Anda di halaman 1dari 5

KEHARAMAN PEMIMPIN KAFIR

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Pro kontra pemimpin kafir menghebat sejak Ahok yang kafir mencalonkan diri
kembali sebagai calon Gubernur DKI pada Pilkada serentak tahun depan (15/02/2017). Pro
kontra ini semakin tajam setelah akhir September 2016 lalu di Kepulauan Seribu Ahok
melakukan penistaan Al Qur`an dengan kalimatnya yang terkenal, “Jangan mau dibohongi
pakai Al Māidah 51”.
Namun sebenarnya pro kontra tersebut hanya ada pada ranah realitas empirik, yaitu
pro kontra yang muncul di media, khususnya di media sosial. Adapun pada ranah normatif,
yaitu dalam kajian fiqih Islam, sebenarnya pro kontra itu tidak ada. Karena para ulama
sepakat (ijmā’) bahwa orang kafir tidak boleh menjadi pemimpin bagi umat Islam. Ibnu
Hazm dalam hal ini menegaskan,”Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan umat Islam (al
imāmah) tidak dibolehkan bagi seorang perempuan, orang kafir, dan anak kecil.” [wa
[i]ttafaqū anna al imāmah lā tajūzu limra`atin wa lā li kāfirin wa lā li ṣabiyyin]. (Ibnu Hazm,
Marātibul Ijmā’, hlm. 208).
Tulisan ini bertujuan menjelaskan argumen-argumen yang digunakan untuk
membolehkan pemimpin kafir dan memberikan kritik-kritik terhadap argumen-argumen
tersebut.

Adanya Gubernur Non Muslim di Masa Khilafah?


Ada yang berargumen bahwa pemimpin kafir boleh, dengan alasan di masa Khilafah
‘Abbasiyah konon Khalifah Al Mutadhid Billah (berkuasa 279-290 H/892-902 M) pernah
mengangkat seorang wali (kepala daerah) bernama ‘Umar bin Yusuf yang beragama Kristen
di daerah Anbar di Irak.
Argumen ini tertolak dengan 2 (dua) alasan. Pertama, pengangkatan pemimpin kafir
yang dilakukan Khalifah Al Mutadhid Billah itu jelas penyimpangan syariah (mukhalafat
syar’iyyah). Sebab sebagaimana telah dikutip sebelumnya, ulama telah sepakat orang kafir
tidak boleh menjadi pemimpin bagi umat Islam. (Ibnu Hazm, Marātibul Ijmā’, hlm. 208).
Maka dari itu, penyimpangan syariah tersebut harus dianggap sebagai kesalahan yang tak
boleh diulangi lagi di masa datang, bukan malah dianggap standar ideal yang dapat dijadikan
teladan atau model untuk kondisi sekarang.
Kedua, fakta sejarah tersebut tidak dapat menjadi dalil syariah bahwa pemimpin kafir
boleh menurut ajaran Islam. Sebab fakta sejarah itu sendiri hanyalah fakta, bukan dalil
syariah dalam Islam. Fakta sejarah justru merupakan objek yang perlu dinilai menurut kriteria
dalil syariah (Al Quran dan As Sunnah), karena fakta sejarah kadang sesuai dengan ajaran
Islam dan kadang tidak sesuai dengan Islam. Tidak setiap peristiwa sejarah itu pasti sesuai
sesuai dengan ajaran Islam.
Fathi Osman dalam tulisannya The History of Islam : New Directions menegaskan
jika seorang muslim mengkaji sejarah Islam (islamic history) maka dia harus berkomitmen
terhadap Islam dan melakukan penilaian (assesment) terhadap fakta sejarah berdasarkan
standar ajaran Islam. Mengapa? Menurut Fathi Osman, “since not everything which
happened in the past or happens at present day on the Islamic scene can really be considered
Islamic.” (karena tidak setiap peristiwa yang telah terjadi di masa lalu atau yang sedang
terjadi saat ini yang terkait dengan Islam dapat benar-benar dianggap Islami). (Nur A. Fadhil
Lubis [Ed], Introductory Reading on Islamic Studies, Medan: IAIN Press, 1998, hlm 99).

