B
endera dan panji, menempati posisi yang agung sebagai simbol suatu negara, begitu
pula bagi Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, sebagai pemimpin Negara
Islam pertama di Madinah al-Munawwarah. Hal itu dibuktikan dalil-dalil al-sunnah
dan atsar, dirinci penjelasan para ulama mu’tabar, mengulas bendera dan panji yang
dijuluki al-liwâ’ dan al-râyah, berikut karakteristik, kedudukan dan fungsinya yang
istimewa. Di sisi lain, saat ini kaum Muslim dihadapkan pada upaya mungkar, stigmatisasi
negatif dan kriminalisasi panji al-liwâ’ dan al-râyah dan para pengembannya, bagaimana
mendudukkan al-liwâ’ dan al-râyah sebagaimana Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- dan para sahabat bersikap?
1 Disampaikan dalam Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi, 12 Februari 2017.
2 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, juz V, hlm. 4109.
3 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turats al-
Dari Yunus bin Ubaid mawla’ Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin
al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib, aku bertanya tentang râyah Rasulullah –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib menjawab:
8 HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2506), Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah (2663), al-Tirmidzi dalam
syarat syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim) meski keduanya tidak meriwayatkannya”, Ibn Hibban dalam Shahîh-nya
(4743) dengan sedikit perbedaan redaksi.
11 HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1680): “Hadits hasan gharib.”, Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah
Ibn Bathal pun menukil penuturan al-Muhallab bahwa dalam hadits al-Zubair –
radhiyaLlâhu ’anhu-, terdapat petunjuk bahwa al-râyah tidak diserahkan kecuali dengan
izin al-Imam (Khalifah); karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan
kedudukannya. Maka tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini kecuali
berdasarkan perintah Khalifah. Semua penjelasan tersebut, secara spesifik dirinci oleh Ibn
Bathal dalam satu bab khusus ()) َما قِي َل فِى ِل َواء النَ ِب ِى (صلى هللا عليه وسلم.15
Hadits ini merupakan nas yang menunjukkan mandat resmi tersebut.16 Ibn Hajar al-
’Asqalani (w. 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Sa’ad –radhiyaLlâhu ’anhu- adalah
salah seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam-17, dan hal itu tidak dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-.18 Sebagaimana Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu- dan Sa’ad bin
Ubadah –radhiyaLlâhu ’anhu- yang juga pernah menerima mandat al-râyah dari
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.19
13 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya
127.
19 Ibid.
Penisbatan al-liwâ’ dan al-râyah dalam hadits dan atsar sebagai bendera dan panji
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun memperjelas kedudukannya sebagai syi’ar
Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat
pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang menyatukan kaum Muslim dalam
ikatan yang hakiki, ikatan akidah Islam. Maka jelas bahwa keduanya termasuk syi’ar Islam
yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syi’ar-syi’ar jahiliyyah yang
menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagungkan dan
menjunjung tinggi syi’ar Islam, sesungguhnya bagian dari apa yang Allah firmankan:
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi al-Bantani (w.
1316 H) menukil ayat ini menjelaskan, di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang
bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar Din-Nya.20 Sifat
takwa ini, ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik –radhiyaLlâhu ’anhu-,
bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
20 Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
21 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (1189), Ahmad dalam Musnad-nya (12114).
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 4
tidak ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam, dan
panji al-râyah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.
Upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, hakikatnya
bagian dari penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi Iblis dan sekutunya yang
benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan menyesatkan mereka
semua dari kebenaran (QS. Al-Hijr [15]: 39). Dalam sirah, kejahatan ini telah dipraktikkan
kaum Kuffar yang menstigma negatif wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng
orang terdahulu, dan Rasul-Nya sebagai orang yang hilang akal, dukun, dan penyair22. Itu
semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.
Kebatilan tersebut, kini tampil dalam kemasan baru, menstigma negatif simbol dan
ajaran Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme. Termasuk dari apa yang
Allah peringatkan:
ّللاِ ِب َغي ِْر ِع ْلم َو َيت َ ِخذَهَا هز ًوا ۚ أو َٰلَ ِئ َك لَه ْم َ ع ْن
َ س ِبي ِل َ ض َل ِ اس َم ْن َي ْشت َ ِري لَ ْه َو ْال َحدِي
ِ ث ِلي ِ ََو ِمنَ الن
}٦{ عذَاب م ِهين َ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
(QS. Luqmân [31]: 6)
Tuduhan keji atas bendera dan panji tauhid ini, bisa jadi menggambarkan apa yang
Allah firmankan:
Hal ini tercela, karena penolakan yang didasari oleh ketidaktahuan, pasti
dilatarbelakangi oleh prasangka buruk, dan prasangka buruk itu tercela sebagaimana
firman-Nya:
}١٢{ ظ ِن ِإثْم
َ ض ال َ َيرا ِمن
َ الظ ِن ِإ َن َب ْع ْ َيا أَي َها الَذِينَ آ َمنوا
ً اجتَ ِنبوا َك ِث
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari
prasangka, karena sebagian darinya merupakan perbuatan dosa.” (QS. Al-Hujurât
[49]: 12)
Ayat ini menyeru orang-orang yang beriman, dengan perintah menggunakan kata
ijtanib yang lebih mendalam dan kuat maknanya daripada kata utruk, yang maknanya
adalah “jauhilah”, artinya ayat yang agung ini mengandung larangan atas prasangka
buruk. Dan kalimat (الظ ِن إِثْم
َ ض َ )إِ َن بَ ْعyang menyifati prasangka buruk sebagai perbuatan dosa,
menjadi indikasi tegas atas larangan dalam ayat ini, sehingga larangan dalam ayat ini
merupakan tuntutan tegas untuk meninggalkan prasangka buruk, yang menunjukkan
bahwa hukumnya haram.
Abu Hamid al-Ghazali, Qawâ’id al-‘Aqâ’id, Lebanon: ‘Âlam al-Kutub, cet. II, 1405 H, hlm. 101.
25
26Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân,
Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 206.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 6
Kesalahpahaman terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa juga lahir karena tersebarnya
syubhat, dan tidak mau ber-tabayyun (cek ulang, mengkaji faktanya), mengedepankan
kepercayaan terhadap syubhat dan khurafat yang tersebar. Maka dalam kasus ini, Allah –
Ta’âlâ- memperingatkan:
علَ َٰى َما فَ َع ْلت ْم ِ َيا أَي َها الَذِينَ آ َمنوا ِإ ْن َجا َءك ْم فَا ِسق ِب َن َبإ فَت َ َبيَنوا أ َ ْن ت
ْ صيبوا قَ ْو ًما ِب َج َهالَة فَت
َ ص ِبحوا
}٦{ َنَاد ِِمين
”Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seseorang yang fasik
membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurât [49]: 6)
Atau sebagaimana disebutkan Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) yakni
meninggalkan ketergesa-gesaan, merenungkan dan menyikapinya dengan hati-hati dalam
urusan tersebut.29 Karena ketergesaan bisa jadi timbul dari kebodohan dan kebingungan,
dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik –radhiyaLlâhu ’anhu- berkata:
ِ ْال َع َجلَة ِفي ْالفَتْ َوى ن َْوع ِمنَ ْال َج ْه ِل َو ْالخ ْر
ق
”Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan keraguan.”30
Maka menjadi tugas para ulama dan da’i yang paham, memahamkan masyarakat
awam terhadap hakikat al-liwâ’ dan al-râyah ini, agar mereka tidak bersikap kecuali
sebagaimana sikap Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabatnya. Tugas
ini menjadi semakin menantang, di zaman ketika tersebarnya syubhat di tengah-tengah
masyarakat, dan syi’ar Islam digantikan oleh syi’ar-syi’ar ’ashabiyyah jâhiliyyah. Hal itu
karena peringatan, bermanfaat bagi orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan
keimanan:
Inilah sifat mereka yang dipuji Allah dengan istilah, ulul albâb, dan peringatan
bermanfaat bagi mereka yang beriman:
27 Yahya bin Ziyad al-Farra’, Ma’âni al-Qur’ân, Mesir: Dâr al-Mishriyyah, cet. I, t.t., juz III, hlm. 31.
28 Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz ke-22, hlm. 286.
29 Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I,
hlm. 437, atsar no. 817; Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Damaskus: al-Maktab
al-Islâmi, cet. II, 1403 H, juz I, hlm. 306.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 7
}٥٥{ َالذ ْك َر َٰى تَ ْنفَع ْالمؤْ ِمنِين
ِ َوذَ ِك ْر فَإ ِ َن
“Dan berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Al-Dzâriyât [51]: 55)
31 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya
dalam diskusi empat mata selepas shalat isya’ pada bulan September 2015. Lihat pula: Jamaluddin bin Hisyam,
Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
33 Abu al-Hasan Nuruddin al-Sindi, Kifâyat al-Hâjat fî Syarh Sunan Ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Jîl, hlm. 58.
34 Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, cet. II,
1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw
wa al-Sharf wa al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H/1983,
hlm. 161.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 8
termasuk sunnah Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- yang sudah semestinya
diteladani oleh kaum Muslim, Ibn Bathal menuturkan:
Maka setiap syubhat dan khurafat, mencakup stigmatisasi negatif dan kriminalisasi
atas al-liwâ’ dan al-râyah, hakikatnya merupakan makar terhadap Allah dan Rasul-Nya –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Ia merupakan kemungkaran yang harus diwaspadai kaum
Muslim, wajib disingkap dan diluruskan, sehingga kaum Muslim tidak memandang al-liwâ’
dan al-râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan
para sahabatnya, dan tergerak untuk mengibarkannya kembali, dengan berjuang
menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah yang
berdiri di atas asas tauhid, dan kita sebagaimana sya’ir:
[]