BERANDA
Farmakologi Klinik
Fisiologi dan Patofisiologi
Regional Anestesi & Manajemen Nyeri
Manajemen Anestesi
Anestesi Pediatrik
Critical Care
Lain - lain
Kisah Motivasi
Tip & Triks
DOWNLOAD
Contact
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli
anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat
mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat
mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di
atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus
adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami
pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak
memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena
penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam
jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut
berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit
pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik,
gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan
luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat Oleh karena itu
perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan
penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma
non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan
katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan β
hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang
disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis
laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan
tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan
dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol
dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik
dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan
perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi
hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh,
dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap
dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode
stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan
mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk
perkembangan pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat
tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor
sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan
bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan
menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk
menilai sfetem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan
pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data yang memberikan
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan
dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan
mengalami pembedahan.7
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus
serta penatalaksanaan persiapan operasi.
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika
kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik,
pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya
tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0
mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO
juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa
plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180
mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa >
7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa oral
memberikan .hasil pada batas diabetes.7
KLASIFIKAS 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan
biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan
dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang
disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme
imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan insulin sebagai
pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulin dihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung
mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini
kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral
dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi
berat.
PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di
seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas.
Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50.
sedangkan yang terbesar 300 . Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225
. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan
2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel
memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel yang mensekresi
insulin , dan sel-sel yang membuat somatostatin. Pertama insulin disintesa sebagai
proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian
dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel . Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan
rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan
insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-
hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan
enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan
insulin dengan merangsang reseptor adrenergik dan merangsang pelepasan insulin
pada reseptor adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia
terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya
kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino
dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai
peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan
glukagon yang merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda
keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk
respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh
virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi
genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh
adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella,
cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis. 4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya
dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang
diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan
iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia
arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua
penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko
komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada
pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada
keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara
menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin
dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan
melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan
dari transport glukosa transmembran.6,7,9
DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati). 9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi
glukosa oral >= 200 mg/dl.
Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik
akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik),
kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan
klinis rutin.
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade
kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan
sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis,
feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu.
Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula
menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa
ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh
darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom
dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis;
berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan
hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak
berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah
pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode
hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus
dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari
lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah
diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari
25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju
jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya
umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang
memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati
autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada
penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko
tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut
dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan
pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat
melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika
glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi
timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis
arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang.
Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik
dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik.
Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan
morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi
leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang
disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya
sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke
persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas
atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif
terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau
transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun yang
dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara
keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan
sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini
disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan
oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non
enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens
" stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan
susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik
pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah
puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri
koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan
hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien
tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus
dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3
hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang
buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis
insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum
pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan
dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal
diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk
kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap
membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres
pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I
berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering
:t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi
hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM
Pemberian secara bolus Infus kontinyu
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang
harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan
sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai
sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan
regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik
GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10
KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50
unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum
pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-
3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
REFERENSI
Bonus .......................
DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan Nama Patent Onset Peak Durasi
Short & Rapid Acting
Insulin aspart 15-20 1-3 jam 3-5 jam
mnt
Insulin lispro ≤ 15 mnt 0,5-1,5 3-5 jam
jam
Regular (Soluble, Atrapid HM, 0,5-0,7 1,5-4 5-8 jam
neutral) Humulin R jam jam
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn Monotard HM 1,2-5 6-12 jam 18-24
susp) jam jam
NPH (Isophane Humulin N, 1-1,5 6-12 jam 18-24
Insulin) Isulatard HM jam jam
Long Acting
Insulin gargine Lantus 2-5 jam - 24 jam
Lainnya
Pencampuran 30 % Mixtard 30 HM Sampai 24 jam
regular insulin & Humulin 30/70 30 mnt
70 % NPH
FAKTOR RESIKO DM
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi
leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
- Hipotermia intra operatif
- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
- Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin
- Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid
untuk mempercepat pengosongan lambung.
- Keringat berkurang
- Inpotensi
3. Gangguan ginjal
- Mikroalbuminuria – proteinuria
- Gangguan GFR – Kreatinin menigkat
- Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan
- Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba
- Gagal Ginjal
4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi
5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan
kesulitan melakukan tindakan intibasi.
Posting Komentar
LABEL
Akses Vaskuler pada Pediatrik
Anestesi dan Masalah Paru
Anestesi dan Posisi Pasien
Anestesi dan Sistim Endokrin
Anestesi Inhalasi
anestesi lokal
Anestesi Pada Bedah Rawat Jalan
Anestesi pada Diabetes Mellitus
Anestesi pada Geriatri
Anestesi pada Kateterisasi Jantung Anak
Anestesi pada Laparaskopi
Anestesi pada Neonatus
Anestesi pada Obesitas
Anestesi pada Obstetri dan Ginekologi
Anestesi pada Pasien Ambulatory
Anestesi pada Pasien dengan Penyakit Hepar
Anestesi pada Pasien Hipertensi
Anestesi pada Pembedahan Genitourinaria
Anestesi pada Pembedahan Mata
Anestesi pada Trauma Abdomen
Anestesi Pediatri
Anestesi Pediatrik pada Bedah Urologi
Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal
Anestesi untuk Pembedahan Darurat
Axillary Plexus Block
badai tiroid
Barbiturat
Block Femoralis
Block Infraclavicular
Dasar Dasar Ventilasi Mekanik
Difficult Airway
Epidural Anestesia
Femoral Nerve Block
Fisiologi Pernafasan dan Anestesi
Formula Enteral
Gangguan Irama Jantung pada Pediatrik
Guidelines Stroke 2007
Infraclavicular Plexus Block
Interscalene Plexus Block
kanulasi vena sentral
Keseimbangan Asam Basa
Keseimbangan Cairan dan Elektrolit serta Asam Basa
Ketamin
Koagulasi
Krisis Hipertensi pada Pediatrik
Kunjungan Pra Anestesi
Laryngeal Mask Airway
Management of Severe Sepsis and Septic Shock : 2008
Mati Otak (Brain Death)
Neurophysiologi dan Anestesia
nutrisi
Nutrisi pada Penderita Sakit Kritis
Nutrisi Parenteral
Nyeri dan Penatalaksanaannya
Nyeri Kanker dan Penatalaksanaannya
opioid
Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Pediatrik Neuroanestesia
Penaganan Luka Bakar
Penaganan Nyeri Paska Bedah
Penanganan Anestesi untuk Pasien dengan Cedera Otak Traumatika
Penanganan Demam Berdarah
Penanganan Gagal Jantung di ICU
Penanganan Kejang pada Pediatrik
Resusitasi Pada Pediatri
Sedasi pada Pediatrik
Sejarah Anestesi Indonesia
Sejaran Perkembangan Mesin Anestesi
Spinal Anestesi
Tekanan Intrakranial dan Permasalahannya
Terapi Cairan dan Transfusi
terapi oksigen
Tonsilektomi
Tranfusi
PROFIL SAYA
Ivan-Atjeh Anestesi
Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia
Lihat profil lengkapku
DAFTAR LINK
PERDATIN
PERDATIN CAB ACEH
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI)
Info Kegiatan Ilmiah - Lupirka
Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
World Federation of Societies of Anaesthesiologists
American Society of Anesthesiologists
Australian Society of Anaesthetits
Canadian Anesthesiologists' Society
Anaesthesia and Intensive Care
Anesthesia & Analgesia
British Journal of Anaesthesia
Eropean Society of Intensive Care Medicine
The American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine
The New York School of Regional Anesthesia
Update in Anaesthesia
ARTIKEL
► 2013 (1)
► 2012 (27)
▼ 2011 (129)
o ▼ Desember (22)
Anestesi Pada Bedah Rawat Jalan
Anestesi pada Laparaskopi
Koagulasi
Anestesi Lokal
Anestesi dan Posisi Pasien
Kunjungan Pra Anestesi
Anestesi pada Pembedahan Genitourinaria
Tekanan Intrakranial dan Permasalahannya
Anestesi Untuk Pembedahan Darurat
Anestesi pada Obstetri dan Ginekologi
Anestesi pada Diabetes Mellitus
Penanganan Luka Bakar
Terapi Oksigen
Dasar Dasar Ventilasi Mekanik
Kanulasi Vena Sentral
Anestesi pada Pasien Ambulatory
Nutrisi Parenteral
Anestesi pada Obesitas
Nyeri dan Penatalaksanaannya
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelin...
Epidural Anestesia
Anestesi pada Neonatus
o ► November (4)
o ► Oktober (4)
o ► September (4)
o ► Agustus (3)
o ► Juli (3)
o ► Juni (5)
o ► April (3)
o ► Maret (13)
o ► Februari (21)
o ► Januari (47)
PENGIKUT
Cari Blog Ini
Peng
etah
uan
tidak
lah
cuku
p,
kita
haru
s
men
gam
alka
nnya
.
Niat
tidak
lah
cuku
p,
kita
haru
s
mela
kuka
nnya
.
Joha
nn
Wolf
gang
von
Goet
he
Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.