Klaim Bahwa Imam Mawardi Membolehkan Pemimpin Kafir?


Ada yang berargumen pemimpin kafir boleh, dengan alasan Imam Mawardi
membolehkan seorang wazīr tanfīdz dijabat oleh seorang kafir dzimmi (warga negara non
muslim).
Argumen ini tidak dapat diterima berdasarkan 3 (alasan) sbb; Pertama, memang benar
Imam Mawardi membolehkan kafir dzimmi menjabat wazīr tanfīdz. (Imam Mawardi, Al
Ahkām Al Sulthāniyyah, hlm.27). Tetapi ini tidak berarti mengangkat pemimpin kafir
hukumnya boleh. Karena wazīr tanfīdz sebenarnya tidak mempunyai kewenangan dalam
urusan pemerintahan (al hukm). Wazīr tanfīdz hanyalah pembantu Imam (Khalifah) dalam
urusan administrasi (idāri) saja, misalnya korespondensi antara Imam (Khalifah) dengan para
gubernur (wāli). Yang mempunyai kewenangan dalam urusan pemerintahan adalah wazīr
tafwīdh, bukan wazīr tanfīdz. (Imam Mawardi, Al Ahkām Al Sulthāniyyah, hlm. 30-39).
Kedua, pendapat Imam Mawardi sendiri yang membolehkan kafir dzimmi menjadi
wazīr tanfīdz telah mendapat bantahan dari ulama lain, seperti Imam Abu Ya’lā Al Farrā`
dalam kitabnya Al Ahkām Al Sulthāniyyah hlm. 32 dan Imam Al Haramain Al Juwaini Al
Syafi’i dalam kitabnya Ghiyātsul Umam hlm. 114. Ulama kontemporer yang juga membantah
pendapat Imam Mawardi adalah Imam Taqiyuddin An Nabhani (w. 1977) dalam kitabnya
Muqaddimah Al Dustūr Juz I hlm. 187. Ketiga mujtahid tersebut sama-sama berpendapat
bahwa wazīr tanfīdz tidak boleh dijabat oleh orang kafir. Alasannya wazīr tanfīdz adalah
bithānah (orang dekat/kepercayaan) bagi Imam/Khalifah, maka wazīr tanfīdz haruslah dijabat
seorang muslim, tidak boleh dijabat kafir. Dalilnya QS Ali ‘Imran ayat 118, yang melarang
mengambil bithānah (orang dekat/kepercayaan) dari kalangan orang non muslim. Inilah
pendapat yang lebih rājih (kuat), yaitu yang mengharamkan wazīr tanfīdz dijabat non
muslim.
Ketiga, adalah tidak pada tempatnya membolehkan pemimpin kafir sebagai kepala
daerah dengan menggunakan pendapat Imam Mawardi yang membolehkan kafir dzimmi
menjadi wazīr tanfīdz. Mengapa? Sebab persoalan kepala daerah telah dibahas oleh Imam
Mawardi dalam bab khusus (Bab III) tentang pengangkatan kepala daerah (fī taqlīd al imārah
‘ala al bilād). Jadi kalau berbicara tentang kepala daerah, seharusnya yang dirujuk adalah bab
tentang pengangkatan kepala daerah ini, bukan bab tentang pengangkatan para wazir (fī
taqlīd al wuzārah) (Bab II). Ini namanya argumentasi salah bab. (Lihat Imam Mawardi, Al
Ahkām Al Sulthāniyyah, hlm. 30-39 [Bab II] dan 40-46 [Bab III]).

Klaim Bahwa Ibnu Taimiyah Membolehkan Pemimpin Kafir Asal Adil?


