Anda di halaman 1dari 20

Anestesi Ivan Atjeh

 BERANDA
 Farmakologi Klinik
 Fisiologi dan Patofisiologi
 Regional Anestesi & Manajemen Nyeri
 Manajemen Anestesi
 Anestesi Pediatrik
 Critical Care
 Lain - lain
 Kisah Motivasi
 Tip & Triks
 DOWNLOAD
 Contact

Kamis, 29 Desember 2011


Anestesi pada Diabetes Mellitus

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli
anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat
mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat
mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di
atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus
adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami
pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak
memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena
penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam
jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut
berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit
pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik,
gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan
luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat Oleh karena itu
perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan
penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma
non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan
katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan β
hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang
disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis
laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan
tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan
dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol
dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik
dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan
perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi
hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh,
dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap
dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode
stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan
mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk
perkembangan pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat
tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor
sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan
bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan
menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk
menilai sfetem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan
pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data yang memberikan
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan
dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan
mengalami pembedahan.7
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus
serta penatalaksanaan persiapan operasi.

DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika
kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik,
pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya
tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0
mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO
juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa
plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180
mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa >
7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa oral
memberikan .hasil pada batas diabetes.7

KLASIFIKAS 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.

 Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan
biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan
dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang
disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme
imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan insulin sebagai
pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulin dihentikan pemberiannya.
 Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung
mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini
kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral
dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi
berat.

PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di
seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas.
Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50.
sedangkan yang terbesar 300 . Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225
. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan
2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel 
memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel  yang mensekresi
insulin , dan sel-sel  yang membuat somatostatin. Pertama insulin disintesa sebagai
proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian
dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel . Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan
rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan
insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-
hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan
enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan
insulin dengan merangsang reseptor  adrenergik dan merangsang pelepasan insulin
pada reseptor  adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia
terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya
kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino
dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai
peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan
glukagon yang merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda
keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk
respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh
virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi
genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh
adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella,
cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis. 4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya
dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang
diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.

Dianggap bahwa kegemukan akan :

 Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target


 Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post
reseptor

- Transport glukosa berkurang


- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler

 Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler,


berupa:

- Bertambahnya penimbunan lemak


- Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
- Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
- Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan
iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia
arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua
penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko
komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada
pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada
keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara
menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin
dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan
melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan
dari transport glukosa transmembran.6,7,9

DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati). 9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

 Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
 Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi
glukosa oral >= 200 mg/dl.
 Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik
akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik),
kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan
klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade
kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan
sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis,
feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu.
Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula
menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa
ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME


Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah
karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau
karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan
gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana
terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi
penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan
penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon
tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti
interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek
pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat
menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan
saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 /kg) sebagian dapat mencegah
respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih
kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES


Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan
morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat
muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian
menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca
bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien
diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya
menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien
diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh
darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom
dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis;
berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan
hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak
berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah
pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode
hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus
dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari
lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah
diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari
25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju
jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya
umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang
memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati
autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada
penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko
tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut
dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan
pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat
melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika
glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi
timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis
arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang.
Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik
dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik.
Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan
morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi
leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang
disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya
sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke
persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas
atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif
terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau
transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun yang
dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara
keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan
sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini
disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan
oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non
enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens
" stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan
susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik
pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah
puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri
koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan
hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien
tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus
dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM


Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan
status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-
obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat
menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11-
hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon
hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non
diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol
jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan
secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara
efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari,
kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi.
Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan
hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien
diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport
glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan
aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene
penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya
terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro
halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia,
tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan
enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah. 4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk
pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-
pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat
anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap
kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat
efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan
pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai
suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan
tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan
anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan
kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM


Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade
regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin
residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol
yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan
anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif,
suatu penghambat kompetitif reseptor -adrenergik, menurunkan respon gula darah
terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara
parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia
umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan
pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat
memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.
Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan
penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan
gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien
diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat
dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal
dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf
iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF


Tujuan pokok adalah :

1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.


2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik
dan ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya


membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu
diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes
oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk
bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan
glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :

1. Gula darah puasa > 180 mg/dl


2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3
hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang
buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis
insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum
pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan
dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal
diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk
kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap
membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres
pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I
berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering
:t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi
hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

 Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM
Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1 ml/kg/jam)


NPH insulin (1/2 dosis biasa Regular insulin Unit/jam =
pagi hari) (NPH=neutral Glukosa plasma : 150
protamine Hagedorn)

Intraoperattf Regular insulin Sama dengan preoperatif


(berdasarkan sliding scale)

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena


dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya
mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150
mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan
infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien
mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl)
diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang
dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa
dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik
(sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara
kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan
dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter
cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian
infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur
intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat
disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

Gukosa plasma (mg/dl)


Unit perjam = ————————————
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam = ————————————
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin


menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama.
Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena.
Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain
diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:

1. Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.


2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah
ini :

Kadar gula mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin


darah

4,4 ( 80 ) Matikan pompa, beri glukosa IV


4,4 - 6,6 ( 80 - 120 ) Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7
u/jam
6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 /jam
9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 /jam
> 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 /jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang
harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan
sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai
sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan
regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik
GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10
KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50
unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum
pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-
3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:

Kadar gula Infus insulin

< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

PERAWATAN PASCA BEDAH


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil
dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah
pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa
dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-
pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan
insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah
infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan. 15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca
bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus
dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial
dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan
penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai
mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat
dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark
miokard.2,15

PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT


Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu
pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan
ketoasidosis. Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda
beberapa jam. Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi
keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan yang
mengancam jiwa sebelum pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup maka
dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit cairan dan
ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam. Penderita
harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian dilakukan
koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang mengandung
glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam
500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur
kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila
penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan pengukuran kadar
gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah dan
elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 -
250 mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial.
Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis
dengan bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis
yang terlalu cepat tidak dianjurkan.1,2,3

REFERENSI

1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine


Disease in A Practice of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma
Anesthesia ang Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah
Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and
Common Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed.
Anesthesia, 4th ed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.
Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients
with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa
Offset, Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB
Saunders, 1994: 185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in
Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan
Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen,
Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for
Diabetes Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc,
Virginia, 1991: 147-

Bonus .......................
DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan Nama Patent Onset Peak Durasi
Short & Rapid Acting
Insulin aspart 15-20 1-3 jam 3-5 jam
mnt
Insulin lispro ≤ 15 mnt 0,5-1,5 3-5 jam
jam
Regular (Soluble, Atrapid HM, 0,5-0,7 1,5-4 5-8 jam
neutral) Humulin R jam jam
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn Monotard HM 1,2-5 6-12 jam 18-24
susp) jam jam
NPH (Isophane Humulin N, 1-1,5 6-12 jam 18-24
Insulin) Isulatard HM jam jam
Long Acting
Insulin gargine Lantus 2-5 jam - 24 jam
Lainnya
Pencampuran 30 % Mixtard 30 HM Sampai 24 jam
regular insulin & Humulin 30/70 30 mnt
70 % NPH

FAKTOR RESIKO DM
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi
leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
- Hipotermia intra operatif
- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
- Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin
- Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid
untuk mempercepat pengosongan lambung.
- Keringat berkurang
- Inpotensi
3. Gangguan ginjal
- Mikroalbuminuria – proteinuria
- Gangguan GFR – Kreatinin menigkat
- Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan
- Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba
- Gagal Ginjal
4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi
5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan
kesulitan melakukan tindakan intibasi.

Diposting oleh Ivan-Atjeh Anestesi


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)

Telah Dibaca Sebanyak


681314

LABEL
 Akses Vaskuler pada Pediatrik
 Anestesi dan Masalah Paru
 Anestesi dan Posisi Pasien
 Anestesi dan Sistim Endokrin
 Anestesi Inhalasi
 anestesi lokal
 Anestesi Pada Bedah Rawat Jalan
 Anestesi pada Diabetes Mellitus
 Anestesi pada Geriatri
 Anestesi pada Kateterisasi Jantung Anak
 Anestesi pada Laparaskopi
 Anestesi pada Neonatus
 Anestesi pada Obesitas
 Anestesi pada Obstetri dan Ginekologi
 Anestesi pada Pasien Ambulatory
 Anestesi pada Pasien dengan Penyakit Hepar
 Anestesi pada Pasien Hipertensi
 Anestesi pada Pembedahan Genitourinaria
 Anestesi pada Pembedahan Mata
 Anestesi pada Trauma Abdomen
 Anestesi Pediatri
 Anestesi Pediatrik pada Bedah Urologi
 Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal
 Anestesi untuk Pembedahan Darurat
 Axillary Plexus Block
 badai tiroid
 Barbiturat
 Block Femoralis
 Block Infraclavicular
 Dasar Dasar Ventilasi Mekanik
 Difficult Airway
 Epidural Anestesia
 Femoral Nerve Block
 Fisiologi Pernafasan dan Anestesi
 Formula Enteral
 Gangguan Irama Jantung pada Pediatrik
 Guidelines Stroke 2007
 Infraclavicular Plexus Block
 Interscalene Plexus Block
 kanulasi vena sentral
 Keseimbangan Asam Basa
 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit serta Asam Basa
 Ketamin
 Koagulasi
 Krisis Hipertensi pada Pediatrik
 Kunjungan Pra Anestesi
 Laryngeal Mask Airway
 Management of Severe Sepsis and Septic Shock : 2008
 Mati Otak (Brain Death)
 Neurophysiologi dan Anestesia
 nutrisi
 Nutrisi pada Penderita Sakit Kritis
 Nutrisi Parenteral
 Nyeri dan Penatalaksanaannya
 Nyeri Kanker dan Penatalaksanaannya
 opioid
 Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
 Pediatrik Neuroanestesia
 Penaganan Luka Bakar
 Penaganan Nyeri Paska Bedah
 Penanganan Anestesi untuk Pasien dengan Cedera Otak Traumatika
 Penanganan Demam Berdarah
 Penanganan Gagal Jantung di ICU
 Penanganan Kejang pada Pediatrik
 Resusitasi Pada Pediatri
 Sedasi pada Pediatrik
 Sejarah Anestesi Indonesia
 Sejaran Perkembangan Mesin Anestesi
 Spinal Anestesi
 Tekanan Intrakranial dan Permasalahannya
 Terapi Cairan dan Transfusi
 terapi oksigen
 Tonsilektomi
 Tranfusi

PROFIL SAYA

Ivan-Atjeh Anestesi
Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia
Lihat profil lengkapku
DAFTAR LINK
 PERDATIN
 PERDATIN CAB ACEH
 Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI)
 Info Kegiatan Ilmiah - Lupirka
 Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
 World Federation of Societies of Anaesthesiologists
 American Society of Anesthesiologists
 Australian Society of Anaesthetits
 Canadian Anesthesiologists' Society
 Anaesthesia and Intensive Care
 Anesthesia & Analgesia
 British Journal of Anaesthesia
 Eropean Society of Intensive Care Medicine
 The American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine
 The New York School of Regional Anesthesia
 Update in Anaesthesia

ARTIKEL
 ► 2013 (1)

 ► 2012 (27)

 ▼ 2011 (129)
o ▼ Desember (22)
 Anestesi Pada Bedah Rawat Jalan
 Anestesi pada Laparaskopi
 Koagulasi
 Anestesi Lokal
 Anestesi dan Posisi Pasien
 Kunjungan Pra Anestesi
 Anestesi pada Pembedahan Genitourinaria
 Tekanan Intrakranial dan Permasalahannya
 Anestesi Untuk Pembedahan Darurat
 Anestesi pada Obstetri dan Ginekologi
 Anestesi pada Diabetes Mellitus
 Penanganan Luka Bakar
 Terapi Oksigen
 Dasar Dasar Ventilasi Mekanik
 Kanulasi Vena Sentral
 Anestesi pada Pasien Ambulatory
 Nutrisi Parenteral
 Anestesi pada Obesitas
 Nyeri dan Penatalaksanaannya
 Surviving Sepsis Campaign: International Guidelin...
 Epidural Anestesia
 Anestesi pada Neonatus
o ► November (4)
o ► Oktober (4)
o ► September (4)
o ► Agustus (3)
o ► Juli (3)
o ► Juni (5)
o ► April (3)
o ► Maret (13)
o ► Februari (21)
o ► Januari (47)

PENGIKUT
Cari Blog Ini

Peng
etah
uan
tidak
lah
cuku
p,
kita
haru
s
men
gam
alka
nnya
.
Niat
tidak
lah
cuku
p,
kita
haru
s
mela
kuka
nnya
.

Joha
nn
Wolf
gang
von
Goet
he
Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai