Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis. Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan banyak
pembelajaran bagi masyarakat Indonesia dan dunia, bahwa banyaknya korban
jiwa dan harta benda dalam musibah tersebut terjadi karena kurangnya
pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat dalam mengantisipasi bencana.
Disamping itu, berbagai kejadian bencana tersebut pun semakin menyadarkan
banyak pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengaturan dalam
penanggulangan bencana. Kejadian bencana yang seringkali terjadi di Indonesia
pada dasarnya merupakan sebuah perwujudan dari kombinasi antara sifat alam
yang rawan dengan kerentanan sistem fisik yang ada dalam masyarakat
Indonesia disertai sistem sosial, budaya, dan juga politik.
Seperti diketahui bersama bahwa letak geografi negara Indonesia yang
berada di antara 6° LU-11° LS dan diantara 95° B –141° BT, telah memposisikan
negara ini dalam posisi yang rawan bencana secara geologis. Letak ini pun
ternyata merupakan wilayah yang rawan bencana karena ternyata selain
pertemuan lempeng benua, wilayah ini juga merupakan zona pertemuan dua
jalur gempa. Keberadaan gunung berapi yang berderet hampir melingkari
seluruh wilayah kepulauan di Indonesia juga telah menambah faktor kerawanan
wilayah Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan adanya erupsi kembali di gunung sinabung.
Adanya suplai magma dari perut Gunung Sinabung tahun 2014 maka guguran
lava yang menghasilkan awan panas umumnya terjadi setelah pertumbuhan
kubah lava. Awan panas ini merupakan campuran material berukuran debu
hingga blok bersuhu lebih dari 700 derajat Celsius yang meluncur dengan
kecepatan bisa di atas 100 kilometer per jam. Sebanyak 1.683 KK (4.967 jiwa)
masyarakat di 4 desa harus direlokasi tahap kedua yaitu dari Desa Gamber,

1
Kuta Tonggal, Gurukinayan, dan Berastepu. Sambil menunggu proses relokasi,
maka masyarakat pun ditempatkan di hunian sementara. Dengan adanya hal
tersebut dilakukan manajemen penanggulangan bencana. Beberapa upaya
pelayanan diberikan dan begitupun dengan akses pada pelayanan kesehatan
adalah penentu kritis keberlangsungan hidup pada tahap awal tanggap darurat.
Bencana hampir selalu membawa dampak besar pada kesehatan masyarakat
dan kesejahteran penduduk yang terkena bencana. Dampak tehadap kesehatan
masyarakat dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Oleh karena itu kelompok akan membahas tentang upaya pelayanan
kesehatan pada bencana Erupsi Gunung Sinabung 2014.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Upaya Pelayanan Kesehatan yang dilakukan pada Bencana
Erupsi Gunung Sinabung 2014?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui Upaya Pelayanan Kesehatan yang dilakukan pada
Bencana Erupsi Gunung Sinabung 2014.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Pengelolaan Bantuan


Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang
tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis. Sebagai koordinator tim
adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai Surat
Kepmenkes Nomor 066 tahun 2006).
1. Tim Reaksi Cepat
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam setelah
ada informasi kejadian bencana. Kompetensi TRC disesuaikan dengan jenis
bencana spesifik di daerah dan dampak kesehatan yang mungkin timbul.
Sebagai contoh untuk bencana gempa bumi dengan karakteristik korban luka
dan fraktur, kompetensi TRC terdiri dari:
a. Pelayanan medik
b. Dokter umum
c. Dokter spesialis bedah/orthopedi
d. Dokter spesialis anestesi
e. Perawat mahir (perawat bedah, gadar)
f. Tenaga disaster victims identification (dvi)
g. Apoteker/tenaga teknis kefarmasian
h. Sopir ambulan
i. Surveilans epidemiolog/sanitarian
j. Petugas komunikasi
k. Petugas logistik.
2. Tim Peniaian Cepat (RHA team)
Tim yang bisa diberangkatkan dalam waktu 0‐24 jam atau bersamaan
dengan TRC dan bertugas melakukan penilaian dampak bencana dan
mengidentifikasi kebutuhan bidang kesehatan, minimal terdiri dari:
a. Dokter umum
b. Epidemiolog
c. Sanitarian
3. Tim Bantuan Kesehatan

3
Tim yang diberangkatkan berdasarkan rekomendasi Tim RHA untuk
memberikan pelayanan kesehatan dengan peralatan yang lebih memadai,
minimal terdiri dari:
a) Dokter umum dan spesialis
b) Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
c) Perawat
d) Perawat mahir
e) Bidan
f) Sanitarian
g) Ahli gizi
h) Tenaga surveilans
i) Entomolog

2.2 Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Masyarakat Saat Bencana


A. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Korban Bencana
Pelayanan kesehatan masyarakat korban bencana didasarkan pada
penilaian situasi awal serta data informasi kesehatan berkelanjutan, berfungsi
untuk mencegah pertambahan/menurunkan tingkat mekatian dan jatuhnya
korban akibat penyakit melalui pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan. Tolok Ukur pelayanan kesehatan korban bencana sebagai
berikut:
1. Puskesmas setempat, Puskesmas Pembantu, Bidang Desa dan Pos
kesehatan yang ada.
2. Bila mungkin, RS Swasta, Balai pengobatan Swasta, LSM Lokal maupun
LSM Internasional yang terkait dengan bidang kesehatan bekerja sama
serta mengkoordinasikan upaya–upaya pelayanan kesehatan bersama.
3. Memakai standar pelayanan puskesmas.
4. Dalam kasus–kasus tertentu rujukan dapat dilakukan melalui system
rujukan yang ada.
5. 1 (satu) Pusat Kesehatan pengungsi untuk 20.000 orang.
6. 1 (satu) Rumah Sakit untuk 200.000 orang

4
B. Kesehatan Reproduksi
Kegiatan yang harus dilaksanakan pada kesehatan reproduksi adalah
1. Keluarga Berencana (KB)
2. Kesehatan Ibu dan Anak antara lain : Pelayanan kehamilan, persalinan
dan nifas. Pelayanan pasca keguguran.
3. Deteksi Dini dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS
4. Kesehatan Reproduksi Remaja
C. Kesehatan Jiwa
2.3 Standar Minimal Ketenagaan
Penanggung jawab dalam pendistribusian SDM kesehatan untuk tingkat
provinsi dan kabupaten/kota adalah dinas kesehatan. Pada saat bencana,
bantuan kesehatan yang berasal dari dalam/luar negeri diterima oleh dinas
kesehatan. Estimasi kebutuhan tenaga kesehatan di lokasi bencana untuk
jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 – 20.000 orang:
A. Dokter umum: 4 orang
B. Perawat: 10 – 20 orang
C. Bidan: 8 – 16 orang
D. Apoteker: 2 orang
E. Tenaga teknis rumah sakit, dapat dilihat dalam rumus kebutuhan tenaga di
fasilitas rujukan/rumah sakit:
1. Dokter umum = (∑ pasien/40) – ∑ dr umum di tempat.
2. Dokter spesialis Bedah = [(∑ pasien dr bedah/5) / 5] - ∑ dr bedah di
tempat.
3. Dokter spesialis anestesi = [(∑ pasien dr bedah/15) / 5] - ∑ dr anestesi di
tempat.
2.4 Pelayanan Kesehatan Korban Bencana
Pelayanan kesehatan pada saat bencana bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah atau mengurangi kecacatan dengan
memberikan pelayanan yang terbaik bagi kepentingan korban. Untuk
mencapai tujuan tersebut, penanganan krisis kesehatan saat bencana dalam
pelaksanaannya melalui lima tahap pelaksanaan, yaitu tahap penyiagaan,
upaya awal, perencanaan operasi, operasi tanggap darurat dan pemulihan
darurat serta tahap pengakhiran misi. Pelaksanaan kelima tahap di

5
lingkungan kesehatan dikoordinasi oleh Pusat Pengendali Kesehatan
(Pusdalkes) dinas kesehatan setempat yang diaktivasi sesaat setelah
informasi kejadian bencana diterima.
A. Tahap Penyiagaan
Sesaat setelah terjadi bencana, petugas kesehatan yang berada di
lokasi bencana segera melakukan penilaian awal (initial assessment)
untuk mengidentifikasi krisis kesehatan. Penilaian awal ini berupa
informasi singkat yang segera dilaporkan ke Pusdalkes. Contoh form
penilaian awal dapat dilihat pada Form B1. Jika informasi kurang
memadai, segera dikirim Tim Rapid Health Assessment (RHA) untuk
memastikan kejadian, menilai besarnya dampak kejadian dan kebutuhan
yang harus segera dipenuhi yang kurang atau tidak tersedia di lokasi
bencana. Informasi kurang memadai yang diakibatkan karena kerusakan
infrastruktur yang ditandai dengan putusnya jalur komunikasi harus
direspon sebagai tanda peringatan bahaya sehingga Tim Reaksi Cepat
(TRC) dapat disiapkan untuk segera dikirim ke lokasi bersama dengan
Tim RHA.
Tim RHA dan TRC dimobilisasi dalam waktu 0 – 24 jam setelah kejadian.
Setelah memastikan kejadian bencana, Pusdalkes segera menyebarkan
informasi kejadian ke tingkat yang lebih tinggi dan memobilisasi sumber
daya sesuai kebutuhan. Informasi kejadian harus bersirkulasi mengikuti
perkembangan dan disampaikan dengan menggunakan media
komunikasi dari lokasi kejadian sampai ke tingkat pusat.
B. Tahap Upaya Awal
Tim RHA melakukan serangkaian aktivitas untuk memastikan
kejadian bencana, waktu dan lokasi kejadian, mengetahui jumlah korban,
potensi risiko krisis kesehatan, dan kebutuhan sumber daya yang harus
segera dipenuhi. Hasil akhir dari kegiatan RHA adalah sebuah
rekomendasi bagi pengambil keputusan untuk menentukan
langkahlangkah dalam penanganan suatu bencana. Kompetensi dan
jumlah anggota tim tergantung kepada jenis bencana dan luasnya
dampak bencana.

