
f) Kateter.
g) Obat-obatan desinfektan dan uterotonika.
4) Persiapan untuk bayi
a) Penghisap lendir dan alat resusitasi lainnya.
b) Alat pemanas bayi.
5. Letak sungsang
a. Definisi letak sungsang
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin atau
uri) yang telah cukup bulan atau hidup di luar kandungan melalui
jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan
(kekuatan sendiri). (Manuaba, 1998 : 157)
Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan
pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan, disusul
dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh ibu.
(Obstetri Fisiologi hal: 221)
Letak sungsang adalah letak memanjag dengan bokong sebagai
bagian yang terendah (presentasi bokong ). ( Obstetri Patologi hal:
169). Persalinan adalah persalinan untuk melahirkan janin yang
membujur dalam uterus dengan bokong atau kaki pada bagian bawah
dimana bokong atau kaki akan dilahirkan terlebih dahulu daripada
anggota badan lainnya. (http://yatinem.wordpress.com
/2009/02/22/asuhan-kebidanan-dengan-multigravida-letak-
sungsang/). Letak sungsang dimana janin yang memanjang
(membujur) dalam rahim kepala di fundus (Mochtar, 1998, 1998 :
350).
Letak sungsang pada persalinan justru kepala yang merupakan
bagian terbesar bayi akan lahir terakhir (Manuaba, 1998 : 360) .
Letak sungsang adalah dimana janin terletak memanjang dengan
kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah cavum
uteri (Sarwono P, 1992 : 606). Letak sungsang merupakan keadaan
dimana janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan

68
bokong berada di bagian bawah kavum uteri. (http://obsgin-
fkunram.blogspot.com/2009/02/letak-sungsang.html )
Persalinan letak sungsang adalah persalinan untuk melahirkan
janin yang membujur dalam uterus dengan bokong atau kaki pada
bagian bawah dimana bokong atau kaki akan dilahirkan terlebih
dahulu daripada anggota badan lainnya.
Letak sungsang merupakan keadaan di mana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri (wiknjosastro, 2008 : 606). Presentasi
sungsang terjadi bila bokong atau tungakai janin berpresentasi ke
dalam pelvis ibu (Hacker, 2001 : 254)

b. Klasifikasi Letak Sungsang


Letak sungsang sendiri dibagi menjadi:
1) Letak bokong Murni : presentasi bokong murni, dalam bahasa
Inggris “Frank Breech“. Bokong saja yang menjadi bagian
depan sedangkan kedua tungkai lurus ke atas.
2) Letak bokong kaki (presentasi bokong kaki) disamping bokong
teraba kaki dalam bahasa Inggris “Complete Breech”. Disebut

69
letak bokong kaki sempurna atau tidak sempurna kalau
disamping bokong teraba kedua kaki atau satu kaki saja.
3) Letak lutut (presentasi lutut) dan letak kaki (presentasi kaki)
dalam bahasa Inggris kedua letak tersebut disebut “Incomplete
Breech”. Tergantung pada terabanya kedua kaki atau lutut
atau hanya teraba satu kaki atau lutut disebut letak kaki atau
lutut sempurna dan letak kaki atau lutut tidak sempurna.(
Obstetri Patologi hal :169 )
c. Etiologi
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam terjadinya letak
sungsangdiantaranya ialah prematuritas, rnultiparitas, hamil kembar,
hidramnion,hidrosefalus, plasenta previa dan panggul sempit.
Kadang-kadang jugadisebabkan oleh kelainan uterus (seperti fibroid)
dan kelainan bentuk uterus(malformasi). Plasenta yang terletak
didaerah kornu fundus uteri dapat pulamenyebabkan letak sungsang,
karena plasentamengurangiluas ruangan di daerah fundus. Kelainan
fetus juga dapat menyebabkan letak sungsang seperti malformasi
CNS, massa di leher, aneuploid. Faktor predisposisi dari letak
sungsang adalah:
1) Prematuritas karena bentuk rahim relatif kurang lonjong,
2) Air ketuban masih banyak dan kepala anak relatif besar
3) Plasenta previa karena menghalangi turunnya kepala ke dalam
pintu atas panggul.
4) Kelainan bentuk kepala: hidrocephalus, anencephalus, karena
kepala kurang sesuai dengan bentuk pintu atas panggul.
5) Fiksasi kepala pada pintu atas panggul tidak baik atau tidak ada,
misalnya pada panggulsempit, hidrosefalus, plasenta previa,
tumor – tumor pelvis dan lain – lain.
6) Janin mudah bergerak,seperti pada hidramnion, multipara
7) Gemeli (kehamilan ganda)
8) Kelainan uterus, seperti uterus arkuatus ; bikornis, mioma uteri.
9) Janin sudah lama mati.

70
10) Sebab yang tidak diketahui.
d. Patofisiologi
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin
terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih
32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak, sehingga
memungkinkan janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian
janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak
sungsang atau letak lintang.
Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat
dan jumlah air ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan
kedua tungkai terlipat lebih besar daripada kepala, maka bokong
dipaksa untuk menempati ruang yang lebih luas di fundus uteri,
sedangkan kepala berada ruangan yang lebih kecil di segmen bawah
uterus. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pada kehamilan
belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang lebih tinggi, sedangkan
pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar ditemukan dalam
presentasi kepala. Sayangnya, beberapa fetus tidak seperti itu.
Sebagian dari mereka berada dalam posisi sungsang.
e. Diagnosa
Diagnosis letak bokong dapat ditentukan dengan persepsi
gerakan janin oleh ibu,pemeriksaan Leopold, auskultasi denyut
jantung janin di atas umbilikus, pemeriksaandalam, USG dan Foto
sinar-X. Pergerakan anak teraba oleh ibu di bagian perut bawah, di
bawah pusat, dan ibu sering merasa benda keras ( kepala ) mendesak
tulang iga.
1) Antara tonjolan tulang tadi dapat diraba anus dan genitalia
anak, tapi jenis kelamin anak hanya dapat ditentukan kalau
oedem tidak terlalu besar. Terutama kalau caput succedaneum
besar, bokong harus dibedakan dari muka karena kedua tulang
pipi dapat menyerupai tubera ossis ischii, dagu menyerupai jung
os sacrum sedangkan mulut disangka anus. Yang menentukan

71
ialah bentuk os sacrum yang menyerupai deretan processi
spinosi yang disebut crista sacralis media. (Mochtar, 1998 : 352)
2) Palpasi
Pada palpasi teraba bagian keras, bundar dan melenting pada
fundus uteri. Punggung anak dapat diraba pada salah satu sisi
perut dan bagian – bagian kecil pada pihak yang berlawanan. Di
atas symphyse teraba bagian yang kurang bundar dan lunak.
3) Auskultasi
DJJ paling jelas terdengar pada tempat yang lebih tinggi dan
pusat. Bunyi jantung terdengar pada punggung anak setinggi
pusat..
4) Pemeriksaan dalam
Dapat diraba os sakrum, tuber ischii dan anus, kadang-kadang
kaki (pada letak kaki). Kalau pembukaan sudah besar maka pada
pemeriksaan dalam dapat teraba 3 tonjolan tulang ialah tubera
ossis ischii dan ujung os sacrum sedangkan os sacrum dapat
dikenal sebagai tulang meruncing dengan deretan processi
spinosi di tengah – tengah tulang tersebut.
5) Pemeriksaan foto rontgen : Bayangan kepala pada fundus.
f. Penanganan Selama Kehamilan
Mengingat bahaya-bahayanya, sebaiknya persalinan dalam
letak sungsang dihindari. Untuk itu bila pada waktu antenatal
ditemukan letak sungsang hal yang harus dilakukan adalah:
1) Beritahu hasil pemeriksaan yang sebenarnya, jelaskan pada
pasien mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
dengan letak sungsang.
2) Beri konseling mengenai gerakan knee-cheest, yaitu
meletakkan kepala diantara kedua tangan lalu menoleh ke
samping kiri atau kanan, kemudian turunkan badan sehingga
dada menyentuh kasur dengan menggeser siku sejauh mungkin.
Kegunaan gerakan ini adalah untuk mempertahankan atau
memperbaiki posisi janin agar bagian kepala janin tetap berada

72
di bawah. Gerakan ini disebut juga sebagai gerakan “anti
sungsang”
3) Jika diketahui janin letak sungsang pada usia kehamilan kurang
dari 34 minggu tidak perlu dilakukan intervensi apapun, karena
janin masih cukup kecil dan cairan amnion masih cukup banyak
sehingga kemungkinan besar janin masih dapat memutar dengan
sendirinya.
4) Lakukanlah rujukan atau kolaborasi dengan dokter kandungan
untuk melakukan USG pada usia kehamilan 35-36 minggu.
Untuk mengetahui presentasi janin, mengetahui jumlah cairan
amnion, letak plasenta dan keadaan plasentanya.
5) Konseling kepada ibu mengenai pilihan untuk melahirkan jika
saat umur kehamilan 35-36 minggu bagian terendah janin bukan
kepala.
6) Konseling dan diskusikan mengenai kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing pilihan persalinan tersebut.
6. Ektraksi bokong dan ekstraksi kaki
Ekstraksi Parsial Pada Persalinan Sungsang Pervaginam atau
Manual Aid, Terdiri Dari 3 Tahapan :
a. Bokong sampai umbilikus lahir secara spontan (pada frank breech).
b. Persalinan bahu dan lengan dibantu oleh penolong.
c. Persalinan kepala dibantu oleh penolong.

Untuk melahirkan BAHU DAN LENGAN dapat dilakukan


manuver klasik, muller atau Lovset. Pegangan pada panggul anak
sedemikian rupa sehingga ibu jari penolong berdampingan pada os
sacrum dengan kedua jari telunjuk pada krista iliaka anterior superior ;
ibu jari pada sakrum sedangkan jari-jari lain berada didepan pangkal
paha (gambar 3). Dilakukan traksi curam kebawah sampai menemui
rintangan (hambatan) jalan lahir. Selanjutnya bahu dapat dilahirkan
dengan menggunakan salah satu dari cara-cara berikut:

73
a. Pengeluaran lengan secara Klasik/Deventer
Digunakan jika bahu masih tinggi. Pada dasarnya, lengan kiri
janin dilahirkan dengan tangan kiri penolong, sedangkan lengan
kanan janin dilahirkan dengan tangan kanan penolong. Kedua lengan
dilahirkan sebagai lengan belakang. Bokong dan pangkal paha yang
telah lahir dipegang dengan dua tangan, badan ditarik ke bawah
sampai ujung bawah scapula depan kelihatan dibawah simfisis.
Kedua kaki janin dipegang dengan tangan yang bertentangan dengan
lengan yang akan dilahirkan, tubuh janin ditarik ke atas, sehingga
perut janin kea rah perut ibu, tangan penolong yang satu dimasukkan
ke dalam jalan lahir dengan menelusuri punggung janin menuju ke
lengan belakang sampai fossa kubiti. Dua jari tangan tersebut
ditempatkan sejajar dengan humerus dan lengan belakang janin
dikeluarkan dengan jari-jari tersebut. Untuk mengeluarkan lengan
depan, dada dan punggung janin dipegang dengan kedua tangan,
tubuh janin diputar untuk mengubah lengan depan supaya berada di
belakang tersebut dilahirkan dengan cara yang sama.
Cara klasik tersebut terutama dilakukan apabila lengan depan
menjungkit ke atas atau berada di belakang leher janin. Karena
memutar tubuh dapat membahayakan janin, maka bila lengan depan
letaknya normal, cara klasik dapat dilakukan tanpa memutar tubuh
janin, sehingga lengan kedua tetap dilahirkan sebagai lengan depan.
Kedua kaki dipegang dengan tangan bertentangan dengan lengan
depan utnuk menarik tubuh janin ke bawah sehingga punggung janin
mengarah ke bokong ibu. Tangan yang lain menulusuri punggung
janin menuju ke lengan depan sampai fossa kubiti dan lengan depan
dikeluarkan dengan dua jari yang sejajar dengan humerus.
Melahirkan lengan belakang dahulu dan kemudian melahirkan
lengan depan dibawah simfisis. Dipilih bila bahu tersangkut di pintu
atas panggul.
Kedua pergelangan kaki dipegang dengan ujung jari tangan
kanan penolong berada diantara kedua pergelangan kaki anak ,

74
kemudian di elevasi sejauh mungkin dengan gerakan mendekatkan
perut anak pada perut ibu. Tangan kiri penolong dimasukkan
kedalam jalan lahir, jari tengan dan telunjuk tangan kiri menyelusuri
bahu sampai menemukan fosa cubiti dan kemudian dengan gerakan
“mengusap mukajanin”, lengan posterior bawah bagian anak
dilahirkan. Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada
pergelangan kaki janin diubah. Dengan tangan kanan penolong,
pergelangan kaki janin dipegang dan sambil dilakukan traksi curam
bawah melakukan gerakan seolah “mendekatkan punggung janin
pada punggung ibu” dan kemudian lengan depan dilahirkan dengan
cara yang sama.
b. Pengeluaran lengan secara Mueller
Digunakan jika bahu sudah berada dipintu bawah panggul.
Dengan kedua tangan pada bokong dan pangkal paha, tubuh janin
ditarik ke arah vertical ke bawah sampai bahu depan berada dibawah
simpisis, kemudian lengan depan dikeluarkan dengan cara yang
kurang lebih sama dengan cara klasik.
Melahirkan bahu dan lengan depan lebih dahulu dibawah
simfisis melalui ekstraksi ; disusul melahirkan lengan belakang di
belakang ( depan sacrum ). Dipilih bila bahu tersangkut di Pintu
Bawah Panggul Tehnik pertolongan persalinan bahu cara
MüELLER:
1) Bokong dipegang dengan pegangan “femuropelvik”.
Dengan cara pegangan tersebut, dilakukan traksi curam bawah
pada tubuh janin sampai bahu depan lahir (gambar 9 ) dibawah
arcus pubis dan selanjutnya lengan depan dilahirkan dengan
mengait lengan depan bagian bawah.
2) Setelah bahu dan lengan depan lahir, pergelangan kaki dicekap
dengan tangan kanan dan dilakukan elevasi serta traksi keatas
(gambar 10),, traksi dan elevasi sesuai arah tanda panah) sampai
bahu belakang lahir dengan sendirinya. Bila tidak dapat lahir

75
dengan sendirinya, dilakukan kaitan untuk melahirkan lengan
belakang anak (inset pada gambar 10)
3) Keuntungan penggunaan tehnik ini adalah oleh karena tangan
penolong tidak masuk terlalu jauh kedalam jalan lahir maka
resiko infeksi berkurang.
c. Pengeluaran bahu secara Loevset
Digunakan jika lengan bayi terjungkit dibelakang kepala.
Dasar pemikiran cara loevset adalah bahu belakang janin selalu
berada lebih rendah daripada bahu depan karena lengkungan jalan
lahir, sehingga bila bahu belakang diputar ke depan dengan
sendirinya akan lahir ke bawah simfisis. Setelah sumbu bahu janin
terletak dalam ukuran muka belakang, dengan kedua tangan pada
bokong, tubuh janin ditarik ke bawah sampai ujung bawah scapula
depan terlihat di bawah simfisis. Kemudian tubuh janin diputar
dengan cara memegang dada dan punggung oleh kedua tangan
sampai bahu belakang tedapat di depan dan tampak di bawah
simfisis, dengan demikian lengan depan dapat dikeluarkan dengan
mudah. Bahu yang lain yang sekarang menjadi bahu belakang,
dilahirkan dengan memutar kembali tubuh janin ke arah yang
berlawanan, sehingga bahu belakang menjadi bahu depan dan lengan
dapat dilahirkan dengan mudah.
Pengeluaran kepala secara Mauriceau (Viet Smellie), Digunakan
bila bayi dilahirkan secara manual aid atau bila dengan bracht kepala
belum lahir. Badan janin dengan perut kebawah diletakkan pada lengan
kiri penolong. Jari tengah dimasukkan kedalam mulut janin sedangkan
jari telunjuk dan jari manis pada maksila, untuk mempertahankan supaya
kepala janin tetap dalam keadaan fleksi. Tangan kanan memegang bahu
janin dari belakang dengan jari telunjuk dan jaritangah berada disebelah
kiri dan kanan leher. Janin ditarik kebawah dengan tangankanan sampai
suboksiput atau batas rambut dibawah simpisis. Kemudian tubuh janin
digerakkan ke atas, sedangkan tangan kiri tetap mempertahankan fleksi
kepala, sehingga muka lahir melewati perineum, disusul oleh bagian

76
kepala lain. Tangan kiri tidak boleh ikut menarik janin, karena dapat
menyebabkan perlukaan padda mulut dan muka janin. Dengan tangan
penolong yang sesuai dengan arah menghadapnya muka janin, jari tengah
dimasukkan kedalam mulut janin dan jari telunjuk serta jari manis
diletakkan pada fosa canina.
Tubuh anak diletakkan diatas lengan anak, seolah anak
“menunggang kuda”. Belakang leher anak dicekap diantara jari telunjuk
dan jari tengah tangan yang lain. Assisten membantu dengan melakukan
tekanan pada daerah suprasimfisis untuk mempertahankan posisi fleksi
kepala janin. Traksi curam bawah terutama dilakukan oleh tangan yang
dileher.
 Ekstraksi Bokong
Tindakan ini dikerjakan pada letak bokong murni dengan
bokong yang sudah berada didasar panggul. Tehnik :
Jari telunjuk penolong yang sesuai dengan bagian kecil anak
dimasukkan jalan lahir dan diletakkan pada lipat paha depan anak.
Dengan jari tersebut, lipat paha dikait. Untuk memperkuat kaitan
tersebut, tangan lain penolong mencekap pergelangan tangan yang
melakukan kaitan dan ikut melakukan traksi kebawah (gambar 18
dan 19). Bila dengan traksi tersebut trochanter depan sudah terlihat
dibawah arcus pubis, jari telunjuk tangan lain segera mengait lipat
paha belakang dan secara serentak melakukan traksi lebih lanjut
untuk melahirkan bokong. Setelah bokong lahir, bokong dipegang
dengan pegangan “femuropelvik” dan janin dilahirkan dengan cara
yang sudah dijelaskan pada ekstraksi bokong parsialis.
 Ekstraksi Kaki
Setelah persiapan selesai, tangan penolong yang sesuai
dengan bagian kecil anak dimasukkan secara obstetris kedalam
jalan lahir, sedangkan tangan lain membuka labia. Tangan yang
didalam mencari kaki dengan menyelusuri bokong – pangkal
paha sampai belakang lutut (fosa poplitea) dan kemudian

77
melakukan fleksi dan abduksi paha janin sehingga sendi lutut
menjadi fleksi.
Tangan yang diluar (dekat dibagian fundus uteri)
mendekatkan kaki janin untuk mempermudah tindakan mencari
kaki janin tersebut diatas. Setelah lutut fleksi, pergelangan kaki
anak dipegang diantara jari ke II dan III dan dituntun keluar dari
vagina. Kedua tangan penolong memegang betis anak dengan
meletakkan kedua ibu jari dibelakang betis sejajar dengan
sumbu panjangnya dan jari-jari lain didepan tulang kering.
Dengan pegangan ini dilakukan traksi curam bawah pada kaki
sampai pangkal pahalahir
Pegangan kini dipindahkan keatas setinggi mungkin
dengan kedua ibu jari dibelakang paha pada sejajar sumbu
panjangnya dan jari lain didepan paha. Dengan pegangan ini
pangkal paha ditarik curam bawah sampai trochanter depan
lahir. Kemudian dilakukan traksi curam atas pada pangkal paha
untuk melahirkan trochanter belakang sehingga akhirnya seluruh
bokong lahir.
Setelah bokong lahir, dilakukan pegangan femuropelvik
dan dilakukan traksi curam dan selanjutnya untuk
menyelesaikan persalinan bahu dan lengan serta kepala seperti
yang sudah dijelaskan. Terlihat bagaimana cara melakukan
pegangan pada pergelangan kaki anak. Sebaiknya digunakan
kain setengah basah untuk mengatasi licinnya tubuh anak ;
Traksi curam bawah untuk melahirkan lengan sampai skapula
depan terlihat .
E. Kala III
1. Retensio Plasenta
a. Pengertian
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir.Hampir

78
sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh
gangguan kontraksi uterus.
Retensio plasenta adalah lepas plasenta tidak bersamaan
sehingga sebagian masih melekat pada tempat implantasi,
menyebabkan terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus,
sehingga sebagian pembuluh darah tetap terbuka serta menimbulkan
perdarahan. (Manuaba,2002).
Retensio plasenta yaitu plasenta dianggap retensi bila belum
dilahirkan dalam batas waktu tertentu setelah bayi lahir (dalam
waktu 30 menit setelah penatalaksanaan aktif).
Retensio plasenta adalah tertahan atau belum lahirnya palsenta
hingga melebihi 30 menit setelah bayi lahir (Sarwanto, 2002).
Pengertian tersebut juga dikuatkan oleh Winkjosastro (2006:656)
yang menyebutkan retensio plasenta adalah apabila plasenta belum
lahir setangah jam setelah janin lahir.
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta
selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Plasenta harus
dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi
karena sebagai benda mati, dapat terjadiplasenta inkarserata dapat
terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasi ganas korio karsinom

b. Jenis Retensio Plasenta

79
1) Plasenta adhesiva : implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
2) Plasenta akreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagian lapisan myometrium
3) Plasenta inkreta : implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai /memasuki myometrium
4) Plasenta perkreta : implantasi jonjot korion plasenta menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
5) Plasenta inkarserata : tertahannya plasenta di cavum uteri
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
c. Anatomi Retensio Uteri
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan
diameter 15 sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya
rata-rata 500 gram. Tali-pusat berhubungan dengan plasenta
biasanya di tengah (insertio sentralis). Umumnya plasenta terbentuk
lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang
amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka
plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin,
yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari
bagian ibu yang berasal dari desidua basalis.
Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral
arteries yang berada di desidua basalis. Pada sistole darah
disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke
dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal
dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili
koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke
vena-vena di desidua.
Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada
janin, mengeluarkan sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan
mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur berbagai
antibodi ke janin.

80
d. PatofisiologiRetensio Uteri
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi.
Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada
akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak
relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara
progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil.
Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat
perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka
plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding
uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan
desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di
uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling
bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah
dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta
perdarahan berhenti.Pengamatan terhadap persalinan kala tiga
dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah
membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas
tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat
masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat
plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2
cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom
yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta.
Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta
yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat

81
melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat
melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat
plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah
dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini
menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta
lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada
persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.
Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat
implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran
darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya
semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta
yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang
keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka
tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta
meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-
kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan
inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi
terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan.
Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan
persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan
menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan
pada tali pusat.

e. Etiologi/Penyebab Retensio Plasenta


1) Sebab Fungsionil
a) Kontraksi uterus/His kurang kuat untuk melepaskan
plasenta (plasenta adhesiva )
b) Plasenta sukar terlepas karena

82
c) Tempatnya : insersi di sudut tuba
d) Bentuknya : plasenta membranacea , plasenta amularis
e) Ukurannya plasenta sangat kecil
f) Plasenta yang sukar terlepas karna hal di atas disebut
plasenta adhesive
g) Sebab Patologi-Anatomis
 Plasenta accrete
 Plasenta increta
 Plasenta percreta
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi
korialis menembus desidua sampai myometrium sampai di
bawah peritoneum ( plasenta akreta-percreta). Jika plasenta yang
sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau
karena salah penanganan kala III ,akibatnya terjadi lingkaran
kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya
plasenta ( inkarserasio plasenta )
 Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat
dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
 Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada
desidua endometrium (basalis) lebih dalam dan
Nitabuch layer.
 Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam
dan menembus desidua endometrium sampai ke
miometrium.
 Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus
miometrium sampai ke serosa.
 Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus
serosa atau peritoneum dinding rahim atau
perimetrium.
 Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum
keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi

83
pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan
kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).
2) Faktor maternal
a) Gravida berusia lanjut
b) Multiparitas
3) Faktor uterus
a) Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada
jaringan cicatrix uterus
b) Bekas pembedahan uterus
c) Anomali uterus
d) Tidak efektif kontraksi uterus
e) Pembentukan contraction ring
f) Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah
abortus
g) Bekas pengeluaran plasenta secara manual
h) Bekas ondometritis
4) Faktor placenta
a) Plasenta previa
b) Implantasi cornual
c) Plasenta akreta
d) Kelainan bentuk placenta
f. Tanda Dan Gejala Retensio Plasenta
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera,
uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
1) Waktu hamil
a) Kebanyakan pasien memiliki kehamilan yang normal
b) Insiden perdarahan antepartum meningkat, tetapi keadaan
ini biasanya menyertai plasenta previa
c) Terjadi persainan prematur, tetapi kalau hanya ditimbulkan
oleh perdarahan
d) Kadang terjadi ruptur uteri

84
2) Persalinan kala I dan II
Hampir pada semua kasus proses ini berjalan normal
3) Persalinan kala III
a) Retresio plasenta menjadi ciri utama
b) Perdarahan post partum, jumlahnya perdarahan tergantung
pada derajat perlekatanplasenta, seringkali perdarahan
ditimbulkan oleh Dokter kebidanan ketika ia mencoba
untuk mengeluarkan plasenta secara manual
c) Komplikasi yang serius tetapi jarang dijumpai yaitu invertio
uteri, keadaan ini dapat tejadi spontan, tapi biasanya
diakibatkan oleh usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta
d) Ruptura uteri, biasanya terjadi saat berusaha mengeluarkan
plasenta
g. Penegakan Diagnosis
1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal,
meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum
sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan
polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana
plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif
setelah bayi dilahirkan.
2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di
dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap
menempel di dalam uterus
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat
hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya
trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b) Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung
protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin
Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time

85
(CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk
menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain
h. Faktor Risiko
1) Plasenta akreta : plasenta previa, bekas SC, pernah kuret
berulang, dan multiparitas.
2) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau
serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus;
kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan
constriction ring.
3) Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau
plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
4) Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi
dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari
plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian
uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat
menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta
pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
i. Penatalaksaan
Penanganan retensio plasenta oleh bidan berupa pengeluaran
plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam
setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan.Tindakan
penanganan retensio plasenta :
Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir, atau
terjadi perdarahan sementara placenta belum lahir, lakukan :
1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line
dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan
kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat
yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila
diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.

86
2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan
Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus
berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan
uterus. Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu
terjadi kontraksi, kemudian coba melahirkan plasenta dengan
menggunakan peregangan tali pusat terkendali
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual
plasenta.
5) Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga
persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30
menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk
eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
Manual plasenta :
a) Memasang infus cairan dekstrose 5%.
b) Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala
sesuatunya dalam keadaan suci hama.
c) Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan
kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri
tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas -
disisihkan dengan tepi jari-jari tangan - bila sudah lepas
ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada luka-luka
atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta
berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus)
dan membawa infeksi
6) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan
dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan
kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta
dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah

87
sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis
dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
7) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per
oral.
8) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan
untuk pencegahan infeksi sekunder.
2. Emboli Air Ketuban
a. Pengertian
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah
sejumlah cairan ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-
tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan shock. Sindrom
cairan ketuban adalah sebuah gangguan langka dimana sejumlah
besar cairan ketuban tiba – tiba memasuki aliran darah. Emboli
cairan ketuban adalah masuknya cairan ketuban beserta
komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Yang dimaksud
komponen di sini ialah unsur-unsur yang terdapat di air ketuban
seperti lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak
janin, dan musin/cairan kental. yang dapat menghambat pembuluh
darah dan mencairkan darah yang mempengaruhi koagulasi. Dua
tempat utama masuknya cairan ketuban dalam sirkulasi darah
maternal adalah vena yang dapat robek sekalipun pada persalinan
normal. Ruptura uteri meningkatkan kemampuan masuknya cairan
ketuban.
Emboli cairan ketuban dapat terjadi bila ada pembukaan pada
dinding pembuluh darah dan dapat terjadi pada wanita tua/ usia
lebih dari 30 tahun, sindrom janin mati, Multiparitas, Janin besar
intrauteri, Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi,
Menconium dalam cairan ketuban dan kontraksi uterus yang kuat.
Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan ini meninggal
dalam waktu 1 jam. Emboli air ketuban atau EAK (Amniotic fluid

88
embolism) merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Kasusnya
antara 1 : 8.000 sampai 1 : 80.000 kelahiran.
Meskipun jarang terjadi, tetapi bila edema cairan ketuban
terjadi pada wanita, maka akan menyumbat aliran darah ke paru,
yang bila meluas akan mengakibatkan penyumbatan dijantung,
sehinggaa iskemik dan kematian jantung secara mendadak bisa
terjadi. Karena wanita tersebut akan mengalami gangguan
penapasan, syok, hipotermi, Dyspnea, Batuk, Hipotensi perubahan
pada membran mukosa akibat dari hipoksia Cardiac arrest.
Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan
lain (DIC terjadi di 83% pasien.). Risiko emboli cairan ketuban tidak
bisa diantisipasi jauh-jauh hari karena emboli paling sering terjadi
saat persalinan. Dengan kata lain, perjalanan kehamilan dari bulan ke
bulan yang lancar-lancar saja, bukan jaminan ibu aman dari ancaman
EAK. Sementara bila di persalinan sebelumnya ibu mengalami EAK,
belum tentu juga kehamilan selanjutnya akan mengalami kasus
serupa. Begitu juga sebaliknya.
Emboli air ketuban menimbulkan syok yang sangat mendadak
dan biasanya berakhir dengan kematian. Salah satu syok dalam
obstetric yang bukan disebabkan karena perdarahan.

89
b. Fisiologi
Ketuban (Amnion) manusia pertama kali dapat diidentifikasi
pada sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan mudigah. Pada
awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang menjadi
sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah.
Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan
mudigah yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam
rongga amnion.
Cairan ketuban (amnion) pada keadaan normal berwarna putih
agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang terkandung
di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material
sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar
800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada
kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan
20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu,
cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin
sendiri.Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan
keduanya memiliki peran tersendiri pada setiap usia kehamilan.
Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar diproduksi
oleh sekresi epitel selaput amnion.Dengan bertambahnya usia
kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin
dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit
janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih
peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion
di sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea.
Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran
sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan amnion.
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin,
seperti agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika
terdapat gangguan menelan pada janin, seperti atresia esophagus,
atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion

90
c. Patofisiologi
Pathophysiology dari EAK yang kurang dipahami.
Berdasarkan deskripsi awal, ia berteori bahwa cairan ketuban dan
sel-sel janin memasuki sirkulasi ibu, mungkin memicu reaksi
anafilaksis terhadap antigen janin. Namun, bahan janin tidak selalu
ditemukan dalam sirkulasi ibu pada pasien dengan EAK, danmateri
berasal dari janin yang sering ditemukan pada wanita yang tidak
mengembangkan EAK.
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas,
mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi
serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus
bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah
dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan
yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air
ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam
sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi
darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat
terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama
dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban
tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan
sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat
aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus,
yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari
menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri
koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah
ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia
myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan
pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin
memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan
pendarahan besar dengan rahim atony dan Coagulation Intaravakuler
Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi
sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalamkejadian awal. Dalam hal

91
ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan.
Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau
kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi
koagulasi intravaskuler.
d. Etiologi
1) Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga
pada wanita yang proses persalinanya sulit atau baru saja
menyelesaikan persalinan yang sulit . Khususnya kalau wanita
itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar ,
mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan
ketuban, harus menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini
( emboli cairan ketuban ) .
2) Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan
ketubanpun dapat masuk melalui pembuluh darah.
3) Kematian janin intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga
kemungkinan besar akan ketuban pecah dan memasuki
pembuluh darah ibu, dan akan menyumbat aliran darah ibu,
sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan
pernapasan karena cairan ketuban menyumbat aliran ke paru,
yang lama kelamaan akan menyumbat aliran darah ke jantung,
dengan ini bila tidak ditangani dengan segera dapat
menyebabkan iskemik bahkan kematian mendadak.
4) Menconium dalam cairan ketuban
5) Kontraksi uterus yang kuat
6) Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan
terjadinya laserasi atau rupture uteri, hal ini juga
menggambarkan pembukaan vena, dengan pembukaan vena,
maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh darah
ibu, yang nantinya akan menyumbat aliran darah, yang

92
mengakibatkan hipoksia, dispnue dan akan terjadi gangguan
pola pernapasan pada ibu.
e. Tanda Dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan
embolicairanketuban:
1) Ketika mencapai paru – paru akan menyebabkan penyumbatan
kapiler paru-paru yang menyebabkan gangguan pada proses
respirasi, dengan gejala dispnea, takipnea, nyeri dada, sianosis,
edema paru, dan syok.
2) Dapat menyebabkan spasme kuat pembuluh kapiler paru lalu
terjadi pengurangan cardiacoutput, hipertensi, bradikardi, serta
nantinya akan berlanjut ke gagal jantung kanan akut dan
hipoksemia.
3) Berlanjut menjadi hilang kesadaran, hal ini sekitar 25-50% dapat
menyebabkan kematian dalam beberapa jam pertama (kematian
mendadak).
4) Kematian sering terjadi pada emboli cairan amnion yang banyak
mengandung debrispartikel, misalnya: cairan amnion.Cepat
lambatnya ibu meninggal bergantung pada jumlah cairan
ketuban yang masuk ke sirkulasi ibu.
5) Reaksi anafilaktik mungkin terjadi emboli yang berasal dari
fetus merupakan benda asing di dalam tubuh ibu.
6) Pendarahan hebat (HPP) akibat darah sulit membeku,karena
adanya unsure tromboplastik dalam cairan amnion.Khususnya
pendarahan pada traktus genetalis dan daerah yang mengalami
trauma.
7) Trombositopenia berat timbul dan khasnya darah sulit membeku
bila diberi thrombin atau maksimal membentuk bekuan kecil
lalu segera mengalami lisis sempurna.
8) Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya
diastolik pada saat pengukuran (Hipotensi )

93
9) Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat
dari hipoksia.
10) Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut
jantung janin dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per
menit (dpm). Jika penurunan ini berlangsung selama 10 menit
atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau
kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia
terminal.
11) Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan
yang berlebihan setelah melahirkan. Kegagalan rahim untuk
menjadi perusahaan dengan pijat bimanual diagnostik.
12) Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya
penjelasan lain (DIC terjadi di 83% pasien.)
f. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan
emboli cairan ketuban:
1) Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya
diastolik pada saat pengukuran (Hipotensi )
2) Dyspnea, Batuk
3) Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat
dari hipoksia.
4) Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut
jantung janin dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per
menit (dpm). Jika penurunan ini berlangsung selama 10 menit
atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau
kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia
terminal.
5) Pulmonary edema, Cardiac arrest.
6) Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan
yang berlebihan setelah melahirkan.Kegagalan rahim untuk
menjadi perusahaan dengan pijat bimanual diagnostik.

94
7) Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya
penjelasan lain (DIC terjadi di 83% pasien.)
g. Penatalaksanaan
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion
terjadi hipertensi sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara.
Wanita yang dapat bertahan hidup setelah menjakani resusitasi
jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan untuk
oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan.
Tindakan yang menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan
komponen darah sangat penting dikerjakan.
Belum ada data yang menyatakan bahwa suatu intervensi yang
dapat mempermaiki prognosis ibu pada emboli cairan amnion.
Wanita yang belum melahirkan dan mengalami henti jantung harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan seksio caesaria
perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun,
bagi ibu yang hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum
mengalami henti jantung, pengambilan keputusan yang seperti itu
menjadi semakin rumit.
1) Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan
sirkulasi , koreksi defek yang khusus ( atonia uteri , defek
koagulasi ).
2) Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk
mengkoreksi hipovolemia & perdarahan .
3) Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu
penanganan atonia uteri.
4) Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan
ancietas .
5) Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular
dengan menghambat proses perbekuan.
6) Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila
ada bronkospasme.

95
7) Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos
bronkus, dan peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat
ini di berikan perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong
tekanan darah sistolik kira – kira 100 mmHg.
8) Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat.
9) Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler
dengan menghambat proses pembekuan.
10) Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
11) Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma
beku segar dan sedian trombosit.
12) Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin /
fibrinogen.
13) Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah;
perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan pembebanan
berlebihan dalam sirkulasi darah.
14) Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.
3. Inversio Uteri
a. Pengertian
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik
sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri (Rustam
Muchtar. Prof. Dr. MPH, Sinopsis Obstetri, Jilid I, edisi 2 ; 1998).
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana sebagian atas
uterus (fundus uteri) memasuki kavum uteri sehingga fundus uteri
sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.
(PrawihardjoSarwono, Prof. Dr, Ilmu Kebidanan ; Jakarta)
Inversion uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk
kedalam kavum uteri,dapat secara mendadak atau perlahan.kajadian
ini biasanya disebabkan pada saat melakukan persalinan plasenta
secara crede,dengan otot rahim belum berkontraksi dengan
baik.inversio uteri memberikan rasa sakit yang dapat menimbulkan
keadaan syok ( menurut dr. Ida Bagus Gede manuaba,SpOG)

96
b. Patofisiologi
1) Perdarahan yang bersal dari bekas implantasi plasenta.
2) Tarikan dari peritoneum perietalis, menyebabkan rasa nyeri
sehingga dapat dikatakan sebagai syok neurogenik.
3) Tarikan peritoneum perietalis menyebabkan dinding abdomen
tegang sehingga sulit melakukan palpasi dengan baik untuk
menegakkan diagnosis inversio uteri.
4) Inversio post partum yang disertai syok dapat meningkatkan
mortalitas sekitar 30%.(Manuaba, hal 822, 2007)
c. Etiologi
Penyebab inversio uteri dapat secara spontan atau karena
tindakan. Faktor yang memudahkan terjadinya adalah uterus yang
lembek, lemah, tipis dindingnya, adanya atonia uteri dan adanya
kekuatan yang menarik fundus kebawah. Sedangkan yang spontan
dapat terjadi pada grandemultipara, atonia uteri, kelemahan alat
kandungan (tonus otot rahim yang lemah, kanalis servikalis yang
longgar), dan tekanan intra abdominal yang tinggi (misalnya
mengejan dan batuk).
Inversio uteri karena tindakan dapat disebabkan karena perasat
Crede yang berlebihan, tarikan tali pusat, dan pada manual plasenta

97
yang dipaksakan, apalagi bila ada perlekatan plasenta pada dinding
rahim atau karena tindakan atraksi pada tali pusat yang berlebihan
yang belum lepas dari dinding rahim. Inversio uteri juga dapat terjadi
waktu batuk, bersin atau mengejan.
Berbagai faktor etiologi telah dikaitkan dengan inversi uterus,
walaupun mungkin tidak ada penyebab yang jelas. Diidentifikasi
faktor etiologi meliputi:
1) Tali pusat yang pendek
2) Traksi yang berlebihan pada tali pusat.
3) Tekanan pada fundus yang berlebihan.
4) Sisa plasenta dan abnormal perlekatan plasenta (inkreta,
perkreta, akreta).
5) Menarik terlalu keras pada tali pusar untuk mempercepat
pelepasan plasenta, terutama jika plasenta melekat pada
fundus.
6) Endometritis kronis.
7) Kelahiran setelah sebelumnya operasi secarea.
8) Cepat atau tenaga His yang panjang.
9) Sebelumnya rahim inverse.
10) Obat tertentu seperti magnesium sulfat (sebagai relaksan otot
selama persalinan).
11) Unicornuate rahim.
12) Kelainan bawaan atau kelemahan rahim.
13) Inversio uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan
kala III aktif khususnya bila dilakukan tarikan talipusat
terkendali pada saat masih belum ada kontraksi uterus dan
keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan iatrogenic.
d. Klasifikasi
1) Inkomplit: Uterus terbalik , tapi tidak keluar dari serviks
sehingga hanya terdapat lekukan pada fundus uteri.
2) Komplit: Fundus uteri menonjol keluar dari serviks.

98
3) Inversio prolaps: seluruh uterus yang berputar balik terdapat
diluar introitus vagina
4) Klasifikasi berdasarkan waktu:
a) Akut: terjadi setelah persalinan.
b) Subakut: sudah terdapat konstriksi serviks.
c) Kronik: terjadi lebih dari 4 minggu setelah persalinan atau
tidak berhubungan dengan persalinan atau karena kelainan
ginekologis
e. Gejala Klinis
Gejala inversio uteri dijumpai pada kala III atau postpartum.
Gejalanya pada permulaan tidak selalu jelas, akan tetapi apabila
kelainan itu sejak awalnya tumbuh dengan cepat, seringkali timbul
rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri keras
disebabkan karena fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum
infundibulo pelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kiri ke
dalam terowongan inversio sehingga terjadi tarikan yang kuat pada
peritoneum parietal.
Perdarahan yang banyak juga dapat terjadi, akibat dari plasenta
yang masih melekat pada uterus, hal ini dapat juga berakibat syok.
f. Diagnosis
1) Dicari faktor risiko seperti:pengelolaan kala III yang tidak
benar, kelemahaan miometrium kongenital atau didapat, mioma
uteri terlahir.
2) Syok atau pendarahan pervaginam.
3) Terdapat massa merah kebiruan yang berdarah pada vagina atau
diluar vulva.
4) Pada pemeriksaan luar tidak teraba fundus uteri atau terdapat
lekukan
g. Penatalaksanaan
1) Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan
terlalu mendorong rahim atau melakukan perasat Crede

99
berulang-ulang dan hati-hatilah dalam menarik tali pusat serta
melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam.
2) Bila telah terjadi maka terapinya :
a) Bila terjadi syok atau perdarahan, gejala ini diatasi dulu
dengan infus intravena cairan elektrolit dan tranfusi darah.
b) Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya renjatan
vasovagal dan perdarahan maka harus segera dilakukan
tindakan reposisi secepat mungkin.
c) Segera lakukan tindakan reposisi
d) Bila plasenta masih melekat , jangan dilepas oleh karena
tindakan ini akan memicu perdarahan hebat
e) Salah satu tehnik reposisi adalah dengan menempatkan jari
tangan pada fornix posterior, dorong uterus kembali
kedalam vagina, dorong fundus kearah umbilikus dan
memungkinkan ligamentum uterus menarik uterus kembali
ke posisi semula .
f) Sebagai tehnik alternatif : dengan menggunakan 3 – 4 jari
yang diletakkan pada bagian tengah fundus dilakukan
dorongan kearah umbilkus sampai uterus kembali keposisi
normal.
g) Setelah reposisi berhasil, tangan dalam harus tetap didalam
dan menekan fundus uteri. Berikan oksitosin atau Suntikkan
intravena 0,2 mg ergomitrin kemudian dan jika dianggap
masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal dan setelah
terjadi kontraksi, tangan dalam boleh dikeluarkan perlahan
agar inversio uteri tidak berulang.
h) Bila reposisi per vaginam gagal, maka dilakukan reposisi
melalui laparotomy
h. Kewenangan Bidan Menurut Permenkes Pada Penyulit Persalinan
Kala III

100
1) Permenkes No 5380/IX/1963 Wewenang bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas
lain.
2) Permenkes No. 623 tahun 1989 Wewenang bidan dibagi
menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus ditetapkan bila
bidan melaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan
dokter. Pelaksanaan dari permenkes ini , bidan melaksanakan
praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
Kepmenkes No. 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar
Profesi Bidan
a) Kompetensi ke 1, pengetahuan dan keterampilan dasar
Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan
keterampilan dari ilmu-ilmu sosial, kesehatan
masyarakat dan etik yang mmbentuk dasar dari asuhan
yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk
wanita, bayi baru lahir dan keluarganya.
b) Kompetensi ke Pra konsepsi, KB dan Ginekologi Bidan
memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan
Kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan
menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk
meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat,
perencanan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua.
3. Kompetensi ke 3, Asuhan dan konseling kehamilan
Bidan memberi asuhan antenatal bermu tinggi untuk
mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang yang
meliputi : deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari
komplikasi tertentu. 4. Kompetensi ke 4, asuhan selama
Persalinan dan Kelahiran Bidan memberikan asuhan
yang bermutu tinggi, tanggap terhadap kebudayaan
setempat selama persalinan, memimpin selama
persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi
kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan

101
kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir. 5.
Kompetensi ke 5, Asuhan pada ibu Nifas dan Mnyusui
Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui
yang bermutu tinggi dan tanggap terhadap budaya
setempat. 6. Kompetensi ke 6, Asuhan pada Bayi Baru.
Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,
komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan
1 bulan. 7. Kompetensi ke 7, Asuhan pada Bayi dan
Balita Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,
komperhensif pada bayi dan balita sehat ( 1 bulan – 5
tahun) 8. Kompetensi ke 8, Kebidanan Komunitas Bidan
memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan
komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat
sesuai dengan budaya setempat 9. Kompetensi ke 9,
Asuhan pada Ibu/ Wanita dengan Gangguan Reproduksi
Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ ibu
dengan gangguan sistem reproduksi
c) Permenkes no. HK 02.02/Menkes/149/2010 Tentang izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Merupakan revisi
dari Kepmenkes 900.Terdiri dari VII Bab, 24 Pasal,
yaitu: Bab I Ketentuan Umum (pasal 1) Bab II Perizinan
(pasal 2-7) Bab III Penyelenggaraan Praktik (pasal 8-19)
Bab IV Pembinaan dan Pengawasan (pasal 20-21) Bab V
Ketentuan Peralihan (pasal 22) Bab VII Ketentuan
Penutup (pasal 23-24) Permenkes 149 ini nampak lebih
singkat daripada Kepmenkes 900. Didalamnya terdapat
banyak pengurangan dan beberapa penambahan aturan
tentang pelaksanaan praktik bidan. Pengurangan : 1. Alur
untuk registrasi dan pelaporan bidan dibuat lebih
sederhana ( BAB II, III, IV Kepmenkes 900). 2.
Kewenangan praktik bidan dalam pelayanan reproduksi
wanita ditiadakan dan di ganti dengan pelayanan

102
keluarga berencana. (Permenkes 149: BAB III pasal 8 :
Kepmenkes 900 : BAB IV Pasal 14) 3. Pelayanan
kebidanan yang bisa diberikan tidak lagi pelayanan
kebidanan ibu dan anak, tetapi cukup ibu dan bayi baru
lahir usia kurang dari 28 hari. Pelayanan kebidanan pada
ibu yang dimaksud hanyalah kehamilan, persalinan, nifas
dan masa menyusui normal. Bidan tidak berwenang
melakukan interversi apapun terhadap penyulit
kehamilan, persalinan dan nifas ( suntikan penyulit
kehamilan, persalinan, nifas ;plasenta manual,
amniotomi, infus, penyuntikan antibiotik dan sedativa,
versi ekstraksi ditiadakan. Pengobatan yang di
perbolehkan bukan obat terbatas,tetapi obat bebas ).
Pelayanan masa pranikah , prahamil dan masa interval
dilakukan pengurangan . ( pemenkes 149 : BAB III :
Kepmenkes 900 : Bab V). 4. Bidan sudah tidak lagi
berwenang dalam memberikan pelayanan keluarga
berencana suntikan, kontrasepsi bawah kulit dan bawah
rahim secara praktik mandiri, melainkan harus dengan
supervisi dokter di rumah sakit dalam rangka
menjalankan tugas pemerintah. Bidan hanya berwenang
mandiri terhadap kontrasepsi pil, kondom dan konseling
KB ( Kepmenkes 900: Pasal 19; Permenkes 149: pasal
12) Pasal 8 Bidan dalam menjalankan praktik berwenang
untuk memberikan pelayanan meliputi: a. Pelayanan
kebidanan b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan c.
Pelayanan kesehatan masyarakat Pasal 9 1. Pelayanan
kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a
ditujukan kepada ibu dan bayi 2. Pelayanan kebidanan
kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa
nifas dan masa menyusui. 3. Pelayanan kebidanan pada

103
bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada
bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh
delapan) hari. Pasal 10 1. Pelayanan kebidanan kepada
ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2)
meliputi: a. Penyuluhan dan konseling b. Pemeriksaan
fisik c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal d.
Pertolongan persalinan normal e. Pelayanan ibu nifas
normal 2. Pelayanan kebidanann kepada bayi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir b. Perawatan tali pusat c.
Perawatan bayi d. Resusitasi pada bayi baru lahir e.
Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan
tugas pemerintah; dan f. Pemberian penyuluhan Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang
untuk: a. Memberikan imunisasi dalam rangka
menjalankan tugas pemerintah b. Bimbingan senam
hamil c. Episiotomi d. Penjahitan luka episiotomi e.
Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan,
dilanjutkan dengan perujukan; f. Pencegahan anemi g.
Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia i.
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera
merujuk; j. Pemberian minum dengan sonde/pipet k.
Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan
manajemen aktif kala III; l. Pemberian surat keterangan
kelahiran m. Pemberian surat keterangan hamil untuk
keperluan cuti melahirkan Pasal 12 Bidan dalam
memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b,
berwenang untuk; a. Memberikan alat kontrasepsi oral,
suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka

104
menjalankan tugas pemerintah, dan kondom; b.
Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi
dokter; c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan
kontrasepsi d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi
dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah;
dan e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan
kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.
Pasal 13 Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf
c, berwenang untuk: a. Melakukan pembinaan peran
serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi; b.
Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan c.
Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan
penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS),
penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya. Pasal 14 1.
Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa
seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat
kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di
luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang
tidak memiliki dokter, dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8. 3.
Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau
kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. 4. Dalam hal daearah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat
dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku. Pasal 15 1. Pemerintah daerah

105
menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang
memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki
dokter. 2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diseleenggarakan sesuai dengan modul Modul Pelatihan
yang ditetapkan oleh Menteri. 3. Bidan yang lulus
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memperoleh sertifikat. Pasal 16 Pada daerah yang tidak
memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan
Bidan dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau
bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang
telah mengikuti pelatihan.
d) Permenkes No 1464/ Menkes/per/X/2010 1. Pasal 9
Bidan dalam menyelenggarakan praktik berwenang
untuk memberikan pelayanan yang meliputi: a.
Pelayanan kesehatan ibu b. Pelayanan kesehatan anak
dan c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana 2. Pasal 10 (1) Pelayanan kesehatan
ibu sebagaimanan dimaksud dalam pasal 9 huruf a
diberikan pada masa prahamil, kehamilan, masa
persalinan , masa nifas , masa menyusui dan masa antara
2 kehamilan (2) Pelayanan kesehatan Ibu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Pelayanan konseling
pada masa prahamil b. Pelayanan antenatal pada
kehamilan normal c. Pelayanan persalinan normal d.
Pelayanan ibu nifas normal e. Pelayanan Ibu menyusui f.
Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan (3)
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk : a. Episiotomi
b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat 1 dan 2 c.
Penanganan kegawatdaruratan , dilanjutkan dengan
perujukan d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil e.
Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas f.

106
Fasilitas/ bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi
ASI esklusif g. Pemberian uterotonika pada menejemen
aktif kala III dan post partum h. Penyuluhan dan
konseling i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil j.
Pemberian surat keterangan kematian k. Pemberian surat
keterangan cuti bersalin 3. Pasal 11 (1) Pelayanan
kesehatan anak sebagaimana di maksud pada pasal 9
huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita,
dan anak pra sekolah (2) Bidan dalam memberikan
pelayanan kesehatan anak sebagaimanan dimaksud pada
ayat 1 berwenang untuk : a. Melakukan asuhan bayi baru
lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi,
inisiasi menyusu dini, injeksi vitamin K1, perawatan
bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari ) dan
perawatan tali pusat b. Penanganan hipotermi pada bayi
baru lahir dan segera merujuk c. Penanganan
kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan d.
Pemeberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah e.
Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak
prasekolah f. Pemberian konseling dan penyuluhan g.
Pemberian surat keterangan kelahiran h. Pemberian surat
kematiaan 4. Pasal 12 Bidan dalam memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana sebagaimanan dimaksud dalam pasal 9 huruf c
, berwenang untuk : a. Memberikan penyuluhan dan
konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan
kondom 5. Pasal 13 (1) Selain kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 , pasal 11, dan pasal 12, bidan
yang menjalanka program pemerintah berwenang
melakukan pelayanan kesehtan meliputi: a. Pemberiaan
alat kontrasepsi suntikan , alat kontrasepsi dalam rahim

107
dan pemberian pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit b.
Asuhan antenatal terintegrasi dan interfensi khusus
penyakit kronis tertentu dilakukan di bawah suvervisi
dokter c. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan d. Melakukan
pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan
ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan
penyehatan lingkungan e. Pemantauaan tumbh kembang
bayi, anak balita, anak prasekolah dan anak sekolah f.
Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas g.
Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan
penyuluhan terhadap infeksi menular seksual (IMS)
termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainya h.
Pencegahan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan
zat akdiktif lainya atau NAPZA melalui informasi dan
edukasi. i. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan
program pemerintah. (2) Pelayanan alat kontrasepsi
bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan
bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini,
merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap infeksi
menular seksual dan penyakit lainnya, serta pencegahan
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat akdiktif
lainnya ( NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan
yang di latih untuk itu. 6. Pasal 14 (1) Bagi bidan yang
menjlankan praktik di daerah yang tidak memiliki
dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan , di luar
kewenangan sebagaimana di maksud dalam pasal 9 (2)
Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah kecamatan atau
kelurahan / desa yang ditetapkan oleh kepala dinas
kesehatan kab/ kota (3) Dalam daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 telah terdapat dokter, kewenangan

108
bidan sebagaimana di maksud pada ayat 1 tidak berlaku.
7. Pasal 15 (1) Pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktik
mandiri untuk melaksanakan program pemerintah (2)
Bidan praktik mandiri yang di tugaskan sebaga
pelaksana program pemerintah berhak atas pelatihan dan
pembinaan dan pemerintah dari pemerintah daerah
provnsi/kabupaten/kota. 8. Pasal 16 (1) Pada daerah yang
belum memiliki dokter, pemerintah dan pemerintah
daerah harus mempertahankan bidan dengan pendidikan
minimal Diploma III kebidanan. (2) Apabila tidak
terdapat tenaga bidan sebagaimana di maksud pada ayat
1, pemerintah dan pemerintah daerah dapat
menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan. (3)
Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota bertanggung
jawab menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang
memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki
dokter.
F. Kala IV
1. HPP
a. Pengertian
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum
(HPP) adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat
implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur
sekitarnya, atau keduanya. Efek perdarahan banyak bergantung pada
volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran.
Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah
nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai
terjadi kehilangan darah yang sangat banyak

109
b. Penyebab HPP
1) Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka
dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
(Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan
konstraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari
perdarahan post partum.
2) Retensio plasenta plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30
menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang
kuat antara plasenta dan uterus
3) Patologi – anatomi :
a) Plasenta akreta : vilous plasenta melekat ke miometrium
b) Plasenta increta : vilous menginvaginasi miometrium
c) Plasenta percreta : vilous menembus miometrium sampai
serosa
4) Robekan jalan lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta
telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan

110
bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir
Perluakaan jalan lahir terdiri dari :
a) Dibagi atas 4 tingkat : tingkat I-IV
b) Hematoma vulva
c) Robekan dinding vagina
d) Robekan serviks
5) Gangguan pembekuan darah
6) Perdarahan post partum lambat : sisa plasenta
c. Klasifikasi HPP
1) Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum
hemarrhage) Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa
plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam
pertama
2) Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum
hemorrhage) Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama
d. Diagnosa HPP
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu
diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan
anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan
jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi
pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap
persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum
selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes.
perdarahan yang deras biasanya akan segera menarik perhatian,
sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang merembes
karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian.
Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan
mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan
jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus
ditampung dan dicatat.

111
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina,
tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini
biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri
keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum
diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis,
pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
e. Pencegahan dan Penanganan HPP
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post
partum adalah memimpin kala II dan kala III persalinan secara lega
artis. Apabila persalinan diawasi oleh seorang dokter spesialis
obstetrik dan ginekologi ada yang menganjurkan untuk memberikan
suntikan ergometrin secara IV setelah anak lahir, dengan tujuan
untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi. Penanganan
umum pada perdarahan post partum :
1) Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
2) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan
aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
3) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan
(di ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal
hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
4) Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
5) Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila
dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
6) Atasi syok
7) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah,
lakukam pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM
dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan
permenit.
8) Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi
kemungkinan robekan jalan lahir.
9) Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.

112
10) Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output
cairan
11) Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik
Penanganan antonia uteri , yaitu Banyaknya darah yang hilang
akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam
keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan
klinisnya.
1) Sikap tradelenburg, memasang venous ine dan memberika
oksigen
2) Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
a) Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
b) Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui i.m, i.v, / s.c
c) Memberikan derivat prostaglandin
d) Pemberian misoprostol 800-1000 ug per rektal
e) Kompresi bimanual eksternal dan atau internal
f) Kompresi aorta abdominalis
3) Bila semua tindakan itu gagal , maka dipersiapkan untuk
dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah
konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histerektomi.
2. Antonia uteri
a. Pengertian
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri.
Perdarahan postpartum dengan penyebab uteri tidak terlalu banyak
dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga berencana makin
meningkat (Manuaba & APN).
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan
pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk
melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.

113
Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan
pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.
Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi
setelah janin dan plasenta lahir.

b. Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan
dengan faktor predisposisi (penunjang ) seperti :
1) Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia,
polihidramnion, atau paritas tinggi.
2) Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3) Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4) Partus lama / partus terlantar
5) Malnutrisi.
6) Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya
plasenta belum terlepas dari dinding uterus.

114
c. Gejala Klinis:
1) Uterus tidak berkontraksi dan lunak
2) Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
d. Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III,
yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi
10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter
Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi
risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat
mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif
kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan,
anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai onset
yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti preparat ergometrin. Masa paruh oksitosin
lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai
pencegahan perdarahan postpartum.
e. Penanganan Atonia Uteri
1) Penanganan Umum
a) Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan
siapkan fasilitas tindakan gawat darurat.
b) Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk
tanda vital(TNSP).
c) Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika
tanda -tanda syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan
evaluasi lanjut karena status ibu tersebut dapat memburuk
dengan cepat.
d) Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi
dan pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah
dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi
darah.

115
e) Pastikan bahwa kontraksi uterus baik:
f) lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah.
Bekuan darah yang terperangkap di uterus akan
menghalangi kontraksi uterus yang efektif. berikan 10 unit
oksitosin IM
g) Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
h) Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan
serviks, vagina, dan perineum.
i) Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan
berhenti), periksa kadar Hemoglobin:
 Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari
20%( anemia berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau
ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg
per oral sekali sehari selama 6 bulan;
 Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau
ferous fumarat 60 mg ditambah asam folat 400 mcg per
oral sekali sehari selama 6 bulan;
2) Penanganan Khusus
a) Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
b) Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan
menstimulasi kontraksi uterus yang menghentikan
perdarahan.
c) Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
d) Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi
tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah
perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit
atau rujuk segera.
e) Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan
darah atau selaput ketuban dari vagina & ostium serviks.
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong

116
3) Teknik KBI dan KBE
Kompresi bimanual internal
a) Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril,
dengan lembut masukkan tangan (dengan cara menyatukan
kelima ujung jari) ke intraktus dan ke dalam vagina itu.
b) Periksa vagina & serviks. Jika ada selaput ketuban atau
bekuan darah pada kavum uteri mungkin uterus tidak dapat
berkontraksi secara penuh.
c) Letakkan kepalan tangan pada fornik anterior tekan dinding
anteror uteri sementara telapak tangan lain pada abdomen,
menekan dengan kuat dinding belakang uterus ke arah
kepalan tangan dalam kompresi bimanual eksterna (KBE)
d) Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi
uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh
darah di dalam dinding uterus dan juga merang sang
miometrium untuk berkontraksi.
e) Evaluasi keberhasilan:
 Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang,
teruskan melakukan KBl selama dua menit, kemudian
perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina.
Pantau kondisi ibu secara melekat selama kala empat.
 Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus
berlangsung, periksa perineum, vagina dari serviks
apakah terjadi laserasi di bagian tersebut. Segera
lakukan si penjahitan jika ditemukan laserasi.
 Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit,
ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual
eksternal (KBE, Gambar 5-4) kemudian terus kan
dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya. Minta tolong keluarga untuk mulai
menyiapkan rujukan. Alasan: Atonia uteri seringkali

117
bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak berhasil dalam
waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
f) Berikan 0,2 mg ergometrin IM (jangan berikan ergometrin
kepada ibu dengan hipertensi). Alasan : Ergometrin yang
diberikan, akan meningkatkan tekanan darah lebih tinggi
dari kondisi normal.
g) Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18),
pasang infus dan berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang
mengandung 20 unit oksitosin. Alasan: Jarum dengan
diameter besar, memungkinkan pemberian cairan IV secara
cepat, dan dapat langsung digunakan jika ibu
membutuhkan transfusi darah. Oksitosin IV akan dengan
cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat akan
membantu mengganti volume cairan yang hiking selama
perdarahan.
h) Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan
ulangi KBI. Alasan : KBI yang digunakan bersama dengan
ergometrin dan oksitosin dapat membantu membuat uterus-
berkontraksi
i) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2 menit,
segera lakukan rujukan Berarti ini bukan atonia uteri
sederhana. Ibu membutuhkan perawatan gawat-darurat di
fasilitas kesehatan yang dapat melakukan tindakan
pembedahan dan transfusi darah.
j) Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI
hingga ibu tiba di tempat rujukan. Teruskan pemberian
cairan IV hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:
 Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu
10 menit.
 Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat
rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan
mencapai 1,5 liter, dan kemudian berikan 125 ml/jam.

118
 Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi
500 ml cairan dengan tetesan lambat dan berikan cairan
secara oral untuk asupan cairan tambahan.

4) Kompresi bimanual eksternal


a) Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat
di atas simfisis pubis.
b) Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen
(dibelakang korpus uteri), usahakan memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin
c) Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk
melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus
dengan cara menekan uterus di antara kedua tangan
tersebut. (Pusdiknakes, Asuhan Persalinan Normal) Jika
perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:
 Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika.
 Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang
mengancam jiwa setelah ligasi.
3. Robekan jalan lahir
a. Pengertian
1) Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang
membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva
dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999).
Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma

119
pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus
levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta
selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani
membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan
posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina
ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di
sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien
untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan
rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada
tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar
diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas
iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari
muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor
uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham,
1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara
anus dan vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium,
tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis
transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini
yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung
utama perinium, sering robek selama persalinan, kecuali
dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat.
Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa
puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia
eksterna.

120
2) Luka Perinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat
persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap
(Prawirohardjo S,1999). Luka perinium, dibagi atas 4tingkatan :
a) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina
dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
b) Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan
otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot
spingter ani
d) Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
b. Etiologi
1) Faktor Maternal
a) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak
ditolong
b) Pasien tidak mampu berhenti mengejan
c) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan
fundus yang berlebihan.
d) Edema dan kerapuhan pada perineum
e) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum

121
f) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang
sempit pula sehingga
g) menekan kepala bayi ke arah posterior.
h) Peluasan episiotomi
2) Faktor-faktor janin :
a) Bayi yang besar
b) Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan
occipitoposterior
c) Kelahiran bokong
d) Ekstrasksi forceps yang sukar
e) Dystocia bahu
f) Anomali congenital, seperti hydrocephalus.

g) Klasifikasi Robekan Jalan Lahir & Perinium


c. Penatalaksanaan
Robekan perineum yang melebihi tingkat satu harus dijahit.
Hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada
kemungkinan plasenta harus dilakukan secara manual, tetapi lebih
baik tindakan itu ditunda sampai plasenta lahir. Pasien dianjurkan
untuk berbaring dalam posisi litotomi dilakukan pembersihan luka
dengan cairan antiseptic dan luas robekan ditentukan dengan
seksama.
Pada robekan perineum tingkat dua, setelah di beri anestesi
local otot-otot diafragma urogenetalis dihubungkan di garis tengah
dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum
ditutup dengan mengikutsertakan jaringan- jaringan di bawahnya.
Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti,
mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian vasia
prarektal ditutup dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek
dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan perineum tingkat
dua. Penatalaksanaan Medis
1) Penjahitan robekan serviks

122
a) Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan
larutan anti septik ke vagina dan serviks
b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak
dibutuhkan pada sebagian besar robekan serviks. Berikan
petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan
mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau
gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan
lebar
c) Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan
lembut untuk membantu mendorong serviks jadi terlihat
d) Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika
perlu
e) Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons
dengan hati–hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan
dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat
seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
f) Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan
benang catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada
apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber
pendarahan.
g) Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan
jelujur menggunakan benang catgut kromik atau
poliglikolik 0.
h) Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks
dengan forcep arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep
tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya
mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat
mempererat pendarahan. Selanjutnya :
2) Penjahitan robekan derajat i dan ii
Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa
dijahit.
a) Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.

123
b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan
anastesi lokal dengan lidokain.
c) Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa
uterus berkontraksi.
d) Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
e) Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk
memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan
IV.
 Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam
anus
 Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
 Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter
f) Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT
g) Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat
III dan IV.
h) Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan
3) Penjahitan robekan perineum derajat iii dan iv
Jahit robekan diruang operasi
a) Tinjau kembali prinsip perawatan umum
b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan
anastesi lokal dengan lidokain. Gunakan blok pedendal,
ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan
menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin
serta diazepam melalui IV dengan perlahan ( jangan
mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi
robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
c) Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa
uterus berkontraksi.
d) Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
e) Untuk melihat apakah spingter ani robek.
 Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam
anus

124
 Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
 Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan
dengan cermat.
f) Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT
g) Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi
fekal, jika ada.
h) Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-
obatan terkait.
i) Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah
mukosa vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal
yang dalam.
j) Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian
jepit area robekan dengan forcep. Jika ibu dapat merasakan
jepitan tsb, tunggu dua menit lagi kemudian lakukan tes
ulang.
k) Jahit rektum dengan jahitan putus-putus menggunakan
benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan
mukosa.
l) Jika spingter robek
 Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis (
sfingter akan beretraksi jika robek ).
 Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek
jika ditarik dengan klem.
 Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus
menggunakan benang 2-0.
m) Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.
n) Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan
untuk memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan
dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih,
steril atau yang DTT.
o) Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.

125
G. Syok
1. Definisi
Syok adalah suatu keadaan gawat yang terjadi jika sistem
kardiovaskuler(jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan
darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai,syok biasanya
berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel maupun
jaringan yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian apabila tidak
segera ditanggulangi.
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan
berkurangnya aliran darah,termasuk kelainan jantung (misalnya serangan
jantung atau gagal jantung), volume darah yang rendah (akibat
perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh darah
(misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
2. Jenis-Jenis Syok
a. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah
dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada
kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang
tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling
sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang
cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus
dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab
yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat
merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan
dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama
kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ
padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik
dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan
(selain darah).
b. Syok Kardiogenik

126
Disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama
sekali. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui
adanya tanda-tanda syok dan dijumpainya adanya penyakit jantung,
seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri
daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan
katub atau sekat jantung.
c. Shock Septic
Suatu keadaan dimana tekanan darah turun sampai tingkat
yang membahayakan nyawa sebagai akibat dari sepsis, disertai
adanya infeksi (sumber infeksi). Syok septik terjadi akibat racun
yang dihasilkan oleh bakteri tertentu dan akibat sitokinesis (zat yang
dibuat oleh sistem kekebalan untuk melawan suatu infeksi).Racun
yang dilepaskan oleh bakteri bisa menyebabkan kerusakan jaringan
dan gangguan peredaran darah.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram
negatif yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil
Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya
hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena
vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif,
sedangkan peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang
terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi
tidak disebabkan penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin
kuman.
d. Shock Anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan suatu reaksi alergi yang cukup
serius. Penyebabnya bisa bermacam macam mulai dari makanan,
obat obatan, bahan bahan kimia dan gigitan serangga. Disebut serius

127
karena kondisi ini dapat menyebabkan kematian dan memerlukan
tindakan medis segera.
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian
terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi
dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran
histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi
hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok,
sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan udem.
Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan
ventilasi.

3. Derajat Syok menurut Kegawatannya


a. Syok Ringan
1) Kehilangan volume darah <20%,
2) Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital
seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif
dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya
perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak
terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun,
asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
3) Tanda klinis: rasa dingin, hipotensi postural, takikardi, kulit
lembab, urine pekat, diuresis kurang, kesadaran masih normal
b. Syok Sedang
1) Kehilangan cairan 20%-40% dari volume darah total
2) Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati,
usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi
hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada
keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam)
dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih
baik.

128
3) Tanda klinis: penurunan kesadaran, delirium/agitasi, hipotensi,
takikardi, nafas cepat dan dalam, oliguri, asidosis metabolik.
c. Syok Bera t
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme
kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua
organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua
pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan
kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun).
4. Etiologi
Penyebab syok berdasarkan jenis syok sebagai berikut :
a. syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah):
1) kehilangan darah, misalnya perdarahan
2) kehilangan plasma, misalnya luka bakar dan
3) dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama),
cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah,).
4) cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah,
fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen
usus).
b. syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri):
1) penyakit jantung iskemik, seperti infark
2) obat-obat yang mendepresi jantung; dan
3) gangguan irama jantung.
c. syok septic
1) infeksi bakteri gram negative
2) malnutrisi,
3) luka besar terbuka
4) iskemia saluran pencernaan
d. syok anafilaktik
1) makanan,
2) obat obatan,
3) bahan-bahan kimia dan

129
4) gigitan serangga
5. Tanda-Tanda dan Gejala Syok
a. syok hipovolemik
1) pucat
2) kulit dingin
3) takikardi
4) oliguri
5) hipotensi
b. syok kardiogenik
1) hipotensi (< 90 mmHg)
2) gelisah,
3) pucat,
4) kulit dingin dan basah,
5) menurunnya kesadaran
6) nadi : pengisian kurang, cepat 90-110/menit. Mungkin
bradikardi
7) pernapasan : takipnea,
8) produksi urin berkurang (Oliguria : < 30 mg/jam)
c. syok septic
1) pernafasan menjadi cepat,
2) hipotensi
3) menggigil hebat,
4) suhu tubuh yang naik sangat cepat
5) kulit hangat dan kemerahan
6) denyut nadi lemah
7) tekanan darah yang turun-naik
8) oliguri
d. syok anafilaktik
1) bercak kemerahan pada kulit yang disertai dengan rasa gatal.
2) bengkak pada tenggorokan dan atau organ tubuh yang lain.
3) sesak atau kesulitan untuk bernafas.
4) rasa tidak nyaman pada dada (seperti diikat dengan kencang).

130
5) suara serak.
6) kehilangan kesadaran.
7) kesulitan menelan.
8) diare, sakit perut dan muntah muntah.
9) kulit menjadi merah atau pucat.
6. Komplikasi Syok
a. Komplikasi syok meliputi:
b. SIRS, dapat terjadi bola syok tidak dikoreksi
a. Gagal ginjal akut (ATN)
b. Gagal hati
c. Ulserasi akibat stress
7. Penanganan Kegawatan Syok di Rumah Sakit
a. Syok Hipovolemik
1) Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16.
2) Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan
kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps
terisi.
3) Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh
darah dan mintakan darah.
4) Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus
harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru,
terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan
sampai terjadi kelebihan cairan.
b. Syok Kardiogenik
1) Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya
dilakukan intubasi.
2) Berikan oksigen 8 - 15 liter/menit dengan menggunakan masker
untuk mempertahankanPO2 70 - 120 mmHg
3) Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok
yang ada harus diatasidengan pemberian morfin
4) Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam
basa yang terjadi.

131
5) Bila mungkin pasang CVP
6) Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
c. Syok Septic
Pada saat gejala syok septik timbul:
1) Penderita segera dimasukkan ke ruang perawatan intesif untuk
menjalani pengobatan.
2) Cairan dalam jumlah banyak diberikan melalui infus untuk
menaikkan tekanan darah dan harus diawasi dengan ketat.
3) Bisa diberikan dopamin atau nor-epinefrin untuk menciutkan
pembuluh darah sehingga tekanan darah naik dan aliran darah ke
otak dan jantung meningkat.
4) Jika terjadi gagal paru-paru, mungkin diperlukan ventilator
mekanik.
5) Antibiotik intravena (melalui pembuluh darah) diberikan dalam
dosis tinggi untuk membunuh bakteri.
6) Jika ada abses, dilakukan pembuangan nanah.
7) Jika terpasang kateter yang mungkin menjadi penyebab infeksi,
harus dilepaskan.
8) Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk mengangkat
jaringan yang mati, misalnya jaringan gangren dari usus.
d. Syok Anafilaktik
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat
sebab penderita berada pada keadaan gawat. Kalau terjadi
komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia,
baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu
dilakukan, adalah:
1) Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
2) Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

132
A. Airway = jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak
sadar, posisi kepala, leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas
buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui
mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri
besar (a.karotis, atau a. emoralis), segera lakukan kompresi
jantung luar.
3) Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk
penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak,
intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit.
4) Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin
kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6
mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5) Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg
atau deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang
untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang
membandel.

133
6) Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke
ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi
syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap
merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid,
maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume
plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa
larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
7) Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita
syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal
dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan
penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin
sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap
dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
8) Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama
kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat
terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi.

134

Anda mungkin juga menyukai