Anda di halaman 1dari 11

DIFTERI

I. TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI FISIOLOGI
Difteri merupakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Pernapasan yang
diserang yaitu pernapasan bagian atas
1. Faring

Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya
dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Bila terjadi radang disebut
pharyngitis.Saluran faring rnemiliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari dasar tengkorak
hingga vertebra servikalis ke-6. Faring berada di belakang hidung, mulut, dan laring serta
lebih lebar di bagian atasnya.Dari sini partikel halus akan ditelan atau di batukkan keluar.
Udara yang telah sampai ke faring telah diatur kelembapannya sehingga hampir bebas debu,
bersuhu mendekati suhu tubuh. Lalu mengalir ke kotak suara (Laring).
Beberapa fungsi faring:
a.Saluran nafas dan makanan, faring adalah organ yang terlibat dalamsistem pencernaan dan
pernapasan: udara masuk melalui bagian nasal dan oral, sedangkan makanan melalui bagian
oral dan laring.
b.Penghangat dan pelembab, dengan cara yang sama seperti hidung, udara dihangatkan dan
dilembapkan saat masuk ke faring.
c.Fungsi bahasa, fungsi faring dalam bahasa adalah dengan bekerja sebagai bilik resonansi
untuk suara yang naik dari laring, faring (bersama sinus) membantu memberikan suara yang
khas pada tiap individu
d.Fungsi Pengecap, terdapat ujung saraf olfaktorius dari indra pengecap di epitelium oral
dan bagian faringeal.
e.Fungsi Pendengaran, saluran auditori (pendengaran), memanjang dari nasofaring pada tiap
telinga tengah, memungkinkan udara masuk ke telinga tengah. Pendengaran yang jelas
bergantung pada adanya udara di tekanan atmosfer pada tiap sisi membran timpani.
f.Fungsi Perlindung, Jaringan limfatik faring dan tonsil laring menghasilkan antibodi dalam
beresponterhadap antigen, misal mikroba. Tonsil berukuran lebih besar pada anak dan
cenderung mengalami atrofi pada orang dewasa.
Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring.
a.Nasofaring

Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas palatum molle. Pada dinding
lateral, terdapat dua saluran auditori, tiap saluran mengarah ke masing-masing bagian
tengah telinga. Pada dinding posterior, terdapat tonsil faringeal (adenoid), yang terdiri
atas jaringan limfosid. Tonsil paling menonjol pada masa kanak-kanak hingga usia 7
tahun. Selanjutnya, tonsil mengalami atrofi.

b.Orofaring
Bagian oral faring terletak di belakang mulut, memanjang dari bagian bawah palatum
molle hingga bagian vertebra servikalis ke-3. Dinding lateral bersatu dengan palatum
molle untuk membentuk lipatan di tiap sisi. Antara tiap pasang lipatan, terdapat kumpulan
jaringan limfoid yang disebut tonsil palatin. Saat menelan, bagian nasal dan oral
dipisahkan oleh palaturn molle dan uvula. Uvula (anggur kecil) adalah prosesus kerucut
(conical) kecil yang menjulur kebawah dari bagiantengah tepi bawah palatum lunak.
Amandel palatinum terletak pada kedua sisi posterior.
c.Laringofaring
Bagian laringeal faring memanjang dari atas orofaring dan berlanjut ke bawah esofagus,
yakni dari vertebra servikalis ke-3 hingga 6. Mengelilingi mulut esophagus dan laring,
yang merupakan gerbang untuk system respiratorik selanjutnya.
Kebutuhan darah pada faring disuplai oleh beberapa cabang dari arteri wajah. Aliran
balik vena menuju vena fasialis dan jugularis interna.Faring dipersarafi oleh pleksus faringeal
yang dibentuk oleh saraf vagus dan glosofaringeal (parasimpatik) serta ganglia servikalis
superior (simpatik). Faring dilapisi oleh tiga jaringan yaitu membran mukosa, jaringan
fibrosa, dan otot polos.

2. Laring
Terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot yang
mengandung pita suara, selain fonasi laring juga berfungsi sebagai pelindung. Laring
berperan untuk pembentukan suara dan untuk melindungi jalan nafas terhadap masuknya
makanan dan cairan. Laring dapat tersumbat, antara lain oleh benda asing (gumpalan
makanan), infeksi (misalnya difteri) dan tumor. pada waktu menelan, gerakan laring
keatas, penutupan glotis (pemisah saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah)
seperti pintu epiglotis yang berbentuk pintu masuk. Jika benda asing masuk melampaui
glotis batuk yang dimiliki laring akan menghalau benda dan sekret keluar dari
pernapasan bagian bawah.
Fungsi Laring
a.Produksi suara.
Suara memiliki nada, volume, dan resonansi. Nada suara bergantung pada panjang
dan kerapatan pita suara. Pada saat pubertas, pita suara pria mulai bertambah panjang,
sehingga nada suara pria semakin rendah. volume suara bergantung pada besarnya tekanan
pada pita suara yang digetarkan. Semakin besar tekanan udara ekspirasi, semakin besar
getaran pita suara dan semakin keras suara yang dihasilkan. Resonansi bergantung pada
bentuk mulut, posisi lidah dan bibir, otot wajah, dan udara di paranasal.
b.Berbicara.
Berbicara terjadi saat ekspirasi ketika suara yang dihasilkan oleh pita suara
dimanipulasi oleh lidah, pipi, dan bibir.
c.Pelindung saluran napas bawah.
Saat menelan, laring bergerak ke atas, menyumbat saluran faring sehingga engsel
epiglotis menutup faring. Hal ini menyebabkan makanan tidak melalui esofagus dan saluran
napas bawah.
d.Jalan masuk udara.
Laring berfungsi sebagai penghubung jalan napas antara faring dan trakea.
e.Pelembap, penyaring, dan penghangat, dimana proses ini berlanjut saat udara yang
diinspirasi berjalan melalui laring.
Di bagian larynk terdapat beberapa organ yaitu :
1. Epiglotis,
Merupakan katup tulang rawan untuk menutup larynx sewaktu orang menelan. Bila
waktu makan kita berbicara (epiglottis terbuka), makanan bisa masuk ke larynx (keslek)
dan terbatuk- batuk. Pada saat bernafas epiglotis terbuka tapi pada saat menelan epiglotis
menutup laring. Jika masuk ke laring maka akan batuk dan dibantu bulu-bulu getar silia
untuk menyaring debu, kotoran-kotoran. Jika bernafas melalui mulut udara yang masuk ke
paru-paru tak dapat disaring, dilembabkan atau dihangatkan yang menimbulkan gangguan
tubuh dan sel-sel bersilia akan rusak adanya gas beracun dan dehidrasi.
2. Pita suara, terdapat dua pita suara yang dapat ditegangkan dan dikendurkan, sehingga
lebar sela-sela antara pita -pita tersebut berubah-ubah sewaktu bernafas dan berbicara.
Selama pernafasan pita suara sedikit terpisah sehingga udara dapat keluar masuk.

B. DEFINISI
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan
imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain
toksin.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi secara
local pada mukosa saluran pernafasan atau kulit,yang di sebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphteria,ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada
tempat infeksi,dan di ikuti oleh gejala-gejala umum yang di timbulkan oleh eksotoksin yang
di produksi oleh basil ini. (Sudoyo Aru,dkk 2009)
Bakteri Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu type gravis,
intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004). Difteri menyebabkan selaput tebal di bagian belakang
tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan, bahkan
kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk
mencegah difteri (CDC)

C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347
kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South
East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775
kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun
menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia
sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada
tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang
terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah
Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun
2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.
D. ETIOLOGI
Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram positif
yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung
dari lesi (Dahlan, 2007). Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade,
bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang
mengandung K-telluritatau media Loeffler .
Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa
jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati
pada pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu
dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering (Sumarmo, 2008).

E. PATOFISIOLOGI dan PATHWAY


Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta
berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga
proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan
dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pada awalnya mudah dilepas.
Semakin banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk
eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung (IDAI,2008). Menurut Zulhijjah
(2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi selama minggu
pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran,
yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah
diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil
swab hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan,2013)
F. MANIFESTASI KLINIS
Difteri terjadi tergantung kepada lokasi infeksi,imunitas penderitanya dan ada
/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah. Secara hati hati periksa hidung
dan tenggorokan anak,terlihat warna keabuan pada pada elaputnya,yang sulit
dilepaskan.Kehati-hatian diperlukan untuk pemeriksaan tenggorokan karna dapat
mencetuskan obstruksi total saluran nafas. Pada anak denga difteri,faring telihat jelas
bengkak pada leher (bullneck).
Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun,tetapi dapat terjadi pada
orang dewasa yang tidak di imunisasi. Masa inkubasi umumnya 2-5 hari (range 1-10 hari),
pada difteri kutan adalah 7hari sesudah infeksi primer pada kulit.
G. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokasinya seperti difteri nasal
anterior dan postrior, difteri fausial,difteri laringeal,difteri kinjungtiva,difteri kulit dan diftari
vagina.
Menurut tingkat keparahannya : (Sudoyodkk, 2009)
 Infeksi ringan,apabila pseudmembrane hanya terdapat pda mukosa hidung dengan
gejala – gejala hanya pilek dan nyeri menelan.
 Infeksi sedang,apabila peudomembrane telah menyerang samapi faring dan laring
shingga keadaan pasien lesu,agak esak.
 Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adana gejala-gejala yang
di timblkan oleh eksotoksin seperti miokarditis,paralisis, dan nefritis.
H. GEJALA
1. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai gejala sistemik
ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian makropulen menyebabkan
lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum
nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama
terdiagnosis.
2.Diteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari berikutnya akan
timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding
faring meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang
luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin
dan luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi.
Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
3. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring primer gejala
toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari tipe infectious croups
yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
obstruksi laring berat terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak.

4. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga


Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit,
tapi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada
konjungtiva pelpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau

I. PEMERIKSAA PENUNJANG
 Bakteriologik : preparat apusan kuman
 Darah Rutin : Hb,Leukosit,eritrosit, albumin
 Urine lengkap
 Ureum Kreatini (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
 EKG
 Radiografi Thorak untuk mengecek adanya hiperinflasi

J.PENCEGAHAN
1. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan
pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan
satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah
demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang
pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya
kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)
2. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat
terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004)
3. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene
Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan
lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular
dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga
kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Di samping itu juga
perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi. Jika kita harus membeli makanan di luar,
pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan
baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang
lain. (Kartono, 2008)
K. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadiminimal, mengeliminasi
C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobatiinfeksi penyerta dan penyulit difteria.
Antitoksin difteri hanya berpengaruh padatoksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel,
tetapi tidak menetralisasi toksinyang telah melakukan penetrasi ke dalam sel. (Detending RR,
2007)
1. Pengobatan umum
 Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat,
 Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan
kalori.
 Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
 Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)
2. Pengobatan Khusus
 Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun
dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
(Sing A, 2005). Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan
0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam
fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara
20.000-120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5%dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). (Long SS, 1996)
 Antibiotik.
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme
pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk
penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi
terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada
penisilin untuk terapi difteri nasofaring.4. Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya
organisme diperoleh sekurang kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan
tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007)
 Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat
penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari (Detending RR, 2007).
3. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai
gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeotomi (Maloney Dowel, 2011). Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan
istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian
digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot
pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure
dan jalan nafas harus selalu dijaga. (Maloney Dowel, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek,Gloria M dkk, 2016. Nursing Intervention Classification edisi 6, Mocomedia

Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, 17th.ed . Jakarta: Infomedika.

Herdman,T Heather dkk, 2014. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi edisi 10,
EGC, Jakarta

http://jurnalpediatri.com/2016/12/26, Tanda dan Gejala Difteri pada anak, diakses 5 Januari


2018

http://caramanjur.com/2017/12/14, Mengenal Penyakit Difteri:penyebab,ciri,gejala dan cara


pengobatan. (diakses 6Januari 2018)

http://gudangilmu.farmasetika.com,upload 12-2017, buku Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Difteri.pdf, (diakses 5 jnuari 2017)

Morhead,Sue dkk,2016, Nursing Outcomes Clasificatin edisi 5, Mocomedia

Nurarif,Amin Huda dan Hardhi Kusuma, 2015. Aplikasi ASKEP berdasarkan diagnosa medis
dan NANDA, Mediaction, Jogjakarta

Sudoyo, Aru W. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit Ilmu Penyakit
Dalam

Anda mungkin juga menyukai