Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS CKD (CHRONIC KIDNEY


DISEASE) atau

GAGAL GINJAL KRONIK

RUANG HCU MELATI I

RUMAH SAKIT Dr.MOEWARDI

DISUSUN OLEH

NAMA : DIANA SARI

NIM : 15067

AKADEMI KEPERAWATAN

GIRI SATRIA HUSADA WONOGIRI

2017
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi

ginjal yang bersifat

menahun,

berlangsung

progresif dan

cukup lanjut, hal

ini terjadi bila laju

filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2009)


Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan

tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2011)

B. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis

sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis

tubulus ginjal)
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis

dapat dibagi dalam 2 kelompok :


1. Penyakit parenkim ginjal
Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik,

Tbc ginjal
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal,

Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, diabetes melitus.


2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat,Batu saluran kemih,

Refluks ureter,
Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan
Infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk
Obstruksi saluran kemih
Destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama
Scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal

C. MANIFESTASI
Manifestasi klinik menurut Suyono (2011) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi

perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan

irama jantung dan edema.


2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara

krekels.
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme

protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi

dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.


4. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ),

burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak

kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot

ekstremitas.
5. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat

penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

6. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan

menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan

metabolic lemak dan vitamin D.


7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan

natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,

hipokalsemia.
8. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,

sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,

hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana

uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan

trombositopeni.

D. PATOFISIOLOGI
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan
garam, dan penimbunan produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada
bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%
normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronis mungkin minimal karena
nefron-nefron lain yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak.
Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi, reabsorbsi, dan sekresinya
serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut. Seiring dengan mankin
banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya
mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningktkan reabsorbsi
protein. Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukan
jaringan parut dan penurunan aliran darah ginjal. Pelepasan rennin dapat
meningkat, dan bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat
menyebabkan hipertensi. Hipertensi mempercepat gagal ginjal, mungkin
dengan meningkatkan filtrasi (karena tuntutan untuk mempercepat gagal
ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi (karena tuntutan untuk
reabsorbsi) protein plasma dan menimbulkan stress oksidatif.
Kegagalan ginjal membentuk eritroprotein dalam jumlah yamg
adekuat seringkali menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia
berpengaruh buruk pada kualitas hidup. Selain itu, anemia kronis
menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan di seluruh tubuh dan
mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan untuk meningkatkan curah
jantung guna memperbaiki oksigenasi. Refleks ini mencakup aktivasi
susunan saraf simpatis dan peningkatan curah jantung. Akhirnya,
perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal ginjal
mengalami gagal jantung kongesttif sehingga penyakit ginjal kronis
menjadi satu faktor resiko yang terkait dengan penyakit jantung.(3)
Selama gagal ginjal kronik beberapa nefron termsuk glomeruli dan
tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak
berfungsi lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipetrofi
dan menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorbsi tubula juga
meningkat walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang. Kompensasi
nefron yang masih masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan
fungsinya sampai tiga perempat nefron rusak. Solut dalam cairan menjadi
lebih banyak dari yang dapat direabsorbsi dan mengakibatkan dieresis
osmotic dengan poliura dan haus. Akhirnya, nefron yang rusak bertambah
dan terjadi oliguria akibat sisa metabolisme tidak disekresikan.
Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak
seimbang, perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut. Anemia
terjadi karena produksi eritrosit juga terganggu (sekresi eritropoietin ginjal
berkurang). Pasien mengeluh cepat lelah, pusing, dan letargi.
Hiperurisemia sering ditemukan pada pasien dengan ESDR. Fosfat serum
juga meningkat, tetapi kalsium mungkin normal atau di bawah normal. Hal
ini disebabkan eksresi ginjal terhadap fosfat menurun. Ada peningkatan
produksi parathormon sehingga kalsium serum mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia; ginjal
mengeluarkan vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami
hiperpigmentasi serta kulit tampak kekuningan atau kecoklatan. Uremic
frosts adalah kristal deposit yang tampak pada pori-pori kulit. Sisa
metabolism yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal diekskresikan
melalui kapliler kulit yang halus sehingga tampak uremic frosts: pasien
dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat tanpa pengobatan
yang efektif), dapat mengalami tremor otot, kesemutan betis dan kaki,
perikarditis dan pleuritis. Tanda ini dapat hilang apabila kegagalan ginjal
dapat ditangani dengan midifikasi diet, medikasi, dan atau dialysis.
Gejala uremia terjadi sangat perlahan sehingga pasien tidak dapat
menyebutkan awitan uremianya. Gejala azotemia juga berkembang,
termasuk letargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
menurun, cepat marah, dan depresi. Gagal ginjal yang berat menunjukkan
gejala anoreksia, mual dan muntah yang berlangsung terus, pernapasa
pendek, edema pitting, serta pruritus.

E. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :

1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin

serum normal dan penderita asimptomatik.


2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah

rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum

meningkat.

3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari

tingkat penurunan LFG :

1. Stadium 1

Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG

yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2

2. Stadium 2

Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89

mL/menit/1,73 m2

3. Stadium 3

Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2

4. Stadium 4

Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2

5. Stadium5

Kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal

terminal.

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance

Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )


72 x creatinin serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka

perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun

kolaborasi antara lain:


1. Urine :
a. Volume
b. Warna
c. Sedimen
d. Berat jenis
e. Kreatinin
f. Protein
2. Darah :
a. Bun / kreatinin
b. Hitung darah lengkap
c. Sel darah merah
d. Natrium serum
e. Kalium
f. Magnesium fosfat
g. Protein
h. Osmolaritas serum
3. Pielografi intravena
a. Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
b. Pielografi retrograd
c. Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
d. Arteriogram ginjal
e. Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular,

massa.
4. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.

5. Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,

obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.


6. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan

untuk diagnosis histologis


7. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan

pengangkatan tumor selektif


8. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam

basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
1. Konservatif
a. Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya odema
d. Batasi cairan yang masuk
2. Dialysis
a. Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang

tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori

Peritonial Dialysis )
b. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di

vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya

hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun

untuk mempermudah maka dilakukan :


c. AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
d. Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi

ke jantung )
3. Operasi
a. Pengambilan batu
b. Transplantasi ginjal

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang

meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan

udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na

dan H2O.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia, mual, muntah.


4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder,

kompensasi melalui alkalosis respiratorik.


5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan

menurun.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang

tidak adekuat, keletihan.


J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat.
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan
Kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti
tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi
perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

b. Kaji adanya hipertensi


R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi
Na dan H2O).
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
dengan
Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan
output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital.
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin,
dan respon terhadap terapi.
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan.
d.Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran.
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


anoreksia, mual, muntah.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
Kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan
intervensi.
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek social
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan
makanan.
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan secret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas

d. Batasi untuk beraktivitas


R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan
Kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan.
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia.
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin
untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera

h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar


R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan
evaporasi lembab pada kulit.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang
tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnosis:

Definitions & Clasification, 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell


Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2.

Jogjakarta: Mediaction.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC


Suyono, Slamet. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.

Jakarta.: Balai Penerbit FKUI


Tambayong, Jan, dr. 2009. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai