Anda di halaman 1dari 7

A.

PENGERTIAN REMEDIASI
Remediasi yang diartikan sebagai perbaikan lingkungan secara umum diharapkan dapat menghindari
resiko-resiko yang ditimbulkan oleh kontaminasi logam yang berasal dari alam (geochemical) dan akibat
ulah manusia (anthropogenic). Logam dalam tanah tidak dapat mengalami biodegradasi sehingga
pembersihan kontaminan menjadi pekerjaan yang berat dan mahal. Pembersihan polutan dengan cara
konvensional (removal) memerlukan biaya sekitar $ 8 juta-$ 24 juta per ha dengan kedalaman 1 m (Ebbs
et al. 2000; Li et al. 2000).

Untuk mengatasi permasalahan di atas dalam satu dekade terakhir ini telah dikembangkan teknologi
alternatif yang dikenal dengan fitoremediasi. Teknik ini telah dibuktikan lebih mudah diaplikasikan
disamping menawarkan biaya lebih rendah dibandingkan metode berbasis rekayasa seperti pencucian
secara kimiawi ataupun pengerukan.

B. PENGERTIAN FITOREMEDIASI
Ide dasar bahwa tumbuhan dapat digunakan untuk remediasi lingkungan sudah dimulai dari tahun
1970-an. Seorang ahli geobotani di Caledonia menemukan tumbuhan Sebertia acuminata yang dapat
mengakumulasi hingga 20% Ni dalam tajuknya (Brown 1995) dan pada tahun 1980-an, beberapa
penelitian mengenai akumulasi logam berat oleh tumbuhan sudah mengarah pada realisasi penggunaan
tumbuhan untuk membersihkan polutan (Salt 2000).

Fitoremediasi didefinisikan sebagai pencucian polutan yang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk
pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau
imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya (Chaney et al. 1995).

Pada awal perkembangan fitoremediasi, perhatian hanya difokuskan pada kemampuan


hiperakumulator dalam mengatasi pencemaran logam berat dan zat radioaktif, tetapi kemudian
berkembang untuk pencemar anorganik seperti arsen (As) dan berbagai substansi garam dan nitrat, serta
kontaminan organik seperti khlorin, minyak hidrokarbon, dan pestisida.

Persyaratan tanaman untuk fitoremediasi, tidak semua tanaman dapat digunakan dikarenakan semua
tanaman tidak dapat melakukan metabolisme, volatilisasi dan akumulasi semua polutan dengan
mekanisme yang sama. Menurut Youngman (1999) untuk menentukan tanaman yang dapat digunakan
pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang mempunyai sifat:

 Cepat tumbuh.
 Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang singkat.
 Mampu meremediasi lebih dari satu polutan.
 Toleransi yang tinggi terhadap polutan.

Keuntungan utama dari aplikasi teknik fitoremediasi dibandingkan dengan sistem remediasi lainnya
adalah kemampuannya untuk menghasilkan buangan sekunder yang lebih rendah sifat toksiknya, lebih
bersahabat dengan lingkungan serta lebih ekonomis. Kelemahan fitoremediasi adalah dari segi waktu
yang dibutuhkan lebih lama dan juga terdapat kemungkinan masuknya kontaminan ke dalam rantai
makanan melalui konsumsi hewan dari tanaman tersebut (Pratomo dkk, 2004).

C. MEKANISME KERJA FITOREMEDIASI


Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu: fitoekstraksi,
fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan interaksi dengan mikroorganisme
pendegradasi polutan (Kelly, 1997).

 Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman dari air atau tanah dan
kemudian diakumulasi/disimpan didalam tanaman (daun atau batang), tanaman seperti itu
disebut dengan hiperakumulator. Setelah polutan terakumulasi, tanaman bisa dipanen dan
tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus di musnahkan dengan insinerator
kemudian dilandfiling.
 Fitovolatilisasi merupakan proses penyerapan polutan oleh tanaman dan polutan tersebut
dirubah menjadi bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan oleh tanaman. Polutan
yang di lepaskan oleh tanaman ke udara bisa sama seperti bentuk senyawa awal polutan,
bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal.
 Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman dan kemudian polutan
tersebut mengalami metabolisme didalam tanaman. Metabolisme polutan didalam
tanaman melibatkan enzim antara lain nitrodictase, laccase, dehalogenasedan nitrilase.
 Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tanaman untuk mentransformasi
polutan didalam tanah menjadi senyawa yang non toksik tanpa menyerap terlebih dahulu
polutan tersebut kedalam tubuh tanaman.Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap
berada didalam tanah.
 Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi biasanya konsep dasar
ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah badan perairan.

MEKANISME FITOAKUMULASI ATAU FITOEKSTRAKSI

Fitoakumulasi atau fitoekstraksi merupakan merupakan salah satu proses dalam


fitoremediasi yang mencakup 4 hal, yaitu : pengelolaan tanaman pada lokasi tercemar,
pemindahan logam melalaui biomassa yang dipanen, dilakukan perlakuan terhadap biomassa
yang dipanen berikut pelenyapan biomassa sebagai limbah berbahaya, penghilangan logam dari
biomassa yang dipanen. Fitoekstraksi termasuk pendekatan yang paling baik untuk
memindahkan kontaminan, terutama dari tanah dan mengisolasinya tanpa merusak struktur tanah
dan kesuburan tanah.

Proses ini juga dikenal dengan istilah fitoakumulasi. Faktor yang harus diperhatikan agar
metode ini sesuai adalah tanaman yang digunakan harus dapat mengekstrak logam dalam
konsentrasi yang besar ke dalam akar, kemudian menstranslokasikannya ke tajuk dan
memproduksi biomassa tanaman dalam jumlah besar. Pemindahan logam berat dapat didaur
ulang kembali dari biomassa tanaman yang telah terkontaminasi. Faktor-faktor tanaman seperti
laju pertumbuhan, selektifitas elemen, resisten terhadap penyakit, metode panen juga penting
untuk diperhatikan. Namun, pertumbuhan yang lambat, system perakaran yang dangkal, produksi
bimassa yang kecil dan pembuangan akhir dapat menjadi pembatas penggunaan spesies
hiperakumulator (Hayati, 2010).

Fitoakumulasi atau fitoekstraksi adalah penyerapan polutan logam berat (Ag, Cd, Co, Cr,
Cu, Hg, Mn, Ni, Pb, Zn) di dalam tanah oleh akar tumbuhan, dan mengakumulasikan senyawa
tersebut ke bagian tumbuhan, seperti akar, batang, atau daun. Kontaminan dihilangkan dari
lingkungan dengan cara memanen tanaman dan menjadikannya sebagai limbah. Penekanan
teknologinya adalah bahwa daun tanaman mempunyai massa yang jauh lebih kecil dibandingkan
dengan tanah dan bahan lain yang selama ini digunakan dalam proses dekontaminasi. Teknik
fitoakumulasi ini banyak dipakai pada dekontaminasi tanah, sedimen dan sludge.

Beberapa kelemahan dari teknik fitoekstraksi menurut Tjahaja et al (2009) adalah :

1. Tanaman yang merupakan hiperakumulator logam biasanya mempunyai pertumbuhan


lambat, biomassanya kecil, dan sistem perakarannya dangkal.
2. Biomassa tanaman harus dipanen dan dipindahkan, selanjutnya dilakukan reklamasi
logam atau pembuangan biomassa dengan cara yang sesuai.
3. Logam atau bahan pencemar dapat memberikan efek toxic pada tanaman. Selama ini
penelitian fitoekstraksi kebanyakan dilakukan secara hidroponik di laboratorium dengan
menambahkan kontaminan logam ke dalam larutan. Kondisi ini tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya apabila kontaminan berada di tanah. Koefisien fitoekstraksi
atau faktor akumulasi yang diperoleh dari kondisi lapangan akan berbeda dengan hasil
yang diperoleh dari penelitian di laboratorium.
PROSPEK FITOREMEDIASI
Fitoremediasi memiliki potensi untuk dapat diterapkan pada berbagai jenis substansi,
termasuk pencemar lingkungan yang paling parah sekalipun seperti kontaminasi arsen pada
lahan bekas instalasi senjata kimia (Feller 2000). Fitoremediasi merupakan teknologi remediasi
yang menawarkan biaya paling rendah. Bila dibandingkan biaya metode berbasis rekayasa
dengan fitoremediasi untuk pembersihan logam berat dan radioaktif adalah $10 – $3000
berbanding $0.02 – $1 per m3 tanah (Ebbs et al. 2000).

Pasar remediasi dunia di tahun 1999 sebesar U.S. $34–58 juta. Gambaran pasar
fitoremediasi di Amerika saja pada tahun 1999 sebesar $30-49 juta. Nilai ini tumbuh menjadi
$50-86 juta pada tahun 2000, hingga sekitar $100-170 juta pada tahun 2002 dan diperkirakan
$235-400 juta pada 2005. Para pelaku bisnis optimis bahwa fitoremediasi akan menunjukkan
pertumbuhan pasar yang kuat pada akhir-akhir ini. Beberapa pangsa pasar juga bermunculan di
negara-negara berkembang, terutama di beberapa negara Asia, walaupun skalanya lebih kecil
dibandingkan negara maju (Chaney RL et al. 1998b).

Pangsa pasar terbesar kedua setelah Amerika Serikat adalah Eropa, terutama Uni Eropa,
dengan perkiraan pasar sebesar U.S. $2–4 juta/tahun (Tabel 3). Peluang pertumbuhan pasar
masih sangat besar di masa-masa mendatang, sejalan dengan semakin banyaknya negara yang
merevisi undang-undang dan regulasi mengikuti standar Uni Eropa, dan dengan semakin
banyaknya negara yang lebih mengutamakan penanggulangan pencemaran lingkungan di masa
mendatang (Chaney RL et al. 1998b).

Tabel Perkiraan Pasar Fitoremediasi Dunia Tahun 1999 (Chaney et al. 1998b)

Perkiraan pasar fitoremediasi dunia tahun 1999 (dalam juta dolar Amerika)
USA 30-49
Eropa 2-5
Kanada 1-2
Lain-lain 1-2
Dunia 34-58

Paparan di atas memberikan gambaran alternatif lain dalam penanganan lahan


terkontaminasi secara lebih murah dengan tingkat keberhasilan yang dapat diharapkan lebih
tinggi serta sesuai dengan alam Indonesia yang kaya akan sumberdaya tumbuhan. Sejak lama di
Indonesia sudah banyak dilakukan remediasi lahan terdegradasi menggunakan media tanaman,
seperti reklamasi lahan bekas penambangan dengan menggunakan jenis rumput impor (di
Freeport, Papua) dan jenis tanaman tumbuh cepat (di bekas penambangan emas rakyat di
Jampang, Sukabumi, Singkep, dan Riau), tetapi belum secara khusus mengarah kepada
fitoremediasi. Secara fisik bisa saja lahan tertutup berbagai jenis vegetasi tetapi kontaminan
dalam tanah dan perairannya tidak secara otomatis mengalami biodegradasi dan berkurang.

Untuk masa yang akan datang fitoremediasi sangat diperlukan di Indonesia mengingat
setiap tahun kasus pencemaran terus bertambah jumlah dan intensitasnya. Sementara itu daya
dukung tanah dan sumberdaya air semakin menurun dari waktu ke waktu. Sedikitnya 35%
wilayah Indonesia sudah beralih fungsi menjadi areal pertambangan. Dengan sendirinya hal ini
akan merubah bentang alam Indonesia dan menjadikan potensi pencemaran yang juga semakin
besar di kemudian hari.

CONTOH TANAMAN YANG SERING DIGUNAKAN DALAM PROSES


REMEDIASI
1. Sansiviera

Sansevieria atau yang lebih dikenal dengan Lidah Mertua adalah marga tanaman hias yang
cukup populer sebagai penghias bagian dalam rumah karena tanaman ini dapat tumbuh dalam
kondisi yang sedikit air dan cahaya matahari. Sansevieria memiliki daun keras, sukulen, tegak,
dengan ujung meruncing. Sansevieria punya banyak kelebihan, seperti mampu bertahan hidup
pada rentang waktu suhu dan cahaya yang sangat luas, sangat resisten terhadap polutan, dan
mampu menyerap 107 jenis polutan di daerah padat lalu lintas dan ruangan yang penuh asap
rokok dan dapat menyerap radiasi barang elektronik.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sansivera mampu menyerap 107 jenis racun. Termasuk
racun-racun yang terkandung dalam polusi udara (karbonmonoksida), nikotin, bahkan radiasi
nuklir.

Riset lainnya dapat disimpulkan bahwa untuk ruangan seluas 100 m3 cukup ditempatkan
Sansivera Lorentii dewasa berdaun 5 helai agar ruangan itu bebas polutan.

Ciri spesifik yang jarang ditemukan pada tanaman lain, diantaranya mampu hidup pada rentang
suhu dan cahaya yang luas, sangat resisten terhadap gas udara yang berbahaya (polutan), bahkan
mampu menyerapnya sehingga di daerah berlalu lintas padat.
Gambar 1: Tanaman Sansivera

2. Bungur dan Mahoni

Pohon ini dikenal dengan manfaatnya yang dapat menyerap polutan udara seperti timbal. Maka
kedua pohon ini biasanya ditanam di kota besar serta di jalan protokol yang padat akan aktivitas
lalu lintas.

Gambar 2 : Tanaman Bungur dan Mahoni

3.Sirih Belanda

Jenis tanaman ini bisa tumbuh dimana saja, termasuk bisa ditanam dalam pot. Manfaat dari
tanaman ini adalah mampu menyerap formaidehida serta benzene. Rumah pun akan terasa lebih
segar, apabila tumbuhan ini ditanam di sekitar perkarangan rumah.

Senyawa-senyawa aktif yang berbahaya tersebut tidak diserap begitu saja, namun akan diuraikan
dan dinon-aktifkan oleh zat yang disebut dengan zah khelat. Setelah senyawa-senyawa tersebut
sudah tidak lagi membahayakan, barulah dikoordinasikan pada bagian-bagian luar dari tubuh
tanaman seperti pada akar dan jaringan parenkimnya.
Gambar 3 :Sirih Belanda

Anda mungkin juga menyukai