6
Apabila dampak bencana sangat luas, dapat dibentuk beberapa
tim. Aspek medis yang dinilai meliputi masalah serta kebutuhan
pelayanan medis korban pra rumah sakit, rumah sakit dan rujukan.
Penilaian ini harus dilakukan dan dilaporkan sesegera mungkin untuk
penanganan yang cepat dan tepat. Kegiatan ini harus dilakukan oleh
orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang
kegawatdaruratan medis.
Aspek yang dinilai antara lain:
1. Mengidentifikasi lokasi bencana, meliputi daerah pusat bencana,
akses transportasi dan komunikasi dari dan ke lokasi, lokasi pos
medis lapangan (dapat berupa puskesmas atau tenda perawatan
sementara) dan sumber daya yang berada di lokasi
2. Mengidentifikasi pos medis depan beserta sumber dayanya, yaitu
rumah sakit terdekat, yang akan dijadikan sebagai tempat rujukan
awal. Data mengenai rumah sakit setempat seharusnya sudah
tersedia sebelum terjadi bencana
3. Mengidentifikasi pos medis belakang beserta sumber dayanya, yaitu
rumah sakit rujukan bagi korban yang memerlukan perawatan lebih
lengkap. Data mengenai sumber daya rumah sakit rujukan ini
seharusnya sudah tersedia sebelum terjadi bencana
4. Mengidentifikasi pos medis sekunder, yaitu rumah sakit lainnya
seperti rumah sakit TNI, Polri atau swasta yang dapat dijadikan
sebagai tempat rujukan bagi korban yang memerlukan perawatan
lebih lengkap. Pos medis sekunder ini untuk mengantisipasi
banyaknya jumlah korban yang dirujuk ke pos medis belakang
5. Mengidentifikasi alur evakuasi medis dari lokasi sampai pos medis
depan, pos medis belakang dan pos medi sekunder.
Identifikasi-identifikasi di atas memungkinkan semua tim bantuan untuk
mencapai lokasi yang merupakan daerah kerja mereka secara cepat dan
efisien.

7
C. Tahap rencana operasi
1. Menyusun rencana operasi
Rencana operasi tanggap darurat dan pemulihan darurat
harus merujuk pada hasil rekomendasi RHA dan informasi penting
lainnya dari sektor terkait, seperti masalah keamanan, pencemaran
bahan-bahan berbahaya dan lain-lain. Kompetensi tenaga medis dan
perlengkapan yang disiapkan harus sesuai dengan rekomendasi
RHA. Jika dalam rekomendasi diperlukan dokter spesialis bedah dan
anestesi untuk penanganan korban luka berat yang memerlukan
pembedahan, TRC atau tim bantuan kesehatan minimal harus terdiri
dari dokter bedah, dokter anestesi, dokter umum, perawat mahir
bedah dan UGD. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah perkiraan
kasus bedah dan ketersediaan tenaga medis di lokasi bencana.
Perlu disiapkan tim penolong terlatih untuk melakukan perawatan
medis pra rumah sakit secara baik di lapangan.
Tim medis lapangan ini memiliki kemampuan untuk:
1) Memberikan pertolongan life support
2) Melakukan triase dengan baik
3) Melakukan komunikasi radio dengan baik.
Sebelum TRC dan Tim Bantuan Kesehatan bertugas,
dilakukan briefing untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi
di lokasi bencana dan menetapkan kegiatankegiatan yang akan
dilakukan di lokasi bencana. Ditetapkan pula perlengkapan yang
perlu dibawa untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan.
2. Keselamatan
Dalam semua tahap operasi, keamanan dan keselamatan
merupakan faktor paling utama yang harus diperhatikan semua
petugas kesehatan. Perlu dilakukan koordinasi dengan sektor terkait
untuk memastikan keamanan dan keselamatan petugas di lokasi
agar petugas dapat bekerja dengan optimal. Tindakan keselamatan
diterapkan untuk memberi perlindungan kepada tim penolong,
korban dan masyarakat yang terpapar dari segala risiko yang

8
mungkin terjadi dan dari risiko potensial yang diperkirakan dapat
terjadi (meluasnya bencana, material berbahaya, kemacetan lalu
lintas, dan lain-lain).
D. Tahap Operasi Tanggap Darurat dan Pemulihan Darurat
1. Pencarian dan Penyelamatan
Pada situasi tertentu, lokalisasi korban sulit dilakukan seperti
korban yang terjebak dalam bangunan runtuh, pembebasan
korban akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Jika kondisi
korban memburuk, pimpinan Tim SAR, melalui Pos Komando
dapat meminta bantuan tim medis untuk melakukan stabilisasi
korban selama proses pembebasan dilakukan. Jika daerah pusat
bencana cukup luas mungkin perlu untuk membaginya menjadi
daerah-daerah yang lebih kecil dan menugaskan satu tim untuk
setiap daerah tersebut. Dalam situasi seperti ini, atau jika daerah
pusat bencana tidak aman bagi korban, tim dapat membuat suatu
tempat penampungan di dekat daerah pusat bencana dimana
korban akan dikumpulkan sebelum pemindahan selanjutnya.
Tempat penampungan ini diorganisasikan oleh tenaga medis
gawat darurat bersama para sukarelawan dimana akan dilakukan
triase awal, pertolongan pertama dan pemindahan korban ke pos
medis depan dan belakang.
2. Triase
Setelah memastikan keamanan dan keselamatan, TRC
yang berada di lokasi segera melakukan triase lapangan. Triase
ini utamanya didasarkan pada urgensi (tingkat keparahan),
kemungkinan hidup dan ketersediaan sarana perawatan. Dengan
demikian tujuan triase adalah:
a. Identifikasi secara cepat korban yang membutuhkan
stabilisasi segera (perawatan di lapangan
b. Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan darurat (life saving surgery)

9
Triase lapangan dilakukan pada tiga tingkat, yaitu:
a. Triase di tempat
Triase dilakukan di tempat korban ditemukan atau
tempat penampungan korban sementara di lapangan. Karena
terbatasnya tenaga medis dan akses, triase lapangan dapat
dilakukan oleh tenaga awam terlatih yang lebih dahulu berada
di lokasi, seperti polisi dan pemadam kebakaran. Para awam
terlatih ini diharapkan minimal mampu mengidentifikasi
kelompok korban gawat darurat (merah dan kuning) dan non
gawat darurat (hijau). Setiap korban diberi tanda sesuai
tingkat kegawatdaruratannya yang dapat berupa pita
berwarna (merah untuk gawat darurat, hijau untuk non gawat
darurat dan hitam untuk korban meninggal).
b. Triase medik
Triase ini dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih
serta berpengalaman di pos medis lapangan dan pos medis
depan dengan tujuan untuk menentukan tingkat perawatan
yang dibutuhkan oleh korban. Prioritas perawatan sesuai
dengan tingkat kedaruratannya ditandai dengan kartu triase
warna merah (untuk korban yang membutuhkan stabilisasi
segera), kuning (untuk korban yang memerlukan pengawasan
ketat tetapi perawatan dapat ditunda sementara), hijau (untuk
korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian
pengobatan dapat ditunda) dan hitam (korban yang
meninggal dunia).
c. Triase evakuasi
Triase ini ditujukan pada korban yang membutuhkan
perawatan lebih lanjut di rumah sakit dengan sarana yang
lebih lengkap atau pos medis belakang. Rumah sakit tersebut
sudah harus disiapkan untuk menerima korban massal dan
apabila daya tampungnya tidak mencukupi karena jumlah
korban yang sangat banyak, perlu disiapkan rumah sakit
rujukan alternatif. Tenaga medis di pos medis lapangan, pos

10
medis depan dan pos medis belakang harus terus
berkomunikasi sesuai jenjang rujukan untuk berkonsultasi
mengenai kondisi korban yang akan dievakuasi, rumah sakit
tujuan dan jenis kendaraan yang akan digunakan saat
evakuasi.
3. Pertolongan pertama
Pertolongan pertama dilakukan oleh para sukarelawan
terlatih, petugas pemadam kebakaran, polisi terlatih, SAR, tim
medis gawat darurat. Pertolongan pertama dapat diberikan di
lokasi bencana (pos medis lapangan), sebelum korban
dipindahkan, tempat penampungan sementara (pos medis
depan), pada “tempat hijau” di pos medis belakang serta dalam
ambulans saat korban dipindahkan ke fasilitas kesehatan. Pos
medis lapangan adalah tempat pertolongan pertama di lokasi
bencana, dapat berupa tenda perawatan dan puskesmas.
Pemilahan korban (triase) dilakukan di pos medis lapangan dan
dikelompokkan sesuai tag (warna) tingkat kegawatdaruratan. Pos
medis depan adalah fasilitas kesehatan terdekat dengan lokasi
bencana, dapat berupa rumah sakit atau puskesmas rawat inap.
Korban yang membutuhkan stabilisasi segera dan pengawasan
intensif dapat dirawat di pos medis depan sebelum di rujuk ke pos
medis belakang. Apabila pos medis depan adalah rumah sakit
yang memiliki fasilitas lengkap maka pos medis belakang menjadi
rujukan sekunder jika jumlah korban melampaui kapasitas pos
medis depan. Pertolongan pertama yang diberikan pada korban di
setiap pos dapat berupa kontrol jalan nafas, fungsi pernafasan
dan jantung, pengawasan posisi korban, kontrol perdarahan,
imobilisasi fraktur, pembalutan dan usaha-usaha untuk membuat
korban merasa lebih nyaman.
Pos medis belakang didirikan sebagai upaya untuk
menurunkan jumlah kematian dengan memberikan perawatan
efektif (stabilisasi) terhadap korban secepat mungkin. Upaya
stabilisasi korban mencakup intubasi, trakeostomi, pemasangan

11
drain thorax, pemasangan ventilator, penatalaksanaan syok
secara medikamentosa, analgesia, pemberian infus, fasiotomi,
imobilisasi fraktur, pembalutan luka, pencucian luka bakar. Fungsi
pos medis lanjutan ini dapat disingkat menjadi “Three ‘T’ rule”
(Tag, Treat,Transfer) atau hukum tiga (label, rawat, evakuasi).
Pada beberapa keadaan tertentu, misalnya adanya paparan
material berbahaya, pos medis didirikan di tempat yang aman,
diusahakan untuk didirikan sedekat mungkindengan daerah
bencana.
4. Proses pemindahan korban
Pengaturan ketat terhadap laju dan tujuan evakuasi korban
ke pos medis depan dan pos medis belakang sangat diperlukan
untuk mencegah dilampauinya kapasitas fasilitas kesehatan
tujuan. Pemindahan korban dilakukan secara satu arah tanpa ada
yang saling bersilangan. Dari lokasi bencana ke pos medis depan,
kemudian ke pos medis belakang dan selanjutnya ke pos medis
sekunder. Dalam suatu bencana massal tidak mungkin melakukan
pemindahan dengan satu kendaraan bagi satu orang penderita. Di
setiap tingkat pos medis akan dijumpai keterbatasan sumber daya
termasuk transportasi sehingga perlu disiapkan sarana
transportasi yang memadai untuk merujuk korban ke pos medis
selanjutnya. Setiap kali satu ambulan dari pos medis lapangan
selesai merujuk ke pos medis depan, ambulan tersebut harus
segera kembali ke pos medis lapangan. Begitupun dengan pos
medis depan dan pos medis belakang. Sistem ini dikenal dengan
sistem noria yang berarti roda atau dikenal dengan manajemen
sistem ban berjalan (conveyor belt management).
5. Perawatan Di Rumah Sakit
a. Mengukur Kapasitas Perawatan Rumah Sakit
Jika di daerah kejadian bencana tidak tersedia fasilitas
kesehatan yang cukup untuk menampung dan merawat
korban bencana massal (misalnya hanya tersedia satu rumah
sakit tipe C/tipe B), memindahkan seluruh korban ke sarana

12
tersebut hanya akan menimbulkan hambatan bagi perawatan
yang harus segera diberikan kepada korban dengan cedera
serius. Lebih jauh, hal ini juga akan sangat mengganggu
aktivitas rumah sakit tersebut dan membahayakan kondisi
para penderita yang dirawat di sana. Perlu dipertimbangkan
jika memaksa memindahkan 200 orang korban ke satu rumah
sakit yang hanya berkapasitas 300 tempat tidur, dengan tiga
kamar operasi dan mengharapkan hasil yang baik dari
pemindahan ini. Jika dijumpai keterbatasan sumber daya,
utamanya keterbatasan daya tampung dan kemampuan
perawatan, pemindahan korban ke rumah sakit dapat ditunda
sementara. Dengan ini harus dilakukan perawatan di
lapangan yang adekuat bagi korban dapat lebih mentoleransi
penundaan ini.
Jika bencana terjadi dalam waktu tempuh 20 menit dari rumah
sakit, tim penanggulangan bencana di rumah sakit dapat
segera diberangkatkan ke lokasi kejadian. Namun apabila
terjadi dalam jarak lebih dari 20 menit dari rumah sakit, tim
tersebut hanya akan diberangkatkan berdasarkan permintaan
tim kesehatan di lokasi.
b. Lokasi Perawatan Di Rumah Sakit
Tempat penerimaan korban di rumah sakit adalah
tempat dimana triase dilakukan. Untuk hal itu dibutuhkan:
1) Akses langsung dengan tempat ambulans menurunkan
korban
2) Merupakan tempat tertutup bagi yang tidak
berkepentingan
3) Akses yang mudah ke tempat perawatan utama seperti
unit gawat darurat, kamar operasi, dan unit perawatan
intensif.

13
c. Hubungan Dengan Perawatan Di Lapangan
Apabila penatalaksanaan pra rumah sakit dilakukan
secara efisien, jumlah korban yang dikirim ke rumah sakit
akan terkontrol sehingga setelah triase korban dapat segera
dikirim ke unit perawatan yang sesuai dengan kondisi mereka.
Akan tetapi jika hal ini gagal akan sangat banyak korban yang
dibawa ke rumah sakit sehingga korban-korban tersebut
harus ditampung terlebih dahulu dalam satu ruangan sebelum
dapat dilakukan triase. Dalam situasi seperti ini daya tampung
dan kapasitas rumah sakit akan segera terlampaui. Petugas
triase di rumah sakit akan memeriksa setiap korban untuk
konfirmasi triase yang telah dilakukan sebelumnya, atau untuk
melakukan kategorisasi ulang status penderita. Jika
penatalaksanaan pra rumah sakit cukup adekuat, triase di
rumah sakit dapat dilakukan oleh perawat berpengalaman di
unit gawat darurat. Jika penanganan pra rumah sakit tidak
efektif sebaiknya triase di rumah sakit dilakukan oleh dokter
unit gawat darurat atau dokter ahli yang berpengalaman.
2.5 Peran Fasilitas Kesehatan Dasar/Primer pada Bencana
Fasilitas layanan kesehatan primer atau dasar adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang merupakan kontak pertama pasien dlam proses
awal pelayanan medik. Puskesmas merupakan salah satu fasilitas pelayanan
kesehatan dasar/ primer yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan
pada masyarakat baik yang bersifat UKM maupun UKP.
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis milik dinas kesehatan kab/kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di
satu atau sebagian wilayah kecamatan.
A. Peran puskesmas pada tahap Pra Bencana yaitu:
1. Pemetaan
2. Koordinasi lintas sektor
3. Pelayanan kesehatan
4. Pemberdayaan masyarakat
5. Latihan kesiapsiagaan

14
6. Pemantauan sumberdaya
7. Pemantauan daerah rawan
B. Peran puskesmas pada tahap saat Bencana yaitu:
1. Pertolongan korban
2. Rapid Health Assesment awal
3. Triase lapangan
4. Bergabung dengan satgas kesehatan
C. Peran puskesmas pada tahap pasca Bencana yaitu:
1. Pencegahan bencana sekunder
2. Pelayanan kesehatan
3. Pemberdayaan masyarakat
Fasilitas yang dibutuhkan guna menunjang penanganan korban dalam
bencana seperti ruangan-ruangan serta alat-alat yang ada didalamnya.
Penanganan bencana di rumah Sakit mempunyai beberapa unsur, yaitu selain
kebutuhan dalam bidang medis, juga dalam bidang manajemen. Fasilitas dan
sarana prasarana utama/inti yang diperlukan dalam penanganan bencana
atau dalam situasi emergency yang terdiri dari tiga komponen utama:
A. Umum, yang meliputi:
1. Pos Komando
2. Humas atau pusat informasi;
3. Dapur umum
4. Gudang logistik untuk penerimaan bantuan dibedakan dengan gudang
logistik yang sehari-hari
5. Tempat berkumpulnya relawan, relawan disini adalah relawan yang
sudah siap untuk masuk tugas di rumah sakit, sudah tercatat dengan
jelas oleh pihak pencatat relawan di rumah sakit tersebut.
6. Tempat berkumpulnya keluarga pasien, penting dipikirkan agar tidak
lalu lalang tidak jelas sehingga membuat situasi rumah sakit tambah
kacau karena banyaknya keluarga pasien di lorong-lorong rumah sakit.
7. Surge in place atau persediaan bangsal yang ditutup ( tidakdipakai
pada saat operasional harian), sebagai contoh : maksudnya adalah
Rumah Sakit yang mempunyai tempat tidur 200 buah, tetapi karena
Rumah Sakit itu kebanjiran pasien maka,pihak Rumah Sakit telah

15
membuat keputusan dengan membuka bangsal-bangsal yang tertutup
untuk dibuka agar pasien dapat ditempatkan kebangsal tertutup tadi
(bangsal tambahan) dengan menggunakan strategi
B. Penanganan Korban, yang meliputi:
1. Triage; dengan menempatkan pasien sesuai dengan kondisinya,
seperti merah, kuning, hijau dan hitam.
2. Ruang tindakan:
a. Ruang tindakan merah jika tidak mampu di terima di ruang gawat
darurat maka penting dicarikan dan disiapkan tempat lain yang
berdekatan dengan ruang gawat darurat, serta alur ke kamar
operasi juga disiapkan agar lebih gampang dan tidak berjauhan.
b. Ruang tindakan kuning diharapkan juga bisaberdekatan dengan
ruang tindakan merah.
c. Ruang tindakan hijau jika tidak ada ruangan makadapat
dialokasikan di lapangan parkir.
d. Sedangkan untuk yang hitam sedapat mungkinalurnya tidak melalui
ruangan dalam rumah sakit, jadi melalui luar yang langsung menuju
kamar jenazah.
e. Kamar operasi; peralatan kamar operasi diharapkan selalu dalam
keadaan baik dan siap pakai (ruang isolasi, ruang perawatan,
kamar jenazah)
3. Fasilitas Penunjang, yang meliputi:
a. Listrik (genset dan UPS)
b. Sistem supply air bersih
c. Gas medis
d. CSSD
e. Penyimpanan bahan bakar
Rencana Cadangan (atau Plan B) apabila terdapat kerusakan pada
fasilitas dan sarana prasarana yang sedianya disiapkan untuk penanganan
bencana. Fasilitas yang disiapkan diluar wilayah rumah sakit misalnya
bangunan nonmedik seperti, Rumah Sakit hewan, pusat konvension,aula
hangar, sekolah,area sport dan hotel.

16
Jika fasilitas telah disiapkan, yang harus diperhatikan lagi untuk
dipertimbangkan adalah:
1. Harus diprioritaskan kebutuhan keadaan darurat
2. Jangka waktu fasilitas tersebut akan digunakan
3. Biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan fasilitas tersebut
Setelah semua fasilitas dipersiapkan maka penting di buat adanya
prosedur tetap terhadap ruangan maupun peralatan yang akan
digunakan dalam penanggulangan bencana. Semua prosedur tetap
disiapkan agar ruangan maupun peralatan dapat selalu trpelihara dana
dapat digunakan sewaktu-waktu bila terjadi bencana.
1.7 Pengelolaan Obat Bencana
A. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan
1. Perencanaan kebutuhan
Obat yang dibutuhkan pada tahap tanggap darurat meliputi :
a. Ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan
b. Sumber daya manusia
c. Kondisi gudang penyimpanan
d. Fasilitas dan infrastruktur
e. Pendanaan
2. Penyediaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan
Bahan pertimbangan dalam penyediaan kebutuhan obat dan perbekalan
kesehatan adalah:
a. Jenis bencana
Berdasarkan jenis bencana yang terjadi, diharapkan
Kabupaten/Kota sudah dapat memperkirakan jumlah dan jenis obat
yang harus disiapkan. Jika kebutuhan obat pada tahap tanggap
darurat tidak tersedia pada paket bencana maka dilakukan
pengadaan obat sesuai kebutuhan .
b. Luas bencana dan jumlah korban
Berdasarkan luas bencana dan jumlah korban sesuai dengan hasil
rapid health assesment ditetapkan kebutuhan obat dan perbekalan
kesehatan

17
c. Stok obat yang dimiliki
Usahakan menggunakan persediaan obat dan perbekalan
kesehatan dari stok Unit Pelayanan Kesehatan atau Dinas
Kesehatan Kab/Kota yang ada, dan jika kurang dapat menggunakan
stok dari Kabupaten/Provinsi terdekat.
3. Penyimpanan Dan Pendistribusian
Beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan distribusi obat
pada saat bencana :
a. Adanya permintaan dari daerah bencana;
b. Apabila obat dan perbekalan kesehatan tidak tersedia di provinsi
yang mengalami bencana maka diusahakan dari provinsi terdekat
atau kementerian kesehatan;
c. Provinsi terdekat wajib membantu daerah yang terkena bencana;
d. Adanya estimasi tingkat keparahan bencana, jumlah korban dan
jenis penyakit;
e. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengalokasikan biaya distribusi
sehingga tidak mengalami kesulitan dalam mendistribusikan obat
dan perbekalan kesehatan;
f. Kerjasama lintas sektor dan program mutlak diperlukan.

B. Jenis Penyakit dan Obatnya


Jenis obat yang dibutuhkan masyarakat akibat bencana erupsi Gunung
Sinabung menurut Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana antara lain:
1. ISPA : Kotrimoksazol 480 mg, 120 mg tab dan suspensi,
Amoxycillin, OBH, Parasetamol, dan masker.
2. Pneumonia
a. Pilihan 1: Kotrimoksazol Tablet Anak & Dewasa, Kotrimoksazol
Syrup, Parasetamol tablet dan syrup, Amoksisilin
b. Pilihan 2: tablet/syrup, Parasetamol tablet/syrup dan Salbutamol
3. Non Pneumonia: Dekstrometorphan tab, GG, CTM Parasetamol
tablet & syrup, dextromethorphan tablet/syrup,
efedrin tablet. Asetosal tab, Antibiotik

18
4. Diare : Oralit, Infus R/L, NaCl 0,9%, Metronidazol, Infus Set,
Abocath, Wing Needle Oralit, Cairan RL
5. Conjunctivitis : Sulfasetamid t.m, Kloramfenikol salep mata,
Oksitetrasiklin salep mata, tetes mata Sulfasetamid, Steroid Topikal
6. Luka Bakar : Aquadest steril, Kasa steril 40/40, Betadin Salep,
Sofratule, Abocath, Cairan Infus (RL, Na, Cl), Vit C tab,
Amoxycillin/Ampicillin tab, Kapas, Handschoen, Wing needle, Alkohol
70%

19
BAB III
PEMBAHASAN PELAYANAN KESEHATAN BENCANA SINABUNG 2015
3.1 Kegiatan Pelayanan Kesehatan Pra Bencana, Saat Bencana, Pasca
Bencana
(dikasi kalimat apa ya) ratna
Tabel 3.1 Kegiatan Pelayanan Kesehatan Pra Bencana, Saat Bencana,
Pasca Bencana

No Kegiatan Time (day)


0 1 2 3 4 5 6 7
1 Pra Bencana (Perencanaan)
a. Kebutuhan anggaran
b. Kebutuhan sarana dan
prasarana pendukung
c. Peningkatan kemampuan
dalam penanggulangan
krisis
d. Rapat koordinasi secara
Berkala
e. Gladi penanggulangan
krisis

2 Saat Bencana
TRC (Tim Reaksi Cepat)
a. Dokter umum
b. Dokter spesialis
bedah/orthopedic
c. Dokter spesialis anestesi
d. Perawat mahir (perawat
bedah, gadar)
e. Tenaga disaster victims
identification (dvi)
f. Apoteker/tenaga teknis
kefarmasian
g. Sopir ambulans
Dll

Tim Penilaian Cepat/TPC


(RHA team) identifikasi
kebutuhan kesehatan.
a. Dokter umum
b. Epidemiolog

20
c. Sanitarian

Tim Bantuan Kesehatan


a. Dokter umum dan spesialis
b. Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian
c. Perawat
d. Perawat mahir
e. Bidan
f. Sanitarian
g. Ahli gizi
h. Tenaga surveilans
i. Entomology
Kegiatan :
a. Distribusi SDM Pelayanan
Kesehatan
b. Distribusi logistik layanan
kesehatan
3 Pasca Bencana
Pemulihan Pelayanan
Kesehatan

3.2 Fasilitas Kesehatan dan Kebutuhan SDM Pelayanan Kesehatan Dasar Tiap
Desa
Menurut Departemen Kesehatan, 1 pos kesehatan lapangan dapat
digunakan untuk 5000 orang. Berdasarkan RHA yang telah dilakukan, terdapat
11 Pos Kesehatan di pengungsian akibat letusan gunung Sinabung. Artinya,
dengan total pengungsi sebanyak 11.113 orang, jumlah poskes ini sudah sangat
mencukupi. Distribusi poskes hendaknya merata agar perawatan dapat
dilaksanakan dengan baik.
Untuk korban bencana yang membutuhkan rujukan, dapat dirujuk di
Puskesmas yang tidak mengalami kerusakan maupun di Rumah Sakit.
Berdasarkan RHA terdapat 11 desa yang menjadi korban bencana. Di desa-
desa tersebut masih terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat
digunakan, baik untuk fasilitas rujukan maupun pelayanan kesehatan kelompok
beresiko. Berikut data fasilitas kesehata yang ada di setiap kecamatan
dilengkapi dengan jumlah korban.

21
Dari fasilitas kesehatan yang ada di masing-masing desa, pelayanan
kesehatan terutama untuk kelompok resiko dapat dilakukan. Imunisasi untuk
bayi dan balita dapat dilakukan di Puskesmas, demikian juga ANC untuk ibu
hamil dapat dilakukan di Puskesmas, Pustu, maupun BPU.
Karena kondisi sarana transportasi yang masih baik, maka usaha rujukan
baik dengan kendaraan roda 2 maupun kendaraan roda 4 memungkinkan untuk
dilaksanakan.

22
Tabel 3.2 Fasilitas Kesehatan dan Kebutuhan SDM Pelayanan Kesehatan Dasar Tiap Desa (dewi,iche, hanif)

Jiwa (penduduk Fasilitas Tenaga Kesehatan Pelayanan Kesehatan


Kec. Desa Dokter Dokter Perawat Bidan Ahli Apoteker Analis Kesmas Kesling
dan resiko tinggi) kesehatan
gigi Gizi
Tiga Mardinding 950 Jiwa ( %) Puskesmas (1)
Nderket  Lansia() Pustu (11)
 Bumil() BPU (1)
 Balita()
 Bayi()
Total
Brastagi Kuta Gugung 1041 Jiwa( Rumah sakit
 Lansia() (1)
 Bumil() Puskesmas (1)
 Balita() Pustu (9)
 Bayi() BPU (10)
Poskesdes (1)
Total
Si Garang- 1527 Jiwa Rumah sakit
Garang  Lansia() (1)
 Bumil() Puskesmas (1)
 Balita() Pustu(12)
 Bayi() BPU(13)
Poskesdes (2)
Total
Total
Payung Guru 1227 Jiwa Puskesmas (1)
Kinayan  Lansia() Pustu (6)
 Bumil()
 Balita()
 Bayi()
Total

23
Simpan Kuta Tengah 529 Jiwa Puskesmas (1)
g  Lansia() Pustu (1)
Empat  Bumil()
 Balita()
 Bayi()
Total
Tiga Pancur 991 Jiwa Pustu (3)
 Lansia
 Bumil()
 Balita()
 Bayi()
Total
Pintu Besi 275 Jiwa Pustu (2)
 Lansia()
 Bumil() Poskesdes (1)
 Balita()
 Bayi()
Total
Beras Tepu 556Jiwa Pustu(2)
 Lansia()
 Bumil()
 Balita()
 Bayi()
Total
Jeraya 668 Jiwa Pustu (3)
 Lansia() BPU (1)
 Bumil()
 Balita()
 Bayi()
Total
Total

24
Nama Suka Nalu 1193 Jiwa Puskesmas (1)
Teran  Lansia() Pustu (7)
 Bumil() BPU (1)
 Balita() Poskesdes(2)
 Bayi()
Total
Kuta rayat 2156 Jiwa Pustu (7)
 Lansia() BPU (1)
 Bumil() Poskesdes(3)
 Balita()
 Bayi()
Total
Total
TOTAL 11.113Jiwa (100%)
 Lansia()
 Bumil()
 Balita()
 Bayi()

25
3.3 Kebutuhan SDM di Pelayanan Kesehatan Tingkat Rujukan

Jumlah pengungsi sebanyak 11.113 orang. Jumlah pasien rawat jalansebanyak


3.648 orang Jumlah pasien rawat inap sebanyak 1.569 orang sehingga korban
5217
No Tenaga Kesehatan Perkiraan Perhitungan Jumlah tenaga
(dokter) kesehatan
tambahan yang
dibutuhkan
1 Dokter Umum (3648/40)-36* 55
2 Dokter Sp. Bedah [(200/5)/5]- 6* 2
3 Dokter Spesialis [(200/15)/5]-2* 1
Anestesi
4 Perawat (UGD) 1:1 pasien 5217 - 3245* 1972
5 Fisioterapi 1:30 pasien 5271/ 30 = 176 -58* 118
Keterangan * = diasumsikan
3.4 Kebutuhan Obat Berdasarkan Jenis Penyakit Bencana Sinabung
Dari hasil pemantauan, prosentase penyakit yang diderita pengungsi dari total
pengungsi sebanyak 11.113 jiwa, antara lain sebagai berikut:

 ISPA sebanyak 53%


Pengungsi yang menderita ISPA: 53% x 11.113 = 5.890
 Diare sebanyak 6%
Pengungsi yang menderita diare: 6% x 11.113 = 667
 Konjungtivitis sebanyak 3%
Pengungsi yang menderita konjungtivitis: 3% x 11.113 = 333
 Dan penyakit lainnya ( , , ,)sebanyak 38% (fariska, )
Pengungsi yang menderita penyakit lainnya: 38% x 11.113 = 4.223

26
A. Perencanaan (fariska)

No Jenis Penyakit Nama Obat Per pasien Total


1 ISPA Kotrimoksazol 480 mg
5.890 pasien Amoxycillin
OBH
Parasetamol
Masker
2 DIARE Oralit
667 pasien Cairan RL
Infus R/L
NaCl 0,9%,
Metronidazol
Infus Set
Abocath
Wing Needle Oralit
4 Konjuntivitis Sulfasetamid t.m
333 pasien Steroid Topikal
tetes mata Sulfasetamid
Oksitetrasiklin salep mata
Kloramfenikol salep mata

27
No Jenis Penyakit Nama Obat Per pasien Total
4 Penyakit Lain (?) Aquadest steril
4.223 Pasien Kasa Steril 40/40
Betadin Salep
Sofratule
Vit. C tab
Kapas
Handschoen
Wing Needle
Alkohol 70%

28
B. Pengadaan dan penyimpanan obat(ikebes)
C. Distribusi (maya)

29
BAB IV
PENUTUP (siti) pengumpulan sama email sekalian ya cinta

4.1 Kesimpulan

4.2 Rekomendasi

30
DAFTAR PUSTAKA

INEE.2004. Minimum Standards for Education in Emergencies, Chronic Crises and


Early Reconstruction.UNESCO. Diakses pada 28 Mei 2017 pukul 10.32
WIB melalui
http://www.unicef.org/violencestudy/pdf/min_standards_education_emergen
cies.pdf

Kementerian Kesehatan.2011. Pedoman Teknik Penanggulangan Krisis Kesehatan


Akibat Bencana.Jakarta: Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.

Keputusan Menteri KesehatanRepublik Indonesia Nomor 066/MENKES/SK/II/2006


tentang Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan
dalam Penanggulangan Bencana.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1357/Menkes/SK/XII/


2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat
Bencana dan Penanganan Pengungsi Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2008


tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan
Dasar, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

http://www.academia.edu/11223323/Kelompok_14_5A (diakses tanggal 29 Mei 2017


pukul 22.50 WIB)
https://www.slideshare.net/dhenokcitrapanyuluh/pelayanan-kesehatan-pada-kondisi-
bencana-39745167 (diakses tanggal 29 Mei 2017 pukul 23.45 WIB)

31

Anda mungkin juga menyukai