Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem pernapasan berperan dalam homeostasis dengan mempertukarkan


O2 dan CO2 antara atmosfer dan darah. Darah mengankut O2 dan CO2 antara
sistem pernapasan dan jaringan.1

Respirasi adalah keseluruhan proses yang melaksanakan pemindahan


pasif O2 dari atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme sel, serta
pemindahan pasif terus-menerus CO2 yang dihasilkan oleh metabolisme dari
jaringan ke atmosfer. Fungsi utama dari respirasi (pernapasan) adalah
memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan CO2
yang diproduksi oleh sel. 1

Respirasi terbagi atas dua proses yang berbeda tetapi saling berkaitan
yaitu sebagai berikut:

1. Respirasi Eksternal yang merujuk kepada seluruh rangkaian kejadian dalam


pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
2. Respirasi Internal atau respirasi sel merujuk kepada proses-proses metabolik
intrasel yang dilakukan di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul nutrien.1

Bronkiolitis adalah gangguan yang umum terjadi disebabkan oleh virus


yang menginfeksi saluran pernapasan bawah (interstisial) pada bayi. Bronkiolitis
ditandai dengan inflamasi akut, edema, nekrosis pada sel epitel yang melapisi
saluran udara kecil dan peningkatan produksi mukus. Tanda dan gejala yang khas
dimulai dengan rinitis dan batuk, yang dapat berkembang menjadi takipneu,
wheezing, dispneu dan terdapat tarikan dinding dada. Bronkiolitis umumnya
terjadi pada bayi yang berumur diantara 12 bulan pertama kehidupannya,
puncaknya pada usia 3-6 bulan. Bronkiolitis umumnya merupakan kondisi
penyakit self-limiting yang sering dikaitkan dengan RSV (respiratory syncytial
virus).5

1
BAB II
INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Bronkiolitis paling sering disebabkan oleh RSV (respiratory syncytial


virus), 90% anak-anak dengan bronkiolitis terinfeksi RSV dalam 2 tahun pertama
kehidupannya, dan hingga 40% akan mengalami infeksi saluran pernapasan
bawah selama infeksi awal terjadi. Bronkiolitis merupakan penyebab paling
umum dari pasien rawat inap bayi berumur 12 bulan pertama kehidupan. Pada
penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Centers for disease control and
prevention hospitalization melaporkan anak-anak yang berusia <24 bulan di rawat
inap dengan infeksi RSV rata-rata 52 per 1000 anak selama periode 5 tahun antara
tahun 2000 sampai 2005. Pada tingkat tertentu usia tertinggi RSV yang di rawat
inap terjadi pada bayi berusia antara 30-60 hari (25 per 1000 anak).5,6
Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi pernapasan tersering pada bayi.
Kejadian tersering terjadi pada usia 2 sampai 24 bulan, dengan puncak 2 sampai 8
bulan. Berdasarkan jenis kelamin, bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi laki-
laki berusia 3 sampai 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di
lingkungan padat penduduk. Bronkiolitis lebih banyak terjadi pada laki-laki, yaitu
sekitar 1,25 sampai 1,6 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.
Ditemukan juga bahwa 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.5,7
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada negara-negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tinjauan medis, serta kepadatan
penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada
anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.7

2
BAB III
ANATOMI DAN FISIOLOGI

3
Gambar 3.1 : Respiratory System 1
Saluran pernapasan berawal dari nasal (hidung), saluran nasal membuka
ke dalam faring (tenggorokan) yang berfungsi sebagai saluran bersama untuk
sistem pernapasan dan pencernaan, terdapat dua saluran yang berasal dari faring
yaitu trakea yang dilalui oleh udara untuk menuju paru, dan esofagus yang dilalui
oleh makanan menuju lambung. Karena faring berfungsi sebagai saluran bersama
untuk udara dan makanan maka sewaktu menelan terjadi refleks epiglotis yang
menutup trakea agar makanan masuk ke esofagus dan bukan ke saluran napas.
Esofagus selalu tertutup kecuali ketika menelan makanan untuk mencegah udara
masuk ke lambung sewaktu bernapas. 2,3

Laring atau voice box, terletak di pintu masuk trakea, tonjolan pada
bagian anterior membentuk jakun (Adam’s Apple). Sewaktu udara dilewatkan
melalui pita suara yang kencang, lipatan tersebut bergetar untuk menghasilkan
berbagai suara bicara, dan sewaktu menelan pita suara melaksanakan fungsinya
yang tidak berkaitan dengan bicara keduanya saling mendekat untuk menutup
pintu masuk ke trakea. Di bagian belakang laring, trakea terbagi menjadi dua
cabang utama yaitu bronkus kanan (bronchus principalis dexter) dan kiri
(bronchus principalis sinister). Kemudian bronchus principalis dexter akan
bercabang menjadi bronchus lobaris dexter yang terbagi menjadi 3 bagian

4
(superior, medius, dan inferior), sedangkan pada bronchus principalis sinister akan
bercabang menjadi bronchus lobaris sinister yang terbagi menjadi 2 bagian
(superior dan inferior). Bronchus lobaris kemudian akan bercabang menjadi
bronchus segmentalis.2,3,4

Di dalam masing-masing paru bronkus terus bercabang-cabang menjadi


saluran napas yang semakin sempit, pendek dan banyak. Cabang-cabang yang
lebih kecil dikenal sebagai bronkiolus. Di ujung bronkiolus terminal terdapat
kelompok-kelompok alveolus yaitu kantung-kantung udara halus tempat
pertukaran gas antara udara dan darah. Bronkiolus terminalis berfungsi sebagai
pengahantar udara ke tempat pertukaran gas dan darah di alveolus. Setelah
bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu
tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yaitu struktur akhir pada paru. Dalam
setiap paru terdapat sekitar 300 juta alveolus.2,4

Paru mempunyai dua sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi
sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru. Arteri
bronkialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior
bronkus. Vena bronkialis yang besar mengalirkan darahnya ke dalam sistem
azygos, yang kemudian bermuara pada vena kava superior dan mengembalikan
darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah
ke vena pulmonalis. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan
mengalirkan darah vena campuran ke paru, yaitu darah yang mengambil bagian
dalam pertukaran gas. Darah teroksigenasi kemudian dikembalikan melalui vena
pulmonalis ke ventrikel kiri, selanjutnya disalurkan ke sel-sel melalui sirkulasi
sistemik. Sirkulasi paru merupakan suatu sistem tekanan rendah dan resistensi
rendah dibandingkan dengan sirkulasi sistemik. Tekanan darah sistemik sekitar
120/80 mmHg sedangkan tekanan darah pulmonar sekitar 25/10 mmHg dengan
rata-rata sekitar 15 mmHg. 2,3

5
Inervasi dari paru oleh plexus pulmonalis terbagi atas 2 yaitu
parasimpatis N. Vagus (bronchoconstrictor dan vasodilator) dan simpatis T.
Simpatikus T1-5 (bronchodilator dan vasokonstriktor), sedangkan pada bagian-
bagian paru yaitu facies costalis di inervasi oleh N. Intercostalis, facies
mediastinal si inervasi oleh N. Phrenicus dan facies diaphragmatica di inervasi
oleh N. Phrenicus dan N. Intercostalis.2

6
BAB IV
ETIOPATOGENESIS

Bronkiolitis dapat disebabkan oleh beberapa virus seperti human


rhinovirus, human metapneumovirus, influenza, adenovirus, coronavirus, dan
parainfluenza virus. Berdasarkan penelitian pasien dengan bronkiolitis 76%
disebabkan oleh RSV (respiratory syncytial virus), 39% disebabkan oleh
rhinovirus, 10% disebabkan oleh influenza, 2% disebabkan oleh coronavirus, 3%
disebabkan human metapneumovirus dan 1% disebabkan oleh parainfluenza
virus. Meskipun demikian, belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan
oleh bakteri.7,8
Faktor resiko untuk perkembangan penyakit bronkiolitis yaitu:
a. Berat badan lahir rendah, bayi prematur
b. Kelompok sosialekonomi yang rendah
c. Salah satu anggota keluarga perokok
d. Penyakit paru kronik, terutama brochopulmonary dysplasia
e. Congenital heart disease (CHD) dengan hipertensi pulmonal
f. Penyakit defisiensi imun
g. Airway anomalies 9

Gambar 4.1 : Bronkiolitis5

7
Bronkiolus adalah saluran napas bagian interstisial yang memiliki
diameter < 2 mm, yang kurang memiliki kartilago dan glandula submukosa. Pada
dinding bronkiolus terdiri dari sekresi surfaktan, sel clara dan sel neuroendokrin,
yang merupakan sumber dari produk bioaktif seperti somatostatin, endotelin dan
serotonin. Cedera pada bronkiolus dan interaksi langsung antara sel-sel inflamasi
dan mesenkimal dapat menyebabkan beragam patologis dan sindrom klinis, efek
dari cedera bronkiolus meliputi :
a. Peningkatan sekresi mucus
b. Obstruksi dan konstriksi bronkiolus
c. Kematian sel alveolar, mucus debris, invasi virus
d. Atelectasis
e. Ventilasi yang berkurang
f. Sesak nafas 8,9
Infeksi pada saluran pernapasan akan menyebabkan obstruksi pada
saluran-saluran napas kecil dan nekrosis pada sel-sel yang melapisi saluran napas
bawah, sehingga menyebabkan “air trapping” dengan ekspirasi yang memanjang.
Wheezing muncul akibat adanya bronkospasme, inflamasi mukosa, dan edema.
Penampakan klinis pada anak berupa peningkatan usaha napas, peningkatan laju
respirasi, dan wheezing. Jika infeksi yang terjadi berat, dapat ditemukan adanya
retraksi interkostal dan tanda-tanda dari impending respiratory failure. 10
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus akan memicu respon
inflamasi akut, yang ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi
mukus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti
dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan
aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori,
maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara
yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori
kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka terjadi
air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi
total dan udara yang terjebak diabsorbsi. Proses patologis ini akan mengganggu

8
pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang
berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi
hipoksia jaringan. 9,11

Gambar 4.2 : Obstruction Bronchial 11

Mekanisme imunologi yang kompleks sangat berperan dalam patogenesis


dari bronkiolitis. Ketika terjadi reaksi alergi tipe 1 yang dimediasi oleh
immunoglobulin E dapat menjelaskan beberapa gejala klinis bronkiolitis yang

9
signifikan. Berdasarkan penelitian bayi yang mendapat ASI dengan kolostrum
yang kaya akan immunoglobulin A tampak relatif melindungi dari penyakit
bronkiolitis. Nekrosis pada epitel pernapasan adalah salah satu lesi awal pada
bronkiolitis yang terjadi dalam waktu 24 jam dari terpajannya infeksi. Proliferasi
sel goblet mengakibatkan produksi lendir yang berlebihan, sedangkan regenerasi
sel epitel dengan non bersilia diakibatkan oleh gangguan eliminasi sekresi lendir.
Infiltrasi limfositik dapat mengakibatkan edema pada submukosa.12,13

10
BAB V
DIAGNOSIS

5.1 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada bronkiolitis yaitu karena penyakit ini
mempengaruhi bayi yang berumur < 12 bulan, maka manifestasi klinis pada
awal penyakit sebagai berikut:
a. Bayi akan semakin rewel dan mengalami kesulitan makan selama
masa inkubasi 2-5 hari
b. Demam pada tingkat rendah (37,8 0C), dan pada bayi yang berusia
kurang dari 1 bulan akan mengalami hipotermia.5,6
Pada kasus yang berat bronkiolitis dapat berkembang lebih dari 48
jam di tandai dengan tanda dan gejala seperti gangguan pernapasan dengan
takipneu, cuping hidung, retraksi, dan mungkin disertai dengan sianosis.
Diagnosis dari bronkiolitis berdasarkan presentasi klinis, usia, terjadi pada
musim-musim tertentu, dan temuan dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan
takipneu, takikardi, demam (38-39 0C), retraksi, wheezing, dan hipoksia.12
5.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diagnostik diperlukan untuk menyertakan
diagnosis lain yang mungkin menyertai penyakit bronkiolitis (seperti:
pneumonia bacterial, sepsis, atau congestive heart failure) atau untuk
mengkonfirmasi etiologi virus dan menentukan pengendalian infeksi yang
di perlukan oleh pasien yang di rawat di rumah sakit. Pemeriksaan
laboratorium yang biasanya dilakukan pada pasien bronkiolitis adalah Rapid
viral antigen testing untuk melihat antigen RSV pada sampel sekret
nasofaring, analisis gas darah, white blood cell count, blood culture, dan
analisis atau kultur dari cairan serebrospinal. Untuk pemeriksaan
elektrokardiografi dan echokardiografi dilakukan pada anak-anak yang
mengalami aritmia atau kardiomegali. 5,9,13

11
5.3 Radiografi
Pemeriksaan radiografi pada kasus bronkiolitis tidak rutin diperlukan.
Pemeriksaan rontgen dada diperlukan pada anak-anak yang mengalami
gejala klinis yang berat atau pada anak-anak yang berada pada resiko tinggi
terjadinya penyakit jantung atau mempunyai riwayat abnormalitas dan
penyakit paru sebelumnya.12,14
Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema)
dengan diameter anteroposterior membesar, dan infiltrat/bercak konsolidasi
yang tersebar (patchy infiltrate). Namun, gambaran ini tidak spesifik dan
dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal. Gambaran lain
yang dapat ditemukan adalah gambaran normal, atelektasis, dan kolaps
segmenta. Atelektasis terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat
bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-posterior. 6,13

Gambar 5.1: A chest radiography revealing lung hyperinflation with a


flattened diaphragm and bilateral atelectasis in the right apical and left basal
regions in a 16-day-old infant with severe bronchiolitis.15

12
Gambar 5.2 : Gambaran Brokiolitis perempuan umur 50 tahun CT Scan
potongan coronal 15

Gambar 5.3 : Gambaran Brokiolitis perempuan umur 50 tahun CT Scan


potongan axial 15

13
BAB VI
DIAGNOSIS BANDING

6.1 Asma
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama
kalinya. Berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang kali.
Diagnosis banding utama bronkiolitis pada anak adalah asma. Kedua
penyakit ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun adanya kejadian
mengi berulang, tidak adanya gejala prodromal infeksi virus, dan adanya
riwayat keluarga dengan asma dan atopi dapat membantu menegakkan
diagnosis asma.6,9

Gambar 6.1 : Gambaran Foto Thorax dengan Asma laki-laki berumur


5 tahun15

14
6.2 Bronkitis
Bronkitis kronis ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang
berlebihan (ekspektorasi) dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak
nyaman akibat batuk kronik berdahak tersebut. Pada tampakan gambaran
foto thorax terdapat corakan paru yang ramai dan disertai emfisema
(ringan), dan kadang-kadang disertai bronkiektasis di parakardial kanan
dan kiri, sedangkan pada bronkitis berat di temukan hal-haltersebut diatas
dan disertai cor pulmonale sebagai komplikasi bronkitis kronik.6,14

Gambar 6.2 Gambaran Foto Thorax dengan bronkitis laki-laki


berumur 3 tahun 15

15
BAB VII
PENATALAKSANAAN

Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan


biasanya hanya suportif. Prinsip pengobatan pada bronkiolitis adalah sebagai
berikut :
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres
pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal
prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30-
40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan
dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent)
untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen diteruskan
sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2 L/menit
dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di
Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).6,8
2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena
pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Pada bayi >1 bulan diberikan
infus dextrose 10%:NaCl 0,9% = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan.
Sedangkan pada neonatus diberikan dextrose 10%:NaCl 0,9% = 4:1+KCl
10 mEq/500 ml. Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan
suhu, dan status hidrasi. 6,9
3. Brokodilator dan Kortikosteroid
Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus
diberikan. Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di
Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala klinis,
namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat
inap, ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada

16
keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan. Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason
oral pada anak dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat
inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit. Nebulisasi
hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat. Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk
membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada saluran
pernapasan. 9,12
4. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih
kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American
Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik,
imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan
penyakit jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya
dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam
12-18 jam per hari selama 3-7 hari. 6
5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh
virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering
digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak
terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut, sehingga penggunaannya
diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik
yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma
pneumoniae diatasi dengan eritromisin.9,13

17
BAB VIII
PROGNOSIS

Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi self-limiting. Terapi yang di


berikan merupakan terapi suportif, seperti oksigenasi, hidrasi, dan mengontrol
demam. Dengan diagnosis yang cepat dan tepat prognosis penyakit ini biasanya
sangat baik. Sebagian besar anak-anak yang menderita penyakit bronkiolitis
dengan stadium ringan sembuh tanpa gejala sisa.13
Suatu studi kohort menunjukkan bahwa 23% bayi yang memiliki riwayat
bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Penelitian lain yang
dilakukan di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan
bronkiolitis memiliki kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru
pada usia 7 tahun dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa
adanya hiperreaktivitas yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita
bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV positif maupun negatif. 10,13
Sekitar 40-50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan
menderita mengi di kemudian hari. Infeksi dari RSV berkaitan dengan respon sel
T berupa produksi sitokin oleh sel Th tipe 2, yang juga terjadi pada asma.
Keadaan ini ditandai dengan sitokin oleh sel T dan eosinofil, serta pelepasan
mediator yang larut (histamin, kini, dan leukotrien lain). Pada anak dengan
bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan kadar
antibodi IgE terhadap RSV dan virus parainfluenza, menunjukkan antibodi yang
dirangsang virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat
mempengaruhi mengi dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan
responsifnya saluran respiratori.13

18

Anda mungkin juga menyukai