Ada pula yang berargumen pemimpin kafir itu boleh, dengan klaim bahwa Ibnu
Taimiyah berpendapat pemimpin kafir boleh asalkan adil.
Argumen ini tidak benar. Yang benar, Ibnu Taimiyah sekedar mengutip ungkapan
orang lain, bukan menegaskan pendapatnya sendiri. Atau sekedar menekankan betapa
pentingnya keadilan dengan ungkapan hiperbolik (mubālaghah), dan bukan sedang
menyatakan pendapat fiqihnya.
Memang Ibnu Taimiyah pernah berkata dalam kitabnya Majmu’ūl Fatāwā,”Maka
sesungguhnya manusia tidak berselisih bahwa akibat kezaliman adalah kehinaan dan akibat
keadilan adalah kemuliaan. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Allah akan menolong
negara yang adil meski itu negara kafir, dan tak akan menolong negara yang zalim meski itu
negara mukmin.” (fa inna an nās lam yatanāza’ū anna ‘āqibat az zulm wakhīmah wa ‘āqibat
al ‘adli karīmah, wa li-hādza yurwa Allah yanshuru ad dawlah al ‘ādilah wa in kānat kāfirah
wa lā yanshuru ad dawlah az zālimah wa in kānat mu`minah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ūl
Fatāwā, Juz XXVIII, hlm. 63).
Dari ungkapan otentik itu, secara jelas Ibnu Taimiyah telah mengutip ungkapan pihak
lain, bukan menegaskan pendapatnya sendiri. Ini nampak dari perkataannya yang
menggunakan kalimat pasif (majhūl), yaitu wa li-hādza yurwa (oleh karena itu diriwayatkan).
Maka adalah kebohongan jika ada klaim Ibnu Taimiyah berpendapat pemimpin kafir (atau
negara kafir) boleh asalkan adil.
Ungkapan Ibnu Taimiyah tersebut dalam bahasa Arab dapat dianggap mubālaghah,
yaitu ungkapan hiperbolik )melebih-lebihkan) untuk menekankan betapa pentingnya
keadilan, dengan ungkapan yang makna harfiyahnya boleh jadi tidak ada faktanya atau
bertentangan dengan syariah. Ini sama dengan perintah Rasulullah SAW agar kita mendengar
dan mentaati pemimpin meskipun dia adalah “budak Habasyah yang rambutnya seperti
kismis.” (HR Bukhari no 6273). Kata Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, yang dimaksud “budak
Habasyah” adalah “bekas budak Habasyah” sebagai ungkapan mubālaghah, karena ulama
telah sepakat budak tidak boleh menjadi pemimpin. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bāri, Juz
XIII, hlm.132).
Terlebih lagi, Ibnu Taimiyah sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tujuan
kekuasaan adalah untuk menerapkan syariah Islam dan mengatur kehidupan dunia dengan
syariah Islam. (Ibnu Taimiyah, As Siyāsah Al Syar’iyyah, hlm. 13). Bagaimana mungkin
tujuan kekuasaan tersebut dapat terwujud jika pemimpin umat adalah orang kafir?

Ini Bukan Negara Khilafah, Tapi Negara Pancasila (NKRI)?


Ada pula yang berargumen bahwa pemimpin kafir boleh-boleh saja, karena kita
sekarang berada dalam negara Pancasila alias NKRI, bukan dalam negara Khilafah.
Dikatakan bahwa dalam NKRI baik muslim maupun non muslim sama-sama berhak menjadi
pemimpin.
Argumen ini menyesatkan karena tidak menggunakan Islam sebagai landasan untuk
menyikapi boleh tidaknya non muslim menjadi pemimpin. Seharusnya seorang muslim
menggunakan landasan Islam berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, bukan yang lain. Jika
menggunakan landasan Islam, sebenarnya sangat jelas bahwa haramnya pemimpin kafir
merupakan hukum Islam yang berlaku umum di mana saja, baik di negara Khilafah maupun
di negara bukan Khilafah. Apa yang halal dalam negara Khilafah adalah tetap halal di luar
negara Khilafah. Sebaliknya apa yang haram di negara Khilafah adalah tetap haram di luar
negara Khilafah. Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata :
‫أن الحالل في دار اإلسالم حالل في بالد الكفر والحرام في بالد اإلسالم حرام في بالد الكفر‬
“Sesungguhnya apa saja yang halal di Dār Al-Islām [Khilafah] adalah tetap halal di negeri-
negeri kufur. Dan apa saja yang haram di negeri-negeri Islam adalah tetap haram di negeri-
negeri kufur.” (Imam Syafi’i, Al-Umm [Al-Manṣūrah : Dārul Wafā`, 2001], Vol. XIX, hlm.
237).
Imam Syaukani juga mengatakan hal yang semakna :
‫ ودار الحرب ليست بناسخة لألحكام الشرعية أو لبعضها‬،‫فإن أحكام الشرع الزمة للمسلمين في أي مكان وجدوا‬
“Maka sesungguhnya hukum-hukum syara’ adalah suatu keharusan bagi kaum muslimin di
manapun juga mereka berada. Dār Al-Harb [negara non Khilafah] bukanlah penghapus
(nasikh) hukum-hukum syara’ atau sebagiannya.” (Imam Syaukani, Al Sayl Al Jarrār, Beirut:
Dar Ibn Ḥazm, 2004).

Tafsir Awliyā Bukan Pemimpin Tapi Teman Dekat?


Ada yang berpendapat bahwa kata awliyā` dalam QS Al Māidah 51 artinya adalah
teman dekat, bukan pemimpin. Jadi katanya mengangkat pemimpin kafir tidak dilarang,
karena yang dilarang adalah mengangkat orang kafir sebagai teman dekat.
Jawaban untuk argumen ini ada 2 (dua); Pertama, memang benar secara umum kata
awliyā’ baik dalam QS Al Māidah 51 maupun pada ayat lainnya seperti QS An Nisā` : 144,
dapat ditafsirkan sebagai khashah (orang khusus) atau bithānah (teman dekat). (Lihat tafsir
kata awliya` pada QS An Nisā` : 144 dalam Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, hlm 867; Tafsir Al
Qurthubi, Juz V, hlm. 425). Namun, membatasi makna awliyā hanya pada makna khashah
(orang khusus) atau bithānah (teman dekat) adalah pembatasan atau pengkhususan yang
tanpa didasarkan pada dalil (takhshīsh bilā mukhashshis). Sebab berdasarkan mafhūm
muwāfaqah (penarikan makna implisit yang lebih besar cakupannya daripada makna
eksplisit), kata awliya` dapat juga diartikan sebagai pemimpin (penguasa). Sebab jika
mengangkat orang kafir sebagai teman dekat saja sudah haram, apalagi mengangkatnya
sebagai penguasa atas kaum muslimin. Syeikh Īhāb Kamāl Ahmad mengomentari tafsir kata
awliya` dalam QS An Nisā` : 144 :

،‫ من صور المواالة التي نَهت عنها اآلية‬- ‫َواص‬ ِ ‫ وج ْعلُهم من الخ‬،‫فإن كانت مصادقتُهم وإفشا ُء أحوال المؤمنين الباطن ِة إليهم‬
. ُ ‫ وج ْعلَهم حكا ًما عليهم من أظهر‬،‫أن توليتهم أ ْم َر المسلمين‬
‫ص َور المواالة لهم وأشَدِها تحري ًما‬ َّ ‫فال ريب‬

“Jika berkawan dengan mereka (non muslim), juga membuka rahasia-rahasia kaum
mukminin kepada mereka, serta menjadikan mereka sebagai teman khusus sudah termasuk
dalam bentuk memberikan loyalitas (berwali) yang dilarang oleh ayat ini, maka tidak
diragukan lagi menyerahkan urusan kaum muslimin kepada mereka dan menjadikan mereka
sebagai penguasa atas kaum muslimin adalah juga termasuk bentuk berwali yang paling jelas
kepada mereka dan lebih berat keharamannya.” (Īhāb Kamāl Ahmad, Ar Radd Al Mubīn ‘Ala
Man Ajāza Wilāyah Al Kāfir ‘Alā Al Muslimīn, hlm. 3).
Kedua, bahwa QS Al Māidah 51 bukanlah dalil satu-satunya yang mengharamkan
pemimpin kafir. Jadi andaikata tafsir awliyā` dalam QS Al Māidah 51 dipastikan hanya satu
makna (padahal tidak), yaitu teman dekat, bukan berarti mengangkat pemimpin kafir lantas
hukumnya boleh. Karena keharaman pemimpin kafir juga ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat
lainnya. Misalnya QS An Nisā` : 59 dimana Allah memerintahkan kita mentaati penguasa di
antara kaum muslimin (ulil amri minkum). Kata “minkum” dalam ayat ini menjadi dalil
bahwa penguasa kaum muslimin wajib dari kalangan kaum muslimin, tidak boleh dari
kalangan non muslim. Ayat lain misalnya QS An Nisā` : 141 menegaskan Allah SWT tidak
menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Ayat ini juga
dapat menjadi dalil yang mengharamkan mengangkat pemimpin kafir, karena pengangkatan
orang kafir sebagai pemimpin akan menjadi jalan bagi kaum kafir untuk menguasai urusan
kaum muslimin.

Awliyā`Bentuk Jamak (Kepemimpinan Kolektif) Kalau Tunggal Tidak Mengapa?


Ada yang berargumen bahwa yang dilarang dalam QS Al Māidah 51 adalah
mengangkat kepemimpinan kolektif yang terdiri dari orang kafir semuanya. Alasannya
karena kata awliyā` adalah bentuk jamak, dari kata tunggal waliy. Implikasinya kalau
pemimpin yang diangkat satu orang kafir saja, tidak apa-apa.
Bantahannya, kata awliyā` dalam ayat itu memang harus berbentuk jamak agar sesuai
dengan lafazh orang-orang Yahudi dan Nashrani (al yahud wa an nashara) yang juga
berbentuk jamak. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 370 & 397). Tetapi
ini tak berarti mengangkat satu orang pemimpin kafir boleh. Karena mengangkat pemimpin
kafir baik satu orang (individu) maupun banyak orang (kepemimpinan kolektif) sama-sama
haram, tanpa ada perbedaan, berdasarkan kemutlakan dan keumuman nash.
Ini seperti larangan umum/mutlak kepada orang-orang beriman untuk shalat dalam
keadaan mabuk sebagaimana dalam QS An Nisa` : 43 (yang artinya),”Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu (antum, bentuk jamak) shalat sedangkan kamu dalam keadaan
mabuk (wa antum sukara).” Apakah dari ayat ini lalu bisa disimpulkan, yang dilarang shalat
hanyalah sekumpulan orang mabuk secara kolektif, sedang kalau yang mabuk seorang saja
berarti dia boleh sholat? Tetap tidak boleh bukan? Maka demikian pula larangan mengangkat
orang kafir, baik yang diangkat sekumpulan orang kafir maupun hanya satu individu kafir,
hukumnya sama-sama haram.

Ayat Larangan Pemimpin Kafir Hanya Dalam Kondisi Perang?


Ada yang berargumen larangan mengangkat pemimpin kafir dalam QS Al Māidah 51
hanya terjadi dalam kondisi perang, mengingat konteks turunnya ayat tersebut adalah ketika
terjadinya perang antara kaum muslimin melawan Yahudi Bani Qainuqa’. Jadi, katanya ayat
itu tidak dapat diterapkan dalam kondisi damai seperti saat ini.
Argumen ini membatasi makna tanpa dalil (takhshīsh bilā mukhashshis). Yang benar,
ayat QS Al Māidah 51 meski mempunyai sababun nuzul kondisi perang, tetapi keumuman
ayatnya membolehkan penerapannya dalam kondisi apa saja, baik kondisi perang maupun
kondisi damai. Kaidah ushuliyah menyebutkan : al ‘ibrah bi umum al lafzhi laa bi khushush
as sabab (yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab).
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islāmiyyah, Juz III, hlm. 240). Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai