Anda di halaman 1dari 25

A.

Kala IV
1. HPP
a) Pengertian HPP
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP) adalah
konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di
traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya. Efek perdarahan banyak
bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat
kelahiran. Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah
nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan
darah yang sangat banyak
b) Penyebab HPP
1) Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Merah)
Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan
baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
2) Retensio plasenta plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit
setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan
aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta
dan uterus
Patologi – anatomi :
a) Plasenta akreta : vilous plasenta melekat ke miometrium
b) Plasenta increta : vilous menginvaginasi miometrium
c) Plasenta percreta : vilous menembus miometrium sampai serosa
3) Robekan jalan lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir
lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan
tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir
Perluakaan jalan lahir terdiri dari :
a) Dibagi atas 4 tingkat : tingkat I-IV
b) Hematoma vulva
c) Robekan dinding vagina
d) Robekan serviks
4) Gangguan pembekuan darah
5) Perdarahan post partum lambat : sisa plasenta
c) Klasifikasi HPP
1) Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum hemarrhage)
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya
adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan
lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
2) Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum
hemorrhage) Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama
d) Diagnosa HPP
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada
perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan
berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum
tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap
persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras
biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan
perdarahan yang merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat
perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan
mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah
perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk
di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya
kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari
perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis,
pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.

e) Pencegahan dan Penanganan HPP


Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum adalah
memimpin kala II dan kala III persalinan secara lega artis. Apabila persalinan
diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetrik dan ginekologi ada yang
menganjurkan untuk memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak
lahir, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi.
Penanganan umum pada perdarahan post partum :
1) Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
2) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
(termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
3) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang
persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di
ruang rawat gabung).
4) Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
5) Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
6) Atasi syok
7) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam
pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam
500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
8) Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan
jalan lahir.
9) Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
10) Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
11) Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik

Penanganan antonia uteri :


Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien.
Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok
berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung
pada keadaan klinisnya.
1) Sikap tradelenburg, memasang venous ine dan memberika oksigen
2) Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
a. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
b. Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui i.m, i.v, / s.c
c. Memberikan derivat prostaglandin
d. Pemberian misoprostol 800-1000 ug per rektal
e. Kompresi bimanual eksternal dan atau internal
f. Kompresi aorta abdominalis
3) Bila semua tindakan itu gagal , maka dipersiapkan untuk dilakukan
tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif
(mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi.
Penanganan episiotomi, robekan perineum dan robekan vulva :
Ketiga jenis perlukaan harus dijahit
1. Robekan perineum tingkat I
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai
catgut yang dijahitkan secara jelujur dengan cara jahitan angka delapan (
figure of eight)
2. Robekan perineum tingkat II
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat 1 atau tingkat
II, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka
pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir
robekan sebelah kiri dan kana masing2 djepit dengan klem terlebih dahulu,
kemudian di gunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan
penjahitan luka robekan.
3. Robekan perineum tingkat III
Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek
dijahit, kemudian fasia perirektal dan fasial septum rektovaginal dijahit
dengan catguk kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot
sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit dengan klem / pean lurus,
kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan
perineum tingkat II
4. Robekan perineum tingkat IV
Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk
melakukan perbaikan cukup tinggi dan resiko terjadinya gangguan berupa
gejala sisa dapat menimbulkan keluhan sepanjang kehidupannya, maka
dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan
rencana tindakan perbaikan dirumah sakit kabupaten/ kota

Penanganan hematoma :
1. Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besarnya hematoma.
Pada hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, sukup dilakukan
kompresi
2. Pada hematoma yang besar lebih2 disertai dengan anemia dan presyok,
perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan
di sepanjang bagian hematoma yng paling terengggang. Seluruh bekuan
dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahti sumber perdarahan
tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat
dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat dan meninggalkan
ujung kasa tersebut diluar

Penanganan robekan dinding vagina :


