Anda di halaman 1dari 17

BAB II LANDASAN TEORETIS

2.1 Teori Belajar

Belum ada kesepakatan di antara para pendidik dan para ahli teori belajar

mengenai bagaimana pengetahuan dapat ada dalam diri manusia dan bagaimana

anak mengenal sesuatu. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan diwariskan

guru kepada murid-muridnya. Yang lain percaya bahwa pengetahuan sudah ada

dalam diri manusia, hanya saja bagaimana membangkit intelektual dirinya dan

dapat berlangsung dan berkembang.

Menurut Slameto (1995:2), belajar adalah suatu proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan , sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya. Bahkan , WS. Wingkel (1996:53) berpendapat, belajar adalah

suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,

pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relative konstan

dan berbekas.

Teori belajar Behaviorisme (tingkah laku) menyatakan bahwa belajar

adalah proses perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap telah belajar

sesuatu bila ia mampu menunjukan tingkah laku. Menurut teori ini, yang

terpenting adalah masukan atau input yang berupa masukan dan keluaran atau

output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan
respon itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati.

Selanjutnya, teori belajar kognitivisme menyatakan bahwa belajar adalah

perubahan persepsi dan pemahaman (Uno,dkk. 2008: 56-59).

Merujuk pada teori-teori belajar di atas, Burton (dalam Usman dan

Setiawati, 2001: 4) mengemukakan hal senada dengan teori behaviorisme di mana

belajar dapat diartikan sebagai perubahan Tingkah laku pada diri individu berkat

adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan

lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.

Kemudian Witherington (dalam Usman dan Setiawati, 2001: 5) menyatakan

bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian yang

menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap,

kebiasaan kepribadian atau suatu pengertian.

Agar proses belajar mengajar dapat berhasil dengan baik, siswa sebaiknya

diajak untuk memanfaatkan semua inderanya. Untuk itu guru berupaya

menampilkan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera.

Semakin banyak alat indera yang digunakan untuk menerima dan mengolah

informasi semakin besar kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dapat

dipertahankan dalam ingatan dengan demikian siswa diharapkan akan dapat

menerima dan menyerap dengan mudah dan baik pesan-pesan dalam materi yang

disajikan.

Sehubungan dengan belajar sebagai “proses” J. S. Brunner (dalam Dimyati

dan Mudjiono, 2009 ) lebih mengarah pandangannya kepada transformasi


informasi yaitu bagaimana terjadinya perubahan suatu pengetahuan oleh

pengetahuan lain. Brunner membedakan ada tiga jenis informasi yang

ditransformasikan, berturut-turut dari yang abstrak ke yang kongkrit, ialah :

a. The Enactive suatu informasi yang tidak dapat dikhayalkan dan juga tidak

dapat di informasikan secara verbal (bahasa), tetapi hanya dapat dilakukan

atau dialami (pengalaman langsung).

b. The Iconic yaitu informasi yang tidak dapat dinyatakan secara verbal

(bahasa), tetapi dapat dikhayalkan dan diamalkan (pengalaman pkitorial atau

gambar).

c. The Symbolic informasi yang dapat diamalkan, dapat dikhayalkan dan juga

dapat dibahasakan secara verbal.

Berdasarkan kutipan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa belajar

matematika di SD ditujukan untuk memahami konsep matematika secara

kongkrit, upaya guru untuk mengusahakan konsep matematika yang abstrak

dengan mengunakan media pembelajaran yang menyenangkan dan mudah di

peroleh siswa. Pembelajaran matematika disekolah dasar berorientasi pada suatu

tujuan yang tercantum dalam standar isi kurikulum tingkat satuan pendidikan

(BSNP, 2006;417) sebagai berikut :

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan


mengaplikasi atau logaritma secara luwes, akurat, efisisen, dan tepat dalam
pemecahan masalah
2. Meningkatkan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, table diagram, atau media lain
untuk menjelaskan kedaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelari matematika
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan kutipan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan Bahwa

pembelajaran matematika di SD ditujukan untuk memahami konsep matematika,

memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan dan memili sifat menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan

minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam

pemecahan masalah. Untuk itu guru merupakan mediator siswa memahami

konsep matematika tersebut dengan menggunakan media yang mudah dan

menyebangkan.

2.2 Pengertian Media

Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti

tengah, perantara atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara

(wasilah) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Media

adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari

pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan


minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.

(Sardiman, 2006: 6)

Latuheru (dalam Harya, 2008: 14), menyatakan bahwa media

pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegaiatan

belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi anatara guru dan siswa

dapat berlangsung secara tepat guna serta berdaya guna.

Selain itu, sardiman ( 2006: 16) menjelaskan media pembelajaran

mempunyai kegunaan sebagai berikut :

1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas ( dalam

bentuk kata-kata tertulis atau lisan berkala).

2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera

3. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat

diatas sikap pasif anak didik. Dalam hal ini, media pendidikan berguna

untuk:

a. Menimbulkan kegairahan belajar

b. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik

dengan lingkungan dan kenyataan.

c. Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan

dan minatnya.

4. Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan

dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi

pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru akan banyak
mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Apalagi

bila latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah

ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu dengan kemampuannya

dalam:

a. Memberikan perangsang yang sama

b. Mempersamakan pengalaman

c. Menimbulkan persepsi yang sama.

Pengertian lain tentang media, dikemukakan oleh beberapa ahli,

diantaranya:

a. Fleming (dalam Sudjana, 2007) media merupakan penyebab atau alat yang

turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan

istilah mediator, media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur

hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar - siswa

dan isi pelajaran.

b. Robert Heinich dkk (dalam Kartika Laria,1985:6) mengemukakan istilah

medium sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber

penerima.

c. Gagne dan Briggs (dalam Sudjana, 2007) mengatakan bahwa media

pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk

menyampaikan isi materi pengajaran. Dengan kata lain, media adalah

komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi

instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk

belajar.
d. National Education Association (dalam Yahya Nursidik, 2008)

memberikan definisi media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik

tercetak maupun audio-visual dan peralatannya, dengan demikian media

dapat dimanipulasi, dilihat, didengar atau dibaca.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa media

adalah sarana atau alat dalam berbagai bentuk baik fisik maupun abstrak yang

berfungsi mengantarkan informasikan menyeluruh dari sumber kepada penerima,

sehingga penerima faham maksud dan tujuan informasi tersebut.

2.3 Pengertian Origami

Origami merupakan bahasa Jepang, yang terdiri dari dua suku kata ori

(lipat) dan kami (kertas). Sehingga Origami berarti suatu seni melipat kertas yang

berkembang menjadi suatu bentuk kesenian modern. Origami pertama sekali

diperkenalkan pada abad pertama di zaman Tiongkok kuno pada tahun 105 M

oleh Ts’ai Lun. Pada masa itu, kertas dibuat dari potongan kecil tumbuhan dan

kain berkualitas rendah. Contoh-contoh awal origami yang berasal dari tiongkok

adalah tongkang (jung) dan kotak.

Untuk waktu yang lama, model-model yang dikenal hanya berbatas pada

model-model tradisional seperti bangau di Jepang dan pajarita di Spanyol.

Akhirnya, seorang seniman Jepang, bernama Akira Yoshizawa (1911 – 2005)

membuat inovasi dengan menciptakan model-model baru yang kemudian

membawa perubahan besar dalam perkembangan origami. Pada konsepnya,

Yoshizawa menciptakan sebuah system penggambaran sistematis, yang disebut


diagram, untuk menunjukan langkah-langkah pelipatan suatu model yang dapat

disebarluaskan dan dipahami oleh banyak pihak. Sistem ini kemudian dikenal

menjadi Sistem Yoshizawa-randlett, yang kemudian menjadi lazim digunakan

untuk instruksi lipat model origami.

2.4 Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan

pembelajaran di sekolah hasil belajar dapat ditingkatkan secara sistematis

mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses

belajar, akhir dari proses belajar inilah yang dinamakan perolehan suatu hasil

belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar

kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak

belajar dan mengajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan

berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009:3)

Menurut Sudjana (2010:22) hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki

siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito (dalam

Depdiknas, 2006:125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai

dengan adanya perubahan perilaku kearah positif yang relatif permanen pada diri

orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk.

(2010:18) menjelaskan bahwa seorang dapat dikatakan telah berhasil dalam

belajar jika mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan-

perubahan tersebut diantaranya dari segi kemampuan berfikirnya,

keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek.


Jika dikaji lebih mendalam, maka hasil belajar dapat tertuang dalam

taksonomi Bloom, yakni dikelompokkan dalam tiga ranah(domain) yaitu domain

kognitif atau kemampuan berfikir, domain afektif atau sikap dan domain

psikomotor atau keterampilan. Sehubungan dengan itu Gagne (dalam Sudjana,

2010:22 ) mengembangkan kemampuan hasil belajar menjadi lima macam antara

lain:

1. Hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem

lingsikolastik.

2. Strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam

arti seluas-luasnya termasuk kemampuan memecahkan masalah.

3. Sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional yang

dimiliki seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan

bertingkah laku terhadap orang lain dan suatu kejadian.

4. Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi fakta.

5. Keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan

hidup serta mempresentasikan konsep dan lambing.

Untuk mengetahui hasil belajar seseorang dapat dilakukan dengan melakukan

tes dan pengukuran. Tes dan pengukuran memerlukan alat sebagai pengumpul

data yang disebut dengan instrumen penilaian hasil belajar. Menurut Wahidmurni,

dkk. (2010:28), instrumen di bagi menjadi dua bagian besar, yakni tes dan non tes.

Selanjutnya, menurut Hamalik (2006:155) memberikan gambaran bahwa hasil

belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa

setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Hasil belajar tampak terjadinya


peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan

sebelumnya.

Berdasarkan konsepsi di atas, pengertian hasil belajar dapat disimpulkan

sebagai perubahan perilaku secara positif serta kemampuan yang dimiliki siswa

dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar yang berupa hasil belajar motorik.

Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan

yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

2.5 Konsep Pecahan

Pengertian bilangan pecahan pada matematika Sekolah Dasar dapat

didasarkan atas pembagian suatu benda atau himpunan atas beberapa bagian yang

sama. Menurut Khafid (2004:145), pecahan adalah beberapa bagian dari


𝑎
keseluruhan, pecahan biasa dilambangkan dengan , dimana a sebagai pembilang
𝑏

dan b sebagai penyebut. Contohnya; apabila sebuah kertas berbentuk segi empat

(anggap kertas tersebut mewakili bilangan satu ) dipotong atau dibagi dua sama

besar, maka tiap bagian menjadi setengah atau seperdua. Lambang seperdua atau
1 1
setengah ditulis atau 0,5 . Seterusnya apabila kertas tersebut di bagi 4 ( 4 ) atau
2

1
6 ( ), dapat dilihat keseluruhannya pada gambar-gambar pecahan sederhana di
6

bawah ini.

a. b. c.
1 3 4
pecahan seperdua atau pecahan pecahan
2 4 8

Gambar 2.1 Pecahan Sederhana

Contoh lain, seorang ibu pulang dari pasar membawa 3 (tiga) potong roti

gambang sedangkan anaknya ada 2 (dua) orang, supaya anak mendapat bagian

yang sama maka, 3 potong roti gambang tersebut harus di bagi 2. Sehingga dalam
1
pembagian roti gambang tersebut, setiap anak mendapat 1 2 (satu setengah)

bagian.

Bilangan pecahan terkadang merupakan salah satu bab bahasan yang

menyita waktu untuk menemukan konsep yang ideal dalam memudahkan

pemahaman siswa memahami pola perhitungan bilangan tersebut. Pada siswa

kelas III SD dalam mengajarkan pecahan masih dalam tahap pengenalan pecahan.

Siswa perlu mengenal lambing-lambang bilangan pecahan agar memudahkan

siswa didik untuk mempelajari pecahan-pecahan lanjutan. Siswa akan lebih

termotivasi dan pemahaman matematika lebih mudah dikembangkan biula siswa

menggunakan bilangan pecahan dengan menggunakan benda-benda konkret.


BAB III METODE PENELITAN

3.1 Setting Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan februari 2012. Seluruh kegiatan

penelitian ini dilaksanakan di SDIT Al-Azhar. Pemilihan SD ini dilakukan

dengan alasan, peneliti merupakan salah serang guru pada Yayasan

Pendidikan Al-Azhar yang menaungi SD tersebut.

3.2 Sabjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III A SDIT Al-

Azhar yang berjumlah 31 orang, dengan diberikan materi pecahan dengan

menggunakan media origasmi.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Lembar Kerja Siswa (LKS),

b. Soal post test berbentuk isian dengan 5 (lima) buah soal,

c. Lembar pengamatan untuk aktivitas siswa.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan secara langsung agar data yang terkumpul akurat

dan dapat di percaya. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini

adalah data aktifitas siswa selama pembelajaran berlangsung, data

kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan data ketuntasan hasil


belajar siswa pada materi pecahan sederhana. Instrumen untuk

mengumpulkan data tersebut ada beberapa, yaitu sebagai berikut :

a. Tes hasil belajar

Tes diberikan kepada siswa setelah menerapkan pembelajaran pecahan

menggunakan media origami. Soal yang diberikan berbentuk essay sebanyak

5 soal. Nilai yang didapatdari hasil tes yang diambil sebagai data dalam

penelitian.

b. Observasi (Pengamatan)

Observasi yaitu kegiatan pengumpulan data lapangan dengan cara

mengamati dan melihat secara langsung objek penilaian yang dilakukan

sehingga diharapkan dapat memperoleh data yang lebih akurat. Lembar

observasi yang digunakan adalah Lembar Aktifitas Siswa, yaitu data proses

aktifitas siswa selama pembelajaran berlangsung diperoleh melalui

pengamatan oleh observer menggunakan lembar pengamatan aktifitas siswa.

Observer dimaksud adalah rekan mahasiswa yang sudah terlebih dahulu

dilatih dan sudah pernah meneliti tentang aktifitas siswa.

3.5 Teknik Pengolahan Data

Tahap yang paling penting dalam suatu penelitian adalah tahap

pengolahan data karena pada tahap ini hasil penelitian dirumuskan. Setelah

semua data terkumpul maka untuk mendeskripsikan data penelitian dilakukan

analisa sebagai berikut :

a. Tes Ketuntasan Belajar


Untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa pada materi

pecahan dengan menggunakan media origami, maka dapat digunakan rumus

presentase menurut Depdiknas (dalam Mukhlis, 2005 : 44).


𝑛
P= 𝑁 x 100%

Keterangan :

P = Angka persen

n = Jumlah siswa yang tuntas

N = Jumlah siswa keseluruhan

Rumus tersebut dapat digunakan untuk menentukan persentase ketuntasan

belajar siswa secara klasikal yang membedakan hanya keterangan saja.

b. Data Aktifitas Siswa

Untuk mengetahui aktifitas siswa selama pembelajaran dengan

menggunakan media Origami pada materi pecahan, dianalisis dengan

menggunakan presentase.

Adapun rumus presentase menurut Sudjana (2002:72) adalah :

𝑓
P= 𝑁 x 100%

Keterangan : P = Angka persen

F = Frekuensi aktifitas siswa yang muncul

N = Aktifitas siswa keseluruhan

3.6 Indikator Kinerja

Serang siswa dikatakan sudah mencapai ketuntasan belajar secara

individual apabila telah mencapai nilai 75 yang merupakan KKM materi di


Sekolah SDIT AlAzhar Banda Aceh. Sedangkan dari segi ketuntasan

kesuluruhann siswa atau klasikal dikatakan sudah mencapai ketuntasan

apabila telah mencapai nila 85.

3.7 Prosedur dan Rencana Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (action

research). Penelitian Tindakan Kelas atau PTK, memiliki karakteristik

penting yaitu masalah yang di angkat dan dipecahkan melalui PTK harus

selalu berasal dari persoalan praktek pembelajaran sehari-hari yang dihadapi

oleh guru. Jika seorang guru merasa bahwa apa yang dipraktekkan sehari-hari

tidak bermasalah, maka PTK tidak perlu dtuntaskan.

Pesoalannya sekarang tidak semua guru mampu melihat sendiri apa

yang telah dilakukan selama bertahun-tahun dalam proses pembelajaran. Oleh

karena itu, guru dapat berkolabratif melakukan penelitian tindakan kelas. Dari

sinilah kemungkinan akan munculnya masalah dalam proses pembelajaran.

Secara ringkas, penelitian tindakan kelas adalah bagaimana

sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi praktek pembelajaran

mereka dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka dapat mencoba

suatu gagasan perbaikan dalam praktek pembelajaran mereka, dan melihat

pengaruh nyata dari upaya itu.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model spiral

yang dikemukakan oleh Kemmis dan Taggart (dalam Wiriatmadja, 2008: 66).

Model ini direncanakan dengan 3 (tiga) siklus, masing-masing siklus terdiri


dari 4 (empat) tahap, yaitu (1) Perencanaan kegiatan (Plan) , (2) Pelaksanaan

kegiatan (act), 3 pengamatan (observe), dan (4) refleksi (reflection).

Adapun alur penelitiannnya sebagai berikut:

1. Perencanaan : Rencana tindakan apa yang dilakukan untuk memperbaiki,

meningkatkan atau perubahan perilaku dan sikap sebagai solusi.

2. Tindakan : Apa yang dilakukan oleh guru atau peneliti sebagai upaya

perbaikan peningkatan atau perubahan yang di inginkan.

3. Pengamatan : Mengamati atas hasil atau dampak dari tindakan yang

dilaksanakan.

4. Refleksi : peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil dari

tindakan yang telah dilakukan.

Perencanaan Kegiatan Refleksi III Laporan


Penelitian

Pelaksanaan Kegiatan Pengamatan

Pengamatan Pelaksanaan Kegiatan


Siklus III
Siklus I
Refleksi Perencanaan Kegiatan

Perencanaan Kegiatan Refleksi II

Pelaksanaan Kegiatan Pengamatan

Siklus III
Gambar 3.1 Siklus Rancangan PTK
( Modifikasi dari rancangan Wiraatmaja, 2008: 66)
3.8 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan Yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas pada materi pecahan

menggunakan media origami sehingga nanti hasilnya dapat dilihat dari

keberhasilan siswa dalam belajar.

Jenis penelitian tindakan kelas pada penelitian ini melalui beberapa

siklus, diantaranya :

a. Siklus I

1. Perencanaan kegiatan

2. Pelaksanaan kegiatan

3. Pengamatan

4. Refleksi

b. Siklus II

Setelah dilakukan Penelitian, data yang diperoleh diolah sehingga

memperoleh data yang menyeruh sebelum diperbaiki.

Anda mungkin juga menyukai