Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

INFEKSI SALURAN KEMIH PADA ANAK

DISUSUN OLEH:

Ni Putu Cristian R.A

11.2016.307

PEMBIMBING:

Dr. Riza, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RSUD KOJA, JAKARTA UTARA

PERIODE 27 November 2017 – 03 Februari 2018

1
Pendahuluan

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu infeksi yang paling umum di bagian
kesehatan pediatrik. ISK dapat menyebabkan kesakitan pada anak dan dapat menyebabkan
kerusakan ginjal yang permanen. Diagnosis dan pengobatan yang efektif dari ISK dapat
mencegah ketidaknyamanan akut dan mencegah kerusakan ginjal pada anak dengan infeksi
yang berulang. Terdapat dua kategori klinis ISK yaitu pielonefritis (ISK bagian atas) dan
sistitis (ISK bagian bawah). Organisme penyebab terjadinya ISK paling umum adalah flora
normal di usus, dan bakteria gram-negatif. Escherichia coli adalah organisme yang paling
sering diisolasi dari pasien anak dengan ISK. Namun, organisme lain yang memperoleh akses
ke saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi, termasuk jamur (spesies Candida) dan
virus.1
Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada usia, mulai dari gejala
yang asimtomatik hingga gejala berat. ISK yang terjadi pada perempuan ketika masih anak-
anak dapat menimbulkan komplikasi kelak pada saat mereka menjadi ibu hamil. Diagnosis
ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, serta
dipastikan dengan biakan urin kuantitatif. Bila diagnosis ISK sudah ditegakkan, perlu
ditentukan lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena akan menentukan tatalaksana dan
morbiditas penyakit. Diagnosis dan tatalaksana ISK yang adekuat bertujuan untuk mencegah
atau mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka panjang seperti parut pada ginjal,
hipertensi, dan gagal ginjal kronik.2 American Academy of Pediatrics (AAP) telah
mempublikasikan panduan mengenai diagnosis dan penatalaksanaan infeksi saluran kemih
(ISK) pada bayi dan anak usia 2-24 bulan dengan demam.3
Tujuan referat ini ditulis adalah untuk mempelajari tentang ISK pada pasien
pediatrik dengan lebih mendalam. Dalam referat ini akan dibahaskan tentang definisi ISK,
klasifikasinya, etiologic dan epidemiologi ISK, manifestasi klinis, patofisiologi, cara
mendiagnosis ISK, serta terapi yang dapat diberikan pada pasien pediatrik dengan ISK.

2
Pembahasan
Definisi
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna.
Berkembangbiaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih ini disebut sebagai bakteriuria
(adanya bakteri dalam urin). Bakteriuria adalah apabila ditemukan jumlah bakteri pada
sampel urin sebanyak 55 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter urin segar
yang diambil dengan cara midstream, kateterisasi urin, dan urine collector. Dahulunya
dikatakan bermakna apabila terdapat 105 cfu bakteri, namun literatur terbaru mengatakan
bahwa dengan ditemukan 55 cfu sudah dianggap bermakna (bakteriuria).4,5
Bakteriuria asimtomatik adalah terdapat bakteriuria yang bermakna namun tanpa
gejala dari ISK. Infeksi rekuren adalah infeksi kedua ISK, yang terjadi setelah 6 bulan pasca
infeksi yang pertama. ISK kompleks adalah terjadinya demam >39ºC, toksisitas sistemik,
muntah yang berterusan, dehidrasi, sakit pada bagian ginjal, dan jumlah kreatinin yang
meningkat. ISK simpleks didefinisikan sebagai ISK dengan demam yang tidak tinggi,
dysuria, dan urgensi, tanpa gejala-gejala ISK kompleks.6

Klasifikasi
ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan kelainan
saluran kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan menjadi ISK asimtomatik dan simtomatik.
Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah, dan
berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK
kompleks.
ISK asimtomatik ialah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK simtomatik yaitu
terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik. Sekitar 10-20% ISK yang
sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis baik berdasarkan gejala klinik maupun
pemeriksaan penunjang disebut dengan ISK non spesifik.4
Membedakan ISK atas atau pielonefritis dengan ISK bawah (sistitis dan urethritis)
sangat perlu karena risiko terjadinya parut ginjal sangat bermakna pada pielonefritis dan tidak
pada sistitis, sehingga tata laksananya (pemeriksaan, pemberian antibiotik, dan lama terapi)
berbeda. Untuk kepentingan klinik dan tata laksana, ISK dapat dibagi menjadi ISK simpleks
(uncomplicated UTI) dan ISK kompleks (complicated UTI). ISK kompleks adalah ISK yang
disertai kelainan anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis
ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa RVU, batu saluran

3
kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.
ISK simpleks ialah ISK tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih.4
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) membedakan ISK
menjadi ISK atipikal dan ISK berulang. Kriteria ISK atipikal adalah; keadaan pasien yang
sakit berat, diuresis sedikit, terdapat massa abdomen atau kandung kemih, peningkatan
kreatinin darah, septikemia, tidak memberikan respon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta
disebabkan oleh kuman non E. coli. ISK berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episode
pielonefritis akut atau ISK atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu
atau lebih episode sistitis atau ISK bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis atau ISK
bawah.4

Epidemiologi
ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK tergantung pada
umur dan jenis kelamin. Prevalensi ISK pada neonatus berkisar antara 0,1% hingga 1%, dan
meningkat menjadi 14% pada neonatus dengan demam, dan 5,3% pada bayi. Pada bayi
asimtomatik, bakteriuria didapatkan pada 0,3 hingga 0,4%. Risiko ISK pada anak sebelum
pubertas 3-5% pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki. Pada anak dengan demam
berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%.4
Pada tahun pertama kehidupan, anak laki-laki lebih rentan untuk terkena ISK
berbanding perempuan. Pada anak laki-laki yang belum disirkumsisi, resiko terkena ISK
adalah 10 kali lipat lebih tinggi dari anak laki-laki yang sudah disirkumsisi. Insidens ISK
menurun sebanyak 1% pada anak laki-laki usia sekolah dan meningkat sebanyak 1-3% pada
anak perempuan usi sekolah.7 Pada anak perempuan, ISK sering terjadi pada usia 1-5 tahun,
terutama saat usia “toilet raining”.8

Etiologi
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK
serangan pertama.4,7 UPEC (uropathogenic E.coli) atau ExPEC (extraintestinal E.coli)
merupaka serotipe yang mengandung dinding sel antigen O yang seringkali menjadi
penyebab ISK pada anak.7 Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga
menunjukkan hasil yang sama. Kuman lain penyebab ISK. Yang sering adalah Proteus
mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas
aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii, Stafilokokus, dan
Enterokokus.4,7

4
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti
Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis.
Haemofilus influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab ISK pada anak.
Kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan standar sehingga sering tidak
diperhitungkan sebagai penyebab ISK. Bila penyebabnya Proteus, perlu dicurigai
kemungkinan batu struvit (magnesiumammonium- fosfat) karena kuman Proteus
menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi amonium, sehingga pH urin
meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa elektrolit seperti kalsium,
magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.4

Diagnosis
Seperti penyakit-penyakit lain, diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. ISK
serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan
infeksi berikutnya.4
Anamnesis dapat dilakukan secara allo atau auto anamnesis jika anak sudah mencapai
usia yang boleh diajak komunikasi dengan dokter. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti.
Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin dapat
sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Tanyakan juga jika terdapat dysuria atau
hematuria. Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang
merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak.4
Pada pemeriksaan fisik, yang harus dilakukan pada pasien dengan suspek ISK adalah
pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan
massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas
bawah, tulang belakang untuk melihat ada tidaknya spina bifida. Genitalia eksterna harus
diperiksa untuk melihat kelainan seperti fimosis, hipospadia, epispadia pada laki-laki atau
sinekie vagina pada perempuan.4
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh sebab
itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis. Untuk
menegakkan diagnosis, hasil urinalisis harus menunjukkan adanya pyuria dan bakteriuria dan
adanya sekurang-kurangnya 50,000 cfu/ml dari sampel urin yang diambil melalui kateterisasi
atau aspirasi suprapubik.9 American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi
bahwa pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK
dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam

5
yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan
biakan urin, dan anak ditata laksana sebagai pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2
bulan sampai 2 tahun, AAP membuat patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu:4,5
 Suhu tubuh 39ºC atau lebih
 Demam berlangsung dua hari atau lebih,
 Ras kulit putih
 Umur di bawah satu tahun
 Tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya.
Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK
mencapai 95% dengan spesifisitas 31%.
Untuk anak laki-laki usia 2 bulan hingga 2 tahun, patokan yang dibuat oleh AAP adalah:5
 Bukan ras kulit hitam
 Suhu 39ºC atau lebih
 Demam lebih dari 24 jam
 Tidak ditemukan penyebab demam yang lainnya

Gambar 1. Faktor Resiko ISK Menurut AAP5

6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang menjadi penunjang kepada ISK adalah urinalisis. Sampel yang
paling reliable untuk mendapatkan hasil yang baik adalah dari aspirasi suprapubik. Hal ini
karena dengan mengggunakan cara aspirasi suprapubik, sampel tidak akan dikontaminasi
oleh organisme dari uretral atau periuretral. Kontaminasi dari kulit dapat dielakkan dengan
cara sepsis antisepsis yang baik pada daerah kulit. Jadi jika terdapat organisme yang
ditemukan pada sampel urin dari aspirasi suprapubik, sudah dianggap bakteriuria. Selain itu,
sampel dari kateter urin dan urin midstream juga dapat dijadikan sampel untuk pemeriksaan
urinalisis. Jika didapatkan sample dari urine collector yang dilekatkan pada perineum, hasil
dapat menjadi meragukan jika positif. Hal ini karena walaupun sudah dibersihkan bagian
perineum dan kulit-kulit sekitarnya, specimen dari urine collector masih boleh terdapat flora
normal perineal dan rektal. Urin midstream yang diambil dari anak laki-laki yang sudah
disirkumsisi, anak perempuan dengan usia 10 tahun ke atas, dan anak laki-laki yang tidak
disirkumsisi namun boleh meretraksi kulit di hujung penisnya boleh menjadi sampel yang
baik. Jika sampel diambil dari kateter urin, adalah lebih baik jika urin pertama yang keluar
yang berkemungkinan mengandung organisme uretral dibuang dulu. Kerugian dari
mengambil sampel melalui kateter urin adalah boleh menyebabkab trauma dan boleh
menyebabkan masuknya organisme uretral ke dalam kandung kemih yang steril.7
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan
darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak
dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Sensitifitas dari pemeriksaan urinalisis rutin untuk
mendiagnosis ISK adalah 82% pada anak usia <2 tahun. Leukosituria biasanya ditemukan
pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya
leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Pyuria adalah apabila terdapat >5 leukosit/lapang
pandang besar (lpb) dari sampel urin yang disentrifuse. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa
leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada infeksi oleh
kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan Ureaplasma urealitikum.4,7

7
Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Komponen Urinalisis8

Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase, enzim yang
terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin. Uji
nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan
normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi
nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif
dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman
dalam urin. Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit. Namun
hasil nitrit yang negative tidak boleh menjadi patokan bahwa tidak terdapat ISK karena
bakteri gram positif dan kebanyakan bakteri non-Enterobacteriaceae dan bakteri gram
negative non enteric tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit. Jadi pemeriksaan nitrit merupakan
pemeriksaan yang kurang sensitive (53%) untuk mendiagnosa ISK.4,7
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai
sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
rendah dalam diagnosis ISK. Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan
rasio uNGAL dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL
adalah suatu iron-carrier-protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan
komponen imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi bakteri. Peningkatan
uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30 ng/mg merupakan tanda ISK. Bakteri sulit dilihat dengan
mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan mikrokop fase kontras. Pada urin segar tanpa
dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar
(LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang
dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan jumlah
kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase kontras tidak terlihat kuman,

8
umumnya urin steril. Anti coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan
menggunakan fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada
remaja dan dewasa muda, namun tidak mampu laksana pada anak.4
Pemeriksaan biakan urin merupakan pemeriksaan baku emas dalam mendiagnosis
ISK.4,6,7 Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media McConkey. Beberapa
bakteri yang tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh pada media yang sering
digunakan dan memerlukan media kultur khusus. Interpretasi hasil biakan urin bergantung
pada teknik pengambilan sampel urin, waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan
sampel urin dengan cara aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria
bermakna adalah jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Namun untuk teknik
pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria
yang berbeda-beda. Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah
dipakai jumlah kuman ≥105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna. Dengan kateter
urin, Garin dkk., menggunakan jumlah >105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna,dan
pendapat lain menyebutkan bermakna jika jumlah kuman >50x103 cfu/mL. Menurut kriteria
diagnosis terbaru dari AAP, batasan ISK adalah dengan jumlah kuman >50x103 cfu/mL
untuk teknik pengambilan urin dengan midstream/clean catch. Interpretasi hasil biakan urin
bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak faktor yang dapat menyebabkan
hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan ISK. Cara lain untuk
mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara biakan urin yang dapat
dilakukan setiap saat dan di mana saja, tetapi cara ini hanya dapat menunjukkan ada tidaknya
kuman, sedang indentifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan cara
konvensional.4,5,7
Berbagai pemeriksaan laboratorium darah dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut
tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju endap darah
(LED), C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas.
Kadar prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk
pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar
ginjal. Sitokin merupakan protein kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin,
dan sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk
pada pielonefritis akut.

9
Manifestasi Klinis
Infeksi saluran kemih mempunyai gejala klinis yang bervariasi tergantung kepada
usia, intensitas reaksi inflamasi dan lokasi infeksi pada saluran kemih. Sebagian ISK pada
anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur sekolah, terutama
anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening programs). ISK
asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang
baik.4
Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus
atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau
distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-
kadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour).4
Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan,
gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi
abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai
kejang.4,6,7
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar
gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal
saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan
sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.4,6,7 Pada pielonefritis dapat
dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare.
Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala
neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu
bentuk pielonefritis, yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai
nefropenia lobar.4
Pada sistitis, demam jarang melebihi 38ºC, biasanya ditandai dengan nyeri pada perut
bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu berkemih, rasa
discomfort suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan enuresis.4
Menurut penelitian dari Miesien dkk yang meneliti profil klinis ISK pada anak di
RSCM dengan menggunakan 50 subjek, lima gejala klinis terbanyak yang didapatkan ialah
riwayat demam (36/50), nafsu makan menurun (28/50), diare (21/50), kencing tidak lancar
(17/50) dan muntah (15/50). Gejala lain berdasarkan urutan terbanyak adalah mual, sering
berkemih, rewel (cengeng), menangis atau sakit jika berkemih, nyeri perut, konstipasi dan
inkontinensia urin. Gejala nyeri pinggang dan air kemih berbau busuk tidak didapatkan.

10
Disebutkan di kepustakaan bahwa pada anak berusia 2 bulan-2 tahun, demam sering
merupakan satu-satunya gejala klinis, sedangkan gejala lain seperti nafsu makan menurun,
diare, muntah, nyeri perut dan konstipasi, kadang-kadang didapatkan. Keluhan nyeri saat
berkemih dan sering berkemih jarang didapatkan pada anak berusia <2 tahun, sedangkan
keluhan nyeri pinggang jarang didapatkan pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun.2

Patofisiologi
ISK biasanya terjadi karena bakteri dari saluran pencernaan mengkolonisasi dan
melewati urethra secara ascending infection. Dari kandung kemih, patogen dapat menyebar
ke saluran kemih ke ginjal (pielonefritis). Pada anak laki-laki yang tidak disirkumsisi,
pathogen bakteri datang dari flora yang terdapat di bawah preputium. Pada beberapa kasus,
bakteri yang menyebabkan sistitis naik ke atas ke ginjal dan menyebabkan terjadinya
pielonefritis.8,10
Jika bakteri naik dari kandung kemih ke ginjal, pielonefritis akut dapat terjadi.
Secara normal, terdapat papil-papil simple dan compound di ginjal yang mempunyai
mekanisme antirefluks yang mencegah urin di pelvis renal daripada memasuki collecting
tubules. Namun, beberapa papil compound di kutub atas dan bawah dari ginjal membenarkan
refluks intrarenal. Urin yang terinfeksi kemudiannya akan menstimulasi respon imunologi
dan inflamasi yang akhirnya menyebabkan cedera ginjal dan parut ginjal. Anak pada usia
apapun dengan ISK dengan demam boleh terkena pielonefritis akut dan parut ginjal, tapi
resiko tertinggi adaah pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun.8
Pada anak perempuan, ISK sering terjadi pada fase toilet training karena disfungsi
dari kandung kemih yang terjadi pada fase tersebut. Anak-anak cenderung untuk
mempertahankan urin supaya tidak “ngompol”, namun kandung kemih mungkin mempunyai
kontraksi yang tidak tertahankan untuk mengeluarkan urin. Akhirnya terjadi tekanan tinggi,
turbulensi aliran urin atau pengosongan kandung kemih yang inkomplit. Hal-hal ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya bakteriuria.8
Patogenesis dari ISK adalah berdasarkan dari adanya pili atau fimbriae pada
permukaan bakteri. Terdapat 2 tipe fimbriae yaitu tipe I dan tipe II. Fimbriae tipe I ditemukan
pada kebanyakan strain E.coli. Oleh karena perlengketan pada sel target boleh diblokir oleh
D-mannose, fimbriae ini dikenal sebagai mannose sensitive. Fimbriae tipe ini tidak berperan
pada pielonefritis. Perlengketan fimbriae tipe II tidak diinhibisi oleh mannose, jadi dikenal
sebagai mannose resistant. Fimbriae tipe II terdapat cuma pada beberapa strain dari E.coli.
reseptor dari fimbriae tipe II adalah glikosphingolipid yang terdapat pada membrane sel

11
uroepitelial dan sel darah merah. Bakteri dengan fimbriae tipe II ini lebih sering
menyebabkan pielonefritis.8
Pada bayi yang lebih muda dari usia 12 minggu, ISK mungkin terjadi karena bakteri
menyebar secara hematogen (bakteremia). Urin pada uretra bagian proksimal dan kandung
kemih biasanya steril. Kemasukan bakteri ke dalam kandung kemih dapat disebabkan oleh
aliran turbulensi dari pembuangan air kecil yang normal, kelainan dalam berkemih, atau
pemakaian kateter urin. Kolonisasi bakteri pada urethra terjadi sejak awal kehidupan tetapi
tidak berkembang menjadi suatu penyakit melainkan adanya imbalance antara respon dari
host dan virulensi bakteri. Faktor virulensi bakteri termasuk adhesi (difasilitasi oleh fimbriae
bakteri), lipopolisakarida (endotoksin), polisakarida kapsuler dan hemolisin (pore-forming
protein).1,10

Penatalaksaan
Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi
infeksi, gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis
memerlukan pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan
faktor risiko penting terhadap terjadinya jaringan parut pada pielonefritis. Sebelum
pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan
resistensi antimikroba. Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat
mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut.4
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada anak, dan
masih terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol penanganan ISK
telah dibuat berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji klinis dan meta-analisis,
meskipun terdapat beberapa perbedaan tetapi protokol penanganan ini saling melengkapi.
Secara garis besar, tatalaksana ISK terdiri atas:4
 Eradikasi infeksi akut
 Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran
kemih
 Deteksi dan mencegah infeksi berulang

1. Eradikasi Infeksi Akut


Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah
terjadinya urosepsis dan kerusakan parenkim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK,

12
berikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil
biakan urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan
antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal, dan bila
tidak ada dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur.
Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila dalam
waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak
sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat
diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan.
Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian antibiotik jangka pendek
dibandingkan dengan jangka panjang. Oleh karena itu, pada sistitis diberikan
antibiotik jangka pendek. Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan
antibiotik per oral selama 7 hari, tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian
antibiotik per oral dengan waktu yang lebih singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama
dengan pemberian selama 7 hari.4
NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:
 Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter
spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
 Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:
o Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
o Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang
resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti
sefalosporin atau ko-amoksiklav.
o Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotic
parenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari
dilanjutkan dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10
hari.
 Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
o Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi
kuman setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat
diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.

13
o Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai
kembali, dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat
pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.
Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi
terhadap ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan sensitivitas
sebagian besar kuman patogen dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin dan
seftriakson. Berbagai antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik
antibiotic yang diberikan secara oral maupun parenteral.4
ISK yang akut diberikan terapi anti-mikroba untuk mengeliminasi infeksi, mencegah
komplikasi, dan mengurangi kemungkinan kerusakan ginjal. Anti-mikroba diberikan
selama 7-14 hari.3

Table 2. Antibiotik oral yang diberikan menurut AAP3

Antibiotik Dosis

Amoxicillin/clavulanate 20-40 mg/kg/hari, dibagi dalam 3 dosis

Sulfonamide 6-12 mg/kg/hari trimethoprim dan 30-60


Trimethoprim-sulfamethoxazole mg/kg/hari sulfamethoxazole, dibagi dalam 2
(TMP-SMX) dosis

120-150 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis


Sulfisoxazol

Cephalosporin 8 mg/kg/hari, 1 kali sehari

Cefixime 10 mg/kg/hari, dibagi 2 dosis

Cefpodoxime 30 mg/kg/hari, dibagi 2 dosis

Cefprozil 20-30 mg/kg/hari, dibagi 2 dosis

Cefuroxime axetil 50-100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis

14
Table 3. Antibiotik parenteral yang diberikan menurut AAP3

Antibiotik Dosis

Ceftriaxone 75 mg/kg, tiap 24 jam

Cefotaxime 150 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 6-8 jam

Ceftazidime 100-150 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 8


jam

Gentamicin 7,5 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 8 jam

Tobramycin 5 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 8 jam

Piperacillin 300 mg/kg/hari, dibagi dalam dosis tiap 6-8 jam

Penyakit sistitis pada anak diobati dengan antibiotik oral dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejala klinisnya cukup berat yaitu rasa
sakit yang hebat, muntah dan dehidrasi. Sistitis akut harus diobatai dengan segera
untuk mencegah progresi menjadi pielonefritis. Pengobatan parenteral umumnya
selama 5-7 hari, hingga gejala klinisnya membaik.4 Jika pengobatan diberikan
sebelum ada hasil kultur dan sensitifitas, terapi antibiotic selama 3-5 hari dengan
menggunakan TMP-SMX sangat efektif dalam melawan E.coli.8

Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti


trimetoprim-sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilin-klavulanat,
sefaleksin, dan sefiksim. Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk
menghindari resistensi kuman dan dicadangkan untuk terapi pielonefritis. Namun
begitu, sefalosporin generasi 3 seperti cefixime adalah sama efektifnya dengan
ceftriaxone parenteral untuk melawan organisme Gram-negatif selain Pseudomonas,
sehingga menjadi terapi pilihan untuk pasien yang rawat jalan.8 ISK simpleks
umumnya memberikan respon yang baik dengan amoksisilin, sulfonamid,
trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.4

Untuk kasus pielonefritis akut, para ahli sepakat bahwa antibiotik yang
diberikan harus mempunyai penetrasi yang baik ke jaringan karena pielonefritis akut
merupakan nefritis interstitialis. Secara umumnya antibiotik diberikan selama 7-10

15
hari. Pemberian antibiotik parenteral selama 7-14 hari sangat efektif dalam mengatasi
infeksi pada pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan
berbagai permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, pasien
memerlukan perawatan, biaya pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan
bagi pasien dan orangtua, sehingga dipikirkan untuk mempersingkat pemberian
parenteral dan diganti dengan pemberian oral. Biasanya perbaikan klinis sudah
terlihat dalam 24-48 jam pemberian antibiotik parenteral sehingga setelah perbaikan
klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian antibiotik per oral sampai selama 7-14
hari pengobatan.4

Secara teoritis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai
keuntungan karena kemungkinan terjadinya resistensi kuman terhadap obat lebih
sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik parenteral dapat dilanjutkan dengan oral
setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik terlihat dengan nyata atau setidak-
tidaknya demam telah turun dalam 48 jam pertama.4

Kemampuan neonatus mengatasi infeksi yang belum berkembang


menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis, terutama pada neonatus dengan
kelainan saluran kemih. Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi
bakteri Gram negatif. Antibiotik harus segera diberikan secara intravena. Kombinasi
aminoglikosida dan ampisilin pada umumnya cukup memadai. Lama pemberian
antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah 10-14 hari.4

Pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu diberi perhatian misalnya


pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus adekuat untuk
menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat disuruh untuk
mengosongkan kandung kemih setiap kali miksi. Higiene perineum perlu ditekankan
terutama pada anak perempuan.4

2. Deteksi Kelainan Anatomi dan Fungsional pada Ginjal dan Saluran Kemih
Prinsipnya adalah untuk mendeteksi adanya faktor predisposisi infeksi saluran
kemih, yaitu hal-hal yang mengubah aliran urin dan stasis urin, atau hal-hal yang
menyebabkan gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan tersebut antara lain
berupa foto polos abdomen yang dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak.
Selain foto polos abdomen, ultrasonografi ginjal dipakai untuk melihat adanya tanda

16
obstruksi/hidronefrosis, scarring process, ukuran dan bentuk ginjal, permukaan ginjal,
massa, batu, dan kista pada ginjal. CT-scan pula merupakan pemeriksaan yang paling
sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim ginjal, termasuk mikroabses
ginjal dan abses perinefrik. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan
adanya kista terinfeksi pada penyakit ginjal polikistik.4

3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang


Infeksi berulang terutama pielonefritis akut merupakan faktor yang berperan
dalam terjadinya parut ginjal. Diperkirakan 40-50% kasus ISK simtomatik akan
mengalami infeksi berulang dalam dua tahun pengamatan dan umumnya berupa
reinfeksi, bukan relaps. Deteksi ISK berulang dilakukan dengan biakan urin berkala,
misalnya setiap bulan, kemudian dilanjutkan dengan setiap 3 bulan. Jika terdapat ISK
berulang, berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil biakan urin.4
ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien termasuk
memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan menghilangkan atau
mengatasi faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi yang teratur bermanfaat
mencegah ISK berulang.4

Pemberian Profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah
digunakan secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis
akut atau ISK bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak risiko tinggi
seperti RVU, uropati obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya. Namun demikian,
efektivitas antibiotik profilaksis ini sering dipertanyakan dan masih kontroversial.4
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah
terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas antibiotik
profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang
mengalami infeksi berulang selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan
untuk mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang
minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai
profilaksis.4
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan
yang kurang, resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang (gangguan saluran

17
cerna, skin rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-Johnson), dan tidak
nyaman untuk pasien. Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa pada RVU
derajat rendah, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam risiko terjadinya ISK pada
kelompok yang mendapat antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati. Dengan demikian,
antibiotik profilaksis tidak perlu diberikan pada RVU derajat rendah.4
The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk
membandingkan efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan tindakan
operasi pada anak dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan fungsi ginjal.
Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok tersebut dalam
hal terjadinya parut ginjal dan komplikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik profilaksis pada RVU derajat tinggi ternyata efektif.4
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan tentang
pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa kesimpulan, meskipun masih banyak
hal-hal yang belum dapat disimpulkan:
1. Antibiotik profilaksis tidak terindikasi pada ISK demam yang pertama kali (first
febrile UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I dan II. Ada 3 alasan
terhadap kesimpulan ini yaitu:
a. penelitian metaanalisis menunjukkan tidak ada keuntungan pemberian
antibiotik profilaksis.
b. terdapat risiko meningkatnya resistensi terhadap bakteri.
c. frekuensi terjadinya reinfeksi rendah.
2. Untuk refluks derajat tinggi, tidak dapat diambil kesimpulan yang jelas, dengan
alasan:
a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada RVU derajat III dibandingkan dengan
derajat 0, I, dan II.
b. penelitian metaanalisis membuktikan bahwa dengan antibiotik profilaksis
tidak terdapat keuntungan yang bermakna pada kelompok ini, namun jumlah
pasien yang diikutkan dalam penelitian tersebut tidak mencukupi.
NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin diberikan
pada bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis
dipertimbangkan pada bayi dan anak dengan ISK berulang. Selain itu direkomendasikan juga
bahwa jika bayi dan anak yang mendapat antibiotic profilaksis mengalami reinfeksi, maka
infeksi diterapi dengan antibiotik yang berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik
profilaksis tersebut. Belum diketahui berapa lama sesungguhnya jangka waktu optimum

18
pemberian antibiotik profilaksis. Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis diberikan
selama RVU masih ada dan yang lain mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK
kompleks pemberian profilaksis dapat berlangsung 3-4 bulan. Bila ternyata kasus yang
dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks (adanya refluks atau obstruksi) maka pemberian
profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama. Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis:
 Trimetoprim :1-2 mg/kgbb/hari
 Kotrimoksazol
o Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
o Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
 Sulfisoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
 Sefaleksin : 10-15 mg/kgbb/hari
 Nitrofurantoin : 1 mg/kgbb/hari
 Asam nalidiksat : 15-20 mg/kgbb/hari
 Sefaklor : 15-17 mg/kgbb/hari
 Sefiksim : 1-2 mg/kgbb/hari
 Sefadroksil : 3-5 mg/kgbb/hari
 Siprofloksasin : 1 mg/kgbb/hari
Selain antibiotik, dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis yaitu Lactobacillus
rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum) serta cranberry juice.

Indikasi Rawat
ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain, ISK pada neonatus,
pielonefritis akut, ISK dengan komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai sepsis
atau syok, ISK dengan gejala klinik yang berat seperti rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan
asupan oral, muntah dan dehidrasi. ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan
organisme resisten terhadap antibiotik oral, atau terdapat masalah psikologis seperti orangtua
yang tidak mampu merawat anak.4

19
Komplikasi
ISK dapat menyebabkan gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan meningitis.
Komplikasi ISK jangka panjang adalah parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, komplikasi pada
masa kehamilan seperti preeklampsia.Parut ginjal terjadi pada 8-40% pasien setelah
mengalami episode pielonefritis akut. Faktor risiko terjadinya parut ginjal antara lain umur
muda, keterlambatan pemberian antibiotik dalam tata laksana ISK, infeksi berulang, RVU,
dan obstruksi saluran kemih.4

Kesimpulan
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi pada ginjal dan saluran kemih, salah
satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak selain infeksi saluran napas atas dan diare. ISK
paling sering disebabkan oleh kuman Escherichia coli (E. coli) yaitu sekitar 60-80%. Kuman ini
berasal dari saluran cerna. Selain kuman E. coli, ISK dapat disebabkan kuman lain, seperti Klebsiela,
Proteus, Enterococcus, Enterobacter dan berbagai kuman lainnya. ISK lebih sering pada anak
perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki, dengan kelompok umur 1 tahun sampai dengan 8
tahun. Bakteri penyebab ISK Escherichia coli sensitif terhadap nitrofurantoin dan sefotaksim.

20
Daftar Pustaka
1. Fisher D. Pediatric urinary tract infection. Medscape. Updated on Aug 01, 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview#a3
2. Miesien, Tambunan T, Munasir Z. Profil klinis Infeksi Saluran Kemih pada Anak di
RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Jurnal Sari Pediatri. 2006: Vol. 7, No. 4. 200-206
3. Admin Kalbemed. Panduan diagnosis dan tata laksana ISK pada bayi dan anak.
Kalbemed. 2013. Diunduh dari
http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/1651/Panduan-Diagnosis-dan-Tata-
Laksana-ISK-pada-Bayi-dan-Anak.aspx
4. Pardede S, Tambunan T, Alatas H, Trihono P, Hidayati EL. Konsensus infeksi saluran
kemih pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Nefrologi: Jakarta; 2011
5. Urinary Tract Infection: Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and
Management of the Initial UTI in Febrile Infants and Children 2 to 24 Months.
American Academy of Pediatrics. Pediatrics: 2011. Volume 128, Number 3.
6. Phadke K, Goodyer P, Bitzan M. Manual of pediatric nephrology. Springer: New
York; 2014. Pg 281-88
7. Long S, Pickering L, Prober C. Principles and practice of pediatric infectious disease.
4th ed. Elsevier Inc: Philadelphia; 2012. Pg 339-43
8. Kliegman R, Stanton B, Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson textbook of pediatrics.
20th ed. Elsevier Inc: Philadelphia; 2016. Pg 2556-62
9. Robert KB, Revised AAP Guideline on UTI in Febrile Infants and Young Children.
Jurnal of American Family Physician. 2012. Volume 86, Number 10..
10. Claudia Espinosa, Kristina Bryant, Kendra Bosley. Therapeutics of Pediatric Urinary Tract
Infections. iMedPub Journals. Division of Pediatric Infectious Diseases, University of
Louisville School of Medicine. 2015. Vol.7 No 5:4

21

Anda mungkin juga menyukai