1. Robekan dinding vagian harus dijahit
2. Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk kerumah sakit

Penanganan robekan serviks :


Bibir depan dan bibir elakang serviks dapat dijepit dengan klem fenster.
Kemudian serviks ditarik sedikti untuk menentukan letak robekan dan
ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai
dari ujung robekan untuk mengehentikan perdarahan

Penanganan retensio plasenta :


1. Kalau plasenta dalam ½ jam setelah anak lahir, belum memperlihatkan
gejala-gejala perlepasan, maka dilakukan pelepasan maka dilakukan manual
plasenta
a. Tehnik pelepasan plasenta secara manual : alat kelamin luar pasien di
desinfeksi begitu pula tangan dan lengan bawah si penolong. Setelah tangan
memakai sarung tangan, labia disingkap, tangan kana masuk secara obsteris
ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri. Tangan dalam kini
menyusuri tali pusat yang sedapat-dapatnya direnggangkan oleh asisten.
b. Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir
plasenta dan sedapat-dapatnya mencari pnggir yang sudah terlepas
c. Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan
ialah antara bagian plasena yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan
gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah plasenta terlepas
seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar
2. Plasenta akreta
Terapi : plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual
tetapi plasenta akreta komplit tidak boleh dilepaskan secara manual karena
usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim. Terapi terbaik dalam
hal ini adalah histerektomi

Pencegahan gangguan pembekuan darah :


Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan utnuk menata strategi pelayanan ibu
hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas
kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi,
pada saat proses persalinan, semua kahamilan mempunyai resiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasaca
persalinan. Antisipasi terhadap t=hal tersebut dapat dilakukan sebagai
berikut :
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki kaeadaan umum dan
mengatasi setiap penyakit kronis, anemia dan lain-lain sehingga pada saat
hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal
2. Mengenal faktor predisposisi perdarahan pasca persalinan seperti
mutiparitas, anak besar, hamil kembar hidramnion, bekas seksio, ada
riwayat perdarahan pasca persalinan sbelumnya dan kehamilan resiko tinggi
lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pecegahan partus lama
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamilan resiko rendah agar emlahirkan di tenga kesehatan yang
terlatih dan menghindari persalinan dukun
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama mengahdapi
perdarahan pasca persalinan dan mengadakan rujukan sebagaiman mestinya

Penanganan sisa plasenta


1. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakuakn dengan kuretase.
Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat
dikeluarkan secara manual
Kuretase harus dilakukan dirumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim realatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus
2. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilajutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau peroral
3. Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi
ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
4. Lakukan ekplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh isntrument, lakukan
evakuasi sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi atau kuretase
5. Bila kadar Hb 8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hr selama 10 hari.

2. Antonia uteri
a) Pengertian
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah
dilakukan rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. Perdarahan postpartum
dengan penyebab uteri tidak terlalu banyak dijumpai karena penerimaan gerakan
keluarga berencana makin meningkat (Manuaba & APN).
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah
implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak
berkontraksi.
Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan
plasenta lahir.

b) Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau
paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum
terlepas dari dinding uterus.

c) Gejala Klinis:
1. Uterus tidak berkontraksi dan lunak
2. Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).

d) Pencegahan atonia uteri.


Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian
oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U
Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai
onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi
tetani seperti preparat ergometrin. Masa paruh oksitosin lebih cepat dari
Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan
perdarahan postpartum.

e) Penanganan Atonia Uteri


1) Penanganan Umum
a. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat.
b. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda
vital(TNSP).
c. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda
syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena
status ibu tersebut dapat memburuk dengan cepat.
d. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan
pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
e. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik:
f. lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan
darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus
yang efektif. berikan 10 unit oksitosin IM
g. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
h. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks,
vagina, dan perineum.
i. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
b) Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti),
periksa kadar Hemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60
mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6
bulan;

2) Penanganan Khusus
a. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
b. Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi
kontraksi uterus yang menghentikan perdarahan.
c. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
d. Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi
perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan
serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
e. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau
selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa
kandung kemih telah kosong
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi
sesuai kebutuhan. Jika perdarahan terus berlangsung, pastikan
plasenta lahir lengkap, jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak
adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran dengan
pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.Lakukan uji
pembekuan darah sederhana.
Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau
adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan
adanya koagulopati.

3) Teknik KBI dan KBE


Kompresi bimanual internal
a) Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan
lembut masukkan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung
jari) ke intraktus dan ke dalam vagina itu.
b) Periksa vagina & serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan
darah pada kavum uteri mungkin uterus tidak dapat berkontraksi
secara penuh.
c) Letakkan kepalan tangan pada fornik anterior tekan dinding anteror
uteri sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan
kuat dinding belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam
kompresi bimanual eksterna (KBE)
d) Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam
dinding uterus dan juga merang sang miometrium untuk
berkontraksi.
e) Evaluasi keberhasilan:
1) Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan
melakukan KBl selama dua menit, kemudian perlahan-lahan
keluarkan tangan dari dalam vagina. Pantau kondisi ibu secara
melekat selama kala empat.
2) Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung,
periksa perineum, vagina dari serviks apakah terjadi laserasi di
bagian tersebut. Segera lakukan si penjahitan jika ditemukan
laserasi.
3) Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan
keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE,
Gambar 5-4) kemudian terus kan dengan langkah-langkah
penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta tolong keluarga
untuk mulai menyiapkan rujukan. Alasan: Atonia uteri seringkali
bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak berhasil dalam waktu 5
menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
6. Berikan 0,2 mg ergometrin IM (jangan berikan ergometrin
kepada ibu dengan hipertensi). Alasan : Ergometrin yang
diberikan, akan meningkatkan tekanan darah lebih tinggi dari
kondisi normal.
7. Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18),
pasang infus dan berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang
mengandung 20 unit oksitosin. Alasan: Jarum dengan diameter
besar, memungkinkan pemberian cairan IV secara cepat, dan dapat
langsung digunakan jika ibu membutuhkan transfusi darah.
Oksitosin IV akan dengan cepat merangsang kontraksi uterus.
Ringer Laktat akan membantu mengganti volume cairan yang
hiking selama perdarahan.
8. Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan
ulangi KBI. Alasan : KBI yang digunakan bersama dengan
ergometrin dan oksitosin dapat membantu membuat uterus-
berkontraksi
9. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2 menit,
segera lakukan rujukan Berarti ini bukan atonia uteri sederhana.
Ibu membutuhkan perawatan gawat-darurat di fasilitas kesehatan
yang dapat melakukan tindakan pembedahan dan transfusi darah.
10. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI
hingga ibu tiba di tempat rujukan. Teruskan pemberian cairan IV
hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:
a. Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10
menit.
b.Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan
atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5
liter, dan kemudian berikan 125 ml/jam.
c. Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi 500
ml cairan dengan tetesan lambat dan berikan cairan secara
oral untuk asupan cairan tambahan.

Kompresi bimanual eksternal


a. Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas
simfisis pubis.
b. Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang
korpus uteri), usahakan memegang bagian belakang uterus seluas
mungkin
c. Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan
kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan
uterus di antara kedua tangan tersebut. (Pusdiknakes, Asuhan
Persalinan Normal) Jika perdarahan terus berlangsung setelah
dilakukan kompresi:
i. Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika.
ii. Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa
setelah ligasi.

Uterotonika :
Oksitosin : Merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus
posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter, jika
sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea
dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang
dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai
dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada
miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi,
dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa.
Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal,
transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM
atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis
maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi
perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare,
sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot
halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan
saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan gangguan hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri.
Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk
mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan
angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan pemakaian
Uterotonika untuk menghindari perdarahan masif yang terjadi.

3. Robekan jalan lahir


a) Pengertian
1) Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya
terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu
cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati
pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia
suboksipito bregmatika.
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk
perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya
kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang
perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari
muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung
fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar
bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan
dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina
dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan
garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah
rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar
diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis
phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis
profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna
(Cunningham, 1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina
diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus,
muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan
ini yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama
perinium, sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang
memadai pada saat yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi
merupakan infeksi masa puerperium yang paling sering ditemukan pada
genetalia eksterna.
2) LukaPerinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian
perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :

a) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau


tanpa mengenai kulit perinium
b) Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot
perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter
ani
d) Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
b) Etiologi
Faktor Maternal
1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong
2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan
3) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang
berlebihan.
4) Edema dan kerapuhan pada perineum
5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula
sehingga
7) menekan kepala bayi ke arah posterior.
8) Peluasan episiotomi

Faktor-faktor janin :

a) Bayi yang besar


b) Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan
occipitoposterior
c) Kelahiran bokong
d) Ekstrasksi forceps yang sukar
e) Dystocia bahu
f) Anomali congenital, seperti hydrocephalus.

g) Klasifikasi Robekan Jalan Lahir & Perinium

1. Vagina
Perlukaan vagina sering terjadi sewaktu :

a) Melahirkan janin dengan cnam.


b) Ekstraksi bokong
c) Ekstraksi vakum
d) Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto posterior.
e) Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis) bentuk
robekan vagina bisa memanjang atau melintang.

Komplikasi robekan vagina antara lain :

a. Perdarahan pada umumnya pada luka robek yang kecil dan superfisial
terjadi perdarahan yang banyak, akan tetapi jika robekan lebar dan dalam,
lebih-lebih jika mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan
yang hebat.

b. Infeksi jika robekan tidak ditangani dengan semestinya dapat terjadi infeksi
bahkan dapat timbul septikami.

Perlukaan pada dinding depan vagina sering kali terjadi terjadi di


sekitar orifisium urethrae eksternum dan klitoris. Perlukaan pada klitoris dapat
menimbulkan perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan tersebut tidak
dapat diatasi hanya dengan jahitan, tetapi diperlukan penjepitan dengan cunam
selama beberapa hari.

Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri, atau merupakan


lanjutan robekan perineum. Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya
merupakan lanjutan robekan serviks uteri. Pada umumnya robekan vagina
terjadi karena regangan jalan lahir yang berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika
janin dilahirkan. Baik kepala maupun bahu janin dapat menimbulkan robekan
pada dinding vagina. Kadang-kadang robekan terjadi akibat ekstraksi dengan
forceps. Bila terjadi perlukaan pada dinding vagina , akan timbul perdarahan
segera setelah jalan lahir. Diagnosa ditegakkan dengan mengadakan
pemeriksaan langsung.

Untuk dapat menilai keadaan bagian dalam vagina, perlu diadakan


pemeriksaan dengan speculum. Perdarahan pada keadaan ini umumnya adalah
perdarahan arterial sehingga perlu dijahait. Penjahitan secara simpul dengan
benang catgut kromik no.0 atau 00, dimulai dari ujung luka sampai luka
terjahit rapi.

Pada luka robek yang kecil dan superfisal, tidak diperlukan penanganan
khusus pada luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan penjahitan
secara terputus-putus atau jelujur.

Bisanya robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva
maupun perinium. Jika robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat
melebar ke arah rongga panggul, sehingga kauum dougias menjadi terbuka.
Keadaan ini disebut kolporelasis. Kolporeksis adalah suatu keadaan dimana
menjadi robekan pada vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan
sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini dapat memanjang dan
melintang.

2. Perlukaan Vulva

Perlukaan vulva terdiri atas 2 jenis yaitu :

a) Robekan Vulva
Perlukaan vulva sering dijumpai pada waktu persalinan. Jika diperiksa
dengan cermat, akan sering terlihat robekan. Robekan kecil pada labium
minus, vestibulum atau bagianbelakang vulva. Jika robekan atau lecet
hanya kecil dan tidak menimbulkan perdarahan banyak, tidak perlu
dilakkan tindakan apa-apa. Tetapi jika luka robekan terjadi pada
pembuluh darah, lebih-lebih jika robekan terjadi pada pembuluh darah di
daerah klitoris, perlu dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan
luka robekan. Luka-luka robekan diahit dengan catgut secara terputus-
putus ataupun secara jelujur. Jika luka robekan terdapat di sekitar
orifisium uretra atau diduga mengenai vesika urinaria, sebaiknya sebelum
dilakukan penjahitan, dipasang dulu kateter tetap.
b) Hematoma Vulva
Terjadinya robekan vulva disebabkan oleh karena robeknya, pembuluh
darah terutama vena yang terikat di bawah kulit alat kelamin luar dan
selaput lendir vagina.
Hal ini dapat terjadi pada kala pengeluaran, atau setelah penjahitan
luka robekan yang senbrono atau pecahnya vasises yang terdapat di
dinding vagina dan vuluz. Sering terjadi bahwa penjahitan luka episiotomi
yang tidak sempurna atau robekan pada dinding vagina yang tidak
dikenali merupakan sebab terjadinya hematome. Tersebut apakah ada
sumber perdarahan. Jika ada, dilakukan penghentian perdarahan.
Perdarahan tersebut dengan mengikat pembuluh darah vena atau arteri
yang terputus. Kemudian rongga tersebut diisi dengan kasa streil sampai
padat dengan meninggalkan ujung kasa tersebut di luar. Kemudian luka
sayatan dijahit dengan jahitan terputus-putus atau jahitan jelujur. Dalam
beberapa hal setelah summer perdarahan ditutup, dapat pula dipakai drain.

3. Serviks Uteri

Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan


saat persalinan karena perlukaan itu portio vaginalis uteri pada seorang
multipara terbagi menjadi bibir depan dan belakang. Robekan serviks dapat
menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab di
tempat terdapat ramus desenden dari arateria uterina. Perlukaan ini dapat
terjadi pada persalinan normal tapi lebih sering terjadi pada persalinan dengan
tindakan – tindakan pada pembukaan persalinan belum lengkap. Selain itu
penyebab lain robekan serviks adalah persalinan presipitatus.

Pada partus ini kontraksi rahim kuat dan sering didorong keluar dan
pembukaan belum lengkap. Diagnose perlukaan serviks dilakukan dengan
speculum bibir serviks dapat di jepit dengan cunam atromatik. Kemudian
diperiksa secara cermat sifat- sifat robekan tersebut. Bila ditemukan robekan
serviks yang memanjang, maka luka dijahit dari ujung yang paling atas, terus
ke bawah. Pada perlukaan serviks yang berbentuk melingkar, diperiksa dahulu
apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau tidak. Jika belum lepas,
bagian yang belum lepas itu dipotong dari serviks, jika yang lepas hanya
sebagian kecil saja itu dijahit lagi pada serviks. Perlukaan dirawat untuk
menghentikan perdarahan.

4. Korpus uteri

Perlukaan yang paling berat pada waktu persalianan ialah robekan


uterus. Robekan ini dapat terjadi pada waktu kehamilan atau pada waktu
persalianan, namun yang paling sering terjadi ialah robekan ketika persalinan.
Mekanisme terjadinya robekan uterus bermacam-macam. Ada yang terjadi
secara spontan, dan ada pula yang terjadi akibat ruda paksa. Lokasi robekan
dapat korpus uteri atau segmen bawah uterus. Robekan bisa terjadi pada
tempat yang lemah pada dinding uterus misalnya pada parut bekas operasi
seksio sesarea atau bekas miomektomi.

Robekan bisa pula terjadi tanpa ada parut bekas operasi, apabila
segmen bawah uterus sangat tipis dan regang karena janin megalami kesulitan
untuk melalui jalan lahir. Robekan uterus akibat ruda paksa umumnya terjadi
pada persalinana buatan , misalnya pada estrasi dengan cunam atau pada versi
dan ekstrasi. Dorongan Kristeller bila tidak dikerjakan sebagaimana mestinya
dapat menimbulkan robekan uterus. Secara anatomi robekan uterus dapat
dibagi dalam dua jenis yaitu:

a. Robekan inkomplet, yakni robekan yang mengenai endometrium dan


miometrium tetapi perimetrium masih utuh.
b. Robekan komplet, yakni robekan yang mengenai endometrium,
miometrium dan perimetrium sehingga terdapat hubungan langsung
antara kavum uteri dan rongga perut. Robekan uterus komplet yang
terjadi ketika persalianan berlangsung menyebabakan gejala yang khas
yaitu nyeri perut mendadak, anemia, syok dan hilangnya kontraksi.
Pada keadaan ini detak jantung janin tidak terdengar lagi, serta bagian-
bagian janin dengan mudah dapat teraba dibawah dinding perut ibu.

5. Uterus

Ruptura uteri disebabkan oleh his yang kuat dan terus menerus, rasa
nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau
seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepar, cincin van bandi meninggi.
Setelah terjadi ruptura uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan (bisa
keluar melalui vagina atau pun ke dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan
halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering
bagian-bagian janin dapat diraba langsung di bawah dinding perut, ada nyeri
tekan, dan di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi.
Umumnya janin sudah meninggal. Jika kejadian ruptura uteri lebih lama
terjadi, akan timbul gejala-gejala metwarisme dan defenci musculare sehingga
sulit untuk dapat meraba bagian janin.

Ruptur uteri dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Ruptura uteri spontan. Ruptura uteri spontan dapat terjadi pada keadaan di
mana terdapat rintangan pada waktu persalinan, yaitu pada kelainan letak dan
presentasi janin, disproporsi sefalopelvik, vanggul sempit, kelainan panggul,
tumor jalan lahir.

b. Ruptura uteri traumatik dalam hal ini reptura uteri terjadi oleh karena
adanya lucus minoris pada dinding uteus sebagai akibat bekas operasi
sebelumnya pada uterus, seperti parut bekas seksio sesarea, enukkasi
mioma/meomektomi, histerotomi, histerorafi, dan lain-lain. Reptura uteri pada
jaringan parut ini dapat dijumpai dalam bentuk tersembunyi (occult) yang
dimaksud dengan bentuk nyata/jelas adalah apabila jaringan perut terbuka
seluruhnya dan disertai pula dengan robeknya ketuban, sedang pada bentuk
tersembunyi, hanya jaringan perut yang terbuka, sedang selaput ketuban tetap
utuh.

Secara anatomik reptura uteri dibagi atas :

a. Reptura uteri komplit. Dalam hal ini selain dinding uterus robek, lapisan
serosa (pertoneum) juga robek sehingga janin dapat berada dalam rongga
perut.

b. Reptura uteri inkomplit dalam hal ini hanya dinding uterus yang robek,
sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
Ruptura uteri merupakan malapetaka untuk ibu maupun janin oleh karena itu
tindakan pencegahan sangat penting dilakukan setiap ibu bersalin yang
disangka akan mengalami distosia, karena kelainan letak janin, atau pernah
mengalami tindakan operatif pada uterus seperti seksio sesarea, memektomi
dan lain-lain, harus diawali dengan cermat. Hal ini perlu dilakukan agar
tindakan dapat segera dilakukan jika timbul gejala-gejala ruptura uteri
membakar, sehingga ruptura uteri dicegah terjadinya pada waktu yang tepat.

Pertolongan yang tepat untuk ruptura uteri adalah laporotomi sebelumnya


penderita diberi trasfusi darah atau sekurang-kurangnya infus cairan garam
fisiologik/ringer laktat untuk mencegah terjadinnya syok hipovolemik.
Umumyna histerektomi dilakukan setelah janin yang berada dalam rongga
perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus
khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata, serta tidak terlihat
adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan
nekrosis. Histerorofi pada ibu-ibu yang sudah mempunyai cukup anak
dianjurkan untuk dilakkan pula tubektomi pada kedua tuba (primary), sedang
bagi ibu-ibu yang belum mempunyai anak atau belum merasa lengkap
keluarganya dianjurkan untuk orang pada persalinan berikutnya untuk
dilakukan seksio sesaria primer.

6. Robekan Perineum

Karena beberapa faktor baik secara maternal maupun dari fakto bayi saat
persalinan, dapat menyebabkan terjadinya robekan pada perinium. Robekan
pada perinium dapat dibagi menjadi 3 derajat atau tingkatan, yaitu:

a) Tingkat I
Robekan terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai
kulit perineum
b) Tingkat II
Robekan mengenai selaput lendir vagina tetapi tidak mengenai otot
sfingerani.
c) Tingkat III
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani
d) Tingkat IV
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan
mukosa rectum.

e) Penatalaksanaan
Robekan perineum yang melebihi tingkat satu harus dijahit. Hal ini
dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan
plasenta harus dilakukan secara manual, tetapi lebih baik tindakan itu ditunda
sampai plasenta lahir. Pasien dianjurkan untuk berbaring dalam posisi litotomi
dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptic dan luas robekan
ditentukan dengan seksama.

Pada robekan perineum tingkat dua, setelah di beri anestesi local otot-
otot diafragma urogenetalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan
kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan
mengikutsertakan jaringan- jaringan di bawahnya.

Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula


dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian vasia prarektal ditutup dan
muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan
penutupan robekan perineum tingkat dua.

Penatalaksanaan Medis

1) Penjahitan robekan serviks


a) Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti
septik ke vagina dan serviks
b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak
dibutuhkan pada sebagian besar robekan serviks. Berikan petidin dan
diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur obat tersebut
dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks
yang tinggi dan lebar
c) Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk
membantu mendorong serviks jadi terlihat
d) Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
e) Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–
hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai
arah secara perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat
beberapa robekan.
f) Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang
catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas
robekan) yang seringkali menjadi sumber pendarahan.
g) Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur
menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
h) Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep
arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4
jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya
tersebut dapat mempererat pendarahan. Selanjutnya :
a. Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
b. Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.

Penjahitan robekan vagina dan perinium

Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu :

a) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat
b) Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot
dibawahnya tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III : Robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani
d) Tinggkat IV : Robekan sampai mukosa rectum.

Penjahitan robekan derajat i dan ii

Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.

a) Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.


b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal
dengan lidokain.
c) Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus
berkontraksi.
d) Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
e) Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan
bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV.
a. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
b. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
c. Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter
f) Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT
g) Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.
h) Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan

Penjahitan robekan perineum derajat iii dan iv

Jahit robekan diruang operasi

a) Tinjau kembali prinsip perawatan umum


b) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal
dengan lidokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal.
Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi lokal dengan
lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV dengan perlahan (
jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi robekan
dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
c) Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus
berkontraksi.
d) Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
e) Untuk melihat apakah spingter ani robek.
1. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
2. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
3. Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.
f) Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT
g) Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika
ada.
h) Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan
terkait.
i) Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa
vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal yang dalam.
j) Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area
robekan dengan forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu
dua menit lagi kemudian lakukan tes ulang.
k) Jahit rektum dengan jahitan putus-putus menggunakan benang 3-0 atau
4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
l) Jika spingter robek
1) Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan
beretraksi jika robek ).
2) Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik
dengan klem.
3) Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus
menggunakan benang 2-0.
m) Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.
n) Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk
memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan benar.
Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT.
o) Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.

Anda mungkin juga menyukai